Anda di halaman 1dari 8

B.

     Pemurnian Ajaran Agama (Purifikasi)

Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam gerakan Muhammadiyah adalah
gerakanPurifikasi (pemurnian) dan Modernisasi (pembaruan) atau dalam bahasa Arab
disebut‘tajdid', dua hal ini diibaratkan sebuah mata uang dengan dua permukaan yang sama nilainya.
Namun kedua ciri tersebut secara harfiah dan formulasinya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.

Pada mulanya, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan purifikasi, yaitu kembali kepada semangat dan
ajaran Islam yang murni dan membebaskan umat Islam dari Tahayul, Bid'ah dan Khurafat. [v] Cita-cita
dan gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammadiyah sendiri sebenarnya menghadapi konteks
kehidupan keagamaan yang bercorak ganda; sinkretik dan tradisional. Di Kauman, K.H. Ahmad Dahlan
berdiri ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak, ia menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili
oleh kebudayaan Jawa, dengan Kraton dan golongan priyayi sebagai pendukungnya; dan di pihak lain
menghadapi Islam-tradisional yang tersebar dipesantren-pesantrennya.[vi]

Dalam Muhammadiyah, purifikasi adalah gerakan pembaruan untuk memurnikan agama dari syirk yang


pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai transformasi sosial dari
masyarakat agraris ke masyarakat industrial, atau masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dilihat
dari segi ini sangat jelas bahwa Muhammadiyah telah memberikan suatu ideologi baru dengan suatu
pembenaran teologi industrial, dan modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri
untuk cita-cita semacam itu. Upaya Muhammadiyah untuk melakukan persiapan ke arah transformasi
itu misalnya adalah dengan melepaskan beban-beban kultural yang sampai sejauh itu dianggap dapat
menghambat kemajuan. Usaha pemurnian agama untuk membersihkan Islam dari praktek-praktek syirk,
takhayul, bid'ah dan khurafat, merupakan bukti yang menjelaskan itu.

Muhammadiyah berusaha mendongkel budaya Islam sinkritik dan Islam Tradisional sekaligus, dengan
menawarkan sikap keagamaan yang lebih puritan. Gerakan "pemurnian" (purifikasi) berarti rasionalisasi
yang menghapus sumber-sumber budaya lama untuk digantikan budaya baru, atau menggantikan tradisi
lama dengan etos yang baru. Muhammadiyah tampak sekali dengan sadar melakukan pelbagai upaya
pembaruan demi mencapai cita-cita transformasi sosialnya itu.

Perlu digaris bawahi terlebih dahulu di sini bahwa program purifikasi (Tanfizdu al-aqidah al-
Islamiyah) adalah ciri yang cukup menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah generasi awal, dan
hingga sampai saat sekarang ini. Namun harus disadari pula bahwa program purifikasi memang lebih
terfokus pada aspek aqidah (metafisik).[vii]Pemberantasan TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat)
merupakan respon konkrit Muhammadiyah terhadap Budaya setempat yang dianggap menyimpang dari
aturan aqidah Islamiyah.

Proses Islamisasi yang dilakukan Muhammadiyah tidak henti-hentinya menderukan gerakan dakwah.
Meminjam analisa Kuntowijoyo bahwa Muhammadiyah melakukan bentuk rasionalisasi Islam maupun
Jawaisme. Pada waktu itu banyak sekali kepercayaan masyarakat yang mendekati syirk,
bahkan syirk terang-terangan. Kebiasaan masyarakat Islam tradisional berupa meninta-minta restu pada
makam-makam keramat, sihir memelihara jin, dan menggunakan berbagai bentuk jimat tidak sesuai
dengan gagasan kemurnian Islam. Kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu berupa mbaurekso tempat-
tempat keramat berupa gunung, sungai, mata air, pohon, batu, dan gua. Begitu juga kepercayaan
pada lelembut penjaga desa, kuburan, rumah, sawah, dan tempat-tempat lain. Orang jawa juga percaya
pada bermacam primbon, laku misalnya, mutih (berpantang garam), dan mendhem (dikubur). Demikian
pula bermacam-macam ajian,petung (hari baik-buruk), jampi-jampi, dan perdukunan. Semuanya itu
adalah bentuk antroposentisme yang ateis dan irasional. Dengan semua yang gaib kepada termenologi
al-quran, yaitu makhluk yang bernama jin, orang akan terbebas dari perilaku yang tahayyul. Pengakuan
bahwa Tuhan adalah Maha pelindung membebaskan orang dari konsep mantra yang mekanistis. Dan
kerena Tuhan Maha Pelindung hanya dapat diseru dengan shalat, do'a, dan zikir, akibatnya ialah adanya
sistem pengetahuan teosentris. Sementara itu Islam menekankan ikhtiar yangrasional, maka yang terjadi
adalah rasionalisasi.

Selanjutnya, Muhammadiyah juga melakukan demistifikasi. Bahwa sesuatu yang berbau mistik harus


dijauhkan dari sikap umat Islam keseharian dengan cara mengubah sesuatu yang berasal dari sufisme
menjadi akhlak. Sebab konsep akhlak menjadikan agama tidak kontemplatif. Sufisme rasional
menyebabkan ketergantungan, sebab seorang guru (mursyid) adalah perantara (wasilah) bagi murid-
muridnya. Begitu juga Muhammadiyah mengajarkan etos kerja, sebagai sebuah upaya konkrit yang
dapat dirasakan hasilnya. Upaya inilah yang disebut oleh Klifford Geertz sebagai garakan tranformatif,
yakni perubahan dari kondisi masyarakat yang agraris (deso) menuju masyarakat modern, plural atau
kota. Dari pendapan ekonomi rendah menuju pendapatan ekonomi yang berkecukupan. Karena itu,
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan modernis, atau dalam kata lain, Muhammadiyah sebagai gejala
perkotaaan.

Gerakan pemurnian agama oleh Muhammadiyah nampaknya diikuti dengan beban-beban kultural.
Keutuhan masyarakat dan pemerataan pendapatan penduduk desa yang selama ini terselengara
upacara tahlil, barzanji, atau kenduri dalam masyarakat Islam tradisional mulai terancam oleh gerakan
puritanisasi itu. Begitu juga pemberantasan syirk yang berupa keyakinan-keyakinan masyarakat desa
seperti konsep mengenai ‘'sing mbau rekso" juga mulai mengguncang tertib masyarakat desa karena
keyakinan pada kekuatan-kekuatan supernatural semacam itu sangat berkaitan dengan konsep-konsep
mengenai ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan desa.[viii]

Lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa upaya pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah telah
membawa resiko dan biaya sendiri. Misalnya, gejala individualisme. Hilangnya bentuk budaya yang
mengikat masyarakat menjadi unit yang utuh seperti tampak dalam kesatuankesatuan masyarakat desa
yang mempunyai sistem pemerataan ekonomi, pemukukak solidaritas, dan kerja sama, telah
melonggarkan ikatan sosial masyarakat. Tentu pelonggoran ikatan desa bukan hanya akibat rasionalisasi
dari gerakan Muhammadiyah saja, meskipun Muhammadiyah justru memberikan sanksi ideologis
berupa pembenaran agama terhadap pelonggaran ikatan itu. Individualisme yang sepatutnya menjadi
ciri masyarakat kota masuk pula ke desa-desa, kadang-kadang tanpa ganti rugi yang memadahi hingga
menimbulkan keretakan desa; individualisme semacam itu juga tampak dalam pola tingkah laku alumni
sekolah Muhammadiyah, yaitu tidak adanya ikatan antara guru-murid, sekolah alumni, dan alumni-
alumni. Memasuki sekolah Muhammadiyah, seperti juga memasuki sekolah lain, lebih merupakan
hubungan berdasarkan kontrak daripada hubungan berdasarkan nilai atau tradisi.
Pola pendidikan pesantren, hubungan antara murid-guru, murid-pesantren, dan murid-murid, sangat
erat. Lebih-lebih lagi jika diingat bahwa dalam lingkungan budaya Islam tradisional, ikatan yang erat itu
juga mempnyai akar budaya yang kuat. Dalam konteks ini, maka gerakan purifikasi Muhammadiyah
ternyata mengakibatkan hilangnya tradisi budaya. Lalu pertanyaan sekarang adalah apakah
Muhammadiyah masih melakukan gerakan purifikasi? Ataukah justru terpurifikasi oleh arus global yang
mengelilinginya?

Gerakan purifikasi Muhammadiyah sampai saat ini masih melakukan penguatan dan penyadaran
terhadap pola kehidupan manusia. Gerakan yang tidak kalah pentingnya adalah penajaman tauhid.
Karena formulasi tauhid adalah terletak pada realitas sosial. Apapun bentuknya, tauhid menjadi titik
sentral dalam melandasi dan mendasari aktivitas. Tauhid harus diterjemahkan ke dalam realitas historis-
empiris. Ajaran agama harus diberi tafsir baru yang lebih konstektual dan elaboratif sesuai dengan
konteks ruang dan waktu. Tauhid harusnya dapat menjawab semua problematika kehidupan
modernitas, dan merupakan senjata pamungkas yang mampu memberikan alternatif baru yang lebih
anggun dan segar.

Tujuan tauhid adalah memanusiakan manusia. Karena itu, dehumanisasi merupakan tantangan tauhid
yang harus dikembalikan kepada tujuan tauhid. Ilmu sosial profetik berusaha memberikan jalan untuk
mengubah berdasarkan cita-cita profetik etik. Jadi, tujuannya adalah memberikan perubahan terhadap
masyarakatnya. Perubahan itu didasarkan pada cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi
historis sebagaimana tertera dalam surat Ali Imran ayat 110, Engkau adalah umat terbaik yang
diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman
kepada Allah.

Kontowijoyo memberikan tiga muatan dalam ayat tersebut di atas sebagai karakteristik ilmu sosial
profetik, yakni kandungan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujunnya supaya diarahkan untuk
merekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa depan.[ix]

Masih menurut Kuntowijoyo, bahwa humanisasi adalah memanusiakan manusia. Menurutnya, era


sekarang ini banyak mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial ini menjadikan kita
sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Apalagi di tengah mesin-mesin politik
dan mesin-mesin pasar. Sementara ilmu teknologi juga berkecenderungan reduksionistik  yang melihat
manusia secara parsial. Tujuan liberatif adalah liberalisasi bangsa dari kekejaman kemiskinan,
keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, yang
terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergususr oleh kekuatan ekonomi raksasa.
Kita ingin bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang kita bangun sendiri. Adapun
tujuan transendensi adalah menambah dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak
menyerah arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya sesuatu harus
dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi
bagian sah dari fitrah kemanusiaan.

 Gerakan di atas jelas nyata-nyata menjadi bidang garap Muhammadiyah, lebih-lebih dalam
mengahadapi tantangan era global. Arus budaya yang dihadapi Muhammadiyah tempo dulu dengan
sekarang jauh lebih berbeda. Sehingga tantangan yang harus dihadapi sekarang adalah memperkuat
basis keagamaan yang didukung oleh nilai-nilaisosial-religius.

Salah satu tantangan global adalah tingginya tingkat kompetitif (persaingan) disemua lini kehidupan.
Untuk itu Muhammadiyah perlu memperkokoh basis Iptek dan Imtaknya. Sebagaimana sejak awal
Muhammadiyah sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasinya adalah
meluruskan Iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya, dan umat manusia
pada umumnya. Kerja keras dan etos keilmuan warga persyarikatan yang menyatu dalam etos
keagamaan umat sangat diperlukan. Pencapaian kemampuan Iptek yang mumpuni membutuhkan sikap
mental dan pandangan hidup yang menggarisbawahi kenyataan bahwa aktivitas keilmuan bukannya
berada di luar kesadaran keagamaan.[x]

C.    Modernisasi (Tajdid)

Model gerakan Muhammadiyah yang sangat menggigit dan concern dengan cita-cita awalnya adalah
pembaruan (modernisasi atau reformasi). Modernisasi (tajdid) adalah gerakan pembaruan pemikiran
Muhammadiyah untuk mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Yang merujuk
pada Al- Qur'an dan As- Sunnah sebagai titik tolak atau landasan yang sekaligus juga memberi
pengarahan, ke arah pemikiran itu harus dikembangkan.[xi]

Secara etimologi, tajdid berarti pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi penciptaan sesuatu yang


baru, dan lain-lain yang berkaitan dengan makna itu. Maka jika dihubungkan dengan pemikiran tajdid
dalam Islam, tajdid adalah usaha dan upaya intelektual Islami untuk menyegarkan dan memperbaruhi
pengertian dan penghayatan terhadap agamanya berhadapan dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat. Kerja tajdid adalah ijtihad yang sangat strategis dalam membumikan konteks waktu dan
ruang.[xii]

Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah di dasarkan pada tiga faktor, yaitu pertama,pemahaman atau
penafsiran terhadap suatu doktrin trasendental tidak pernah bernilai mutlak benar semutlak benarnya
doktrin itu sendiri. Dalam Islam, masalah ini berkenaan kepercayaan kepada konsep Nabi terakhir pada
diri Rasulullah. Menurut konsep ini, otomatis tentang wahyu telah berakhir pada diri Rasulullah. Dengan
perkataan lain, tidak ada otoritas yang sama bobot dan statusnya dalam soal memahami setiap ajaran
yang berasal dari wahyu dengan otoritas Muhammad sebagai Rasul terakhir. Konsekwensi dari
pandangan ini ialah bahwa otoritas siapapun di bidang penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan bantuan
sunnah dan sejarah difahami secara putus terhadap masalah yang dipersoalkan.

Kedua, Islam bertujuan untuk menciptakan suatu tata sosio-politik di atas landasan etik dan moral yang
kuat dalam rangka mengaktualisasikan prinsip rahmatan lil alamin dalam ruang dan waktu.

Ketiga, tajdid dalam pemikiran dan pelaksanaan Islam pernah ditunjukkan  oleh para sahabat, terutama
Umar Ibn Khattab yang telah merubah kebijaksanaan Nabi tentang persoalan tanah di Iraq dan Mesir
yang dikuasai setelah perang Prajurit Islam menang perang.[xiii]
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid diharapkan mampu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang
selalu berubah. Tajdid lebih banyak menitik beratkan pada pemikiran secara konstektual, baik itu bidang
hukum, maupun bidang lainnya. Karena itu, Muhammadiyah tidak akan sampai kekeringan wacana yang
senantiasa setiap waktu berubah. Tajdid dipersiapkan untuk menghadapi atau mengantisipasi terjadinya
perubahan-perubahan yang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang selain
berdampak positif juga berdampak negatif. Rekayasa genetika misalnya, telah menyedot perhatian
serius dari kalangan tokoh Muhammadiyah untuk memberikan suatu batasan-batasan atau pemecahan
yang dapat dipandang menguntungkan bagi kehidupan manusia dengan merujuk pada maqasid al
syari'ah.

Dalam Muhammadiyah, ada lembaga khusus yang sengaja menangani masalah-masalah perkembangan
hukum. Lembaga itu adalah Majlis Tarjih. Lembaga tarjih menangani persoalan konrtemporer yang
selalu berkembang dan sangat menuntut adanya jawaban yang harus digariskan. Persoalan ini tidak
hanya berbau fiqh tetapi juga masalah-masalah yang lebih berdimensi sosial kemasyarakatan.

Tuntutan masyarakat agraris jauh berbeda dengan tuntutan masyarakat industri, lebih-lebih lagi pada
masyarakat industri tingkat lanjut (postindustrial society. Problem masyarakat industri sangat berbeda
dari masyarakat agraris. Pola kehidupan seperti ini akhirnya menuntut Muhammadiyah untuk
menambah Tarjih dengan Pengembangan Pemikiran Islam.

Semula yang hanya mengurusi masalah-masalah fiqh sekarang berubah menjadi lembaga yang


menangani masalah sosial-keagamaan. Isu-isu sosial-budaya, dialog agama, gender, perburuhan, dan
sebagainya adalah bidang garap Muhammadiyah sekarang. Pengembangan pemikiran Muhammadiyah
semakin meluas jangkauannya. Sehingga yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah memadukan
antara dimensi "normativitas" wahyu dengan "historisitas" pemahaman wahyu. Jadi wilayah al-ruju' ila
al-Qur'an wa al-Sunnah, dan Tajdid atau Ijtihad[xiv] berjalan sealur dan seirama.

Muhammadiyah dengan tajdidnya akan senantiasa akan relevan terhadap perubahan yang akan
bergulir. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah perangkat yang dipersipkan untuk mengantisipasi kemajuan
ilmu pengetahuian dan teknologi. Tajdid sebagai media atau sarana yang benar-benar diharapkan
mampu menyelesaikan dan meremajakan problema meskipun hal itu sama sekali baru. Dalam hal ini,
Muhammadiyah tidak akan kehilangan elan vitalnya dari permukaan, jika problem yang dihadapi dapat
terjawab secara tepat. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid berarti mengadaptasikan persoalan-
persoalan keagamaan dan sosial pada wilayah historis-empirs.

Dinamisasi yang ada pada tubuh Muhammadiyah adalah mempertautkan antara


teks"normatifitas" dengan teks "historisitas". Dua wilayah ini dalam garapan Muhammadiyah senantiasa
berjalan bersama-sama. Misalnya, K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan Surat Al-Ma'un kepada
santri-santrinya menunjukkan bukti nyata bahwa Muhammadiyah tidak hanya berputar-putar pada
wilayah teologis, tetapi Muhammadiyah berusahaconcern terhadap problem sosial yang harus
memperoleh perhatian serius. Sehingga teologi Muhammadiyah menjadi teologi sosial yang dapat
dilihat kasat mata. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Rumah Sakit), Lembaga
Pendidikan, Panti Asuhan, dan bidang-bidang sosial lainnya.
Gerakan Pemikiran Muhammadiyah: Antara Purifikasi dan Modernisasi

DITULIS OLEH MUJTAHID

http://www.muhammadiyah.or.id/id/news/print/883/gerakan-pemikiran-muhammadiyah-antara-
purifikasi-dan-modernisasi.html

Pembaharuan (Tajdid) Menurut Muhammadiyah Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang


berbasiskan agama Islam memiliki tiga identitas. Identitas pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam. Identitas kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Identitas
ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.16 Pada sub bab ini akan dijelaskan identitas ketiga.

Pada awalnya, sejak dideklarasikan oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) pada tahun 1330 H/1912 M,
Muhammadiyah tidak secara eksplisit menyebut dirinya sebagai gerakan tajdid. Namun, seiring dengan
perjalanan waktu, pada Muktamar Muhammadiyah ke 40 tahun 1990 di Yokyakarta, Muhammadiyah
secara resmi menyebut dirinya sebagai gerakan tajdid. Identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid
termaktub dalam pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah (ADM). Namun, deskripsi makna tajdid
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ADM ini tidak dijelaskan secara detail dalam pasalpasal yang lain.
Uraian secara detail tentang makna tajdid menurut Muhammadiyah dapat dirujuk pada rumusan
Muktamar Tarjih ke XXII di Malang pada tahun 1989. Secara bahasa, tajdid menurut Muhammadiyah
adalah pembaharuan. Sementara itu, menurut istilah, tajdid memiliki dua arti, pertama, bermakna
pemurnian, dan kedua, bermakna peningkatan, pengembangan, modernisasi, dan yang semakna
dengannya.17

Yang dimaksud tajdid dengan makna pemurnian menurut Muhammadiyah adalah “pemeliharaan matan
ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada alQur’an dan as-Sunnah al-Maqbûlah.”18
Tampaknya, makna tajdid ini dirumuskan karena adanya fakta amalan yang berkembang di masyarakat
yang dianggap sebagai ajaran Islam padahal, kalau ditelusuri, tidak memiliki rujukan dari al-Quran dan
as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber ajaran Islam. Merujuk pada pengertian ini, dalam sejumlah
penelusuran, ditemukan adanya amalan bid’ah, khurafat, dan takhayyul dalam praktik berislam di
kalangan umat Islam.

Tajdid dalam makna pemurnian tersebut telah menjadi gerakan yang menyertai perjalanan
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Gerakan tajdid pemurnian ini sering
bersentuhan dengan organisasi lain, yang berujung pada benturan antar kedua massa organisasi ini,
bahkan ketegangan ini masih berlangsung hingga kini meskipun intensitasnya terus berkurang.

Sementara itu, tajdid dengan makna kedua, yaitu peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang
semakna dengannya, dimaksudkan “sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah alMaqbûlah.”19 Definisi makna tajdid
yang kedua ini mengindikasikan secara kuat Muhammadiyah sebagai gerakan yang bermaksud
membangun masyarakat Muslim Indonesia yang berkemajuan dan berbasiskan ajaran Islam. Ahmad
Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah telah melihat adanya keterpurukan kaum Muslim Indonesia
dalam berbagai bidang kehidupan. Kondisi inilah yang mendorong Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah. Dengan demikian, kehadiran Muhammadiyah dijadikan Ahmad Dahlan sebagai
instrumen untuk melakukan perubahan masyarakat Muslim Indonesia yang berkemajuan dengan
berbasiskan ajaran Islam. Gagasan Ahmad Dahlan ini beralasan karena Islam di tangan Nabi telah
mampu menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan masyarakat Arab. Dengan demikian, gagasan
tajdid Muhammadiyah, baik dalam pengertian pertama maupun kedua, merupakan kritik atas praktik
berislam di Indonesia.

Kedua makna tajdid di atas, baik makna tajdid sebagai pemurnian maupun sebagai penafsiran,
pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan as-
Sunnah alMaqbûlah, menurut Muhammadiyah, pada dataran implementasinya diperlukan aktualisasi
akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.20
Penegasan ini mengisyaratkan adanya peran akal pikiran dalam pengembangan Islam untuk diterapkan
dalam rangka penafsiran Islam yang dapat mengawal jalannya sejarah kehidupan masyarakat Muslim
Indonesia yang berkemajuan. Dengan kata lain, tujuan tajdid adalah untuk menfungsikan Islam sebagai
hudan, furqân, dan rahmatan li al-’âlamîn sehingga perkembangan kehidupan masyarakat dapat
terbimbing dengan baik.21

Peran akal dalam rumusan tajdid Muhammadiyah ini mengindikasikan keterbukaan Muhammadiyah
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan untuk menafsirkan Islam sebagai petunjuk dan rahmat
(hudan wa rahmatan) dalam menghadapi tantangan kehidupan masyarakat Indonesia yang terus
berubah. Tanpa akal, ajaran Islam seperti yang termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah
tidak akan bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata untuk memandu perjalanan hidup seseorang.
Untuk menjembati antara ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah dan
kenyataan, diperlukan interpretasi melalui maksimalisasi akal pikiran.

Dalam penggunaan akal sebagai bagian dari tajdid tersebut di atas, dengan jelas disebutkan bahwa
Muhammadiyah memberikan batasan bahwa akal tersebut harus fitri dan bersih. Kriteria yang diajukan
Muhammadiyah ini agaknya merupakan bentuk kehati-hatian Muhammadiyah terhadap warganya
dalam penggunaan akal untuk menginterpterasikan Islam. Tampaknya Muhammadiyah telah
mengantisipasi untuk menghindari penggunaan akal yang berlebihan.

Tajdid bagi Muhammadiyah adalah sebuah keniscayaan untuk dilakukan di tengah kehidupan ini yang
terus berkembang. Oleh karena itu, dalam pandangan Muhammadiyah, “tajdid merupakan salah satu
watak dari ajaran Islam.”22 Penegasan Muhammadiyah ini menunjukkan bahwa Islam harus menjadi
bagian penting dari kehidupan itu sendiri. Dengan menjadikan tajdid sebagai bagian penting dari ajaran
Islam, Islam dapat berkembang dengan baik. Tampaknya, melalui pemaknaan tajdid seperti yang
dirumuskan ini, Muhammadiyah bermaksud menjadikan Islam sebagai bagian penting dari kemajuan
Indonesia di tengah kehidupan sosial yang terus berubah sebagaimana Islam di tangan Nabi yang dapat
menjadi bagian dari kemajuan bangsa Arab itu sendiri.
Oleh karena itu, Muhammadiyah sebagai gerakan di Indonesia diberi nama Muhammadiyah yang berarti
pengikut Muhammad.23 Dengan memiliki nama Muhammadiyah, diharapkan gerakan Islam yang lahir
di Yogyakarta pada tanggal 8 zulhijjah tahun 1330 H ini dapat menjadikan Islam di Indonesia seperti
Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw., yaitu Islam yang telah menjadi rahmat bagi
semesta alam.

CORAK PEMBAHARUAN MUHAMMADIYAH: Purifikasi dan Dinamisasi

Imron Rosyadi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

E-mail: imronkham40@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai