Anda di halaman 1dari 19

PENGARUH FAKTOR BUDAYA

TERHADAP ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS

Oleh :

Subhan
NIM 010030170 B

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Keperawatan Maternitas

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2001
DAFTAR ISI

Halaman
1. PENDAHULUAN 1
2. TINJAUAN TEORITIS 1
2.1 KONSEP BUDAYA 1
2.1.1 Pengertian 1
2.1.2 Karakteristik Kebudayaan 2
2.1.3 Unsur-Unsur Kebudayaan 3
2.1.4 Fungsi Kebudayaan 5
2.1.5 Sifat dan Hakekat Kebudayaan 5
2.1.6 Kebudayaan dan Kepribadian 6
2.1.7 Perubahan Kebudayaan 7
2.2 KONSEP KEPERAWATAN MATERNITAS 8
2.2.1 Pengertian 8
2.2.2 Ruang Lingkup Keperawatan Maternitas 8
2.2.3 Falsafah Keperawatan Maternitas 8
2.2.4 Peran Perawat Maternitas 9
3. PENGARUH FAKTOR BUDAYA TERHADAP ASUHAN
KEPERAWATAN MATERNITAS 10
3.1 Variabel-Variabel Budaya 11
3.1.1 Hubungan Kekuasaan dalam Rumah Tangga 11
3.1.2 Nilai Anak 12
3.1.3 Kepercayaan tentang Sehat-Sakit dan Perilaku Mencari
Bantuan Kesehatan 12
3.1.4 Kebiasaan/Pola Makan 13
3.2 Variabel Derajat Kesehatan Ibu dan Bayi 14
3.2.1 Angka Kematian Ibu 14
3.2.2 Angka Kematian Bayi 16
4. PENUTUP 18
DAFTAR PUSTAKA 19
PENGARUH FAKTOR BUDAYA
DALAM ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS

I. PENDAHULUAN

Keperawatan Maternitas merupakan salah satu bidang dari Ilmu Keperawatan


yang khusus membahas asuhan keperawatan klien wanita pada usia subur dan bayi
baru lahir sampai usia 28 hari (PPNI, 1999; 12-13). Salah satu kewenangan perawat
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan maternitas adalah melaksanakan pengkajian
terhadap status bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual klien.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pengaruh faktor-faktor
budaya (kultural) sebagai salah satu aspek yang perlu dikaji dalam pelaksanaan
asuhan keperawatan maternitas.

II. TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP BUDAYA

1. Pengertian
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian
kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, culture yang berarti sama dengan kebudayaan
berasal dari bahasa Latin “colore” yang berarti mengolah atau mengerjakan. Dari asal
katanya, culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengelola
alam kehidupannya.
Beberapa pengertian tentang kebudayaan telah disampaikan oleh para
ilmuwan sosial, antara lain:
1) Edward B. Tylor (1871) menyatakan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
lain-lain kemampuan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan adalah hasil belajar manusia yang diperoleh dalam masyarakatnya.
2) A. L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn (1950), setelah menjelajahi kepustakaan
dan mengumpulkan lebih dari seratus definisi menyimpulkan bahwa para ahli
cenderung membedakan antara perilaku manusia yang nyata di satu pihak
dengan nilai-nilai, kepercayaan dan persepsi manusia yang melatarbelakangi
perilaku manusia di pihak lain. Dengan demikian, Kroeber dan Kluckhohn
menyatakan bahwa kebudayaan bukan perilaku yang tampak tetapi lebih berupa
nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan manusia untuk menafsirkan
pengalamannya yang kemudian tercermin dalam perilakunya.
3) Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964) merumuskan kebudayaan
sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta manusia. Hasil karya manusia
menghasilkan teknologi atau kebudayaan kebendaan (material). Rasa yang
meliputi jiwa manusia menghasilkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang
mengatur masalah-masalah kemasyarakatan secara luas. Cipta merupakan
kemampuan mental atau kemampuan berpikir manusia yang menghasilkan
filsafat dan ilmu pengetahuan.
4) William A. Haviland (1985) menyatakan bahwa kebudayaan seperangkat
peraturan dan standar yang apabila dipatuhi oleh para anggota masyarakat akan
menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para
anggotanya.

2.1.1 Karakteristik Kebudayaan


Melalui studi perbandingan terhadap sejumlah kebudayaan para ahli
antropolgi telah berhasil memperoleh pengertian tentang karakteristik-karakteristik
pokok yang merupakan ciri dari semua kebudayaan tersebut. Karakteristik
karakteristik pokok yang telah disarikan oleh Haviland (1988; 333-342) adalah:
1) Kebudayaan adalah milik bersama:
Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku yang
menyebabkan perilaku individu dapat dipahami oleh masyakatnya. Hanya karena
memiliki kebudayaan yang sama orang yang satu dapat meramalkan dan menerima
perilaku orang lain dalam situasi tertentu. Dengan demikian masyarakat dapat
diartikan sebagai kelompok manusia yang mendiami suatu tempat yang demi
kelangsungan hidupnya saling tergantung satu dengan lainnya dan mempertahankan
budaya yang sama.
2) Kebudayaan adalah hasil belajar:
Semua kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan biologis. Ralph
Linton menyebut kebudayaan sebagai warisan sosial yang dipelajari oleh manusia

1
melalui proses enkulturasi atau tumbuh di dalam masyarakat yang mempertahankan
suatu budaya tersebut. Melalui enkulturasi inilah individu dalam masyarakat dapat
dengan tepat mengetahui bagaimana cara makan, berpakaian, berbicara dan
berperilaku secara luas sesuai dengan standar yang dpat diterima oleh
masyarakatnya.
3) Kebudayaan didasarkan pada lambang:
Kebudayaan tumbuh dan dapat dipahami oleh manusia melalui penggunaan
aspek simbolis yang terutama berupa bahasa. Dengan menggunakan bahasa, manusia
dapat menyampaikan gagasan, ekspresi emosi dan keinginan melalui simbol-simbol
yang disepakati bersama oleh suatu kelompok masyarakat.
4) Kebudayaan bersifat integral:
Sekalipun kebudayaan dapat dianalisis menjadi beberapa unsur yang
membangunnya, unsus-unsur tersebut tidak dapat berfungsi sendiri-sendiri tanpa
integrasi dengan unsur lainnya secara keseluruhan; perlu suatu tingkat keserasian
tertentu agar kebudayaan dapat berfungsi secara wajar.

2.1.2 Unsur-Unsur Kebudayaan


Kebudayaan dari setiap bangsa bahkan dari setiap kelompok masyarakat
terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda, tetapi para ahli ilmu sosial telah
mengidentifikasi unsur-unsur pokok yang ada secara universal dalam setiap
kebudayaan itu.
Melville J. Herskovits mengajukan adanya 4 unsur pokok dalam kebuyaan,
yaitu:
1) Sistem teknologi
2) Sistem ekonomi
3) Sistem keluarga
4) Sistem kekuasaan politik
Bronislaw Malinowski seorang antropolog menyebutkan adanya unsur-unsur
pokok dalam kebudayaan sebagai berikut:
1) Norma-norma yang mengatur kerjasama para anggota masyarakat
2) Organisasi ekonomi.
3) Lembaga pendidikan termasuk keluarga sebagai lembaga pendidikan yang utama.
4) Organisasi kekuatan.
Unsur-unsur pokok yang terdapat dalam semua kebudayaan lazim disebut
cultural universals yang berarti bahwa unsur-unsur tersebut dapat ditemukan pada

2
setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Kluckhon dalam bukunya Universal
Categories of Culture telah menguraikan ulasan para ahli mengenai unsur-unsur
pokok kebudayaan itu dan menyatakan bahwa ada 7 unsur kebudayaan yang dapat
dipandang sebagai cultural universals, yaitu:
1) Sistem peralatan atau perlengakapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-
alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan sebagainya).
2) Sistem ekonomi dan sistem mata pencaharian hidup (pertanian, peternakan,
sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya)
3) Sistem sosial (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan, danse bagainya)
4) Sistem bahasa (lisan dan tulisan)
5) Sistem kesenian (seni rupa, sini musik, seni tari dan sebagainya)
6) Sistem pengetahuan
7) Sistem religi (agama dan aliran kepercayaan lokal)

2.1.3 Fungsi Kebudayaan


Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak terlepas dari ikatan budaya
yang menuntun manusia bagaimana cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan
manusia untuk mempertahankan hidup merupakan warisan biologis tetapi cara untuk
memenuhi kebutuhan dituntun oleh aturan-aturan budaya yang harus dipelajarinya.
Jadi dengan demikian, kebudayaan berfungsi sebagai pola perilaku (patterns
behavior) yang menunjukkan cara-cara individu bertindak atau berkelakuan yang
sama dengan yang diharapkan oleh masyarakatnya dan harus diikuti oleh seluruh
anggota masyarakat tersebut. Pola perilaku yang tidak diharapkan oleh
masyarakatnya sering disebut sebagai kelakuan yang tidak berbudaya atau biadab.
Istilah lain yang sering disebutkan untuk menunjukkan fungsi kebudayaan adalah
designs for living atau petunjuk kehidupan (Ralph Linton) atau blueprint for
behavior.
Di samping itu, kebudayaan merupakan sarana untuk mengekspresikan
perasaan terhadap orang lain. Selanjutnya lahirlah berbagai jenis kesenian yang
bertujuan untuk menciptakan keindahan dan kesenangan bagi manusia.
Dengan demikian maka fungsi kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1982, hal. 177)
adalah :
1) Melindungi diri dari alam untuk mempertahankan hidup manusia.

3
2) Mengatur hubungan antar manusia.
3) Sebagai wadah ekspresi perasaan manusia.

2.1.4 Sifat dan Hakekat Kebudayaan


Robin M. Williams (1967) menyatakan bahwa walaupun kebudayaan antara
masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat lainnya, kebudayaan mempunyai
sifat dan hakekat yang sama, yaitu:
1) Kebudayaan melatarbelakangi dan terwujud dalam perilaku manusia.
2) Kebudayaan hidup melintasi batas generasi yang berarti bahwa kebudayaan
berkembang sebagai hasil belajar generasi yang ada dari generasi sebelumnya
dan diturunkan kepada generasi selanjutnya juga melalui proses belajar.
3) Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,
tindakan yang dapat diterima atau ditolak, tindakan-tindakan yang diizinkan atau
yang dilarang.
Penting pula dipahami tentang adanya pertentangan dikotomi yang
menyangkut kebudayaan (Melville J. Herskovits, dikutip oleh Soerjono Soekanto,
1982, hal. 178-173), yaitu:
1) Kebudayaan bersifat universal tetapi perwujudannya dilaksanakan menurut ciri-
ciri lokal yang berbeda-beda.
2) Kebudayaan bersifat stabil tetapi sekaligus dinamis yang berarti bahwa ada
keinginan untuk mempertahankan kebudayaan yang ada tetapi perubahan dan
perkembangan kebudayaan tidak dapat dihindarkan.
3) Kebudayaan sangat menentukan perjalan hidup manusia tetapi hal itu janrang
dipahami oleh manusia. Luasnya ruang lingkup kebudayaan mengakibatkan
individu tidak mungkin untuk mengetahui seluruh unsur dari kebudayaannya
sendiri.

2.1.5 Kebudayaan dan Kepribadian


Seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa kebudayaan
melatarlatarbelakangi dan terwujud dalam perilaku manusia, maka kebudayan jelas
sangat erat kaitannya dengan kepribadian manusia. Kepribadian, menurut Newcomb
merupakan organisasi sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang
perilakunya. Dengan demikian kebudayaan turut membentuk kepribadian individu
dan pada tatanan yang lebih luas juga turut membentuk kepribadian masyarakat
bahkan kepribadian suatu bangsa.

4
2.1.6 Perubahan Kebudayaan
Istilah akulturasi ditujukan untuk mengdeskripsikan proses penerimaan
unsur-unsur asing ke dalam suatu kebudayaan tanpa menyebabkan kehingan
kepribadian dari kebudayaan sebelumnya. Dengan kala lain proses perubahan
kebudayaan yang berlangsung secara aman karena disesuaikannya unsur-unsur asing
dan diterima sebagai bagian dari kebudayaan sebelumnya.
Pertanyaan klasik dalam akulturasi meliputi:
1) Unsur-unsur kebudayaan asing yang bagaimanakah yang mudah diterima?
Unsur-unsur kebudayaan asing yang mudah diterima pada umumnya adalah
unsur-unsur kebudayaan kebendaan seperti peralatan-peralatan baru yang terbukti
lebih memudahkan pekerjaan manusia, alat-alat elektronik yang lebih
memudahkan akses manusia terhadap informasi dan hiburan yang menyenangkan
dan sebagainya.
2) Unsur-unsur kebudayaan asing yang bagaimanakah yang sulit diterima?
Unsur-unsur kebudayaan yang sulit diterima adalah unsur-unsur yang
menyangkut sistem kepercayaan (seperti ideologi, falsafah hidup) dan unsur-
unsur yang sifatnya sebagai perubahan kebiasaan (seperti mengubah makanan
pokok nasi dengan makanan pokok pengganti lainnya bagi orang Indonesia)
3) Karakteristik individu yang bagaimanakah yang cepat menerima unsur-unsur
kebudayaan baru?
Pada umumnya generasi mudah dianggap sebagai kelompok yang lebih mudah
menerima kebudayaan asing karena belum terjadi internalisasi unsur-unsur
budaya lokal secara utuh. Sebaliknya, pada generasi tua, unsur-unsur budaya
lokal telah mendarah-daging sedemikian kuat sehingga sering dipandang sebagai
golongan kolot yang sangat sukar menerima unsur-unsur budaya baru.
4) Ketegangan yang bagaimanakh yang dapat ditimbulkan oleh akuturasi?
Dalam setiap proses akulturasi selalu terdapat golongan masyarakat yang sangat
sukar atau bahkan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Perubahan
dianggapnya sebagai ancaman terhadap keutuhan masyarakat. Bila golongan ini
merupakan golongan yang lebih kuat, maka proses perubahan dapat ditahannya
sebaliknya bila mereka merupakan pihak yang lemah maka merka akan
menunjukkan sikap yang tidak puas terhadap perubahan dalam masyarakatnya.
Suatu proses akulturasi yang berjalan dengan baik dalam jangka waktu
tertentu dapat menghasilkan integrasi unsur-unsur kebudayaan baru dengan unsur-

5
unsur kebudayaan lama. Dengan demikian unsur-unsur kebudayaan asing tidak lagi
dirasakan sebagai sesuatu yang berasal dari luar tetapi sudah dianggap sebagai bagian
dari kebudayaan sendiri. Sebaliknya proses akulturasi yang dipaksakan dalam waktu
yang relatif singkat tanpa melalui proses yang wajar dapat menimbulkan
kegoncangan kebudayaan (cultural shock) yang mengakibatkan warga masyarakat
mengalami disorientasi, frustrasi, perpecahan dan kekacauan.

B. KONSEP KEPERAWATAN MATERNITAS

2.1.7 Pengertian
Keperawatan Maternitas merupakan salah satu bidang dari Ilmu Keperawatan
yang khusus membahas asuhan keperawatan klien wanita pada usia subur dan bayi
baru lahir sampai usia 28 hari (PPNI, 1999; 12-13).

2.1.8 Ruang Lingkup Keperawatan Maternitas


Keperawatan maternitas ditujukan kepada:
1) Wanita usia subur pada masa hamil, persalinan dan masa nifas.
2) Neonatus (bayi baru lahir samapi usia 28 hari) dalam keadaan sehat.
3) Pasangan usia subur dalam hal peningkatan kesehatan reproduksi.

2.1.9 Falsafah Keperawatan Maternitas


1) Keperawatan maternitas dipusatkan pada:
a. Keluarga dan masyarakat dengan memberikan asuhan keperawatan holistik.
b. Menghargai klien dan keluarga.
c. Menyadari bahwa klien, keluarga dan masyarakat berhak menentukan
perawatan yang sesuai untuk dirinya.
2) Setiap individu berhak lahir sehat-optimal yang berarti bahwa wanita hamil dan
bayi yang dikandungnya, wanita pada masa persalinan dan wanita pada masa
nifas berhak atas pelayanan kesehatan.
3) Pengalaman kehamilan, persalinan dan nifas dengan gangguan kesehatan yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan krisis situasi.
4) Kehamilan dan persalinan adalah peristiwa yang normal dan alamiah sehingga
partisipasi dari keluarga sangat dibutuhkan untuk kepentingan kesehatan ibu dan
bayi.
5) Awal kehamilan merupakan awal bentuk interaksi keluarga.

6
6) Sikap, nilai dan perilaku sehat setiap individudipengaruhi oleh latar belakang
budaya, agam dan kepercayaan.
7) Perawat maternitas berfungsi sebagai advokat klien yang membela dan
melindungi hak klien.
8) Mempromosikan kesehatan merupakan tugas penting perawat maternitas untuk
melindungi generasi penerus.
9) Keperawatan maternitas memberi tantangan bagi peran perawat dan merupakan
faktor utama dalam mempromosikan derajat kesehatanindividu, kelaurga dan
masyarakat.
10) Yakin bahwa penelitian keperawatan dapat menambah pengetahuan dalam
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan maternitas.

2.1.10 Peran Perawat Maternitas


Peran adalah seperangkat perilaku yang diharapkan berkaitan dengan suatu
standar, merefleksikan tujuan dan nilai yang dilaksanakan pada situasi tertentu
(Conley, 1974).
Tugas perawat maternitas adalah:
1) Membantu klien memperoleh kemabali kesehatannya.
2) Membantu klien yang sehat mempertahankan kesehatannya.
3) Membantu klien yang tidak bisa disembuhkan untuk mencegah maslah lebih
lanjut.
4) Membantu klien yang menghadapi ajal untuk mendapatkan perlakuan secara
manusiawi.
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, maka peran perawat maternitas
adalah:
1) Sebagai pelaksana asuhan keperawatan :
a. Memiliki kemampuan khusus untuk menanggulangi masalah klien
b. Memberikan bantuan dengan sikap dan tindakan yang menunjukkan perhatian
dan penerimaan diri klien sebagai manusia utuh.
2) Sebagai pendidik, perawat melakukan upaya pendidikan kesehatan untuk
membantu meningktkan perilaku dan pola pikir klien sehingga lebih sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan.
3) Sebagai pembela klien, perawat melindungi klien untuk memperoleh hak dan
keamanan dalam pelayanan kesehatan.
4) Sebagai komunikator, perawat mengumpulkan, mengolah dan memberikan

7
informasi yang perlu kepada klien.
5) Sebagai penasehat, perawat membantu klien dalam pengambilan keputusan untuk
pemecahan masalah klien.
6) Sebagai inovator, perawat bertindak sebagai pembaharu, kreatif, berinisiatif,
cepat tanggap dan senantiasi mengikuti perkembangan informasi.

PENGARUH FAKTOR BUDAYA TERHADAP ASUHAN KEPERAWATAN


MATERNITAS

Faktor budaya adalah konsep abstrak yang sangat luas ruang lingkupnya
sehingga membutuhkan penelitian-penelitian khusus terutama bila hendak dikaitkan
dengan pelaksanaan asuhan keperawatan maternitas. Kepustakaan kaya akan kajian
sosial dan antropologis tentang kebudayaan tetapi sangat terbatas yang membahas
khusus pengaruh faktor budaya terhadap keperawatan maternitas.
Untuk itu penulis mencoba menyajikan variabel-variabel budaya yang perlu
diteliti lebih lanjut karena mungkin berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak
langsung terhadap tingkat kematian ibu dan tingkat kematian bayi sebagai indikator
yang tidak hanya menggambarkan keberhasilan keperawatan maternitas tetapi
bahkan sudah digunakan secara luas untuk menggambarkan kemajuan pelayanan
kesehatan secara umum.

C. Variabel-Variabel Budaya

Meskipun banyak ahli telah menggunakan berbagai variabel yang berbeda-


beda dalam meneliti pengaruh faktor budaya terhadap kesehatan tetapi kelompok
determinan yang terpenting dalam hal ini antara lain adalah:

3.1.1 Hubungan Kekuasaan dalam Rumah Tangga.

Dalam masyarakat tradisional, selain diberi tanggung jawab penuh untuk


mengasuh anak, seorang ibu biasanya dapat juga mempunyai kekuasaan dalam
mengambil keputusan tentang alokasi sumber daya (misalnya keperluan sandang dan
pangan) untuk dirinya dan anaknya (Safilios Rotchild, 1980). Seringkali pola
pengambilan keputusan dalam keluarga melampaui batas keluarga inti dan keputusan

8
diambil oleh orang yang lebih tua misalnya kakek, nenek, paman atau bahkan harus
melalui musyawarah keluarga besar.
Di Indonesia belum ada data resmi penelitian yang menjelaskan pengaruh
pola hubungan kekuasaan dalam rumah tangga terhadap kesehatan ibu dan bayi,
tetapi patut diduga bahwa terjadinya keterlambatan pengambilan keputusan,
keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan dan keterlambatan mendapatkan
pertolongan seorang ibu maternal antara lain disebabkan oleh pola hubungan
kekuasaan dalam rumah tangga sebagaiman digambarkan di atas.
Caldwell (1979) mengemukakan bahwa satu perubahan penting yang
dihasilkan oleh meningkatnya pendidikan kaum ibu adalah suatu pergeseran
hubungan kekuasaan dalam rumah tangga ke tangan ibu yang terutama penting dalam
pengambilan keputusan kesehatan atas dirinya dan anak-anaknya.

3.1.2 Nilai Anak


Walaupun variabel ini biasanya dikaitkan dengan penelitian fertilitas terdapat
banyak penelitian yang menghubungkan antara nilai anak dengan kelangsungan
hidup anak (Scrimshaw, 1978; Simmons, 1982). Dilihat dari segi ekonomi, nilai
keuntungan yang diharapkan dari investasi atau upaya keluarga untuk
mempertahankan kelangsungan hidup anak.
Pada masyarakat yang menganggap nilai anak laki-laki lebih tinggi daripada
wanita, terdapat bukti bahwa mortalitas anak perempuan lebih tinggi daripada anak
wanita sebagaimana dibuktikan oleh para peneliti di daerah pedesaan Bangladesh,
Amman dan Yordania yang berhubungan langsung dengan perbedaan makanan.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa nilai anak berbanding lurus dengan upaya
keluarga mempertahankan hidupnya dan berbanding terbalik dengan angka
mortalitasnya.
Kelompok masyarakat yang menganut garis keturunan ibu (matrilineal) lebih
mengharapkan anak perempuan dan sebaliknya pada kelompok masyarakat yamg
menganut garis keturunan ayah (patrilineal) lebih menginginkan anak laki-laki. Di
Indonesia adalah fakta bahwa masih ada suami yang tega meninggalkan isterinya
karena dianggap tidak mampu memberikan keturunan dengan jenis kelamin yang
diinginkannya. Paritas yang tinggi mungkin pula disebabkan oleh faktor yang sama
sehingga seorang ibu tidak akan berhenti melahirkan sebelum lahirnya anak dengan
jenis kelamin yang diharapkan. Sudah jelas bahwa paritas yang tinggi merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu.

9
3.1.3 Kepercayaan tentang Sehat-Sakit dan Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan
Kepustakaan antropologi kaya akan data tentang berbagai kepercayaan
masyarakat tentang penyebab penyakit dan bagaimana kepercayaan tersebut
mempengaruhi perilaku mencari bantuan kesehatan. Hal ini meliputi praktek-praktek
pencegahan penyakit melalui upacara ritual, pemilihan terapi dan penyembuh yang
diyakininya, berbagai tabu dan pantangan yang malah sering merugikan kesehatan
bila dilihat dari segi ilmu kesehatan modern (Fabrega, 1972; Kleinman, 1975).
Salah satu manifestasi buruk dari variabel ini adalah rendahnya pemanfaatan
fasilitas kesehatan modern termasuk dalam pelayanan keperawatan maternitas di
Indonesia. Kepercayaan yang kuat terhadap kemampuan dukun beranak
menyebabkan rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
meskipun berbagai program dan proyek berbiaya besar telah dilaksanakan.

3.1.4 Kebiasaan/Pola Makan


Adat dan pola diet yang dipilh dan diikuti manusia mungkin adalah salah satu
selera manusia yang paling ditentukan oleh kebudayaan yang dibuktikan oleh adanya
aneka pola makan yang berbeda dalam berbagai kelompok masyarakat di dunia.
Karena diet ibu selama hamil dan menyusui adalah faktor yang berpengaruh
langsung terhadap kesehatan ibu dan bayi, maka hal terutama perlu diperhatikan dan
diteliti lebih lanjut.
Perhatian terhadap pola makan di negara berkembang dianggap penting
terutama karena dalam masyarakatnya terdapat banyak pantangan dan pembatasan
makan justeru pada saat hamil, menyusui dan masa sakit yang secara ilmu kesehatan
modern malah dianggap merugikan (Grant, 1982).

Masih banyak lagi variabel-variabel budaya yang harus diteliti lebih lanjut
untuk dapat menjelaskan bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan pada umumnya
dan dampaknya terhadap kesehatan ibu-anak secara khusus misalnya pola mata
pencaharian hidup, sistem religi yang samapai batas tertentu termasuk lingkup
kebudayaan, kepercayaan terhadap sistem kesehatan modern, kepercayaan terhadap
sistem pendidikan modern dan sebagainya

10
3.2 Variabel Derajat Kesehatan Ibu dan Bayi

Keperawatan maternitas sebagaimana juga budaya adalah konsep yang


abstrak dan sangat luas sehingga perlu dirinci ke dalam varibel-variabel yang lebih
operasional dan memungkinkan pengukuran. Karena itu dalam makalah ini, penulis
menggunakan indikator derajat kesehatan ibu dan bayi sebagai fokus pelayanan
asuhan keperawatan maternitas yang lazim diukur melalui angka kematian ibu dan
angka kematian bayi.

3.2.1 Angka Kematian Ibu


Berbagai definisi telah dikemukakan baik oleh lembaga kesehatan maupun
para ahli tentang angka kematian ibu, antara lain:
1) Kematian ibu (maternal mortality) adalah kematian dari setiap wanita waktu
hamil, persalinan dan 90 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun
tanpa memperhitungkan usia kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk
mengakhiri kehamilan (WHO, ….)
2) Kematian ibu (maternal mortality) adalah kematian dari setiap wanita waktu
hamil, persalinan dan dalam 42 hari setelah terminasi kehamilan tanpa
mempertimbangkan lamanya serta dimana kehamilan tersebut berlangsung
(FIGO, 1973)
3) Angka kematian ibu (maternal mortality rate) adalah jumlah kematian maternal
diperhitungkan terhadap 1.000, 10.000 atau 100.000 kelahiran hidup atau
persalinan (Rustam Mochtar, 1992).
4) Angka proporsi penyebab spesifik kematian ibu (cause specific proportional
maternity rate) adalah jumlah kematian karena suatu penyakit tertentu selama
masa tertentu per jumlah kematian karena semua sebab kematian dalam waktu
yang sama dikalikan 100 (Rustam Mochtar, 1992).
Sebagai gambaran keadaan kesehatan maternitas di Indonesia, berikut
disajikan daftar jumlah persalinan, jumlah kematian ibu dan angka kematian ibu
pada 12 rumah sakit pendidikan di Indonesia.

11
DAFTAR JUMLAH PERSALINAN, JUMLAH KEMATIAN IBU DAN ANGKA
KEMATIAN IBU PADA 12 RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DI INDONESIA
(JUNI 1977-JANUARI 1980)

AKI per 10.000


Tempat Jumlah Persalinan Jumlah Kematian
Persalinan
Medan 4.211 49 116,6
Padang 3.351 3 9,0
Palembang 2.588 2 7,7
Jakarta 4.451 15 33,7
Bandung 5.617 23 40,9
Semarang 2.897 2 6,9
Yogyakarta 1.549 11 71,0
Malang 3.140 12 38,2
Surabaya 2.068 5 24,2
Denpasar 2.650 4 15,1
Manado 2.557 6 23,5
Ujung Pandang 989 3 30,3
Jumlah 36.062 135 37,4

Di Indonesia belum ada angka nasional yang tepat tentang kematian ibu baik
untuk suatu daerah, wilayah ataupun secara nasional karena buruknya sistem
pencatatan dan pelaporan kesehatan. Angka yang sekarang ada adalah angka
perkiraan yang diperoleh dari berbagai rumah sakit yang berkisar antara 51,6 sampai
206,3 per 10.000 persalinan (Rustam Mochtar, 1992).
Secara medis, penyebab kematian maternal dapat dibagi atas:
1) Sebab obstetrik langsung adalah kematian ibu sebagai akibat langsung dari
penyakit-penyakit kehamilan, persalinan dan nifas. Dalam hal ini dikenal trias
utama kematian maternal yaitu: perdarahan, infeksi dan eklamsi.
2) Sebab obstetrik tidak langsung adalah kematian ibu sebagai akibat penyakit non
obstetrik yang timbul selama kehamilan, persalinan dan nifas misalnya: anemi,
penyakit kardivaskuler, penyakit ginjal dan sebagainya..
3) Sebab non obstetrik adalah kematian ibu hamil, bersalin dan nifas akibat kejadian
yang tidak ada hubungannya dengan proses dan penatalaksanaan reproduksi
misalnya: kecelakaan, kebakaran, tenggelam, keracunan dan sebagainya.
4) Sebab yang tidak jelas adalah kematian ibu karena sebab yang tidak jelas dan
tidak dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok di atas.
3.2.2 Angka Kematian Bayi
Di bawah ini dijelskan beberapa definisi yang erat hubungannya dengan
kematian bayi:
1) Lahir hidup (live birth) adalah kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan hidup
pada usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat badan 1000 gram atau lebih.
2) Lahir mati (still birth) adalah kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan mati pada
usia kehamilan 28 minggu ke atas atau berat badan 1000 gram atau lebih.
3) Kematian neonatal dini (early neonatal death) adalah kematian bayi lahir hidup
dalam 7 hari pertama setelah kelahiran.
4) Kematian neonatal (neonatal death) adalah kematian bayi lahir hidup dalam 28
hari pertama setelah kelahiran.
5) Kematian janin dalam kehamilan (intrauterin fetal death) adalah kematian janin
dalam kehamilan sebelum terjadi proses persalinan pada kehamilan 28 minggu ke
atas atau berat badan janin 1000 gram ke atas.
6) Kematian janin dalam persalinan (intrapartal fetal death) adalah kematian janin
selama persalinan berlansung pada kehamilan 28 minggu ke atas atau berat badan
janin 1000 gram ke atas.
7) Kematian perinatal (perinatal mortality) adalah jumlah lahir mati ditambah
jumlah kematian neonatal dini.
8) Angka kematian perinatal (perinatal mortality rate) adalah jumlah lahir mati
ditambah jumlah kematian neonatal dini per jumlah kelahiran hidup dikali 1000.
Sebagai gambaran keadaan kematian perinatal di Indonesia berikut disajikan
daftar angka perinatal di beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia.

1
DAFTAR ANGKA KEMATIAN PERINATAL
DI BEBERAPA RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DI INDONESIA

Penulis/Sumber Rumah Sakit Periode AKP per 1.000


Tjay RSUP P, Medan 1963-1966 83,7
Sarjunas RSP, Medan 1978-1982 93,6
Suwarno RSCM, Jakarta 1971 173,7
Trisna Widjaya RSPAD, Jakarta 1979-1980 42,0
Sri Indayati RSHS, Bandung 1967-1971 90,0
Widajaya Negara RSHS, Bandung 1975-1977 126,0
Sudibjakti SRK, Semarang 1970 77,3

Sama halnya dengan data angka kematian ibu, angka kematian bayi pun
belum ada secara nasional. Data yang ada adalah laporan beberapa rumah sakit
pendidikan yang tidak dapat menggambarkan keadaan nasional pada umumnya.
Mortalitas perinatal mempunyai kaitan dengan kehidupan janin dalam
kandungan dan keadaan saat persalinan. Bila dikelompokkan, secara medis ada 5
golongan besar penyebab mortalitas perinatal, yaitu:
2) Anoksia dan hipoksia
3) Infeksi
4) BBLR dan prematur sejati
5) Trauma lahir
6) Cacat bawaan.

III. PENUTUP

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,


kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan melatarbelakangi dan
terwujud dalam perilaku manusia. Karena itu kebudayaan jelas berpengaruh
dalam upaya manusia mempertahankan kesehatannya.
Berbagai variabel budaya yang mungkin berpengaruh terhadap kesehatan
ibu dan anak perlu diteliti lebih lanjut, terutama menyangkut:
1) Pola hubungan kekuasaan dalam rumah tangga.
2) Nilai anak
3) Kebiasaan/pola makan
4) Kepercayaan tentang sehat-sakit dan perilaku mencari bantuan kesehatan

1
DAFTAR PUSTAKA

Foster, G. M. dan Anderson, B. G. (1986), Antropologi Kesehatan, UI Press, Jakarta.

Haviland, W. A. (1988), Antropologi, 4th ed., Erlangga, Jakarta

Koentjaraningrat dan Loedin (1985), Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan


Kesehatan, Gramedia, Jakarta
Mochtar, R. (1992), Sinopsis Obstetri; Obstetri Sosial, EGC, Jakarta.

Muzaham, F. (1995), Sosiologi Kesehatan, UI Press, Jakarta

PPNI (1999), Keperawatan dan Praktek Keperawatan, DPPP PPNI, Jakarta

Smet, B. (1994), Psikologi Kesehatan, Gramedia, Jakarta

Soekanto, S. (1982), Sosiologi; Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai