Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalamkegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Agar Faktur Pajak dapat
berfungsi sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak
Keluaran, Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan formal dan
persyaratan material sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Pasal 13 ayat (9) UU PPN yang berbunyi: ”Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan
formal dan material”.
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan
benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh ayat (6).
Persyaratan Formal
Persyaratan Material
Persyaratan material dari Faktur Pajak adalah telah terpenuhi apabila
keterangan yang tercantum dalam faktur pajak jelas dan sesuai dengan kejadian
transaksi yang sebenarnya dari BKP atau JKP yang diperjualbelikan. Berikut sebagian
bunyi penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN: ”Faktur Pajak atau dokumen tertentu
yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan
material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor
Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.”
Di luar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak,
dalam rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu
diperhatikan yang sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu
mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
a) Penyerahan BKP/JKP
b) Ekspor BKP Berwujud,
c) Ekspor BKP Tidak Berwujud,
d) Ekspor JKP,
e) Impor BKP,
f) Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Jangka Waktu pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (9)
adalah ”Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.”
Ilustrasi:
PT Yudi Putra merupakan perusahaan manufaktur yang berlokasi di kota Surabaya.
Setiap barang jadi (finish goods) yang dihasilkan dikirimkan ke cabang perusahaan
yang berlokasi di wilayah yang berbeda di kota Surabaya. Untuk memasarkan
produknya, PT Yudi Putra mengirimkan barang hasil produksinya ke perusahaan lain
yaitu PT UB Factory Outlet yang berlokasi di kota Malang. Dari ilustrasi tersebut,
apabila PT Yudi Putra melakukan pemusatan PPN, pengiriman barang ke gudang tidak
menimbulkan PPN terutang. Sedangkan pengiriman baran ke PT UB Factory Outlet
menimbulkan PPN terutang berupa PPN keluaran. Apabila PT Yudi Putra tidak
melakukan pemusatan atas PPN nya, maka setiap barang keluar dari pabrik akan
menimbulkan PPN terutang meskipun satu entitas.
Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal
12 ayat (2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN
barang dan jasa dan PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013
tentang tempat pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di
lingkungan Kanwil DJP WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus,
dan KPP Madya. Surat edaran nomor SE-45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat
keputusan pemusatan tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dalam rangka
pelaksanaan peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat
pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak
di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor
Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta
Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak Madya.
PT Putra telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam
bidang perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit
komputer kepada PT Putri dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan
ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang
diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah:
Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)
a) pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau
pemberi jasa; atau
b) pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah
melakukan pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat
(1) PP 1 Tahun 2012)
Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Strategi untuk menghadapi temuan dari pemeriksa pajak (fiscus) apabila kredit
pajak tidak dapat dikonfirmasi, maka PKP harus melakukan rekonsiliasi secara rutin
dan memenuhi persyaratan baik formal maupun material guna memastikan bahwa
faktur pajak masukan yang diterima adalah valid dan dapat dikonfirmasi.
E. Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan
Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva
tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.
Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan
dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi
dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu
menggunakan kurs transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata
dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli
dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang
telah disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount.
Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam
Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash
Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar
daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian
SPT Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan
secara rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah
ditelusuri. Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat
langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Jumlah A + B CCC
Selisih (C – D) EEE
Bila kolom H seperti formula di atas masih terdapat selisih, kemungkinan besar
selisih berasal dari retur penjualan dengan faktur pajak sederhana atau karena memang
ada kesalahan dalam penghitungan obyek PPN maupun Omzet PPh Badan.
DAFTAR PUSTAKA
www.pajak.go.id
www.ortax.org
www.himmapi.com