Anda di halaman 1dari 9

Analisis Rasio Laporan Keuangan Perusahaan

Analisa rasio keuangan yang biasa digunakan adalah:

1. Rasio Likuiditas
Rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kemampuan
finansialnya dalam jangka pendek.

Ada beberapa jenis rasio likuiditas antara lain :

a. Current Ratio, rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam


membayar kewajiban finansial jangka pendek dengan mengunakan aktiva lancar.

Rumus menghitung Current Ratio:


Current Ratio = Aktiva Lancar / Hutang Lancar X 100%

b. Cash Ratio, rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar


kewajiban finansial jangka pendek dengan mengunakan kas yang tersedia dan
berikut surat berharga atau efek jangka pendek.

Rumus menghitung Cash Ratio:


Cash Ratio = Kas + Efek / Hutang Lancar X 100%

c. Quick Ratio atau Acid Test Ratio, rasio untuk mengukur kemampuan


perusahaan dalam membayar kewajiban finansial jangka pendek dengan
mengunakan aktiva lancar yang lebih likuid (Liquid Assets).

Rumus menghitung Quick Ratio:


Quick Ratio = Kas + Efek + Piutang / Hutang Lancar X 100%

  Catatan :  Nilai
ideal dari ketiga analisa rasio likuiditas ini ini adalah
minimum sebesar 150%, semakin besar adalah semakin baik dan
perusahaan dalam kondisi sehat.

2. Rasio Profitabilitas atau Rentabilitas


Rasio untuk mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan memperoleh laba
dalam hubungannya dengan nilai penjualan, aktiva, dan modal sendiri.

Ada beberapa jenis rasio profitabilitas antara lain :


a. Gross Profit Margin, rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
mendapatkan laba kotor dari penjualan.

Rumus menghitung Gross Profit Margin:


Gross Profit Margin = Penjualan Netto - HPP / Penjualan Netto X 100%

b. Operating Income Ratio, rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan


dalam mendapatkan laba operasi sebelum bunga dan pajak dari penjualan.

Rumus menghitung Operating Income Ratio:


Operating Income Ratio = Penjualan Netto - HPP – Biaya Administrasi &
Umum (EBIT) / Penjualan Netto X 100%

c. Net Profit Margin, rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam


mendapatkan laba bersih dari penjualan.

Rumus menghitung Net Profit Margin:


Net Profit Margin = Laba Bersih Setelah Pajak (EAT) / Penjualan Netto X
100%

d. Earning Power of Total Investment, rasio untuk mengukur kemampuan


perusahaan dalam mengelola modal yang dimiliki yang diinvestasikan dalam
keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan bagi investor dan pemegang
saham.

Rumus menghitung Earning Power of Total Investment:


Earning Power of Total Investment = EBIT / Jumlah Aktiva X 100%

e. Rate of Return Investment (ROI) atau Net Earning Power Ratio, rasio untuk
mengukur kemampuan modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva
untuk menghasilkan pendapatan bersih.

Rumus menghitung Rate of Return Investment (ROI):


Rate of Return Investment (ROI) = EAT / Jumlah Aktiva X 100%

f. Return on Equity (ROE), rasio untuk mengukur kemampuan equity untuk


menghasilkan pendapatan bersih.

Rumus menghitung Return on Equity (ROE):


Return on Equity (ROE) = EAT / Jumlah Equity X 100%
g. Rate of Return on Net Worth atau Rate of Return for the Owners, rasio
untuk mengukur kemampuan modal sendiri diinvestasikan dalam menghasilkan
pendapatan bagi pemegang saham.

Rumus menghitung Rate of Return on Net Worth:


Rate of Return on Net Worth = EAT / Jumlah Modal Sendiri X 100%

  Catatan :  Semakin tinggi nilai persentase Rasio Profitabilitas ini adalah


adalah semakin baik, sebaiknya Anda bisa membandingkannya dengan
nilai rata-rata dari industri sejenis di pasar. 

3. Rasio Solvabilitas atau Leverage Ratio


Rasio untuk mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan memenuhi
semua kewajiban finansial jangka panjang.

Ada beberapa jenis rasio Solvabilitas antara lain :

a. Total Debt to Assets Ratio, rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan


dalam menjamin hutang-hutangnya dengan sejumlah aktiva yang dimilikinya.

Rumus menghitung Total Debt to Assets Ratio:


Total Debt to Assets Ratio = Total Hutang / Total Aktiva X 100%

b. Total Debt to Equity Ratio, rasio untuk mengukur seberapa besar perusahaan


dibiayai oleh pihak kreditur dibandingkan dengan equity.

Rumus menghitung Total Debt to Equity Ratio:


Total Debt to Assets Ratio = Total Hutang / Modal Sendiri X 100%

  Catatan :  Semakin
tinggi nilai persentase Rasio Solvabilitas ini adalah
semakin buruk kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban
jangka panjangnya, maksimal nilainya adalah 200%. 

4. Rasio Aktifitas atau Activity Ratio 


Rasio untuk mengukur seberapa efektif perusahaan dalam memanfaatkan sumber
daya yang dimilikinya. 

Ada beberapa jenis rasio Solvabilitas antara lain :


a. Total Assets Turn Over, rasio untuk mengukur tingkat perputaran total aktiva
terhadap penjualan.

Rumus menghitung Total Assets Turn Over Ratio:


Total Assets Turn Over Ratio = Penjualan  / Total Aktiva X 100%

b. Working Capital Turn Over, rasio untuk mengukur tingkat perputaran modal


kerja bersih (Aktiva Lancar-Hutang Lancar) terhadap penjualan selama suatu
periode siklus kas dari perusahaan.

Rumus menghitung Working Capital Turn Over Ratio:


Working Capital Turn Over Ratio = Penjualan  / Modal Kerja Bersih X 100%

c. Fixed Assets Turn Over, rasio untuk mengukur perbandingan antara aktiva


tetap yang dimiliki terhadap penjualan.

Rasio ini berguna untuk mengevaluasi seberapa besar tingkat kemampuan


perusahaan dalam memanfaatkan aktivatetap yang dimiliki secara efisien dalam
rangka meningkatkan pendapatan.

Rumus menghitung Fixed Assets Turn Over Ratio:


Fixed Assets Turn Over Ratio = Penjualan  / Aktiva Tetap X 100%

d. Inventory Turn Over, rasio untuk mengukur tingkat efisiensi pengelolaan


perputaran persediaan yang dimiliki terhadap penjualan.

Semakin tinggi rasio ini akan semakin baik dan menunjukkan pengelolaan
persediaan yang efisien.

Rumus menghitung Inventory Turn Over Ratio:


Inventory Turn Over Ratio = Penjualan  / Persediaan X 100%

e. Average Collection Period Ratio, rasio untuk mengukur  berapa lama waktu


yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam menerima seluruh tagihan dari
konsumen.

Rumus menghitung Average Collection Period Ratio:


Average Collection Period Ratio = Piutang X 365  / Penjualan  X 100%

f. Receivable Turn Over, rasio untuk mengukur tingkat perputaran piutang


dengan membagi nilai penjualan kredit terhadap piutang rata-rata.
Semakin tinggi rasio ini akan semakin baik dan menunjukan modal kerja yang
ditanamkan dalam piutang rendah.

Rumus menghitung Receivable Turn Over Ratio:


Receivable Turn Over Ratio = Penjualan  / Piutang Rata-Rata X 100%

           Untuk referensi berikut Contoh Analisis Laporan Keuangan Perusahaan

  Catatan :  Semakin tinggi nilai persentase Rasio Activity ini adalah


semakin baik,  Anda bisa membandingkannya dengan nilai rata-rata dari
industri sejenis di pasar agar dapat menilai seberapa efisien Anda
mengelola sumber daya yang dimiliki.

ANALISIS STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN


INDONESIA PRIMA PROPERTY Tbk
BERDASARKAN DATA TAHUN 2004-2007
November 9, 2008

A. Analisis Hubungan antara Struktur Modal dengan Nilai Perusahaan

Perhitungan Debt to Equity OMRE

Tahu Harga
n Total Hutang Jangka Panjang Total Equity DER Saham
2004 Rp189.174.136.164 Rp235.344.402.617 0,803818 Rp110
2005 Rp158.436.164.776 Rp211.491.697.290 0,749137 Rp45
2006 Rp110.337.814.428 Rp242.272.274.949 0,455429 Rp300
2007 Rp80.817.671.346 Rp257.012.888.137 0,31445 Rp310

Tahun Harga Saham DER


2004 Rp110 80,38%
2005 Rp45 74,91%
2006 Rp300 45,54%
2007 Rp310 31,44%
Kurva ini menujukan hubungan antara Debt to Equity Ratio dan Harga Saham
Penutupan dari tahun 2004 sampai 2007. Berdasarkan kurva diatas terlihat bahwa untuk
jumlah modal yang dimiliki oleh PT Indonesia Prima Property yang berasal dari utang pada
tahun 2004 sampai 2007 terus berkurang. Tahun 2004 Debt to Equity ratio sebesar 80.38%,
hal ini menunjukan bahwa modal yang dimiliki oleh PT Indonesia Prima Property yang
berasal dari utang sebesar 0.8038 kali lipat lebih dari modal sendiri, artinya struktur modal
PT Indonesia Prima Property belum menunjukan nilai yang baik.

Tahun 2005 modal yang dimiliki oleh PT Indonesia Prima Property sebesar 74.91%
berasal dari utang dan sebesar 25.09% berasal dari modal sendiri yang berarti bahwa modal
yang berasal dari hutang lebih besar daripada modal yang berasal dari equity. Sampai pada
tahun 2006 baru terlihat nilai dari struktur modal yang baik dimana struktur modal
PT.Indonesia Prima Property yang berasal dari utang turun menjadi 45.54% dan modal
sendiri sebesar 54.54%. Pada tahun 2007 pun, kinerja PT Indonesia Prima Property juga
mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari struktur modal perusahaan yang sejak tahun
2004 hingga 2007 mengalami penurunan. Semakin rendah DER perusahaan maka semakin
baik kinerja perusahaan.

Mengenai rata-rata penutupan harga saham PT Indonesia Prima Property dari tahun 2004
sampai tahun 2007 terus mengalami peningkatan, hal ini terlihat jelas di dalam kurva yaitu
pada tahun 2004 penutupan harga saham sebesar Rp 110, harga penutupan ini mengalami
penurunan menjadi Rp 45 pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 kembali mengalami
peningkatan menjadi Rp 300 dan akhirnya pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 310.

Struktur modal adalah perbandingan hutang jangka panjang (debt) dengan modal


sendiri (equity). Keputusan struktur modal berkaitan dengan pemilihan sumber dana baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar dan sangat mempengaruhi nilai
perusahaan. Sumber dana perusahaan dari internal berasal dari laba ditahan dan depresiasi.
Dana yang diperoleh dari sumber eksternal adalah dana yang berasal dari para kreditur dan
pemilik perusahaan. Pemenuhan kebutuhan dana yang berasal dari kreditur merupakan
hutang bagi perusahaan. Dana yang diperoleh dari para pemilik merupakan modal sendiri.

Kebijakan mengenai struktur modal melibatkan trade off antara risiko dan return.
Penambahan utang akan memperbesar risiko perusahaan tetapi sekaligus juga memperbesar
tingkat pengembalian yang diharapkan. Risiko yang semakin tinggi akan menurunkan harga
saham, tetapi tingkat return yang tinggi akan menaikkan harga saham tersebut. Struktur
modal yang optimal adalah struktur modal yang mengoptimalkan keseimbangan antara risiko
dan pengembalian sehingga memaksimumkan harga saham.

Kebijakan struktur modal akan berpengaruh positif terhadap nilai saham melalui
kombinasi sumber dana (hutang jangka panjang dan modal sendiri) sehingga mampu
memaksimalkan nilai saham. Dalam kondisi tertentu perusahaan dapat memenuhi kebutuhan
dananya dengan mengutamakan sumber-sumber dari dalam perusahaan, akan tetapi
adakalanya juga perusahaan menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan yaitu
berupa hutang (debt).

Penggunaan hutang dalam suatu perusahaan akan menaikkan nilai saham, karena
adanya kenaikan pajak yang merupakan pos deduksi terhadap biaya hutang, namun pada titik
tertentu penggunaan hutang dapat menurunkan nilai saham karena adanya pengaruh biaya
kebangkrutan dan biaya bunga yang di timbulkan dari adanya penggunaan hutang.

Ada 3 teori struktur modal, yaitu Modigliani-Miller (MM), Trade-off Theory, Pecking


Order Theory. Teori pertama yaitu Modigliani-Miller (MM).Menurut teori ini tidak ada
hubungan antara struktur modal dengan nilai perusahaan. Perusahaan bisa menggunakan
100% hutang. Akan tetapi, teori ini tidak sesuai dengan yang dihadapi oleh PT Indonesia
Prima Property, karena antara struktur modal dengan nilai perusahaan masih berhubungan.

Teori kedua, trade off theory, dimana ada hubungan antara struktur modal dengan
nilai perusahaan. Perusahaan tidak mungkin membiayai seluruh aktivitasnya dengan hutang.
Dalam teori ini terdapat track-off anataratax benefit/shield (manfaat penghematan pajak atas
penggunaan hutang) dancost financial distress (biaya yang ditimbulkan karena adanya
kenaikan resiko kebangrutan akibat besarnya hutang). Jadi, suatu perusahaan itu mendasarkan
keputusan pendanaan pada struktur modal yang optimal.Struktur modal optimal dibentuk
dengan menyeimbangkan manfaat dari penghematan pajak atas penggunaan utang terhadap
biaya kebangkrutan. Penggunaan utang mengakibatkan peningkatan EBIT yang mengalir ke
investor, jadi semakin besar utang perusahaan, semakin tinggi nilainya dan harga saham
perusahaan. Akan tetapi, hal ini tidak sesuai yang dihadapi oleh PT. Indonesia Prima
Property, dimana semakin rendah utang perusahaan, semakin tinggi harga saham
perusahaannya. Hal ini dikarenakan tidak terjadi perdagangan, untuk menarik minat investor
maka perusahaan menaikkan harga sahamnya. Akan tetapi, resiko dan return-nya rendah.

Teori ketiga, Pecking Order Theory, perusahaan diberi pilihan jika membutuhkan


tambahan dana, yaitu menggunakan internal financing (berasal dari laba ditahan dan
depresiasi) dan-atau menggunakan external financing(dana yang berasal dari para kreditur
dan pemilik perusahaan). Dari kurva dapat dilihat, pada tahun 2004, PT Indonesia Prima
Property menggunakanexternal financing. Hal ini dapat dilihat dari DER perusahaan yang
tinggi. Akan tetapi, dari tahun 2005 sampai 2007, perusahaan menggunakan external
financing dan internal financing. Namun, internal financing nya lebih tinggi dariexternal
financing. Hal ini dapat dilihat dari komposisi debt rendah dibanding dengan modal
perusahaan sehingga DER nya rendah. Perusahaan lebih banyak menggunakan modal sendiri
pada tahun tersebut.

B. Kesimpulan

Struktur modal PT Indonesia Prima Property sejak tahun 2004 hingga 2007 mengalami


penurunan dengan DER 80,38% (2004), 74,91% (2005), 45,54% (2006), 31,44% (2007). Semakin
rendah DER perusahaan maka semakin baik kinerja perusahaan.

Rata-rata penutupan harga saham PT Indonesia Prima Property dari tahun 2004 sampai tahun
2007 terus mengalami peningkatan, hal ini terlihat jelas didalam kurva yaitu pada tahun 2004
penutupan harga saham sebesar Rp 110, harga penutupan ini mengalami penurunan menjadi
Rp 45 pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 kembali mengalami peningkatan menjadi
Rp 300 dan akhirnya pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 310.

Berdasarkan teori struktur modal yang pertama yaitu Modigliani-Miller (MM), kondisi


yang oleh PT Indonesia Prima Property tidak sesuai dengan teori, karena antara struktur
modal dengan nilai perusahaan masih berhubungan.

Teori yang kedua, trade-off theory, kondisi PT Indonesia Prima Property juga tidak


sesuai dengan teori ini karena hutang PT Indonesia Prima Property semakin rendah akan
tetapi harga saham perusahaan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan tidak terjadi
perdagangan, untuk menarik minat investor maka perusahaan menaikkan harga sahamnya.
Akan tetapi, resiko dan return-nya rendah.

Teori yang ketiga, Pecking Order Theory, kondisi PT Indonesia Prima Property sesuai
dengan kondisi ini. Pada tahun 2004, PT Indonesia Prima Property menggunakan external
financing. Hal ini dapat dilihat dari DER perusahaan yang tinggi. Akan tetapi, dari tahun
2005 sampai 2007, perusahaan menggunakan external financing dan internal financing.
Namun,internal financing nya lebih tinggi dari external financing. Hal ini dapat dilihat dari
komposisi debt rendah dibanding dengan modal perusahaan sehingga DER nya rendah.
Perusahaan lebih banyak menggunakan modal sendiri pada tahun tersebut.

Anda mungkin juga menyukai