Anda di halaman 1dari 12

3

Konsep diri terbentuk karena adanya pengaruh dari orang lain (Rakhmat, 2005:100).
Hasil interaksi, hubungan dan pergaulan dengan orang lain akan memberikan peranan kepada
individu dalam membentuk konsep diri. Begitu pula yang terjadi pada remaja. Remaja akan
mengenal dirinya karena adanya pengaruh dari orang lain yang telah mengenal dirinya dalam
memberikan pujian, sanjungan, bahkan sampai pada bentuk cemoohan. Sehingga faktor orang
lain di sini mempunyai pengaruh yang dapat mengakibatkan remaja mengenal, memahami, dan
menilai dirinya.
Ketika orang lain memberikan penerimaan yang baik dan senang dengan keberadaan
remaja, maka remaja cenderung akan menerima dan menilai dirinya dengan baik. Sebaliknya
bila orang lain selalu menolak keberadaan remaja, tidak senang dan selalu memandang jelek
terhadap dirinya, maka remaja tersebut cenderung tidak akan menyenangi dan menerima dirinya.
Akan tetapi tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri
individu. Ada yang paling berpengaruh terhadap diri seseorang, yaitu orang-orang yang paling
dekat dengan diri seseorang yang disebut significant others (Mead dalam Rakhmat, 2005:101).
Orang lain itu adalah mereka yang mempunyai ikatan emosional dan dari mereka secara
perlahan-lahan individu membentuk konsep dirinya. Dalam dimensi perkembangan, significant
others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan remaja. Mereka
adalah orang tua, saudara dan orang yang tinggal satu rumah dengan individu. Mereka
mengarahkan tindakan remaja, membentuk pikiran dan menyentuh secara emosional.
Dalam hal ini orang tua memiliki pengaruh penting dan kuat terhadap perkembangan
perilaku remaja karena sebagian besar kehidupan remaja ada dalam keluarga. Terlebih lagi
remaja masih berada dalam fase krisis identitas (Hurlock, 1980:207). Permasalahan yang sering
dialami dalam masa remaja adalah rasa tidak percaya diri karena tubuhnya dinilai kurang/tidak
ideal baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, atau merasa tidak memiliki kelebihan
yang bisa dipakai sebagai modal dalam bergaul. Rasa kurang percaya diri kemudian menyebar ke
hal–hal lain, misalnya malu untuk berhubungan dengan orang lain, tidak percaya diri untuk
tampil di depan umum, menarik diri, pendiam, malas bergaul dengan lawan jenis atau bahkan
kemudian menjadi seorang yang pemarah, sinis dan lainnya. Remaja memerlukan teladan,
dukungan, serta model dari keluarga terutama orang tua yang bisa berlaku sebagai pedoman.
4

Dalam periode perkembangan remaja, orang tua dijadikan tolak ukur oleh para remaja
guna menguji diri dalam segi kemampuan penerimaan diri. Remaja yang diberikan otonomi
psikologis oleh orang tua cenderung menjadi percaya diri dan kompeten dalam bidang akademis
dan sosial. Remaja akan berhasrat untuk berprestasi dan percaya dapat melakukan apa yang telah
direncanakan (Papalia, 2008:613).
Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi remaja
untuk menilai siapa dirinya. Menurut Sullivan (Rakhmat, 2005:101) individu menilai dirinya
berdasarkan apa yang dialami dan didapatkan dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan
sikap yang baik dan positif, maka individu akan merasa dirinya cukup berharga, sebaliknya bila
lingkungan selalu meremehkan, menyalahkan, dan menolak, individu tersebut akan cenderung
tidak menyenangi dirinya.
Faktor yang dibawa individu dari lingkungan dan keadaan keluarga yang kurang baik
dalam menginternalisasikan nilai-nilai kehidupan dalam membentuk sifat, karakter dan konsep
dirinya membuat tidak semua individu mempunyai konsep diri yang positif dalam kehidupannya
(Asmara, 2007). Remaja dengan orang tua beda agama memiliki konsekuensi lebih berat dalam
mengoptimalkan pencapaian konsep diri. Lingkungan keluarga sebagai kelompok sosial terkecil
dalam masyarakat mempunyai peranan penting dalam pembentukan konsep diri pada remaja.
Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah
tersebut. Contoh dari orang tua yang disiplin dalam menjalankan ajaran agama akan membawa
kepada perubahan sikap dan tingkah laku remaja ke arah positif dan produktif karena dalam
agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan (Willis, 2005:68-69). Nilai-nilai agama
sangat berperan ketika anak tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan
kepribadian. Jika agama menjadi sumber konflik, tentu kurang baik bagi perkembangan
psikologis anak (Abdillah, 2008:19)
Berdasarkan beberapa penelitian (Hawari dalam Maria, 2007) ditemukan bahwa keluarga
yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali
cenderung terjadi pertentangan konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan suasana yang
seperti ini anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari
lingkungan lain yang dapat menerimanya. Suasana harmonis yang dirasakan remaja, secara tidak
5

langsung berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya dalam hal ini konsep diri (Maria,
2007).
Para orang tua akan memacu adanya pertentangan dan kekacauan batin (incongruence)
ketika orang tua memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Kasih sayang
kondisional tersebut terjadi saat orang tua hanya akan menerima anaknya jika anak tersebut
berperilaku sebagaimana mestinya, anak tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang
tidak bisa diterima. Disisi lain, jika orang tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional,
maka si anak akan bisa mengembangkan congruence-nya. Suasana keluarga yang menimbulkan
rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat
menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama remaja. Manusia dengan tingkat
incongruence yang lebih tinggi akan merasa sangat gelisah karena realitas selalu mengancam
konsep diri mereka secara terus menerus. Pengalaman incongruence yang disimbolisasi ke dalam
kesadaran, dapat membuat konsep diri menjadi hancur. Sedangkan, situasi congruence,
merupakan pengalaman diri yang diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang
utuh, integral, dan sejati (Rogers dalam Alwisol, 2009:277).
Proses dibesarkan dalam perkawinan beda agama dapat menjadi pengalaman negatif bagi
anak bila mereka mengalami perlakuan negatif dari orang tua dan keluarga besar. Sebagian anak
tidak ingin menjadi bagian dari agama apapun ketika dewasa karena mengalami banyak konflik
emosional semasa dibesarkan (Duvall & Miller; Blood dalam Hikmatunnisa, 2007). Apabila
pengalaman ini berlangsung lama, maka akan ada dampak terhadap kesejahteraan psikologis.
Hubungan orang tua dengan anak yang tidak harmonis ini akan berdampak pada pembentukan
konsep diri anak (Calhoun & Acocella, 1990:77).
Menurut Bossard & Boll (Hikmatunnisa, 2007), anak dalam keluarga berbeda agama
memiliki potensi masalah. Masing-masing keluarga besar dari pasangan umumnya terlibat dalam
memperebutkan agama anak. Anak yang telah beranjak remaja dapat mengalami kebingungan.
Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan remaja. Individu yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis tanpa ada ketimpangan dalam
hal agamanya, maka perkembangan kepribadian anak tersebut cenderung positif. Kebanyakan
anak dari pekawinan beda agama hanya sedikit atau tidak mendapatkan pendidikan agama dan
identitas agama dari kedua orang tuanya (Yusuf, 2011:128).
6

Peran dan tanggung jawab orang tua sebagai pembentuk pribadi, mental dan karakter
sangat diperlukan dalam mengembangkan konsep diri yang positif. Untuk dapat
mengembangkan konsep diri yang positif tersebut maka diperlukan bimbingan dan pembinaan
yang baik dari lingkungan keluarga.
Berdasarkan uraian di atas, mekanisme psikologis yang terjadi pada permasalahan
tersebut adalah remaja yang memiliki orang tua beda agama mempunyai beban yang lebih berat
bila dibandingkan dengan remaja yang memiliki orang tua seagama dalam membentuk konsep
dirinya. Remaja yang dibesarkan dalam keluarga harmonis yang ditandai dengan penciptaaan
kehidupan beragama dan penanaman komitmen dan nilai agama agar dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan serta dapat mencapai kematangan, baik secara emosi maupun sosial,
sehingga terbentuklah konsep diri positif dalam diri remaja. Remaja yang mampu menemukan
hal-hal positif dari dirinya disamping kekurangannya, akan memiliki pandangan proporsional
tentang dirinya. Sebaliknya, pembentukan konsep diri pada remaja kurang optimal apabila dari
lingkungan keluarga tidak tercipta kehidupan yang harmonis karena adanya ketimpangan agama.
Orang tua tidak mampu membantu remaja dalam menemukan hal-hal positif dalam dirinya,
maka remaja lebih terpaku pada kekurangan-kekurangan yang dimilikinya dan remaja akan
memiliki konsep diri negatif yang tentu akan berpengaruh pada kemampuan dalam mengontrol
diri dan berperilaku yang sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial.

METODE
Partisipan Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki orang tua beda agama dan
remaja yang memiliki orang tua seagama di SMAK Frateran, SMAK Kolese Santo Yusup,
SMAK St. Albertus, SMAK Santa Maria, dan SMAK Cor Jesu. Adapaun karakteristik populasi
dalam penelitian ini adalah:
1. Remaja yang memiliki orang tua beda agama dan remaja yang memiliki orang tua seagama
2. Berusia 16 - 18 tahun
3. Laki-laki dan perempuan
4. Kelas 1 atau 2 SMA
7

Pengambilan sampel untuk remaja yang memiliki orang tua beda agama dan remaja yang
seagama menggunakan teknik sampling kuota dengan jumlah remaja yang memiliki orang tua
beda agama sebanyak 40 dan remaja yang memiliki orang tua seagama sebanyak 40 orang.
Perolehan data remaja yang memiliki orang tua beda agama dan seagama diketahui
melalui penyebaran angket yang dikembangkan oleh peneliti. Namun ada dua sekolah yang tidak
menghendaki penyebaran angket dilakukan dengan alasan menjaga privasi siswa sehingga
perolehan data remaja yang memiliki orang tua beda agama dan seagama didapat langsung dari
guru BK.

Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam metode penelitian deskriptif komparatif. Penelitian
deskriptif digunakan untuk mengetahui konsep diri remaja yang memiliki orang tua beda agama
dengan orang tua yang seagama. Sedangkan penelitian komparatif digunakan untuk mengetahui
perbedaan konsep diri remaja yang memiliki orang tua beda agama dengan orang tua yang
seagama

Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan berupa skala konsep diri dengan metode penskalaan Likert
yang disusun berdasarkan tiga aspek konsep diri yaitu, pengetahuan diri, harapan diri, dan
penilaian diri (Calhoun & Acocella, 1990).
Contoh:
No. Pernyataan Pilihan Jawaban
SAYA MERASA…..
Dihargai saat berinteraksi dengan teman-
1. SS S CS TS STS
teman
Ragu dengan rencana yang harus
2. SS S CS TS STS
dilakukan untuk masa depan

Pengukuran tingkat validitas dalam uji coba dilakukan dengan rumus korelasi product
moment dengan taraf signifikansi 5% dan subjek uji coba sebanyak 68 orang. Berdasarkan 50
butir aitem yang telah diujicobakan terdapat 45 aitem yang dinyatakan valid dan 5 aitem
8

dinyatakan gugur. Koefisien reliabilitas dari 45 aitem yang valid sebesar 0,923, dihitung dengan
menggunakan formula koefisien Alpha Cronbach.
Jawaban terhadap item favorabel; Sangat Setuju (SS) akan diberi skor 4, Setuju (S) akan
diberi skor 3, Ragu-ragu (R) akan diberi skor 2, Tidak Setuju (TS) akan diberi skor 1 dan Sangat
Tidak Setuju (STS) akan diberi skor 0. Namun sebaliknya, pada item unfavorabel; jawaban Sangat
Setuju (SS) akan diberi skor 0, Setuju (S) diberi skor 1, Ragu-ragu (R) diberi skor 2, Tidak setuju
(TS) akan diberi skor 3 dan Sangat Tidak Setuju (STS) akan diberi skor 4. Makin tinggi skor yang
diperoleh subjek berarti semakin positif konsep dirinya, demikian juga sebaliknya semakin
rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin negatif konsep dirinya.

Prosedur Penelitian
Adapun beberapa tahap yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data
penelitian yaitu:
1. Mengurus surat permohonan izin penelitian dari Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas
Negeri Malang.
2. Menyerahkan surat izin penelitian dari Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri
Malang ke Depdiknas Kota Malang.
3. Memohon surat rekomendasi dari Depdiknas Kota Malang untuk mengadakan penelitian.
4. Menyerahkan surat rekomendasi dari Depdiknas Kota Malang kepada pihak sekolah dan
meminta data siswa yang dibutuhkan di kantor BK masing-masing sekolah yang dituju (tiga
sekolah menggunakan angket untuk mencari tahu data siswa yang dibutuhkan).
5. Mempersiapkan instrumen penelitian, yaitu skala konsep diri.
6. Menyebarkan skala konsep diri kepada siswa remaja yang telah didata sebagai anak dengan
orang tua beda agama dan seagama (uji coba).
7. Menghitung validitas dan reliabilitas pada instrumen yang telah diujicobakan.
8. Menyusun kembali instrumen penelitian
9. Menyebarkan skala konsep diri yang telah valid kepada subjek penelitian
10. Mengumpulkan kembali instrumen penelitian kemudian dilakukan tabulasi dan analisis data.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis analisis
yaitu analisis deskriptif menggunakan nilai mean dan komparatif menggunakan independent
sample t-test dengan bantuan program SPSS 19 for windows.
9

HASIL
1. Secara deskriptif, konsep diri remaja yang memiliki orang tua beda agama cenderung berada
pada kategori tinggi, yaitu 65% dan konsep diri remaja yang memiliki orang tua seagama
cenderung berada pada kategori rendah, yaitu sebesar 57,5%.

Hasil Analisis Deskriptif Konsep Diri Remaja


yang Memiliki Orang tua Beda Agama
No Skor Klasifikasi Jumlah Persentase
1 128 – 176 Tinggi 26 65%
2 69 – 127 Rendah 14 35%
Total 40 100%

Hasil Analisis Deskriptif Konsep Diri Remaja


yang Memiliki Orang tua Seagama
No Skor Klasifikasi Jumlah Persentase
1 128 – 176 Tinggi 17 42,5%
2 69 – 127 Rendah 23 57,5%
Total 40 100%

2. Hasil analisis komparatif menunjukkan signifikansi 0,015 (0,015 < 0,05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan antara konsep diri remaja yang memiliki orang tua beda
agama dengan remaja yang memiliki orang tua seagama.

DISKUSI
Remaja yang mempunyai orang tua beda agama mengalami kebingungan awal mengenai
agama siapa yang harus dipilih. Suasana kebingungan awal tersebut membuat remaja yang
memiliki orang tua beda agama mengalami kesulitan dalam memandang dan menilai dirinya
serta memahami makna hidup beragama. Namun, lamanya proses kebingungan yang terjadi
dalam diri remaja tersebut, tergantung pada pola interaksi agama yang dikembangkan oleh orang
tua (Murtadho, 2011). Pola interaksi agama bisa berwujud kesepakatan tertentu yang disepakati
10

oleh orang tua beda agama, misalnya dalam bentuk apakah anak mengikuti salah satu agama
orang tua, atau dibagi, atau dibebaskan. Dengan demikian anak akan cenderung mengikuti pola
tersebut.
Bagi pasangan orang tua beda agama yang membuat kesepakatan tertentu, maka
komunikasi dalam keluarga akan lebih terarah sesuai dengan kesepakatan tersebut (Murtadho,
2011). Baik itu kesepakatan agama anak untuk mengikuti salah satu orang tua, atau dibagi
(sebagian ke agama ayah, sebagian ke agama ibu), atau anak dibebaskan memilih. Proses
kebingungan pada remaja dalam memahami dan menilai siapa dirinya akan berlangsung lama
apabila pasangan orang tua beda agama tidak membuat kesepakatan tertentu, karena dalam
situasi seperti ini terjadi kompetensi terselubung dalam mempengaruhi anak yang berakibat pada
proses menginternalisasikan nilai kehidupan dalam membentuk sifat, karakter dan konsep
dirinya.
Menurut peneliti, remaja yang memiliki orang tua beda agama dalam penelitian ini
berhasil melewati situasi kebingungan, karena orang tua, keluarga, maupun lingkungan sekitar
remaja mendukung remaja untuk dapat menjalani tugas perkembangan hidupnya dengan baik,
sehingga konsep diri yang terbentuk cenderung positif.
Bentuk pola interaksi agama dalam keluarga dengan cara membuat kesepakatan tersebut
merupakan bentuk dukungan dari lingkungan yang mampu membantu pembentukan konsep diri
remaja yang memiliki orang tua beda agama. Hauser dan rekan-rekannya (Santrock, 2002:60)
menjelaskan proses-proses keluarga yang meningkatkan perkembangan identitas remaja. Orang
tua yang menggunakan perilaku memudahkan (seperti, menjelaskan, menerima, dan berempati)
lebih memfasilitasi perkembangan identitas remaja daripada orang tua yang menggunakan
perilaku-perilaku yang membatasi (seperti, mengkritik dan tidak menghargai).
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang diungkapkan remaja yang memiliki orang
tua beda agama, berinisial F dan C, yang menyatakan bahwa orang tua membuat kesepakatan
untuk memberikan kebebasan dalam memilih agama yang diyakini atas dasar saling
menghormati tanpa adanya paksaan. Sikap orang tua yang menggunakan perilaku memudahkan
dan saling menghormati tersebut membuat remaja yang memiliki orang tua beda agama mampu
untuk memandang, menilai, dan memahami dirinya, serta tidak memaknai perbedaan sebagai
sesuatu yang harus dibesar-besarkan yang dapat mempengaruhi kehidupannya.
11

Selain itu, remaja dari orang yang berbeda agama diajarkan sikap toleransi yang
menunjukkan bahwa agama tidak layak dijadikan sumber konflik. Keluarga lebih menginginkan
perdamaian di rumah, sehingga perbedaan agama tidak untuk dibesar-besarkan.
Dari segi pengalaman hidup di lingkungan dalam perbedaan, remaja yang memiliki orang
tua beda agama mempunyai kemampuan yang belum tentu dimiliki oleh remaja dengan orang
tua seagama. Begitu juga dengan pola interaksi beragama yang bersifat toleran dan demokratis
belum tentu dirasakan oleh remaja yang memiliki orang tua seagama. Remaja yang memiliki
orang tua beda agama belajar untuk meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu di tengah-
tengah perbedaan yang telah menjadi pilihannya serta bersedia mempertahankannya. Remaja
menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak
selalu sama.
Hal ini berbeda dengan anak yang dilahirkan dan dibesarkan dari orang tua yang
seagama, remaja dengan orang tua seagama telah terbiasa hidup dalam keluarga yang sejalan
tanpa adanya ketimpangan dari segi agama. Remaja yang memiliki orang tua seagama memang
tidak mengalami krisis dalam pemilihan agama karena orang tua sama-sama memeluk agama
yang sama. Namun ada krisis-krisis lain yang dialami remaja dengan orang tua seagama, seperti
harapan diri dalam menentukan cita-cita, tujuan hidup, dan rencana-rencana di masa yang akan
datang, mengenai pilihan-pilihan bermakna yang harus ditentukan dan dipahami untuk suatu
tanggung jawab pribadi terhadap apa yang akan remaja lakukan.
Menurut Keating (Santrock, 2002:13) masa remaja ialah masa semakin meningkatnya
pengambilan keputusan. Dalam beberapa hal, kesalahan pengambilan keputusan pada remaja
mungkin terjadi ketika dalam realitas yang menjadi masalah adalah kegagalan untuk memberi
remaja pilihan-pilihan yang memadai.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang diungkapkan oleh remaja yang memiliki
orang tua seagama, berinisial C dan R, yang mengatakan bahwa pengambilan keputusan untuk
mengatasi krisis mengenai kemungkinan apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang
tersebut masih mengalami kebingungan. Pilihan-pilihan yang kurang memadai dan kurangnya
dukungan dari lingkungan membuat remaja mengalami kesulitan dalam memahami dirinya.
Secara umum kondisi anak yang memiliki orang tua beda agama mengalami ketimpangan
dalam menjalani hidupnya. Orang tua dengan perbedaan agama juga memiliki kecenderungan
12

kurang optimal dalam pengasuhan anak apabila tidak ada kesepakatan bersama dalam pola
interaksi beragama di lingkungan keluarga.
Namun ada aspek positif yang bisa didapatkan oleh remaja yang memiliki orang tua beda
agama yaitu, kesempatan untuk mengenal agama Ayah dan agama Ibu, serta sikap toleransi dan
demokratis yang dirasakan remaja dalam lingkungan keluarga (Murtadho, 2011). Sikap toleransi
yang dirasakan oleh remaja dari orang yang berbeda agama menunjukkan bahwa agama tidak
layak dijadikan sumber konflik. Keluarga lebih menginginkan perdamaian di rumah, sehingga
perbedaan agama tidak untuk dibesar-besarkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya remaja yang dibesarkan
oleh orang tua beda agama memiliki potensi masalah begitu juga dengan remaja yang dibesarkan
dari orang tua seagama yang tidak selalu menjamin pembentukan konsep diri yang positif dalam
diri remaja. Remaja dengan orang tua beda agama secara tidak langsung diajarkan sikap toleran
dan demokratis dalam kehidupannya yang mampu mendukung pembentukan konsep dirinya
untuk memahami perannya, menilai dirinya dan memaknai kehidupan beragama di tengah-
tengah perbedaan, di mana sikap toleran dan demokratis dalam kehidupan remaja yang beda
agama belum tentu dapat dirasakan oleh remaja yang memiliki orang tua seagama yang juga
mengalami krisis dalam menentukan identitas diri, tujuan dan cita-cita.
Kelebihan dari penelitian ini adalah mampu mengungkap perbedaan antara konsep diri
remaja yang memiliki orang tua beda agama dengan remaja yang memiliki orang tua seagama.
Perbedaan tersebut dapat dijelaskan melalui kerangka kerja dan hipotesis yang jelas dan
pengukuran yang sistematis, sehingga mampu memberikan kesimpulan. Adapun kesimpulan
tersebut adalah sebagian besar konsep diri remaja yang memiliki orang tua beda agama berada
pada kategori tinggi dan sebagian besar konsep diri remaja yang memiliki orang tua seagama
berada pada kategori rendah, sehingga terdapat perbedaan yang signifikan antara konsep diri
remaja yang memiliki orang tua beda agama dengan remaja yang memiliki orang tua seagama.
Dalam penelitian ini juga terdapat kelemahan yaitu hasil penelitian yang hanya terbatas
pada perhitungan statistik sehingga hasil yang didapat kurang tergali. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk menggunakan metode penelitian
lain seperti observasi dan wawancara agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna,
karena tidak semua hal dapat diungkap dengan skala. Hal ini penting, terkait dengan temuan
13

yang menunjukkan bahwa remaja yang memiliki orang tua beda agama lebih tinggi konsep
dirinya.
Selain itu disarankan kepada orang tua untuk selalu menjaga komunikasi antar pribadi
dan menjaga hubungan harmonis dalam keluarga dengan cara saling menghargai, pengertian, dan
penuh kasih sayang. Bagi remaja diharapkan dapat melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan yang dapat mempekuat keimanan dan ketakwaan. Serta bisa bersikap terbuka
mengenai masalah yang dialami kepada orang tua atau orang yang bisa dipercaya. Bagi pihak
sekolah disarankan dapat membantu siswa untuk mengenali potensi-potensi yang dimiliki agar
dapat meningkatkan konsep diri siswa dan tetap menerapkan pola pendidikan yang adil dan tidak
bias terhadap agama apapun yang dianut. Bagi calon pasangan suami istri beda agama
hendaknya benar-benar mempertimbangkan kembali ketika ingin memutuskan untuk menikah
beda agama karena tidak semua pihak mampu menerima keputusan tersebut.
14

DAFTAR RUJUKAN
Abdillah, Khalid. 2008. Jangan Gadaikan Agama Demi Cinta. Solo: Albayan.

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Asmara, Tejo. 2007. Efektivitas Bimbingan Kelompok dengan Teknik Peergroup dalam
Meningkatkan Konsep Diri Siswa Kelas III A Di SMP Mardisiswa 1 Semarang. Skripsi
tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
(Online), (http://www.scribd.com/doc/62946042/Kajian-Pustaka-Peer-Guidance), diakses
14 Desember 2012.

Calhoun, James F & Acocella, Joan Ross. 1990. Psikologi Tentang Penyesuaian dan
Hubungan Kemanusiaan (terjemahan). Semarang: IKIP Semarang.

Hikmatunnisa, Mila dan Bagus Takwin. 2007. Pengaruh Perbedaan Agama Orang Tua
Terhadap Psychological Well-Being Dan Komitmen Beragama Anak (Jurnal Psikologi).
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. (Online),
(http://www.scribd.com/doc/63966802/jps13-02-5-artikel5), diakses 20 Oktober 2012.

Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Maria, Ulfah. 2007. Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri Terhadap
Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. (Online),
(http://www.damandiri.or.id/file/Tesis_Ulfah%20Maria.pdf), diakses 28 Oktober 2012.

Murtadho. 2011. Pendidikan Agama Pada Anak Pasangan Orang Tua Beda Agama, (Online),
(http://irindonesia.wordpress.com/2011/02/06/pendidikan-agama-pada-anak-pasangan-
orang-tua-beda-agama/), diakses 19 Maret 2013.

Papalia, D.E, S.W Old, dan R.D. Feldman. 2008. Psikologi Perkembangan Edisi Kesembilan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup Jilid II. Jakarta:
Erlangga.

Willis, Sofyan S. 2005. Remaja dan Masalahnya Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja
Seperti Narkoba, Free Sex dan Pemecahannya. Bandung: Alfabeta.

Yusuf, Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai