Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYAIBANI

Disusun

Sulistiyo Winarni (1656200236)

Dosen Pengampu : Zuul Fitriani Umari, S.E., M.Hi

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN RADEN FATAH PALEMBANG

2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehidupan manusia tidak lepas dari kegiatan ekonomi. Manusia dituntut untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kegiatan ekonomi, baik berupa kegiatan konsumsi,
produksi, dan distribusi. Perkembangan kegiatan ekonomi terus mengalami evolusi dari masa
ke masa. Namun, hal ini tidak akan lepas dari pengaruh para pemikir ekonom di dunia. Salah
satu sejarah pemikiran ekonomi islam yakni Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan bin
Farqad Al Syaibani, yang lebih di kenal dengan nama Al-Syaibani. Beliau mendefinisikan
kerja sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu
ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan
bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi islam adalah berbeda
dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi islam tidak semua
menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi
sangat terkait erat dengan halal haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya.
Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang atau jasa yang halal saja yang dapat disebut
sebagai aktivitas produksi.

Menurut Al-Syaibani usaha-usah perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-
menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Al-Syaibani juga menyatakan bahwa
manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Seseorang tidak akan menguasai
pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan, kalaupun manusia
berusaha keras, usia akan membatasi diri manusia. Dalam hal ini, kemaslahatan hidup
manusia sangat tergantung padanya. Oleh karena itu, Allah SWT memberi kemudahan pada
setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, sehingga manusia dapat
bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. RIWAYAT HIDUP

Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan bin Farqad Al Syaibani lahir pada tahun 132 H
(750 M) di kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah. Ayahnya
berasal dari negri Syaiban di wilayah jazirah Arab. Bersama orang tuanya, Al-Syaibani
pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota
tersebut, ia belajar Fiqih, sastra, bahasa, dan Hadist kepada para ulama setempat, seperti
Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Maghul. Pada periode ini
pula, Al Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selam 4 tahun,
yakni sampai nama yang terakhir meninggal dunia. Setelah itu, ia berguru kepada Abu Yusuf,
salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga keduanya tercatat sebagai
penyebar mazhab Hanafi.1

Dalam menuntut ilmu, AL Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al
–ra’yi, tetapi juag ulama ahl al-hadist. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana ke
berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syiria, Basyrah, dan Khurasan untuk belajar
kepada para ulama besar, seperti Malik bin An Nash, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. Ia
juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’i ketika belajar Al-Muwatta pada Malik bin Anas. Hal
tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya. Al-Syaibani menjadi lebih
banyak mengetahui berbagai Hadist yang luput dari perhatian Abu Hanifah. Dari keluasan
pendidikannya ini, ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl al –ra’yi di Irak dengan ahl
al-hadist di Madinah.2

Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada
saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini, ia mempunyai
peranan penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut
semakin mempermudahnya dalam mengembangkan Mazhab Hanafi, apalagi ditunjang
kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab negara.
Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia Khalifah Harun Ar-
Rasyid mengangkatnya sebagai hakilm di kota Riqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya

1
Adiwarman Azwar Karim., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 254.
2
Abdul Aziz Dahlan dkk., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), hal.
1686.

3
berlangsung singkat kerena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada
pengajaran dan penulisan fiqih. Al Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di
kota Al-Ray, dekat Theran, dalam usia 58 tahun.3

Keluasan ilmu-ilmu beliau tentang hadits, fikih, ushul fikih, bahasa dan segudang
pengalaman riil dalam peradilan Islam telah menempatkannya sebagai sosok ulama
intelektual yang disegani oleh para ulama lainnya yang hidup satu zaman dengannya. Imam
Syafi’i berkata:Aku tidak melihat tinta yang begitu gemuk seperti dia, aku juga tidak melihat
ruh yang lebih ringan dari padanya, dan aku tidak melihat orangyang lebih fasih dari
padanya. Jika aku mendengar ia melantunkan ayat al-Qur’an aku merasakan seolah-olah al-
Qur’an diturunkan dengan bahasanya. Aku tidak melihat orang yang lebih berakal selain
dia. Ia memenuhi mata dan hati

B. KARYA-KARYA

Dalam menuliskan pokok-pokok pemikiran fiqihnya, Al Syaibani menggunakn istihsan


sebagai metode ijtihadnya. Ia merupakan sosok ulama yang sangat produktif. Kitab-kitabnya
dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu:

a. Zhahir al-Riwayah, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu
Hanifah, antara lain:
1) al-Mabsut, dalam kitab ini dimuat berbagai pendapat Imam Hanafi dalam masalah
fiqih, baik yang disetujui oleh Imam As-Syaibani dan Imam Abu Yusuf, maupun yang
mereka al-Jami’ al-Kabir, menguraikan berbagai masalah fikih.
2) al-Ziyadat. Di susun Imam asy-Syaibani setelah al-Jami' al-Kabir, membahas tentang
persoalan-persoalan yang tidak tercakup dalam al-Jami' al-Kabir.
3) al-Jami’ al-Shaghir, memuat empat puluh masalah fiqih ,tetapi belum sistematis. Buku
ini kemudian disusun sesuai dengan bab-bab fiqh oleh Imam Abu Tahir Ad-Dibas,
ulama Mazhab Hanafi abad ke-4 H.
4) al-Siyar al-Kabir, adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup
semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin,
musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya membahas tentang
tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik,
kemanan mereka, utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb, kuda-

3
Adiwarman Azwar Karim., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 255.

4
kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang, perdamaian dan
perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata, budak, tanah yang dikuasai oleh musuh di
negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian,
kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan musuh dan
hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai.
5) al-Siyar as-Shaghir, membahas masalah yang sama dengan jilid yang sebelumnya.
Kesemuanya ini dihimpun Abi Al-Fadhl Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-
Maruzi dalam suatu kitab yang berjudul Al-Kafi.
b. Al-Nawadir, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri, seperti:
1. al-Makharij fi al-Khiyal (tentang khiyal dan jalan keluarnya);
2. ar-Radd ‘ala Ahl al-Madinah (penolakan terhadap pandangan orang-orang Madinah).
Versi kitab Al-‘Ibar Fi Khabari Man Ghabar, nama kitab ini adalah Al-Hujjah ’Ala Ahl
al-Madinah;
3. al-Atsar. Kitab ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam
dan ditanggapi oleh Imam Syafi’i. dalam kitabnya, al-Umm, Imam Syafi’I menulis
bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala
Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhamad bin Hasan asy-Syaibani;
4. al-Amali
5. Amali Muhammad fi al-Fiqh, al-Ruqayyat
6. al-Kasb.4
Al-Syaibani juga menulis beberapa buku, antara lain Kitab al-Iktisab fiil Rizq al-
Mustahab (Book on Earning a Clean Living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak
membahas berbagai aturan syariah dan ijarah, tijarah, ziraah, dan sinaah (hiring out, trade,
agriculture, and industry).5 Perilaku konsumsi ideal seorang muslim menurutnya adalah
sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku yang
kedua membahas berbagai bentuk transaksi atau menjalin kerjasama usaha dalam bisnis,
misalnya salam (prepaid order), sharikah (partnership), dan mudharabah. Buku-buku yang
ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normatifsekaligus positif, sebagaimana karya
kebanyakan sarjana muslim.6

Al-Syibani belajar kepada guru-guru terkemuka diantaranya:


4
Abdul Aziz Dahlan dkk., Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), hal.
1692.
5
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI)., Ekonomi islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2015), hal 107-108.
6
Deky Anwar., Ekonomi Mikro Islam, (Palembang: NoerFikri, 2016), hal. 65-66.

5
a. Abu Hanifah
b. Malik bin Anas
c. al-Awza’i
d. Sufyan bin ‘Uyainah
e. Auza’i

C. PEMIKIRAN EKONOMI

Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Al Syaibani, para ekonom Muslim banya


merujuk pada kitab Al-Kasb. Sebuah kitab yang lahir sebagai respons penulis terhadap sikap
zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah.secara keseluruhan, kitab ini
mengemukakan kajian mikro ekonomi yang berkisar pada teori kasb (pendapatan) dan
sumber sumbernya serta pedomanprilaku produksi dan konsumsi. Kitab tersebut termasuk
kiatb pertama di dunia islam yang membahas masalah ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan
bila Dr. Al-Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam
islam. Diantara pemikiran-pemikiran Al-Syaibani adalah sebagai berikut:

1. Al-Kasb (Kerja)

Al-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui


berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas
produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi
dalam ekonomi islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi
konvensional. Dalam ekonomi islam tidak semua menghasilkan barang atau jasa disebut
sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal
haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas
menghasilkan barang atau jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.7

Produksi suatu barang atau jasa, seperti dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan
karena suatu barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa
suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang
diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya akan hanya akan dicapai dengan
memelihara limaunsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dengan demikian, seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa

7
Adiwarman Azwar Karim., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 257.

6
yang memiliki maslahah tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep yang objektif terhadap
perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syariah, yakni memelihara
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Pandangan islam tersebut tentu jauh berbeda
dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa
mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya. Dengan kata lain,
dalam ekonomi konvensional, nilai-guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan
(wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif.8

Dalam pandangan islam, aktivitas ptroduksi merupakan bagian dari kewajiban


‘imaratul kaun, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan
dengan hal tersebut, Al-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama
produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang
pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT. Dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini
didasarkan pada dalil dalil berikut:

1. Firman Allah SWT

َ‫يرا لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ َّ ‫َّللاِ َواذْ ُك ُروا‬


ً ‫َّللاَ َك ِث‬ ْ َ‫ض َوا ْبتَغُوا ِم ْن ف‬
َّ ‫ض ِل‬ ْ ‫صالة ُ فَا ْنتَش ُِروا فِي‬
ِ ‫األر‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فَإِذَا ق‬
ِ َ‫ضي‬

Artinya:Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-
Jumu’ah [62]:10)

2. Hadist Rasulullah SAW

“Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap Muslim”

3. Amirul Mukminin Umar ibn Al-Khattab r.a. lebih mengutamakan derajat kerja dari pada
jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat mencari
sebagin karunia Allah SWT di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena
Allah SWT mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya dari pada
para mujahidin melalui firman-Nya:

ِ‫َّللا‬ َ ‫َّللاِ َوآخ َُرونَ يُقَاتِلُونَ فِي‬


َّ ‫سبِي ِل‬ ْ َ‫ض يَ ْبتَغُونَ ِم ْن ف‬
َّ ‫ض ِل‬ ِ ‫األر‬
ْ ‫َوآخ َُرونَ يَض ِْربُونَ فِي‬

8
Asafri Jaya Bakri., Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1996), hal. 71.

7
Artinya: ...Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah
dan orang-orang lain yang lain lagi berperang di jalan Allah... (Al-Muzammil
[73]:20)9

Berkenaan dengan hal tersebut, Al-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat
menunjang terlaksananya yang wajib, sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya.lebih jauh, ia
menguraikan bahwa untuk menunaikan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan kekuatan
jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri merupakan hasil mengonsumsi makanan yang
diperoleh melalui kerja keras. Dengan demikian, kerja keras mempunyai peranan yang sangat
penting dalam menunaikan suatu kewajiban dan karenanya hukum bekerja adalah wajib,
seperti halnya kewajiban thaharah ketika akan melaksanakan shalat. Disamping itu, Al-
Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum
Muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.

Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan Al-
Syaibani adalah hidup untuk meraih keridaan Allah SWT. Disisi lain, kerja merupakan usaha
untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi, dan distribusi,
yang berimplikasi secara makromeningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.dengan
demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah SWT,
hak hidup, hak keluarga, dan hak masyarakat.

Dalam konteks tersebut, negara berkewajiban untuk memimpin gerakan produtivitas


nasional. Dengan menerapkan instrumen incentive-reward and punishment, setiap komponen
masyarakat dipicu dan dipacu untuk menghasilkan sesuatu menurut bidangnya masing-
masing. Sementara itu, di sisi lain, pemerintah juga berkewajiban memayungi aktivitas
produksi dengan memberikan jaminan keamanan dan keadilan bagi setiap orang.10

2. Kekayaan dan Kefakiran

Setelah membahas kasb, fokus AL-Syaibani tertuju pada permasalahan kaya dan fakir.
Menurutnya, sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat
fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah
merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehinga

9
Euis Amalia., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok:
Gramata Publishing, 2010), hal.138.
10
Adiwarman Azwar Karim., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 259-
260.

8
mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.dalam konteks
ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi pasrah
dan meminta-minta (kafafah). Dengan demikian, pada dasarnya, Al-Syaibani menyerukan
agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Di sisi
lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam
kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama
kebaikan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.11

3. Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian

Menurut Al-Syaibani usaha-usah perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-
menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer
membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindistrian, dan jasa. Jika ditelaah lebih dalam,
usaha jasa meliputi usaha perdagangan . diantara keempat usaha perekonomian tersebut, Al-
Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari pada usaha yang lain. Menurutnya
pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam
melaksanakan berbagai kewajibannya.

Dari segi hukum, Al-Syaibani membagi usaha usaha perekonomian menjadi dua, yaitu
fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian di hukum fardu kifayah apabila
telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus
berjalan dan, jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tatanan roda perekonomian akan
hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam
kesengsaraan.

Berbagai usaha perekonomian di hukumi fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian


itu mutlak dilakukan oleh seseorng untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan
orang yang ditanggungnya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan
dirinya tidak akan terpnuhi, begitu pula orang yang ditanggaungnya, sehingga akan
menimbulkan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.12

11
Ibid., hal. 261.
12
Ibid., hal. 262.

9
4. Kebutuhan-keburtuhan Ekonomi

Al-Syaibani menyatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam


sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kcuali dengan empat perkara, yaitu
makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yang lain mengatakan bahwa
keempat hal ni adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan
untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat
hal tersebut.13

5. Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan

Al-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang


lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang
hidupnya dan, kalaupun manusia berusaha keras, usia akan membatasi diri manusia. Dalam
hal ini, kemaslahatan hidup manusia sangat tergantung padanya. Oleh karena itu, Allah SWT
memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya,
sehingga manusia dapat bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Firman Allah
SWT.

ٍ ‫ض ُه ْم فَ ْوقَ بَ ْع‬
ٍ ‫ض دَ َر َجا‬
‫ت‬ َ ‫َو َرفَ ْعنَا بَ ْع‬

Artinya: ...Dan kami telah meninggikan sebagian mereka artas sebagian yang lain beberapa
derajat... (Surat Al-Zukhruf[43]:32)14

Lebih lanjut, Al-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan orang
kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong
tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya.
Dalam konteks demikian, Allah SWT berfirman:

‫َوت َ َع َاونُوا َعلَى ْال ِب ِ ِّر َوالتَّ ْق َوى‬

Artinya: ...Dan saling menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketaqwaan... (Al-
Maidah [5]:2)15

13
Ibid., hal. 262.
14
Ibid., hal. 263.
15
Euis Amalia., Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Depok:
Gramata Publishing, 2010), hal.141-142.

10
Rasulullah SAW bersabda,

Sesungguhnya Allah SWT selalu menolong hambanya selama hambanya tersebut menolong
saudara Muslimnya (HR. Bukhari-Muslim).

Lebih jauh, Al-Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekarja dengan niat
melaksanankan ketaatan kepadanya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah
kepadanya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan
demikain, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua
aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikirannya


Asy-Syaibani hidup ketika perkembangan fikih Islam mencapai puncaknya. Pada
masanya terbentuk dua pola pemikiran fikih yang berbeda. Yang pertama adalah pola piker
ahlurra’yi yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah di Irak dan yang kedua adalah pola piker
ahlulhadis yang diwakili oleh Imam Malik di Madinah. Di kalangan pengikut mereka tidak
jarang terjadi sikap saling menyalahkan. Pengikut ahlurra’yi berpandangan bahwa hukum
Islam mengalami kemandekan di tangan ahlulhadis, karena keterbatasan mereka dalam
menggunakan ar-ra’yu (rakyu, penalaran rasional). Sebaliknya, pengikut aliran ahlulhadis
menuduh pengikut ahlurra’yi terlalu bebas memakai ijtihad melalui pendekatan nalar,
sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya secara efektif sunnah Nabi Saw. Dalam kondisi
demikianlah asy-Syaibani mencoba menjembatani pertentangan kedua kelompok tersebut.
Sebagai pendukung Mazhab Hanafi, asy-Syaibani tidak dapat melepaskan diri dari
pemaksaan istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah. Sebagai contoh, jika
penduduk suatu kota atau benteng meminta perlindungan kepada kaum muslimin, maka
menurut kias, perlindungan tersebut hanya berlaku untuk kota atau bentengnya dan tidak
mencakup seluruh sarana dan fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi, asy-Syaibani
menolak pendapat berdasarkan kias. Dalam hal ini ia beralih menggunakan istihsan.
Menurutnya, berdasarkan istihsan, perlindungan tersebut mencakup kota atau benteng beserta
seluruh sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Karena, dalam penggunaan istilah yang
umum, kata-kata qal’ah (benteng) atau bangunan, tetapi juga meliputi segala isi dan
penghuninya.
Asy-Syaibani sering menyatakan pemakaian istihsan secara eksplisit dalam beberapa
tulisannya. Terhadap hal-hal tertentu, ia sering menyatakan bahwa dirinya dan ulama Irak
lainnya meninggalkan kias dan beralih kepada istihsan. Walaupun demikian, dalam beberapa

11
hal ia menolak pendapat gurunya, Imam Abu Hanifah dan mengikuti pandangan ahlulhadis.
Misalnya dalam persoalan apakah seorang imam dapat memimpin shalat dengan posisi duduk
sedangkan makmum yang dipimpinnya shalat dengan posisi berdiri ia sependapat dengan
Imam Malik dan ahlulhadis. Ia berpendapat bahwa imam harus memimpin shalat dengan
posisi berdiri, padahal Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa imam boleh duduk dalam
memimpin makmum yang shalat dengan posisi berdiri. Asy-Syaibani mengikuti tradisi Nabi
SAW dan al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar) yang memimpin shalat dalam
posisi berdiri. Menurutnya, tidak ada satu petunjuk pun yang menyampaikan bahwa Nabi
Saw dan al-Khulafa ar-Rasyidun pernah memimpin shalat dengan posisi duduk. Karena itu,
praktek yang lebih autentik inilah yang diikuti oleh asy-Syaibani.
Ia juga tidak segan mengkritik Imam Malik dan ahlulhadis karena mereka mengabaikan
tradisi (sunnah) Rasulullah SAW yang mereka riwayatkan sendiri. Menurut sebuah riwayat
dari Imam Malik, melintas di hadapan orang yang sedang shalat tidak terlarang, sementara
Nabi SAW jelas melarangnya (HR. Ahmad bin Hanbali dan Abu Dawud). Asy-Syaibani
mengkritik hal itu, karena menurutnya Imam Malik dan orang Madinah umumnya
menyampaikan dan meriwayatkan tradisi Rasulullah SAW, sedangkan mereka sendiri tidak
mengikutinya.
Konsistensi asy-Syaibani dalam mengikuti tradisi Rasulullah SAW juga terlihat dalam
perbedaan pendapatnya dengan Imam Abu Hanifah tentang masalah ganimah (harta
rampasan perang). Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian untuk tentara berkuda sama
banyak antara tentara dan kudanya. Masing-masing mendapat satu bagian. Ia tidak mengakui
autentisitas hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa tentara berkuda mendapat tiga bagian:
dua bagian untuk kudanya dan satu bagian untuk tentara untuk tentara itu sendiri (HR. Abu
Dawud). Asy-Syaibani menolak pendapat Imam Abu Hanifah dan mendukung pendapat tiga
bagian untuk tentara berkuda, sebagaimana ditegaskan hadis di atas. Pembagian ini, menurut
asy-Syaibani meliputi satu bagian untuk biaya perawatan kuda, satu bagian untuk
kepentingan kuda dalam pertempuran, dan satu bagian lagi untuk kepentingan tentara itu
sendiri.
Pandangan asy-Syaibani ini memperlihatkan bahwa ia mempunyai pemikiran yang
independen. Menurut Fazlur Rahman (1919-1988), pemikir neomodernisme Islam asal
Pakistan, kitab as-Siyar al-Kabir yang ditulis as-Syaibani dalam masa akhir hidupnya
merupakan ijtihadnya sendiri yang timbul dari kritiknya terhadap pendapat yang berkembang
sebelumnya.

12
E. Relefansi antara teori yang dikemukakan dengan realita saat ini
Setiap manusia wajib bekerja untuk meraih rezeki Allah swt. Jika manusia tidak
bekerja, maka mereka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Oleh karena itu,
setiap orang harus mampu memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya untuk mengolah
sumber daya alam yang ada. Jika kita lihat saat ini, kewajiban untuk bekerja telah mendorong
sebagian orang berusa keras untuk mencari rizki Allah bahkan mereka berlomba-lomba
menciptakan lapangan kerja.
Namun, juga tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masih banyak sekali orang yang
tidak memiliki pekerjaan, mereka hanya berpangku tangan menanti rezeki dari Alllah. Inilah
realita yang ada, dimana masih banyak sekali orang yang bermalas-malasan untuk bekerja,
sekalipun itu adalah kewajiban mereka. Hal ini yang membuat perekonomian sulit untuk
berkembang dan tingkat kemiskinan tidak berkurang serta banyak sumber daya alam belum
dimanfaatkan.
Jika kita lihat, pertanian tetap memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Produk-produk pertanian adalah produk yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Jadi,
bisa dibayangan jika pertanian tidak ada, maka manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dan jika manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, otomatis mereka
akan mati dan aktivitas produksi di sector lain pun akan berhenti. Itulah sebabnya pertanian
tetap memegang peranan penting dalam aktivitas ekonomi atau ketersediaan lapangan kerja.
Namun, saat ini pertanian di Indonesia semakin tidak produktif. Hal ini disebabkan
karena semakin berkurangnya lahan untuk pertanian karena akibat alih fungsi lahan ke sector
pembangunan dan industry. Juga akibat kurangnya minat orang Indonesia tehadap pertanian
karena telah disibukkan dengan hal-hal lain. Bisa dibayangkan jika produktivitas pertanian di
Indonesia semakin menurun, maka akan sulit sekali untuk mendapatkan bahan pokok untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari, sehingga Indonesia akan menjadi negara importir bahan
pokok, yang seharusnya tidak terjadi melihat alam Indonesia yang luas dan cocok untuk
pertanian. Sekarang menjadi tugas kita bersama untuk berpikir keras dan melakukan
perubahan kearah yang lebih baik. Kita harus berupaya untuk membangkitkan semangat kerja
saudara-saudara kita dan menyadarkan mereka akan pentingnya pertanian, sehingga mereka
mau memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kesejahteraan bersama.
Dengan begitu maka aktivitas ekonomi akan meningkat, dan memberikan nilai positif
terhadap semua aspek. Pada dasarnya banyak cara agar pertanian di Indonesia ini cepat
berkembang, tetepi pada kenyataanya masyarakat tidak bisa melihat situasi ekonomi yang
global ini. Masyarakat hanya bisa meniru dan tidak mampu memberikan situasi ekonomi

13
yang baik untuk meingkatkan kualitas ekonomi negara ini. Coba bandingkan dengan ekonomi
yang ada di luar negeri seperti Amerika, pasti sangat jauh.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai iklim tropis, sudah seharusnya mampu
memproduksi produk-produk unggulan dan berkualitas dalam sector pertanian. Tapi nyatanya
Indonesia masih sering menginport hasil pertanian dari luar negri. Ini merupakan masalah
buat negara Indonesia. Bagamimana tidak, kalau pertanian saja harus menginpor dari luar
negri bagaimana bisa Indonesia menjadi negara yang mandiri. Jika hal ini berlalut-larut akan
mengakibatkan dampak ke aspek yang lain juga

14
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Al Syaibani menggunakn istihsan sebagai metode ijtihadnya. Ia merupakan sosok


ulama yang sangat produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan
yaitu:

A. Zhahir al-Riwayah, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu
Hanifah, antara lain:
1. al-Mabsut.
2. al-Ziyadat. Di susun Imam asy-Syaibani setelah al-Jami' al-Kabir, membahas tentang
persoalan-persoalan yang tidak tercakup dalam al-Jami' al-Kabir.
3. al-Jami’ al-Shaghir.
4. al-Siyar al-Kabir.
5. al-Siyar as-Shaghir.
Kesemuanya ini dihimpun Abi Al-Fadhl Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-
Maruzi dalam suatu kitab yang berjudul Al-Kafi.
B. Al-Nawadir, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri, seperti:
1. al-Makharij fi al-Khiyal
2. ar-Radd ‘ala Ahl al-Madinah.
3. al-Atsar.
4. al-Amali.
5. Amali Muhammad fi al-Fiqh, al-Ruqayyat
6. al-Kasb.

15
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga
Kontemporer. Depok: Gramata Publishing.

Anwar, Deky. 2016. Ekonomi Mikro Islam. Palembang: NoerFikri.

Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). 2015. Ekonomi islam. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.

Dahlan, Abdul Aziz dkk. 1997. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van
Hoeve.

Karim, Adiwarman Azhar. 2016. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

16

Anda mungkin juga menyukai