Anda di halaman 1dari 12

Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

PEMAKZULAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

HN
PASCA AMANDEMEN UUD 1945
(Impeachment of President of the Republic of Indonesia after the amendment of Constitution)

Eko Noer Kristiyanto


Badan Pembinaan Hukum Nasional - Kementerian Hukum dan HAM RI

BP
Jalan Mayjen Sutoyo Nomor 10 Jakarta Timur
Email: tigers_nova@yahoo.com

Naskah diterima: 14 November 2013; revisi: 18 November 2013; disetujui: 17 Desember 2013

ing
Abstrak
Dinamika ketatanegaraan yang secara nyata menunjukkan korelasi antara dimensi hukum dan politik adalah proses
pemberhentian presiden sebagai kepala negara. UUD 1945 hasil amandemen telah memuat secara khusus ketentuan-
ketentuan mengenai pemberhentian presiden sebagai kepala negara, hal ini tentunya sangat baik dan jika kita mengacu
kepada prinsip negara hukum yang dicita-citakan. Tulisan ini menjelaskan bahwa pengaturan mengenai pemakzulan
ind
dalam konstitusi adalah hal yang tepat dan sangat sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, dan merupakan
konsekuensi logis ketika kita ingin mewujudkan suatu pemerintahan yang stabil sesuai dengan praktik sistem pemerintahan
presidensial. Diharapkan pemakzulan presiden yang hanya didasarkan alasan politis seperti terjadi dimasa lalu tidak akan
terulang lagi. Meski demikian, aspek substansi dan mekanisme terkait pemakzulan yang kini sudah jauh lebih baik dengan
pengaturan yang lebih jelas dan lengkap itu, kiranya tetap perlu terus dikaji secara dialektika akademis, utamanya terkait
mengenai peran dari MPR dalam putusan akhir proses pemakzulan. Karena dalam suatu negara hukum, maka putusan
terkuat, yang bersifat akhir dan mengikat adalah putusan hukum, yang dalam proses pemakzulan dikeluarkan oleh proses
V
peradilan hukum di Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci: pemakzulan, presidensial, negara hukum, demokrasi, konstitusi
hts

Abstract
The dynamic of constitutional that clearly shows the correlation between the legal and the political dimension is the
impeachment of the president as head of state. Amendments of Indonesia constitution have specifically contain provisions
regarding impeachment of the president as head of state, it is certainly very good and if we refer to the principle of state of
law. This paper explains that the regulation of impeachment in the constitution is the right thing and is in accordance with
ec

the rule of law and democracy, and is the logical consequence when we want to realize a stable government in accordance
with the practice of presidential system. Expected presidential impeachment based solely political reasons such as occurred
in the past will not be repeated again. However, aspects of the substance and impeachment mechanism better, would still
need to be studied in the dialectic of academic, primarily related to the role of the People’s Consultative Assembly (MPR) in
the final decision process of impeachment. Because in a state of law, the judicial decision shall be final and binding.
lR

Keywords: impeachment, presidential, state of law, democracy, constitution


na
Jur

Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Eko Noer Kristiyanto) 331
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

A. Pendahuluan di Amerika dan Inggris, oleh pengadilan seperti


di Jerman, Belgia, Perancis, India, dan Italia,

HN
Salah satu dinamika ketatanegaraan yang
atau oleh gabungan keduanya sebagaimana
secara nyata menunjukkan adanya keterkaitan
dilakukan oleh negara-negara bagian di Amerika
erat antara proses hukum dan proses politik
Serikat.2 Berdasarkan pandangan tersebut,
adalah proses pemberhentian presiden
dalam arti sempit impeachment tidak sama
sebagai kepala negara. Proses pemberhentian

BP
dengan pemakzulan, karena impeachment
presiden dikenal dalam praktik ketatanegaraan
hanya salah satu tahap dari proses pemakzulan.3
diberbagai negara, secara istilah proses
Oleh karena yang akan dibicarakan dalam
ketatanegaraan ini disebut sebagai pemakzulan,
tulisan ini adalah proses pemberhentian
namun banyak nomenklatur dan pemberitaan
presiden dalam konteks keseluruhan hingga

ing
yang menyebutnya sebagai impeachment.
akhirnya berhenti, maka kata yang digunakan
Impeachment, adalah kata yang biasa ditujukan
sebagai judul tulisan adalah pemakzulan, bukan
kepada seorang kepala negara, dalam hal ini
impeachment yang hanya terbatas pada proses
presiden. Kata impeachment sendiri dalam
dakwaan/ tuduhan saja dan belum tentu yang
bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan
sebagai pemakzulan, dakwaan atau tuduhan
ind presiden yang di impeach itu akan berhenti dari
jabatannya sebagai presiden.
Impeachment, berasal dari kata aktif ”to
Dalam konteks sejarah Indonesia, telah
impeach” yang artinya adalah meminta
terjadi dua kali pemberhentian presiden
pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti
sebelum masa jabatannya berakhir, yaitu pada
V
maka konsekuensinya adalah ”removal from
kasus mantan presiden Soekarno dan mantan
office” atau pemberhentian dari jabatan. Dalam
presiden Abdurrahman Wahid. Banyak pihak
hts

artian bahwa impeachment sendiri bukanlah


menilai proses pemberhentian keduanya
hukumannya namun bagian atau tahapan dari
inkonstitusional dan hanya dipengaruhi oleh
sebuah proses yang bersifat penuntutan atas
kekuatan politik semata tanpa ada proses hukum
dasar pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
yang dilalui, tentunya hal ini cukup mengusik
presiden.1
ec

penulis yang hingga saat ini masih meyakini


Impeachment adalah suatu proses dakwaan
dengan teguh bahwa Negara Kesatuan Republik
yang diajukan oleh cabang legislatif suatu
Indonesia adalah negara yang berdasarkan
pemerintahan terhadap pejabat sipil. Secara
lR

hukum sehingga seluruh proses ketatanegaraan


hukum istilah impeachment diterapkan hanya
terutama yang termasuk kejadian luar biasa
untuk dakwaan. Dalam penggunaaan yang
seperti pemakzulan presiden haruslah diatur
umum, hal tersebut mencakup persidangan
secara jelas oleh konstitusi sebagai pedoman
terhadap terdakwa yang dilakukan cabang
na

tertinggi dalam mekanisme ketatanegaraan.


legislatif yang lebih tinggi. Seperti yang terjadi
Jur


1
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Buana Ilmu Populer,
2007), hlm. 600.

2
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.

3
Ibid.

332 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 331-342


Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Berbeda dengan Undang-Undang Dasar C. Metode Penelitian


1945 (UUD 1945) yang asli, UUD 1945 hasil

HN
Metode penelitian yang digunakan dalam
amandemen telah memuat secara khusus
penulisan ini adalah metode penelitian hukum
ketentuan-ketentuan mengenai pemberhentian
normatif, metode penelitian hukum normatif
presiden sebagai kepala negara, hal ini
pada dasarnya meneliti kaidah-kaidah hukum
tentunya sangat baik dan jika kita mengacu
dan asas-asas hukum,4 menelaah permasalahan

BP
kepada prinsip negara hukum (rechtstaat) yang
dengan berpedoman pada data sekunder
dicita-citakan, namun apa benar pengaturan
yaitu: bahan hukum primer, sekunder dan
pemakzulan presiden dalam UUD 1945
tersier. Bahan hukum primer yang dimaksud
pasca amandemen telah menjadikan proses
adalah Undang-Undang Dasar 1945, undang-
pemberhentian kepala negara di Indonesia

ing
undang, peraturan pemerintah, dan peraturan
menjadi ideal, mengingat faktor politik adalah
perundang-undangan lain yang berkaitan
hal yang sangat berpengaruh dalam proses ini.
dengan judul penelitian.
Penulis berusaha mencari jawaban, bagaimana
Bahan hukum sekunder yang dimaksud
proses hukum dan proses politik terjadi dalam
adalah doktrin, ajaran para ahli, hasil karya ilmiah
mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia
setelah perubahan UUD 1945, dan apakah
ind para ahli, berita-berita dan hasil wawancara
pihak terkait yang diperoleh dari surat kabar
ketentuan dalam pasal tentang pemakzulan
serta situs-situs internet yang relevan dengan
presiden dalam UUD 1945 pasca amandemen
judul penelitian.
yang berlaku sekarang perlu dipertahankan,
V
Data di atas dikumpulkan melalui studi
atau justru dianggap tidak penting?
kepustakaan (library research), penelurusan
hts

melalui media internet (online research),


B. Permasalahan
dalam hal ini penulis menitikberatkan dalam
1. Bagaimana proses politik dan proses hukum konteks peraturan dalam UUD 1945 yang secara
yang terjadi dalam proses pemakzulan eksplisit mengatur proses pemberhentian
presiden di Indonesia setelah perubahan presiden, hal ini harus dijelaskan dengan tegas
ec

UUD 1945? dalam konstitusi negara5, Pemakzulan presiden


2. Apakah ketentuan khusus mengenai merupakan kejadian luar biasa dan istimewa
pemakzulan presiden dalam UUD 1945 karena ditujukan kepada warga Negara yang
lR

perubahan perlu dipertahankan atau tidak? menduduki jabatan istimewa pula yaitu sebagai
Presiden. Proses peradilannya pun dilakukan
melalui forum khusus yang pada pokoknya
na

4
Bagir Manan, ”Penelitian Terapan di Bidang Hukum” (makalah, disampaikan pada Lokakarya Peranan Naskah
Jur

Akademis Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, BPHN, Jakarta, 9-11 November 1993), hlm.7.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka yaitu dengan cara menelaah permasalahan dengan berpedoman pada data sekunder.
5
Sri Soemantri mengatakan bahwa konstitusi memuat susunan struktur ketatanegaraan termasuk pembagian
tugas lembaga negara dan batas-batas kekuasaannya.

Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Eko Noer Kristiyanto) 333
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

merupakan ”forum previligiatum” atau forum D. Pembahasan


istimewa bagi warga negara yang menduduki

HN
1. Indonesia sebagai Negara Hukum dan
jabatan tertentu. Forum previligiatum adalah Demokrasi9
konsep pemberhentian pejabat tinggi negara
Indonesia adalah negara hukum. Hal
(termasuk presiden) melalui mekanisme
ini  sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat
peradilan khusus. Artinya presiden yang
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BP
dianggap melanggar hukum diberhentikan
Indonesia Tahun 1945.10 Dengan demikian, 
melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat
negara wajib menjunjung supremasi hukum
tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan
(supremacy of the law)  sebagai salah satu
konvensional dari tingkat bawah.6 Bagir Manan
sendi politik bernegara, disamping sendi-
menyebut keseluruhan proses pemakzulan ini

ing
sendi demokrasi, sendi keadilan sosial dan
sebagai peradilan tata negara.7
lain-lain sebagaimana diamanatkan oleh
Penelitian difokuskan untuk membandingkan
Konstitusi. Negara hukum seringkali diistilahkan
pengaturan dan mekanisme pemberhentian
sebagai  rechstaat  oleh ahli-ahli hukum Eropa
presiden yang dilakukan/dapat dilakukan
Barat Kontinental seperti Immanuel Kant
pada masa berlakunya UUD 1945 dan masa
ind dan Friedrich Julius Stahl pada abad 19 dan
berlakunya UUD 1945 pasca amandemen.
permulaan abad 20.11
Pemakzulan yang telah terjadi kepada dua orang
Sebagaimana dikemukakan oleh
kepala negara di Indonesia dinilai begitu sarat
Bagir Manan dalam bukunya bahwa jika
dengan aroma politis dan tidak mencerminkan
V
ditinjau dari aspek penegakan hukum  (law
proses bernegara sebagaimana prinsip negara
enforcement),  negara hukum menghendaki
hukum yang selama ini dicita-citakan. Sehingga
hts

suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang


salah satu pembeda yang paling penting
tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
antara UUD sebelum perubahan dan UUD
lain yang akan menyimpangkan hakim dari
setelah perubahan adalah tentang diaturnya
kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan
mekanisme pemberhentian presiden secara
kebenaran.12 Pedoman dan acuan terpenting
ec

eksplisit dalam UUD perubahan.8


praktik bernegara dalam negara hukum adalah
bagaimana mengimplementasikan konstitusi
lR

6
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada-Reformasi Hukum Ketatanegaraan (Jakarta: Kompas Media
na

Nusantara, 2008), hlm. 207.


7
Hamdan Zoelva, Op.Cit., hlm. viii.
8
mekanisme  yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai Pasal 7B ayat (7),digulirkan dalam
perubahan ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9
Prinsip-prinsip utama dalam bernegara masih menjadi topik temporer dalam kajian hukum ketatanegaraan,
Jur

yang paling mendasar adalah bahwa Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas ketuhanan, hukum, dan
demokrasi, seperti diutarakan oleh Prof. Arief Hidayat, hakim mahkamah konstitusi (disampaikan dalam acara
CLE (Continuing Legal Education) di Badan Pembinaan Hukum Nasional pada 30 April 2013).
10
Perubahan ketiga UUD 1945.
11
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 113.
12
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH-UII PRESS, 2004), hlm. 240.

334 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 331-342


Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

dalam konteks hubungan antara lembaga- sehingga padanya tidak dikenal sanksi pidana
lembaga negara yang ada, salah satunya adalah denda maupun kurungan. Namun demikian,

HN
presiden termasuk pula menyangkut bagaimana setelah di-impeach, seorang pejabat negara
proses pemberhentiannya. Keberadaan dapat disidangkan kembali dalam peradilan
konstitusi berkembang dari ide pemerintahan umum dengan proses penuntutan yang dimulai
yang terbatas (limited government)13 atau dari awal sesuai dengan dakwaan yang ditujukan

BP
paham konstitusionalisme agar kekuasan tidak atasnya. Proses impeachment merupakan salah
disalahgunakan.14 Menjadi perhatian utama satu kekuasaan yang dipegang oleh lembaga
dalam paham konstitusionalisme, bahwa legislatif sebagai bentuk dari fungsi kontrol
walaupun pemerintah (dalam arti luas) dibentuk parlemen atas tindak-tanduk setiap pejabat
untuk melayani kepentingan orang banyak, publik yang telah diberikan amanat oleh rakyat

ing
namun diperlukan pembatasan kekuasaan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.
ketika menjalankan kekuasaan. Apabila pejabat publik tersebut melakukan
Konstitusi memuat pembagian kekuasaan pelanggaran pada masa jabatannya dalam
dalam bentuk pembentukan lembaga-lembaga ind aturan konstitusi maupun hukum positif, maka
negara dan batas-batas kekuasaannya. terhadap yang bersangkutan dapat dihadapkan
Sri Soemantri menegaskan bahwa materi pada proses impeachment yang mengarah pada
muatan konstitusi, yaitu: adanya jaminan pemecatan yang bersangkutan dari jabatannya.
terhadap hak-hak asasi dan warga negara; Sistem presidensial merupakan sistem
ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang pemerintahan yang terpusat pada jabatan
V
bersifat fundamental; adanya pembagian dan presiden sebagai kepala pemerintahan (head of
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga government) dan kepala negara (head of state).
hts

bersifat fundamental.15 Secara umum, konstitusi Dalam sistem parlementer, jabatan kepala negara
setiap negara terdiri dari (materi muatan), (head of state) dan kepala pemerintahan (head
bagian pertama berkaitan dengan struktur of government) itu dibedakan dan dipisahkan
pemerintahan; dan bagian kedua, berkaitan satu sama lain. Kedua jabatan kepala negara
ec

dengan jaminan hak-hak asasi manusia dan kepala pemerintahan itu, pada hakikatnya,
khususnya kepada warga negara. sama-sama merupakan cabang kekuasaan
eksekutif. Oleh C. F. Strong, kedua jabatan
lR

2. Sistem Presidensial eksekutif ini dibedakan antara pengertian


Impeachment dikenal dalam negara yang nominal executive dan real executive. Kepala
menerapkan sistem pemerintahan presidensial, negara disebut oleh C.F. Strong sebagai nominal
sebagai penyeimbang dalam sistem presidensial. executive, sedangkan kepala pemerintahan
na

Sidang impeachment merupakan sidang politik, disebutnya real executive.16 Eksekutif tunggal
Jur

13
K.C. Wheare, Modern Constitution (London: Oxford University Press, 1975), hlm. 7.
14
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 57. Lord Acton
mengatakan: ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Bahwa kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut sudah pasti akan disalahgunakan.
15
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, edisi revisi (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 1.
16
CF Strong, Modern Political Constitutions (London: Sidgwick, 1960).

Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Eko Noer Kristiyanto) 335
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

dalam sistem pemerintahan presidensial tidak ketentuan mengenai pemberhentian presiden


bertanggungjawab kepada Badan Perwakilan dan/atau wakil presiden, maka kemudian

HN
Rakyat, tetapi langsung kepada rakyat karena proses terkait pemberhentian presiden dan/
dipilih langsung atau dipilih melalui badan atau wakilnya lah yang kita sebut sebagai
pemilih  (electoral college).17 Dalam sistem impeachment dalam konteks ketatanegaraan
presidensial ini kedudukan antara eksekutif Indonesia.

BP
(presiden) dan legislatif (DPR) adalah sama Sepanjang perjalanan sejarah ketatanegaraan
kuat.18 Indonesia telah terjadi pemberhentian presiden
UUD 1945 menganut sistem presidensial, sebanyak dua kali yaitu pada masa Presiden
salah satu keuntungan dari sistem presidensial Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid.
adalah, bahwa pemerintahan untuk jangka waktu Hal yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa

ing
yang ditentukan itu stabil, ini berbeda dengan ketatanegaraan tersebut ialah sengketa antara
sistem parlementer dimana pemerintahan dua lembaga negara yakni DPR yang di satu sisi
relatif mudah untuk dijatuhkan. Kelemahannya berhadap-hadapan dengan Presiden di sisi yang
adalah bahwa apa yang ditetapkan sebagai lain.
tujuan negara menurut eksekutif (presiden) bisa
ind
berbeda dengan pendapat legislatif (DPR), hal a. Presiden Soekarno
seperti inilah yang dapat membuat perselisihan Sejarah mencatat perseteruan antara DPR
besar sehingga memicu dimulainya mekanisme dengan Presiden di Indonesia yang pertama kali
impeachment.19
V
terjadi adalah pada tahun 1966-1967 dimana
Presiden Soekarno memberi progress report
3. Sejarah Pemakzulan di Indonesia
hts

kepada MPRS. Secara de facto, perkembangan


Di Indonesia telah terjadi dua kali situasi kenegaraan yang terjadi pada waktu
peristiwa pemberhentian presiden sebelum itu memang tidak memihak kepada Presiden
masa jabatannya berakhir, meskipun tidak Soekarno. Dengan kata lain, secara politis
secara eksplisit menyebut kata impeachment dukungan kepada Presiden Soekarno sangat
ec

ataupun pemakzulan, namun secara dinamika kecil atau hampir habis. Sehingga dalam Sidang
ketatanegaraan dapat dikatakan bahwa Istimewa MPRS tahun 1967, MPRS mencabut
peristiwa tersebut adalah pemakzulan. kekuasaan pemerintahan negara dari tangan
lR

Sebelum perubahan UUD 1945 Indonesia Presiden Soekarno dengan Ketetapan MPRS
memang tidak mengenal secara eksplisit dan No. XXXIII/MPRS/1967, hanya dengan alasan
redaksional mengenai kata impeachment, baik mayoritas anggota MPRS tidak menerima pidato
dalam konstitusi maupun peraturan perundang- pertanggungjawaban Presiden Soekarno, yang
na

undangan yang berlaku, namun mengenal dinamainya Nawaksara, mengenai sebab-sebab


Jur

17
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 15-17.
18
Moh. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press,
1993), hlm. 83.
19
Moh. Kusnardi dan Hamaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH
UI, 1976), hlm. 178-179.

336 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 331-342


Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

terjadinya peristiwa G 30S/PKI.20 Meskipun tidak terancam, Presiden Abdurrahman Wahid pun
ada aturan yang jelas mengenai impeachment lalu mengambil langkah politik mengeluarkan

HN
pada saat itu, dan karenanya penarikan mandat Dekrit Presiden yang menyatakan membubarkan
oleh MPRS terhadap Presiden Soekarno parlemen dan akan segera melakukan
sangat terbuka untuk diperdebatkan, jatuhnya pemilihan umum. Langkah politik presiden itu
Presiden Soekarno menunjukkan bahwa dalam dibalas oleh mayoritas anggota DPR dengan

BP
praktik ketatanegaraan Indonesia pernah terjadi tidak mengakui Dekrit Presiden tersebut dan
pemakzulan terhadap presiden.21 kemudian melakukan Memorandum Ketiga
yang dipercepat dengan agenda mencabut
b. Presiden Abdurrahman Wahid mandat terhadap presiden (impeachment)
melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001

ing
Perseteruan antara DPR dengan Presiden
yang kedua kalinya terjadi pada tahun 2001 dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001.22
dimana antara DPR hasil Pemilihan Umum tahun
1999 dengan Presiden Abdurrahman Wahid 4.
Pengaturan Pemakzulan menurut
UUD 1945 hasil amandemen
yang diangkat oleh MPR hasil Pemilu 1999 ind
mengalami perseteruan yang berlanjut mosi Amandemen ketiga UUD 1945 telah
tidak percaya DPR atas Presiden Abdurrahman memasukkan pasal-pasal mengenai proses
Wahid. Dengan argumen Presiden Abdurrahman pemberhentian presiden yaitu pasal 7A
Wahid dinilai telah melakukan pelanggaran dan 7B. Proses Impeachment terhadap
V
hukum dan konstitusi, para anggota DPR presiden di republik ini dimulai ketika DPR
kemudian mengajukan usulan memorandum menggunakan hak bertanya yang merupakan
fungsi pengawasan seperti diatur di pasal 20A
hts

yang memang diatur oleh TAP MPR Nomor III/


MPR/1978. Memorandum kepada presiden ayat (1), yang berkorelasi dengan pasal 7B
itu untuk meminta keterangan dalam kasus ayat (2) Undang-Undang-Undang Dasar 1945.
Buloggate dan Bruneigate. Keterangan yang Kemudian usulan pemberhentian tersebut
disampaikan oleh presiden dalam Memorandum diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
ec

Pertama ditolak oleh mayoritas anggota DPR diproses dan diputuskan bahwa Presiden dan/
yang berakibat harus dilakukan Memorandum atau Wakil Presiden terbukti bersalah atau tidak
Kedua. Namun pada Memorandum Kedua bersalah dengan dasar Pasal 7B ayat (4) dan ayat
lR

ini keterangan presiden tetap ditolak oleh (5). Putusan MK itu diteruskan ke DPR untuk
mayoritas anggota DPR. Dalam situasi yang diusulkan sidang kepada MPR dan dalam rapat
seperti itu, konflik politik antara presiden dan paripurna MPR dinyatakan presiden dan/atau
DPR menjadi tajam. Dalam posisi politik yang wakil presiden berhenti atau tidak berhenti dari
na

semakin terjepit dan kelanjutan kekuasaannya jabatannya.


Jur

20
Tempo, Sukarno-Paradoks Revolusi Indonesia, Seri Buku Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2010), hlm. 25.
21
Yudho Winarno. dkk. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi, 2005).
22
Ibid.

Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Eko Noer Kristiyanto) 337
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perwakilan Rakyat) dengan mengajukan usulan
perubahan Pasal 7A, impeachment dapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah

HN
dilakukan terhadap presiden dan/atau wakil melakukan pengkhianatan terhadap negara,
presiden berdasarkan alasan-alasan, yaitu: atau penyuapan, atau tindak pidana berat
a) Telah melakukan pelanggaran hukum lainnya, atupun perbuatan tercela bahkan DPR
berupa pengkhianatan terhadap Negara; b) juga berwenang menyatakan bahwa Presiden

BP
Telah melakukan korupsi; c) Telah melakukan dan/atau Wakil Presiden sudah tidak lagi
penyuapan; d) Telah melakukan tindak pidana memenuhi syarat sebagai pemimpin negara.
berat lainnya; e) Telah melakukan perbuatan DPR melalui hak pengawasannya melakukan
tercela; dan f) Telah terbukti tidak lagi proses investigasi atas dugaan-dugaan bahwa
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan

ing
wakil presiden. tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan
Definisi atas alasan impeachment tersebut sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-
di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 alasan impeachment. Setelah proses di DPR
ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun selesai, dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Yang
ind untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau
disebut ”tindak pidana berat lainnya” adalah Wakil Presiden telah melakukan tindakan
tindak pidana yang diancam dengan pidana yang tergolong alasan untuk di-impeach maka
penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Alasan- putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa
alasan pidana dalam proses pemberhentian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelum
V
presiden menurut ketentuan UUD 1945 sesuai akhirnya proses impeachment ditangani oleh
pula dengan apa yang pernah dikatakan Sri Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk
hts

Soemantri mengenai impeachment, yaitu suatu mendapat kata akhir sebagai penentu akan
pertanggungan jawab menurut hukum pidana nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden.
yang dapat mengakibatkan pertanggungan Jika MK berpendapat bahwa permohonan
jawab politik.23 Sedangkan ”perbuatan tercela” DPR mengenai dugaan pelanggaran tidak
ec

adalah perbuatan yang dapat merendahkan memenuhi ketentuan pasal 80 Undang-Undang


martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Nomor 24 Tahun 2003 maka amar putusan MK
Meski telah disebutkan dan coba didefinisikan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.24
lR

dalam ketentuan peraturan perundang- Namun sebaliknya, jika memenuhi ketentuan


undangan, kedua alasan impeachment tersebut pasal 80 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
masih memancing perdebatan wacana secara maka MK melakukan pemeriksaan terhadap
akademis yang dapat digali lebih dalam lagi. perkara tersebut untuk kemudian memutuskan
na

Proses impeachment di Indonesia melalui dengan amar putusan yang menyatakan


proses di tiga lembaga negara secara langsung. membenarkan atau tidak membenarkan
Proses yang pertama berada di DPR (Dewan permohonan DPR atas dugaan pelanggaran oleh
Jur

23
Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara (Jakarta: CV Rajawali, 1981),
hlm. 92.
24
Pasal 83 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

338 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 331-342


Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

presiden/wakil presiden.25 Mekanisme ini sesuai tuduhan melakukan pelanggaran hukum, maka
dengan salah satu kewenangan konstitusional pengadilan tersebut tetap memiliki kewenangan

HN
Mahkamah Konstitusi yaitu memutus pendapat untuk melakukannya dan tidak bertentangan
DPR dalam proses impeachment presiden dan/ dangan asas nebis in idem dalam konteks Hukum
atau wakil presiden.26 Pidana maupun Hukum Acara Pidana. Karena
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, pengadilan tersebut mengadili Presiden dan/

BP
pembahasan terhadap alasan impeachment atau Wakil Presiden dalam kapasitasnya yang
yang dituduhkan DPR adalah alasan yang berlangsung ketika digelar persidangan di MK
berangkat dari sebuah proses politik dimana adalah dalam kerangka peradilan tata negara.
kepentingan-kepentingan yang lebih bermain Sehingga MK tidak memiliki kewenangan untuk
untuk menghasilkan sebuah keputusan. Oleh menjatuhkan putusan yang berupa sanksi

ing
karena itulah, perlu adanya sebuah lembaga pidana. Hanya jika putusan yang dijatuhkan MK
negara yang memberikan legitimasi dalam adalah ”membenarkan pendapat DPR” maka
perspektif yuridis dengan memberikan DPR dapat melanjutkan proses impeachment
tafsiran atas tuduhan yang dijatuhkan kepada ind ke MPR. Suara terbanyak anggota MPR
Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. sesuai dengan prosedur yang diatur dalam
Lembaga konstitusional yang berwenang untuk Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 perubahan yang
memberikan tafsir yuridis atas tuduhan DPR akan menjadi kata akhir dalam persoalan
tersebut adalah Mahkamah Konstitusi (MK). impeachment di Indonesia.27 Putusan MPR
Pada posisi ini MK memiliki peranan yang sangat sah dengan persetujuan sekurang-kurangnya
V
strategis karena MK adalah salah satu lembaga 2/3 anggota MPR dalam rapat paripurna yang
pemegang kekuasaan kehakiman dalam dihadiri minimum 3/4 dari jumlah anggota MPR.
hts

sistem peradilan dua atap di Indonesia sesuai Hal ini menunjukkan bahwa proses pemakzulan
amanat UUD 1945 perubahan. Akan tetapi presiden tidaklah mudah, bahkan dari sudut
pada proses impeachment ini MK tidak sedang pandang politik, proses pemakzulan presiden
mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden didesain menjadi sangat sulit karena harus
ec

sebagai pribadi yang melakukan ”tindak mendapat persetujuan mayoritas mutlak.


pidana”. Tapi obyek sengketa yang menjadi
fokus pemeriksaan MK adalah pendapat DPR 5.
Pengaturan Pemakzulan dalam
konstitusi sebagai penegasan bentuk
lR

atas kinerja Presiden dan/atau Wakil Presiden


yang dianggap memenuhi Pasal 7A UUD negara hukum
1945 perubahan. Kemudian, jika terdapat Indonesia merupakan negara yang
pengadilan yang memeriksa Presiden dan/atau menganut sistem pemerintahan presidensial.
na

Wakil Presiden yang telah diberhentikan atas Hal ini meskipun tidak secara tegas dinyatakan
Jur

25
Pasal 83 Ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
26
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem
Ketatanegaraaan Republik Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006).
27
Yudho Winarno. dkk. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi, 2005).

Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Eko Noer Kristiyanto) 339
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

dalam UUD 1945, namun dapat diidentifikasi ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)  UUD Negara
dari pasal-pasal dalam UUD  yang mengandung Republik Indonesia Tahun 1945,  bahwa

HN
ciri  sistem pemerintahan presidensial. Sistem Indonesia adalah negara hukum, bahwa
pemerintahan ini menghendaki terwujudnya segala pelanggaran hukum akan mengahadapi
suatu pemerintahan yang stabil, karena konsekuensi hukum, termasuk seorang
Presiden tidak dapat dengan mudah dijatuhkan, presiden sekalipun yang dapat diberhentikan

BP
dan dimakzulkan oleh parlemen. Hal ini berbeda dari jabatannya, namun jika melihat proses
dengan apa yang terjadi saat pemakzulan dan mekanismenya tentu saja pemberhentian
presiden dalam era UUD 1945 sebelum presiden ini dibuat sedemikian rupa sehingga
perubahan yang tidak mengatur secara khusus tidak mudah dilakukan, hal ini selaras dengan
mengenai mekanisme pemberhentian presiden. sistem presidensial yang menghendaki

ing
Ketika itu, Presiden dapat diberhentikan jika terwujudnya suatu pemerintahan yang stabil.
pertanggungjawabannya tidak diterima oleh Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). mekanisme pemberhentian presiden yang
Mekanisme semacam ini jelas sangat kontradiktif diatur dalam konstitusi adalah penegasan bahwa
dengan sistem presidensial yang menghendaki
ind Republik Indonesia adalah negara hukum, ini
terjaminnya stabilitas pemerintahan, bahkan adalah suatu langkah maju dalam perspektif
praktik seperti itu cenderung menyerupai ketatanegaraan agar pemakzulan presiden yang
karakteristik sistem pemerintahan parlementer. didasari faktor non yuridis semata tak terjadi
Namun prinsip dalam menghendaki kembali dimasa yang akan datang. Namun di lain
V
terwujudnya pemerintahan yang stabil sisi, prinsip negara hukum yang menghendaki
bukan pula diartikan bahwa Presiden sebagai suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang
hts

eksekutif memiliki kekuasaan absolut dan tidak tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
terbatas, harus selalu ada mekanisme untuk lain yang akan menyimpangkan hakim dari
melakukan kontrol serta check and balances, kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan
mekanisme yang dimaksud tentu harus sesuai kebenaran serta semangat untuk menjadikan
ec

pula dengan semangat negara hukum, yang hukum sebagai putusan akhir yang berwibawa
diimplementasikan dalam sebuah peradilan dan dihormati seolah dikesampingkan
merdeka dan berwibawa serta semata-mata dalam mekanisme  pemberhentian  presiden
lR

menegakkan hukum, maka disinilah Mahkamah sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai Pasal
Konstitusi berperan dalam salah satu tahap 7B ayat (7) UUD 1945, karena dalam mekanisme
mekanisme pemakzulan presiden sesuai impeachment,  putusan Mahkamah Konstitusi
dengan kewenangan yang diatur oleh konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat
na

dan undang-undang. Selain itu, alasan-alasan mengikat. Dalam tahapan selanjutnya putusan
yang membuat seorang presiden menghadapi ini dapat saja tidak disepakati dan dianggap
konsekuensi hukum pun tentunya haruslah angin lalu oleh suara mayoritas di MPR. Terlebih
Jur

alasan-alasan hukum seperti apa yang telah tidak ada satu pun ketentuan dalam konstitusi
ditentukan oleh pasal 7A UUD 1945 hasil maupun peraturan perundang-undangan
perubahan ketiga.  Melalui perubahan ketiga lain yang mengatur secara eksplisit kekuatan
pula, terlihat suatu penegasan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini.

340 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 331-342


Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Ditambah lagi dengan masih diberikannya jauh lebih baik dengan pengaturan yang lebih
kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil jelas dan lengkap, kiranya tetap perlu terus

HN
Presiden menyampaikan penjelasan dalam dikaji secara dialektika akademis, utamanya
sidang paripurna di MPR. Artinya, putusan terkait mengenai peran dari MPR dalam
hukum dapat saja ”dikalahkan” oleh putusan putusan akhir proses pemakzulan, apakah tetap
politik. Adapun penulis berpendapat bahwa dengan putusan yang dapat bertolak belakang

BP
konsistensi sebagai negara hukum akan lebih dengan putusan hukum MK, karena penulis
terwujud bilamana proses akhir dalam rapat berpendapat putusan terkuat, yang bersifat
paripurna MPR adalah bersifat menguatkan akhir dan mengikat adalah putusan hukum yang
putusan Mahkamah Konstitusi. dikeluarkan oleh proses peradilan hukum di
MK, sehingga rapat paripurna MPR seharusnya

ing
E. Penutup hanya bersifat menguatkan dan menegaskan
Mekanisme pemakzulan presiden yang secara kenegaraan putusan MK.
berlaku saat ini adalah bentuk nyata korelasi
antara proses hukum dan proses politik dalam
ind DAFTAR PUSTAKA
praktik ketatanegaraan. Proses tersebut diawali Buku
dengan proses politik di DPR yang berlanjut Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
dengan proses hukum di MK, kemudian kembali Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Buana Ilmu
Populer, 2007).
memasuki proses politik saat memasuki
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:
V
mekanisme final di MPR. Begitupun dengan PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993).
alasan-alasan pemakzulan, kini tak hanya Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan, Mahkamah
Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam
hts

berdasarkan faktor politis dan kebijakan semata


Sistem Ketatanegaraaan Republik Indonesia
yang menjadi domain lembaga politik (MPR dan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006).
DPR) seperti dimasa lalu, namun juga harus Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada-
berdasarkan alasan pelanggaran hukum yang Reformasi Hukum Ketatanegaraan (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2008).
diuji secara yuridis oleh Mahkamah Konstitusi
ec

Kusnardi, Moh., dan Hamaily Ibrahim, Hukum Tata


(MK). Pengaturan proses dan mekanisme Negara Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum
pemakzulan dalam konstitusi dapat dikatakan TataNegara FH UI, 1976).
Mahfud M.D.,  Moh., Dasar dan Struktur
sebagai suatu langkah maju karena telah
lR

Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta:


mengedepankan prinsip-prinsip negara hukum Universitas Islam Indonesia Press, 1993).
dan demokrasi. UUD 1945 pasca amandemen Manan, Bagir,  Lembaga Kepresidenan  (Yogyakarta:
membuat pemakzulan presiden menjadi lebih Gama Media, 1999).
Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta:
sulit dan itu sejalan dengan semangat untuk
na

FH-UII PRESS, 2004).


memperkuat sistem presidensial. Langkah maju Martosoewignjo, Sri Soemantri, Pengantar
ini tentunya harus dipertahankan jika kita ingin Perbandingan Antar Hukum Tata Negara
(Jakarta: CV Rajawali, 1981).
konsisten dengan prinsip negara hukum yang
Martosoewignjo, Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem
Jur

dicita-citakan. Perubahan Konstitusi, edisi revisi (Bandung:


Meski demikian, aspek substansi dan Alumni, 2006).
mekanisme terkait pemakzulan yang kini sudah Strong, CF., Modern Political Constitutions (London:
Sidgwick, 1960).

Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Eko Noer Kristiyanto) 341
Volume 2 Nomor 3, Desember 2013

Tempo, Sukarno-Paradoks Revolusi Indonesia, Seri Zoelva, Hamdan, Pemakzulan Presiden di Indonesia
Buku Tempo (Jakarta: Kepustakaan Populer (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).

HN
Gramedia, 2010).
Wheare, K.C., Modern Constitution (London: Oxford
Peraturan
University Press, 1975).
Winarno, Yudho. dkk., Mekanisme Impeachment dan UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan)
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Mahkamah Konstitusi

BP
Konstitusi, Jakarta, 2005).

ing
V ind
hts
ec
lR
na
Jur

342 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 3, Desember 2013, hlm. 331-342

Anda mungkin juga menyukai