Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nuha Lathifah Nazihah

Nim : 1832032

Prodi : Bahasa Inggris

Kelas : B

Dosen Pengampu : Ibu Nurhikmah Sasna Junaidi, M.Pd

Ritual Tiban
Upacara kepercayaan adat Jawa Timur

Ritual Tiban atau tari Tiban berasal dari kata dasar “tiba” (bahasa Jawa) yang berarti “jatuh”.
Tiban mengandung arti timbulnya sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Dalam konteksnya dengan
peristiwa tersebut, maka tiban di sini menunjuk kepada hujan yang jatuh dengan mendadak terjatuh dari
langit. yang dalam percakapan sehari-hari disebut udan tiban, udan = hujan.

Tiban merupakan tari atau ritual rakyat yang turun temurun menjadi bagian kebudayaan masyarakat
Jawa Timur, terutama pada daerah Trenggalek, Blitar, Kediri dan Tulungagung. Tari Tiban selalu
dipertujukkan saat musim kemarau. Tarian tiban adalah sebuah permintaan permohonan kepada yang maha
kuasa berharap untuk diturunkanya hujan. Ada makna dalam dibalik ritual tarian tiban yaitu sebuah harapan
sebuah pesan yang luhur demi lestarinya alam. Bukanlah kekerasan yang ditonjolkan melainkan nilai-nilai
luhur atau sebuah pesan untuk menjaga keseimbangan alam.

Sejarah kemunculan

Sejarah kemunculan tiban dimulai masa kerajaan Kediri, berkuasa seorang raja yang otoriter, sang
raja ingin disebut dewa. Demikian gambaran raja Kediri yang menyebutnya Kertajaya. Sehingga rakyat
menurut perintahnya bukan karena patuh melainkan karena takut. Wilayah kerajaan Kediri termasuk
kademangan Ngimbang (sekarang Ngadiluwih) mempunyai 4 kademangan yaitu:

1. Kademangan Ngimbang
2. Megalamat
3. Jimbun
4. Ceker

Meskipun diperintah oleh sang raja yang otoriter namun keadaan masyarakat makmur, segala masalah
diselesaikan secara gotong royong. Masyarakat yang lebih dahulu panen membagi kepada tetangga, namun
sayang kepribadian yang demikian tidak dapat perhatian oleh rajanya, bahkan Brahmana pun diminta untuk
menyembah dan mendewakan dia. “Matahari berputar, siang berganti malam, sedangkan malam dapat
berganti siang”, kata para Brahmana. Artinya keadaan di dunia tidak kekal adanya yang semula kaya dapat
juga menjadi miskin, yang gagah perkasa dapat menjadi lemah tak berdaya. Begitu pula gambaran kerajaan
Kediri yang semula dalam keadaan makmur, lumbung-lumbung desa penuh padi berangsur-angsur menipis
cenderung habis. Hal ini terjadi karana kemarau berlangsung sangat panjang. Para petani menganggur karena
sawahnya tak dapat diolah, sungai-sungai mengering. Musim kemarau seakan-akan tidak ada selesainya.
Segala upaya sudah diusahakan untuk mendapatkan air, namun belum dapat memenuhi kebutuhan pengairan,
yang didapat hanya sebatas kebutuhan minum dan kebutuhan dapur.

Kemarau yang berlangsung panjang tersebut merupakan kutukan kepada manusia atas ketidak
percayaan dan ketidaktakwaan terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Untuk itu para demang bermusyawarah
dengan para Pinisepuh, beberapa usul, saran dan pendapat, untuk menebus kutukan tersebut. Rakyat
Ngimbang dengan sisa hartanya sedikit diberikan untuk digunakan sebagai syarat pelaksanaan Upacara Adat,
bagi yang masih mempunyai padi dimohon memberikan seikat, dan bagi yang memiliki lembu membawa
pecutnya sebagai lambang kekayaanya.

Setelah semua siap kemudian rakyat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Memohon
pengampun kepada kekuatan yang lebih tinggi, supranatural tersebut. Selanjutnya sebagai ritualnya
masyarakat menyiksa diri dan berjemur dipanas terik. Sarana ini dirasa belum dapat berkomunikasi dengan
kekuatan super natural, maka penyiksaan diri tersebut lebih dipertajam dengan menggunakan pecut yang
terbuat dari Sodo Aren (lidi dari tumbuhan berbuah kolang-kaling/pohonnya menghasilkan ijuk). Prosesi
ritualnya di antara para peserta upacara tradisi ini saling mencambuk secara bergiliran. Sudah barang tentu
dalam permainan ini banyak cucuran darah, karena kekhusukannya maka segala yang diderita tidak terasa [2].

Dalam suasana religi inilah kemudian turun hujan yang tidak pada musimnya. Hujan yang semacam
inilah yang disebut Hujan Tiban. kegembiraan rakyat Ngimbang beserta Pinisepuh tidak dapat digambarkan,
bersyukurlah mereka atas Rahmat-Nya. Demikian kejadian itu yang kemudian upacara tersebut dinamakan
Tiban, dan diteruskan oleh masyarakat setempat secara turun temurun, penyelenggaraannya dilaksanakan
pada setiap musim kemarau dan diselenggarakan di tengah persawahan sewaktu sawah dalam keadaan
kering. Tujuan penyelenggaraan upacara Tiban dengan harapan turunnya hujan. Sampai saat ini upacara ini
terus berlangsung meskipun telah beralih fungsi yang semula sebagai media religi berubah menjadi suatu
permainan rakyat sekaligus sebagai tontonan, sesuai perkembangan, prosesi upacaranyapun sekarang
disesuaikan semacam pertandingan ada kalah dan menangnya, dan tempat penyelenggaraannya tidak di
sawah lagi, bisa di panggung atau arena buatan semacam di alun-alun dan lainnya, untuk waktu
penyelenggaraannya oleh Pemerintah Kabupaten Kediri ditentukan 1 Suro. Karena kesenian tradisi Tiban
dikenalkan setahun sekali dalam rangka menyonsong tahun baru jawa (1 Suro).

Peserta dan pelaksana

Tari Tiban terbagi menjadi 2 kelompok, masing-masing dipimpin 1 orang wasit atau biasa disebut
Landang atau Plandang. Dalam ritual ini selalu diiringi dengan alunan musik layaknya gamelan lengkap yang
terdiri dari kendang, kentongan, dan gambang laras.

Peserta tiban hanya mengenakan celana dan tidak diizinkan mengenakan baju atas. Mereka memakai
pecut(sebagai alat pemukul) yang dibuat dari ranting pohon aren, dan yang menarik mereka bisa membuat
pecut yang akan dipakai sendiri untuk bertanding. Jumlah peserta dalam permainan tiban tidak tetap. Sebab
dilakukan secara berpasang-pasangan, paling sedikit dua orang tetapi hal demikian tidak pernah terjadi.
Biasanya puluhan orang yang datang. Maka singkat atau lamanya permainan bergantung pada kecil atau
besarnya jumlah peserta. Semua peserta adalah orang laki-laki dewasa antara 20 - 40 tahun. Di samping itu
masih ada seorang wasit yang memimpin jalannya permainan, dan dua orang pelandang sebagai
pembantunya. Katiganya termasuk sebagai tetua tiban maka usianya pun rata- rata lebih dari 40 tahun dan
menguasai benar-benar seluk beluk permainan “tiban” secara mendetail. Karenannya kewibawaan mereka
pun cukup besar. Hal ini diperlukan untuk memelihara sportifitas dalam permainan.

Selain orang-orang yang tampil di depan layar tersebut, masih terdapat kelompok lain yang bekerja di
belakang layar yaitu penabuh gamelan, biasanya 4 orang seorang penggendang, seorang penggambang, dan
dua orang pemain thongthongan. Karena tiban pada hakikatnya permainan upacara minta hujan, yang erat
hubungannya dengan dunia pertanian, maka persertanya adalah petani, dengan segala tradisi kepercayaan dan
struktur kehidupan masyarakat yang komunal. Maka karakter yang menonjol pada permainan tiban ialah
sifat-sifat nya yang loyal, guyub, rukun, toleran dan sportif. Sifat komunal ini tidak saja dibawakan antara
sesama warga satu desa saja, melainkan meluas antara warga desa yang satu dengan yang lainnya, bahkan
sampai-sampai keluar melibatkan daerah yang lebih besar lagi di antaranya daerah Tulungagung, Trenggalek,
Kediri, Blitar, bertemu di satu arena permainan.

Tempat dan Perlengkapannya

Untuk tempat pelaksanaan tiban, diperlukan adanya sebuah arena, dapat berupa tanah lapangan atau
halaman, atau sebuah panggung terbuka. Pada awal mulanya memang digunakan tanah lapangan atau
halaman yang luas. Untuk arenanya sendiri cukup dengan ukuran 5×5 meter persegi, atau tepatnya sebuah
lingkaran dengan radius 3 meter, selebihnya untuk penonton. Karena sifatnya yang komunal dan tiban pada
dasarnya bukan suatu tontonan, maka batas antara penonton dan pemain sebenarnya tidak ada. Arena dibuat
sendiri oleh penonton yang berdiri atau berjongkok paling depan yang membentuk sebuah lingkaran. Kalau
diperlukan sebuah panggung maka panggung itu dibuat setinggi 1,25 meter, dan ukuran luasnya 5×5 meter
persegi seperti tersebut di atas.

Perlengkapan

Alat permainan yang pokok ialah cambuk, atau istilah setempat pecut, terbuat dari sada aren. Bahan
ini mudah didapat karena daerahnya memang kaya akan pohon aren atau enau ini. Proses pembuatannya
seikat lidi aren terdiri atas ±15 batang lidi yang terpilin menjadi satu. Dibeberapa bagian diberikan suli, yaitu
pengikat terbuat dari anyaman kulit pelepah aren itu sendiri,atau dari kulit bambu yang teranyam halus.
Untuk satu cambuk diperlukan 3 ikat yang dipilin lagi menjadi satu, sehingga mendapatkan sebuah cambuk
yang kuat, lentur, dilengkungkan tidak akan patah, dan dapat dilecutkan secepat kilat dengan mudah. Dari
tengah sampai ujungnya dipasang simpul-simpul kecil dari potongan lidi sehingga cambuk itu pada bagian
ujung tampak seperti kawat uri. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan, cambuk dicapkan oleh
panitia. Tidak diizinkan pemain membawa cambuknya. Mengenai busana sebenarnya tidak ada ketentuan
yang mengikat, terserah kepada selera masing-masing peserta, tetapi badan bagian atas harus telanjang.
Namun terdapat kelompok tiban yang dalam upacara ritualnya semua mengenakan baju dan celana komprang
berwarna hitam, dengan kain panjang batik yang dililitkan sebagai ikat pinggang -sebagai simpulnya di muka
dan kedua ujungnya menjulur ke bawah. Sebagai tutup kepala mereka mengenakan udheng ikat kepala bukan
dhesthar blangkon. Kalau permainan dimulai, maka mereka baru membuka bajunya masing-masing.

Iringan /tetabuhan

Instrumen yang digunakan untuk mengiringi permainan “tiban” berupa sebuah gambang, sebuah
kendhang besar, dan sebuah thongthongan (terkadang ada dua jenis yaitu besar dan kecil). Gambang adalah
sejenis alat gamelan, terbuat dari bahan kayu, berupa bilahan sebanyak 18 buah, tersusun berurutan dari nada
yang rendah sampai nada yang tinggi. Nada rendah ditandai dengan bilah tipis panjang, nada tinggi dengan
bilah tebal pendek. Di antaranya terdapat nuansa-nuansa nada-nada yang tersusun berurutan mulai yang
rendah sebelah kiri (bilah tipis panjang) ke kanan semakin meninggi (bilah semakin tebel memendek). Bilah-
bilah tersebut tersusun berjajar bertopang pada kotak resonansi, yang bentuknya memanjang sesuai dengan
ukuran bilah-bilanya. Sepasang alat penabuhnya terbuat dari bahan kayu atau tanduk, berbentuk bundar pipih
bergaris tengah ± 6 sentimeter, pada pinggirnya dililitkan kain atau benang lawe. Akhirnya diberi bertangkai
sepanjang +-30 sentimeter.

Dalam permainan tiban, peranan gambang membawakan sebaris lagu yang pendek, yang selalu
diulang-ulang, dengan tehnik pukulan yang improvisataris. Peranan gendhang memberikan jiwa pada
gerakan-gerakan tertentu yang dibawakan oleh setiap pemain. Tetapi karena kendhangnya semacam
kendhang ghede, (yang biasa digunakan untuk mengiringi gendhing-gendhing gedhe di Jawa Tengah), maka
suaranya tidak selantang kendhang yang berukuran lebih kecil. Hal ini memang sengaja dibuat demikian,
karena iringan tetabuhan adalah sekunder. Perhatian penonton harus dipusatkan kepada permainan Tibannya,
bukan pada iringannya.

Suatu instrumen lagi ialah thongthongan, terbuat dari seruas bambu yang diberi garis lubang di satu
sisinya. Ketika memainkannya, thongthongan dipukul secara ritmis, dan tangan yang mahir mampu membuat
suara yang cukup bervariasi. Lebih lagi kalau menggunakan dua thongthongan, yang karena ukurannya
berbeda mengeluarkan nada bunyi yang berbeda pula, maka variasi tersebut dapat diperkaya. Ketiga jenis
instrumen, yang sayup-sayup membawakan alunan musik yang sederhana melatarbelakangi permainan tiban
demikian itu ternyata mampu menimbulkan bermacam-ragam perasaan yang menyatu : sendu, gembira, dan
ngeri, namun sekaligus menarik.

Jalan Permainan

Saat berlaga para pemain harus mengikuti peraturan yang dibuat. Misalnya, pemain harus bergantian
mencambuk menggunakan lidi yang di ambil dari pohon aren. Sasaran cambukan juga tidak sembarangan
karena mereka dilarang mencambuk kaki dan kepala lawannya. Para pemain juga harus mengikuti bunyi
gamelan yang mengiringi acara. Meski mengalami banyak luka cambukan tapi para peserta seolah tidak
merasakan sakit. Mereka tetap bergembira dan mengikuti acara hingga selesai. Di akhir laga, wasit meminta
para pemain untuk berjabat tangan agar tidak ada dendam ataupun rasa permusuhan [4].

Jika demikian akan dimulai, maka iringan tetabuhan pun segera berbunyi. Sementara itu tampil dua
orang pelandang, masing- masing, menempati sisi yang berhadapan. Mereka memanggil jago masing-masing
sedang seorang lainnya membantu mencatat nama dan daerah tempat tinggal, (jaman dulu pencatatan
demikian tidak dilakukan). Kedua jago tampil, saling bersalaman, dan wasit menyerahkan sebuah cambuk
seorang, tiap jago memilih sendiri sekian cambuk yang disiap kan, kemudian dipertimbangkan berapa kali
lecutan dilakukan ber¬dasarkan kedudukan ranking (junior atau senior) serta kondisi pisik kedua jago
masing-masing. Sekalipun sudah ada peraturan permainan yang sudah sama-sama di ketahui, namun masih
juga diperingat¬kan oleh wasit bagian-bagian badan mana yang boleh dilecut, mana yang tidak. Sasaran lecut
ialah punggung dan badan bagian depan di atas pusar. Daerah larangan ialah bagian pusar ke bawah, dan
kepala. Setelah dilakukan “sut”, yaitu mengundi dengan mengadu jari untuk menentukan siapa yang melecut
dulu, maka mulailah permainan.

Paling menarik jika yang bertanding senior lawan senior yang masing-masing telah memiliki tehnik
menyerang dan bertahan yang sempurna, sehingga terkadang lama untuk menunggu kesempatan melecutkan
cambuknya tepat mengenai sasaran. Setiap lecutan yang jatuh, kena atau tidak, pihak menyerang lalu
meneriakkan “jailaaak!” sebagai isyarat pergantian giliran, pihak penyerang kini menjadi pihak yang
bertahan. Istilah jailaak tidak diketahui lagi apa artinya dan dari mana asalnya.

Meskipun permainan tiban dilihat dari lahiriahnya bersifat “sadistis”, namun tidak seorangpun dari
peserta yang menampilkan diri sebagai seorang sadis penuh dendam amarah. Semua metampakkan wajah
yang cerah, bersenyum sekalipun lecutan mengena menimbulkan rasa nyeri. Memang adakalanya wajahnya
bersungguh-sungguh, yaitu pihak penyerang, tetapi kesungguh-sungguhannya itu untuk konsentrasi pikiran
mencari sasaran dan saat yang tepat. Sebaliknya pihak lawannya siap menerima lecutan dengan senyum
mengejek, dan wiraga gaya gerakan yang menggoda. Tetapi begitu lecutan jatuh, begitu pula wajah yang
bersungguh-.sungguh berubah menjadi cerah, sedang yang terkena lecutan, meski-pun kena tepat, masih
berjogedan, seolah-olah ingin menyatakan,”aku tidak merasakan apa-apa”. Dengan ulah demikian, kesan
sadisme seolah-olah tertawarkan (neutralized), lebih lagi kalau kedua pelandang yang sudah lanjutusia itu
pun ikut berjcgedan mengikuti irama gamelan dengan gaya yang kocak, maka suasana menjadi lebih meriah.
Demikian seterusnya sampai batas berapa lecutan yang ditentukan selesai. Maka jago-jago yang habis
bertarung saling bersalaman lagi dan mundur digantikan oleh pasangan yang lain berikutnya. Dan permainan
berulang lagi. Setiap akhir penampilan, kedua, pelandang dan wasit secara bersama mengadakan penilaian
untuk menentukan siapa pemenang-nya. Mereka yang lebih banyak terkena lecutan, yang tampak jelas dari
bekas-bekasnya dinyatakan kalah. Namun pernyataan kalah menang ini tidak ada kaitannya dengan hal-hal
yang bersifat lomba. Tiban adalah permainan, bahkan permainan yang mengarah kepada upacara ritual. Jadi
tidak dilombakan untuk memperebutkan hadiah misalnya. Landasan prinsipnya ialah rasa kebanggaan.
Kebanggaan karena menjadi tumbal demi kesejahteraan bersama. Boleh dikatakan semacam kebanggaan
seorang martir.

Peranan Sekarang

Saat ini jaman semakin maju dan banyak mengubah struktur kehidupan di segala bidang. Selera manusia
berubah. Kebutuhan manusia pun dengan sendirinya ikut berubah juga. Ilmu pengetahuan dan menyingkirkan
kepercayaan yang dianggap tak temunalar (ira- sionil). Namun demikian upacara ala tiban minta hujan tetap
dipelihara kaum petani di pedesaan di daerah Tulungagung, Trenggalek, Kediri dan Blitar. Hanya untuk tidak
ketinggalan jaman, kelompok kelompok tiban sekarang sering bermain untuk mengisi acara-acara tertentu, misalnya
untuk suguhan tamu negara, untuk pariwisata, peringatan hari-hari nasional dan upacara lainnya seperti yang
diuraikan di bagian awal tulisan ini. Jelasnya, di samping peranannya yang lama sebagai inti upacara minta hujan yang
sudah klasik itu, masih berperan lagi sebagai sarana hiburan, dalam hal ini tiban benar-benar berfungsi sebagai
permainan yang sesungguhnya dalam arti kata yang murni.

Anda mungkin juga menyukai