Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS

SEPTEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

SKABIES

Oleh :

AFFANDI HAFID

105505400419

Pembimbing :

Dr. dr. Hj. Sitti Musafirah, Sp.KK

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Kulit

dan kelamin)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:

Nama : AFFANDI HAFID

Judul Lapsus : SKABIES

Telah menyelesaikan laporan kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di

Bagian Ilmu kesehatan kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Makassar, September 2020

Pembimbing,

Dr. dr. Hj. Sitti Musafirah, Sp.KK

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan kasus dengan

judul “Skabies” ini dapat terselesaikan. Salam dan shalawat senantiasa tercurah

kepada baginda Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan

pedoman hidup yang sesungguhnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing Dr. dr. Hj. Sitti

Musafirah, Sp.KK, yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang

sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya lapsus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan

kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini, baik dari isi maupun

penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis

harapkan demi penyempurnaan referat ini.

Demikian, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembaca secara umum

dan penulis secara khususnya.

Wassalamu Alaikum WR.WB.

Makassar, September 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I

PENDAHULUAN ...................................................................................................1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................3

A. DEFINISI ......................................................................................................3

B. EPIDEMIOLOGI ..........................................................................................3

C. ETIOLOGI ....................................................................................................4

D. PATOGENESIS ............................................................................................5

E. MANIFESTASI KLINIS ..............................................................................8

F. DIAGNOSIS ...............................................................................................12

G. DIAGNOSIS BANDING............................................................................18

H. PENATALAKSANAAN ............................................................................20

I. EDUKASI ...................................................................................................24

J. KOMPLIKASI ............................................................................................25

K. PROGNOSIS ..............................................................................................25

BAB III
iv
LAPORAN KASUS...............................................................................................26

A. IDENTITAS ................................................................................................26

B. ANAMNESIS .............................................................................................26

C. RESUME ....................................................................................................28

BAB IV

PEMBAHASAN ....................................................................................................29

BAB V

KESIMPULAN ......................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................32

v
BAB I
PENDAHULUAN

Skabies merupakan penyakit yang pertama kali ditemukan

etiologinya oleh Benomo pada tahun 1687. Skabies dari bahasa latin scabere, yang

artinya to scratch, yang dulu dikenal sebagai gatal 7 tahun, yaitu penyakit kulit

menular yang menyerang manusia dan binatang. Skabies merupakan penyakit kulit

yang endemis diwilayah beriklim tropis dan dan subtropis, merupakan penyakit

kulit menular. Skabies dalam bahasa Indonesia sering disebut kudis, orang jawa

menyebutnya gudig, sedangkan orang sunda menyebutnya budug. Penyakit ini juga

sering disebut dengan kutu badan, budukan, gatas agogo, yang disebabkan oleh

Sarcoptes scabiei varian hominis (sejenis kutu, tungau), ditandai dengan keluhan

gatal, terutama pada malam hari dan ditularkan melalui kontak langsung atau tidak

langsung melalui alas tempat tidur dan pakaian.1,3

Dalam klasifikasi WHO dikelompokkan sebagai water-related disease.

Penyebabnya adalah Sarcoptes Scabiei, yaitu kutu parasit yang mampu menggali

terowongan di kulit dan menyebabkan rasa gatal.1

Penyakit skabies ini sangat mudah sekali menular dengan kontak langsung

dan sangat gatal terutama pada malam hari. Tempet predileksi dari scabies adalah

daerah yang memiliki stratum korneum yang tipis biasanya ialah sela-sela jari

tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipatan ketiak bagian

depan, aerola mammae, umbilikus, bokong, gemitalia eksterna laki-laki, perut.1

Skabies ditularkan secara langsung dari orang ke orang melalui kontak

langsung, tetapi dapat juga secara tidak langsung. Masa inkubasi 4-6 minggu. Jenis yang

1
berat adalah skabies berkrusta (crusted scabies), dulu disebut Norwegia scabies,

biasanya terjadi pada pasien dengan imunokompremais.1

Prevalensi skabies di negara berkembang lebih tinggi dari negara maju. Di

Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di puskesmas.

Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008 adalah 5,6-

12,9% dan merupakan penyakit kulit terbanyak ketiga.2

Salah satu faktor pendukung terjadinya penyakit skabies adalah sanitasi

yang buruk dan dapat menyerang manusia yang hidup berkelompok, tinggal di

asrama, barak-barak tentara, rumah tahanan dan pesantren maupun panti asuhan

serta tempat-tempat yang lembab dan kurang mendapat sinar matahari. Selain itu

terdapat faktor yang berperan dalam penyakit kulit adalah sosial ekonomi yang

rendah, hygiene perorangan yang jelek, lingkungan yang kumuh dan perilaku yang

tidak mendukung kesehatan.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis diwilayah beriklim

tropis dan dan subtropis yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap

Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya. Ditandai gatal malam hari,

mengenai sekelompok orang, dengan tempat predileksi di lipatan kulit yang tipis,

hangat dan lembab. Gejala klinis dapat telihat polimorf tersebar diseluruh

badan.1,3

Skabies dalam bahasa Indonesia sering disebut kudis, orang jawa

menyebutnya gudig, sedangkan orang sunda menyebutnya budug. Penyakit ini

juga sering disebut dengan kutu badan, budukan, gatas agogo, yang disebabkan

oleh Sarcoptes scabiei varian hominis (sejenis kutu, tungau), ditandai dengan

keluhan gatal, terutama pada malam hari dan ditularkan melalui kontak langsung

atau tidak langsung melalui alas tempat tidur dan pakaian.3

B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi skabies di negara berkembang lebih tinggi dari di negara

maju. Di Inggris pada tahun 1997-2005, skabies terjadi pada 3 orang per 1.000

penduduk. Di Spanyol pada tahun 2012, prevalensi skabies pada imigran adalah

4,1%. Prevalensi skabies di daerah endemis di India adalah 13% dan di daerah

kumuh Bangladesh prevalensi pada anak berusia 6 tahun adalah 29%. Pada

populasi umum, prevalensi skabies di Kamboja adalah 43% dan di Chile

3
prevalensi skabies sekitar 1-5%. Di Timor Leste, survei skabies di empat

kabupaten pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi17,3%.2

Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di

puskesmas. Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008

adalah 5,6-12,9% dan merupakan penyakit kulit terbanyak ketiga. Pada tahun

2008 survei di berbagai pemukiman kumuh seperti di tempat pembuangan

sampah akhir dan rumah susun di Jakarta menunjukkan prevalensi skabies

sebesar 6,2%, di Boyolali 7,4%, di Pasuruan 8,2%, dan di Semarang 5,8%.2

Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah

kemiskinan, kepadatan penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah, sosioal

ekonomi yang rendah, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas,

keterbatasan air bersih, sanitasi yang buruk dan perilaku kebersihan yang buruk.

Tingginya kepadatan penghuni disertai interaksi dan kontak fisik yang erat

memudahkan penularan skabies. Kepadatan penghuni rumah merupakan faktor

risiko paling dominan dibandingkan faktor risiko skabies lainnya. Berdasarkan

faktor risiko tersebut prevalensi skabies yang tinggi umumnya terdapat di

asrama, panti asuhan, pondok pesantren, barak-barak tentara, penjara, dan

pengungsian.1,2,3

C. ETIOLOGI

Penyebab penyakit skabies disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Sarcoptes

scabiei termasuk kedalam filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima,

superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis.1

4
Secara morfologik tungau ini berukuran kecil, berbentuk oval,

punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen,

berwarna putih kotor dan tidak bermata. Ukuran betina berkisar antara 330-450

mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron

x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di

depan yang berakhir dengan penghisap kecil di bagian ujungnya sebagai alat

untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut

(satae), sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan

rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.1

Gambar 1. Siklus hidup Sarcoptes scabiei

D. PATOGENESIS

Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak

langsung. Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin) menjelaskan

5
mengapa penyakit ini sering menular ke seluruh anggota keluarga. Penularan

secara tidak langsung dapat melalui penggunaan bersama pakaian, handuk

maupun tempat tidur. Bahkan dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual

antar penderita dengan orang sakit.1 Yang menjadi penyebab utama gejala-gejala

pada skabies ini ialah Sarcoptes scabiei betina. Tungau betina yang mengandung

membuat terowongan pada lapisan tanduk kulit dan meletakkan telur di

dalamnya.3 Setelah kopulasi yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati,

kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali

oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi, menggali terowongan dalam

stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan

telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina

yang dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas, biasanya

dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva

ini dapat tinggal dalam terowongan pendek yang digalinya (moulting pouches),

tetapi dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang

mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus

hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12

hari.1

Aktivitas S.scabiei di dalam kulit menyebabkan rasa gatal dan

menimbulkan respon imunitas selular dan humoral serta mampu meningkatkan

IgE baik di serum maupun di kulit. Masa inkubasi berlangsung lama 4-6 minggu.

Skabies sangat menular, transmisi kontak langsung dari kulit ke kulit, dan tidak

langsung melalui berbagai benda yang terkontaminasi (seprei, sarung bantal,

6
handuk dsb). Skabies tungau dapat hidup di luar tubuh manusia selama 24-36

jam. Tungau dapat ditransmisi melalui kontak seksual, walaupun menggunakan

kondom, karena kontak melalui kulit di luar kondom. Kelainan kulit tidak dapat

hanya disebabkan oleh skabies tungau, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat

garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekreta dan

eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah investasi. Pada

saat itu, kelainan kulit kasus dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel,

urtika, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan

infeksi sekunder.1

Gambar 2. Siklus hidup Sarcoptes scabiei di dalam kulit

7
E. MANIFESTASI KLINIS

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes

scabiei sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran

klinis berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik. Diagnosis dapat

dibuat dengan menumakan 2 dari 4 Cardinal sign sebagai berikut: 1,2

1. Pruritus nokturnal

Pruritus nokturnal adalah rasa gatal terasa lebih hebat pada malam

hari karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang lebih lembab

dan panas.1 Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan

sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat terowongan.2 Sensasi

gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah.

Pada infeksi inisial, gatal timbul setelah 4 sampai 6 minggu, pada infestasi

selanjutnya, gejala dapat timbul dalam 2 hari.5

2. Sekelompok orang

Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga biasanya

mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu pula dalam sebuah pemukiman

yang padat penduduknya, skabies dapat menular hampir ke seluruh

penduduk. Di dalam kelompok mungkin akan ditemukan individu yang

hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh parasit sehingga tidak

menimbulkan keluhan klinis akan tetapi menjadi pembawa (carier) bagi

individu lain.1

8
3. Adanya terowongan (kunikulus)

Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada

kemampuannya meletakkan telur, larva dan nimfa di dalam stratum

korneum. Oleh karena itu, tungau ini sangat menyukai bagian kulit yang

memiliki stratum korneum yang relatif lebih longgar dan tipis, seperti sela-

sela jari tangan, telapak tangan bagian lateral, pergelangan tangan bagian

volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita),

umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria). Lesi yang timbul berupa

eritema, krusta, ekskoriasi, papul dan nodul. Erupsi eritematous dapat

tersebar di bagian badan sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap antigen

tungau. Bila ada infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul,

ekskoriasi dan lain-lain).2,5

Skabies menimbulkan rasa gatal hebat sehingga penderita sering

menggaruk dan timbul luka lecet yang diikuti dengan infeksi sekunder oleh

bakteri Group A Streptococci (GAS) serta S.aureus. Infeksi tersebut

menimbulkan pustul, ekskoriasi dan pembesaran kelenjar getah bening.2

Gambar 3. Lesi Skabies di Jari Tangan dan Sela Jari Tangan Berupa
Papul, Vesikel Ekskoriasi dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret.2

9
Gambar 4. Lesi Skabies di Perut Berupa Papul Eritematosa, Ekskoriasi
dan Krusta Merah Kehitaman, Multipel, Diskret.2

Gambar 5. Lesi Skabies di Bokong Berupa Papul, Erosi, Ekskoriasi,


Krusta Merah Kehitaman dan Skuama Kolaret, Multipel, Diskret

10
Gambar 6. Lesi Skabies di Penis dan Skrotum Berupa Papul Eritematosa,
Multipel, Diskret.2

Gambar 7. Tempat predileksi skabies7

Lesi yang patognomonik adalah terowongan yang tipis dan kecil

seperti benang, berstruktur linear kurang lebih 1-10 mm, berwarna putih abu-

abu, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang merupakan

hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Terowongan ini

terlihat jelas kelihatan di sela-sela jari, pergelangan tangan, dan daerah siku.

Akan tetapi, terowongan tersebut sukar ditemukan di awal infeksi karena

aktivitas menggaruk pasien yang hebat.6

4. Menemukan Sarcoptes scabiei

11
Menemukan tungau merupakan hal yang paling menunjang

diagnosis. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau. Selain

tungau dapat ditemukan telur dan kotoran (skibala).1

F. DIAGNOSIS

1) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Skabies dapat memberikan gejala khas sehingga mudah didiagnosis;

namun jika gejala klinisnya tidak khas, maka diagnosis skabies menjadi sulit

ditegakkan. Gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal hebat pada malam

hari (pruritus nokturna) atau saat udara panas dan penderita berkeringat.

Erupsi kulit yang khas berupa terowongan, papul, vesikel, dan pustul di

tempat predileksi. Meskipun gejala skabies khas, penderita biasanya datang

berobat ketika sudah dalam stadium lanjut dan tidak memiliki gejala klinis

khas lagi karena telah timbul ekskoriasi, infeksi sekunder oleh bakteri dan

likenifikasi.2

Masalah lain dalam diagnosis skabies adalah gejala klinis skabies

dapat menyerupai gejala penyakit kulit lain atau tertutup oleh penyakit lain

seperti ekzema dan impetigo sehingga diagnosis menjadi sulit. Diagnosis

mengandalkan gejala klinis kurang efisien dan hanya memiliki sensitivitas

kurang dari 50% karena sulit membedakan infestasi aktif, reaksi kulit residual,

atau reinfestasi. Deteksi terowongan dengan tinta India sudah lama dilakukan,

namun tes tersebut tidak praktis sehingga jarang digunakan. 63 Kesalahan

12
diagnosis mengakibatkan salah pengobatan dan menyebabkan penderita tidak

sembuh serta terus menerus menjadi sumber infeksi bagi lingkungannya.2

Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau atau

telurnya dipemeriksaan laboratorium namun tungau sulit ditemukan karena

tungau yang menginfestasi penderita hanya sedikit. Menurut Mellanby 16 dari

900 penderita skabies rata-rata hanya ditemukan 11 tungau per penderita dan

pada sebagian besar penderita hanya ditemukan 1-5 tungau per penderita.

Pada penelitian di sebuah pesantren di Jakarta ditemukan prevalensi skabies

sebesar 72,6% tetapi hanya ditemukan 8 tungau dari seluruh penderita.2

Jika pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tungau atau

produknya, keadaan tersebut belum dapat menyingkirkan skabies karena

tungau mungkin berada di suatu lokasi yang tidak terjangkau pada saat

pengambilan sampel. Oleh karena itu, diagnosis skabies perlu

dipertimbangkan pada setiap penderita dengan keluhan gatal yang menetap

dan apabila diagnosis klinis telah ditegakkan maka dapat diberikan terapi

presumtif lalu dilihat responsnya. Penderita dinyatakan positif menderita

skabies apabila memberikanrespons yang baik terhadap skabisida. Meskipun

demikian perlu diperhatikan bahwa respons positif terhadap pengobatan

skabies belum dapat menyingkirkan penyakit kulit lain yang bukan skabies

dan respons negatif belum dapat menyingkirkan skabies karena mungkin

terdapat resistensi tungau terhadap skabisida. Karena sulit menemukan tungau

dan produknya pada pemeriksaan laboratorium maka diagnosis klinis dapat

13
ditetapkan apabila pada penderita terdapat dua dari empat tanda kardinal

skabies yaitu:1,2

 Pruritus nokturna

 Terdapat sekelompok orang yang menderita penyakit yang sama,

misalnya dalam satu keluarga atau di pemukiman atau di asrama.

 Terdapat terowongan, papul, vesikel atau pustul di tempat predileksi yaitu

sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak

bagian depan, areola mamae (perempuan), umbilikus, bokong, genitalia

eksterna (lakilaki), dan perut bagian bawah. Perlu diingat bahwa Pada

bayi, skabies dapat menginfestasi telapak tangan dan telapak kaki bahkan

seluruh badan.

 Menemukan tungau pada pemeriksaan laboratorium.1,2

2) Pemeriksaan penunjang

Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau

melalui pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara

antara lain:2

1. Kerokan kulit

Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang

diperkirakan akan ditemukan tungau yaitu papul atau terowongan yang

baru dibentuk dan utuh. Selanjutnya papul atau terowongan ditetesi minyak

mineral lalu dikerok dengan skalpel steril yang tajam untuk mengangkat

bagian atas papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di kaca objek,

14
ditetesi KOH, ditutup dengan kaca penutup kemudian diperiksa dengan

mikroskop.2

Gambar 8. Sarcoptes scabiei dewasa dilihat dengan mikroskop

2. Mengambil tungau dengan jarum

Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing

ditusukkan ke dalam terowongan yang utuh (pada titik yang gelap, kecuali

pada orang kulit hitam pada titik yang putih), digerakkan secara tangensial

ke ujung lainnya, kemudian dikeluarkan. Tungau akan memegang ujung

jarum dan dapat diangkat keluar. Tungau terlihat pada ujung jarum sebagai

parasit yang sangat kecil dan transparan.2

3. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)

Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari

dan jari telunjuk, dengan menjepit lesi menggunakan ibu jari dan telunjuk,

puncak lesi diiris dengan scalpel steril nomor 15 dilakukan sejajar dengan

permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi

perdarahan dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas objek

15
lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop. Dapat pula

diperiksa dilakukan pewarnaan HE pada sediaan.2

b
a

Gambar 9. Sarcoptes scabiei dalam epidermis (panah) dengan pewarnaan HE.

4. Tes tinta Burowi (Burrow ink test)

Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan

selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Burrow ink test

menunjukkan hasil positif apabila tinta masuk ke dalam terowongan dan

membentuk gambaran khas berupa garis zig zag. Burrow ink test adalah

pemeriksaan untuk mendeteksi terowongan, bukan untuk mendeteksi

tungau dan produknya.2

5. Apusan kulit

Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada

lesi dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di

atas gelas objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan

diperiksa dengan mikroskop.2

16
6. Dermoskopi

Dermoskopi adalah teknik pengamatan lapisan kulit dermis

superfisial secara in vivo. Dermoskop menggunakan medium liquid yaitu

minyak, air atau alkohol atau cahaya terpolarisasi yang memungkinkan

observasi langsung ke kulit tanpa terganggu refleksi cahaya di kulit

sehingga dapat memberikan gambaran rinci setiap lapisan epidermis

sampai dermis papiler superfisial dan mengidentifikasi keberadaan

terowongan.

Pada pemeriksaan dermoskopi tungau skabies tampak berbentuk

segitiga yang diikuti garis terowongan di epidermis seperti gambaran

pesawat jet, layang-layang atau spermatozoid. Area akral seperti sela sela

jari tangan dan pergelangan tangan merupakan tempat yang paling baik

untuk dilakukan pemeriksaan dermoskopi, namun bagian kulit lain yang

mempunyai papul kemerahan dengan terowongan utuh juga harus

diperiksa.

7. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Pemeriksaan skabies dengan polymerase chain reaction (PCR),

dapat menjadi salah satu metode deteksi S.scabiei. Dengan teknik PCR

diagnosis skabies menjadi lebih mudah karena sensitif terhadap amplifikasi

enzimatik fragmen gen dari material parasit yang sedikit. PCR merupakan

metode untuk identifikasi parasit yang akurat, mengetahui karakteristik

gen parasit, diagnosis infeksi parasit, mengetahui isolasi dan karakteristik

17
gen yang terekspresi, mendeteksi resistensi obat, perkembangan

rekombinasi vaksin DNA dan analisis keseluruhan genom parasit.

Dari berbagai cara pemeriksaan di atas, kerokan kulit merupakan

cara yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling

memuaskan. Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan

khusus dan jarang berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi

dan letak tungau sulit diketahui. Apusan kulit mudah dilakukan tetapi

memerlukan waktu lama karena dari satu lesi harus dilakukan 6 kali

pemeriksaan sedangkan pemeriksaan dilakukan pada hampir seluruh lesi.

Tes tinta Burowi jarang memberikan hasil positif karena biasanya

penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi sekunder

sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki tinta

atau salep.2

G. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit skabies juga ada yang menyebutnya sebagai the great imitator

karena dapat mencakup hampir semua dermatosis pruritik berbagai penyakit

kulit dengan keluhan gatal. Adapun diagnosis banding yang biasanya mendekati

adalah prurigo, pedikulosis corporis, dermatitis :1

1. Prurigo, berupa papul-papul yang gatal, predileksi pada bagian ekstensor

ekstremitas.

18
Gambar 10. Prurigo nodularis6

2. Pedikulosis korporis : Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan

untuk menghilangkan rasa gatal.

Gambar 11. Pedikulosis Korporis6


3. Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menyebabkan

kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal.

19
Gambar 12. Dermatitis Kontak Alergi7

H. Tata Laksana

1. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan umum meliputi edukasi kepada pasien sebagai berikut:8

a. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.

b. Pengobatan skabiside topikal yang diberikan dioleskan di seluruh kulit,

kecuali wajah, sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur.

c. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.

d. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan teratur

dan bila perlu direndam dengan air panas. Tungau akan mati pada suhu

130o.

e. Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga

serumah.

f. Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabiside. Tidak

boleh mengulangi penggunaan skabiside yang berlebihan setelah

seminggu walaupun gatal masih dirasakan sampai 4 minggu kemudian.

g. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan

yang sama dan ikut menjaga kebersihan.

20
2. Penatalaksanaan Khusus

a. Krim Permetrin (Elimete, Acticin)

Permetrin 5% merupakan terapi topikal skabies lini pertama dengan

efektivitas mencapai 90% dan profil keamanan yang baik. Agen ini

memiliki absorpsi perkutaneus yang rendah dan terdeteksi dalam

konsentrasi rendah pada darah dan otak sehingga aman untuk dipakai pada

bayi, anak-anak, wanita hamil (kategori kehamilan B) dan menyusui.

Permetrin bekerja spesifik pada sel saraf artropod dengan mengganggu

fungsi channel natrium voltage-gated yang mengakibatkan memanjangnya

depolarisasi membran sel saraf, menghentikan neurotransmisi dan

selanjutnya terjadi paralisis serta kematian tungau.9 Oleh karena itu, obat

ini merupakan terapi pilihan lini pertama rekomendasi CDC untuk terapi

tungau tubuh. Cara pemakaiannya dengan dioleskan pada seluruh area

tubuh dari leher ke bawah dan dibilas setelah 8-14 jam. Bila diperlukan,

pengobatan dapat diulang setelah 5-7 hari kemudian. Permetrin sebaiknya

tidak digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan.1,10

b. Gamma benzene heksaklorida (Lindane)

Lindane merupakan pilihan terapi lini kedua rekomendasi CDC.10

Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus dan selaput

lender, kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan konsentrasi

tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang menyebabkan eksitasi,

konvulsi dan kematian tungau. Lindane dimetabolisme dan diekskresikan

21
melalui urin dan feses.8 Lindane memiliki angka penyembuhan hingga

98% dan diabsorbsi secara sistemik pada penggunaan topikal terutama

pada kulit yang rusak.11

Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh tubuh

dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau lotion,

termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium. Setelah

pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi setelah 1 minggu.

Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 6 tahun dan ibu hamil karen

toksis terhadap susunan saraf pusat.1

c. Presipitat Sulfur

Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk salep (2% -10%). Sulfur

merupakan terapi antiskabies tertua dengan mekanisme aksi yang belum

sepenuhnya diketahui. Diperkirakan sulfur direduksi oleh sel epidermis

atau mikroorganisme pada kulit menjadi hidrogen sulfida dan asam

parationik yang bersifat toksik terhadap tungau. Selain skabisida, sulfur

juga memiliki efek antipruritik dan antibakteri.9

Cara aplikasi salep sangat sederhana, yakni mengoleskan salep

setelah mandi atau malam hari ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam selama

tiga hari berturut-turut, kemudian dibersihkan. Keuntungan penggunaan

obat ini adalah harganya yang murah dan mungkin merupakan satu-satunya

pilihan di negara yang membutuhkan terapi massal.9 Kekurangan yang lain

ialah berbau dan mengotori pakaiaan serta kadang-kadang menimbulkan

irirtasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.1

22
d. Benzil benzoate

Benzil benzoate bersifat neurotoksik pada tungau skabies, efektif

untuk semua stadium. Digunakan sebagai 25% emulsi dengan periode

kontak 24 jam dan pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat

dikurangi menjadi 12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan

dengan baik dan teratur dan secara kosmetik bisa diterima. Efek samping

dari benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah dan

skrotum, sehingga penderita harus diingatkan untuk tidak menggunakan

secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat menyebabkan dermatitis

alergi. Kontraindikasi obat ini yaitu wanita hamil dan menyusui, bayi, dan

anak-anak kurang dari 2 tahun. Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam

pengelolaan resistant crusted skabies. Di negara-negara berkembang

dimana sumber daya yang terbatas, benzil benzoate digunakan dalam

pengelolaan skabies sebagai alternatif yang lebih murah.8

e. Krim Crotamiton (Eurax)

Crotamiton atau crotonyl-n-ethyl-o-toluidine digunakan sebagai

krim 10% atau lotion merupakan obat pilihan, mempunyai dua efek sebagai

antiskabies dan antigatal; harus dijauhkan dari mata mulut dan uretra.1

f. Ivermectin

Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh

Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotik

makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotik, diketahui

23
aktif melawan ekto dan endo parasit. Diberikan secara oral, dosis tunggal,

200 ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk skabies. 8

Jenis Obat Dosis Keterangan


Permetrin Dioleskan selama 8-14 jam, Terapi lini pertama di US dan
5% krim diulangi 7 hari kemudian. kehamilan kategori B.
Dioleskan selama 8 jam setelah Tidak dapat diberikan pada anak umur
Lindane 1%
itu dibersihkan, olesan kedua 2 tahun kebawah, wanita selama masa
lotion
diberikan 1 minggu kemudian. kehamilan, dan laktasi.
Memiliki efek anti pruritus tetapi
Crotamiton Dioleskan selama 2 hari berturut-
efektifitas tidak sebaik topikal
10% krim turut, diulangi 5 hari kemudian.
lainnya.
Aman untuk anak <2 bulan dan
Sulfur wanita hamil dan laktasi, tetapi
Dioleskan selama 3 hari lalu
precipitatum tampak kotor dalam pemakaiannya
dibersihkan.
5-10% dan data efisiensi obat in masih
kurang.
Benzyl
Dioleskan selama 24 jam lalu Efektif namun dapat menyebabkan
benzoat
dibersihkan. dermatitis pada wajah.
10% lotion
Memiliki efektifitas yang tinggi dan
Ivermectin aman. Dapat digunakan bersama
Dosis tunggal oral, bisa diulangi
200 bahan topikal lainnya. Digunakan
selama 10-14 hari.
ug/kgBB pada kasus-kasus skabies berkrusta
dan skabies resisten.
Tabel 1. Pengobatan Topikal Skabies 2
I. EDUKASI

Dalam upaya preventif, perlu dilakukan edukasi pada pasien tentang

penyakit skabies, perjalanan penyakit, penularan, cara eradikasi tungau skabies,

24
menjaga higiene pribadi, dan tata cara pengolesan obat. Rasa gatal terkadang

tetap berlangsung walaupun kulit sudah bersih. Pengobatan dilakukan pada

orang serumah dan orang disekitar pasien yang berhubungan erat.1

J. KOMPLIKASI

Infeksi sekunder pada pasien skabies merupakan akibat dari infeksi

bakteri atau karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran klinik yang ada.

Erosi merupakan tanda yang paling sering muncul pada lesi sekunder. Infeksi

sekunder dapat ditandai dengan munculnya pustul, supurasi dan ulkus. Selain itu

dapat muncul eritema, skuama dan semua tanda inflamasi lain pada ekzem

sebagai respon imun tubuh yang kuat terhadap iritasi. Nodul-nodul muncul pada

daerah yang tertutup seperti bokong, skrotum, inguinal, penis dan axilla. Infeksi

sekunder lokal sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan

biasanya mempunyai respon yang bagus terhadap topikal atau antibiotik oral,

tergantung tingkat piodermanya.4

K. PROGNOSIS

Dengan memerhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta

syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, antara lain hygiene,

serta semua orang yang berkontak erat dengan pasien harus diobati, maka

penyakit ini dapat diberantas dan prognosis baik.1

25
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. N

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Makassar

B. Anamnesis

1. Keluhan utama : Gatal

2. Anamnesis terpimpin

Perempuan, 80 tahun datang dibawa oleh keluarganya ke Balai

Kesehatan Kulit, Kelamin dan Kosmetik dengan keluhan gatal pada hampir

seluruh tubuh, gatal disertai bintik-bintik kemerahan dan bermata, gatal

membuat pasien susah tidur, riwayat keluhan yang sama dalam keluarga

(+), cucunya yang berusia 7 tahun dan 8 tahun. Pasien sudah minum CTM

tapi tidak ada perubahan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat penyakit seperti ini : disangkal

 Riwayat Pengobatan : Mengkonsumsi CTM

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Dua orang cucu pasien usia 7 tahun dan 8 tahun mengalami keluhan yang

sama

26
5. Pemeriksaan Fisik

Status Dermatologis :

Lokasi : Gneralisata

Effloresensi : Makula dan papul eritema, disertai dengan skuama halus

dan eksoriasi.

6. Pemeriksaan Penunjang (-)

7. Diagnosis

Skabies

8. Diagnosis Banding

a. Prurigo

b. Pedikulosis Corporis

9. Penatalaksanaan

Faramkologi

 Mebhydrolin Napadisilat 50mg/12jam/oral

27
 Permetrin 5% digunakan 8-14 jam

 Terapi semua keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan

permetrin

Non-farmakologi

 Merendam pakaian dan seprai dengan ari mendidih

 Menjaga kebersihan tempat tinggal

 Menjemur tempat tidur

 Menghindari pemakaian pakaian, handuk, dan tempat tidur yang sama

C. Resume

Perempuan, 80 tahun datang dibawa oleh keluarganya ke Balai

Kesehatan Kulit, Kelamin dan Kosmetik dengan keluhan gatal pada hampir

seluruh tubuh, gatal disertai bintik-bintik kemerahan dan bermata, gatal

membuat pasien susah tidur, riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (+),

cucunya yang berusia 7 tahun dan 8 tahun. Pasien sudah minum CTM tapi

tidak ada perubahan. Dari skenario didapatkan 3 dari 4 cardinal sign yang

merupakan diagnosis dari Skabies. Maka dari itu diberi penatalaksanaan

farmakologi Mebhydrolin Napadisilat 50mg/12jam, Permetrin 5% digunakan

8-14 jam, Terapi semua keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan

permetrin. Terapi Non-farmakologiyang diberikan merendam pakaian dan

seprai dengan ari mendidih, menjaga kebersihan tempat tinggal, menjemur

tempat tidur, menghindari pemakaian pakaian, handuk, dan tempat tidur yang

sama.

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan terpenuhinya 2 dari 4 tanda

kardinal kriteria diagnosis pada skabies, antara lain pruritus nokturna, community

infection, menemukan terowongan (kanalikuli) dan menemukan tungau Sarcoptes

scabiei. Pasien ini sudah dapat didiagnosis dengan skabies karena memenuhi tiga

kriteria, yaitu pruritus nokturna dimana pasien mengeluh kesulitan untuk tidur,

community infection karena dua orang cucu pasien memiliki gejala yang sama dan

menemukan terowongan (kanalikuli) diaman pada pemeriksaan fisik didapatkan

bintik-bintik kemerahan dan bermata yang dmerupakan jalan masuk atau

terowongan dari Sarcoptes scabiei itu sendiri .

Pruritus nokturna diketahui dari keluhan pasien yang kesulitan untuk tidur

dikarenakan gatalnya oleh aktifnya Sarcoptes scabiei pada malam hari. Gatal yang

muncul pada penderita ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas tungau akibat

suhu yang lebih lembab dan panas. Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap

ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat terowongan.

Community infection, dikarenakan penyakit mudah ditularkan baik melalui

kontak langsung ataupun kontak tidak langsung maka apabila ada seseorang yang

terinfeksi Sarcoptes Scabiei dapat memudahkan penularan ke orang-orang

disekitarnya. Setelah dievaluasi didapatkan ada dua orang keluarga yang keluhan

yang sama yaitu cucu yang berusia 7 tahun dan 8 tahun.

29
Dari status dermatologinya kita dapatkan bahwa terdapat lesi didaerah

trunkus dimana predileksinya jarang tetapi bisa saja diakibatkan oleh infeksi

sekunder yakni pemakaian tempat tidur bersama dengan cucunya.

Prognosis dari skabies yang diderita pasien pada umumnya baik bila diobati

dengan benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi, demikian juga

sebaliknya. Selain itu perlu juga dilakukan pengobatan kepada orang – orang

disekitar pasien yang mengalami keluhan yang sama. Upaya preventif lain yang

dapat dilakukan yaitu menjaga kebersihan individu dan lingkungan. Edukasi serta

anjuran yang dapat diberikan pada pasien ini seperti, menjaga kebersihan diri

disekitar tempat tinggal pasie, jangan menggunakan bersama pakaiaan, handuk dan

tempat tidur dengan pasien lain, jika ada keluarga terkena Skabies maka harus

mencuci semua pakaian dan seprei dan merendam dengan air mendidih kemudian

dijemur diterik sinar matahari, jangan mencampur pakaian ataupun bahan lain yang

hendak dicuci dengan pasien lain, segera periksakan apabila terdapat keluhan yang

sama disekitar tempat tinggal, berikan perhatian dan dukungan yang lebih terhadap

pasien.

30
BAB V
KESIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi

terhadap Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya. Diagnosis skabies

ditegakkan berdasarkan terpenuhinya 2 dari 4 cardinal sign kriteria diagnosis pada

skabies, antara lain pruritus nokturna, community infection, menemukan

terowongan (kanalikuli) dan menemukan tungau Sarcoptes scabiei. Pasien ini sudah

dapat didiagnosis dengan skabies karena memenuhi tiga kriteria, yaitu pruritus

nokturna, community infection dan menemukan tungau Sarcoptes scabiei. Salah

satu faktor pendukung terjadinya penyakit skabies adalah sanitasi yang buruk dan

dapat menyerang manusia yang hidup berkelompok.

Prognosis dari skabies yang diderita pasien pada umumnya baik bila diobati

dengan benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi, demikian juga

sebaliknya. Selain itu perlu juga dilakukan pengobatan kepada orang –orang

disekitar pasien yang mengalami keluhan yang sama. Upaya preventif lain yang

dapat dilakukan yaitu menjaga kebersihan individu dan lingkungan.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi, Sri Linuwih SW et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2019. Hal 130-140

2. Sungkar S. Skabies (Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan dan

Pencegahan). FK UI : Jakarta. 2016. Hal 1, 34, 49-52, 56-75

3. Mading M. Sopi IIPB. Kajian Aspek Epidemiologi Skabies Pada Manusia. Loka

Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang :

NTT. 2013. Hal 11

4. Walton SF, Currie BJ. Problems in Diagnosing Scabies, A Global Disease in

Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev. 2007: p 268-79.

5. Burkhart CG, Burkhart CN. Scabies, Other Mites and Pediculosis. In:

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, (ed).

Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, 8th ed, New York: Mc Graw

Hill. 2012: p 2569-72

6. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis

Of Clinical Dermatology. 7th Ed. Newyork. : Mcgraw Hill Medical. 2013. p 41,

706-7, 710-6.

7. Tardan MPC, Zug KA. Allergic Contact Dermatitis In: Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, (ed). Fitzpatrick’s dermatology

in general medicine, 8th ed, New York: Mc Graw Hill. 2012: p 152-5

8. Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate Med

J. 2005. Hal 7-11.

32
9. Elvina PA. Skabies Krutosa Pada Penderita HIV. FK UNUD : Denpasar. 2016.

Hal 21-23

10. Fox GN. Usatine RP. Itching Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal

Of Family Practice. 2006. p 679-84.

11. McCarthy JS. Kemp DJ. Walton SF, Currie BJ. Review Scabies: More Than

Just An Irritation. Postgrad Medical Journal. 2004. p 382-6.

33

Anda mungkin juga menyukai