Aksi Kamisan merupakan salah satu pergerakan dalam menegakan HAM, aksi ini sudah berlangsung selama hampir 10 tahun. Sayangnya Aksi Kamisan ini masih belum mendapatkan jawaban apapun dari pemerintah. Oleh karena itu diperlukannya banyak dukungan untuk aksi ini terutama pada generasi muda untuk ikut berperan. Dalam situasi ini diperlukanya solusi yang dapat memotivasi dan menarik perhatian generasi muda agar berperan. Dipilihlah media Buku Ilustrasi dikarenakan media ini bersifat menghibur dan tidak terlalu berat oleh target audience. Alur cerita pada buku ini dibuat seperti puisi agar pembaca tidak berpikir terlalu berat dan bisa dibawa dengan santai namun tetap menyampaikan pesan kemanusiaan. Dengan perancangan Buku Ilustrasi ini diharapkan anak muda lebih peduli dengan HAM dan Masyarakat pinggir. Dilansir dari web resmi Penulisan (www.aksikamisan.net) di penghujung tahun 2006, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), yaitu sebuah paguyuban korban/keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) mengadakan sharing bersama JRK (Jaringan Relawan Kemanusiaan) dan KontraS untuk mencari alternatif kegiatan dalam perjuangannya. Pada pertemuan hari Selasa 9 Januari 2007, bersama KontraS dan JRK disepakati untuk mengadakan suatu kegiatan guna bertahan dalam perjuangan mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan dan melawan lupa. Sebuah kegiatan berupa “Aksi Diam” sekali dalam seminggu menjadi pilihan bersama. Bahkan disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna dan mascot sebagai simbol gerakan. Aksi tersebut dinamakan dengan “Aksi Kamisan” atau bisa dipanggil “Aksi Diam”. Diam dan berdiri adalah pilihan, karena “diam” tidaklah berarti telah kehilangan hak-hak sebagai warganegara, dan “berdiri” melambangkan bahwa korban/keluarga korban pelanggaran HAM adalah warganegara yang tetap mampu berdiri untuk menunjukkan bahwa punya hak sebagai warga di bumi pertiwi Indonesia dan sadar bahwa hak itu tidak gratis bisa didapat, terlebih-lebih ketika pemerintah tidak mau peduli. Diam, juga untuk menunjukkan diri sebagai bukan perusuh, bukan warganegara yang susah diatur, juga bukan warganegara yang membuat bising telinga, tetapi tetap menuntut pemerintah untuk tidak diam. Aksi itu dilakukan pada hari Kamisan di mana peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi karena istana merupakan simbol pusat kekuasaan, selain itu waktunya pun telah di tentukan yaitu pada pukul 16.00-17.00 tepat saat jalanan mulai ramai karena pekerja mulai pulang. Aksi Kamisan juga menggunakan payung hitam yang dipilih sebagai maskot, merupakan simbol perlindungan dan keteguhan iman. Payung merupakan pelindung fisik atas hujan dan terik matahari, dan warna hitam melambangkan keteguhan iman dalam mendambakan kekuatan dan perlindungan illahi. Bermula pada tanggal 18 Januari 2007 hingga sekarang, Aksi Kamisan ini masih disebut aksi yang tak berujung, karena aksi tersebut masih belum menemukan jalan terang. Masih banyak sekali persoalan yang belum dituntaskan seperti Penembakan Misterius, Pembunuhan Marsinah, Penculikan Aktivis ‘97/’98 sampai dengan pembunuhan Munir dan masih banyak lagi. Hal ini membuat para aktivis memilih tetap bertahan untuk melanjutkan aksi ini hingga mencapai Kamisanan ke-478. Akan tetapi Aksi Kamisan sendiri sempat akan dibubarkan oleh pemerintah karena takut mengganggu ketertiban di sekitar lingkungan Istana Negara, padahal Aksi Kamisan adalah salah satu aksi menyerahkan aspirasi dalam bentuk lain dan sangat filosofis, agar para korban dapat memperjuangkan haknya dan generasi mendatang tahu mengenai aksi ini sebagai bentuk aksi menolak lupa. Berdasarkan data dan uraian di atas, maka untuk menyampaikan pesan dari Aksi Kamisan diperlukan perancangan buku ilustrasi yang dapat membantu menceritakan kisah dan sejarah dari Aksi Kamisan. Di samping peranan tersebut perancangan buku ilustrasi ini diharapkan juga dapat sebagai panduan untuk generasi muda agar peduli pada isu masyarakat terpinggirkan dan buku ini dapat menjadi dukungan moral untuk para korban serta keluarga korban yang selama ini mengikuti Aksi Kamisan. Sejauh pengamatan, belum ada perancangan tentang buku ilustrasi tentang Aksi Kamisan untuk pemula. Jika pun ada, bukan yang memiliki objek yang sama. Salah satunya adalah perancangan “Sang Penyair Tinggal Nama?” adaptasi dari biografi Wiji Thukul yang dirancang oleh Sigit Setiawan, alumni Universitas Sebelas Maret. Mungkin bisa dibilang sama-sama mengambil isu sosial hanya saja perancangan “Sang Penyair Tinggal Nama?” lebih berfokus kepada biografi Wiji Thukul. Diselenggarakannya aksi penuntutan keadilan bagi korban penghilangan paksa dan pelanggaran Hak Asasi Manusia masa lalu yang diselenggarakan setiap Kamisan petang di depan Istana Negara. Aksi yang pada mulanya diinisiasi oleh paguyuban korban dan keluarga korban dan terinspirasi dari gerakan Mothers of the Plaza de Mayo di Argentina ini kemudian meluas, diikuti oleh elemen-elemen masyarakat sipil dan gerakan sosial lainnya. Dalam perkembangannya, Aksi Kamisan pun diadakan di sejumlah kota lain di luar Jakarta, seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Malang. Fakta bahwa Aksi Kamisan terus diselenggarakan merupakan pencapaian sekaligus momen refleksi bagi segenap korban, penyintas, keluarganya, dan juga elemen-elemen gerakan sosial lainnya. Kita perlu menghormati dan mengapresiasi setinggi-tingginya konsistensi dari para korban, keluarga korban, dan pejuang HAM lainnya dalam memperjuangkan agenda-agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan budaya politik anti-impunitas. Namun, kita juga perlu memikirkan sejauh apa pencapaian dan batas dari Aksi Kamisan selama ini dan langkah-langkah apa yang musti dipikirkan dan ditempuh oleh para pegiat Aksi dan isu-isu HAM lainnya. Sejauh ini isu-isu yang diangkat di dalam Aksi Kamisan cenderung belum beranjak lebih jauh dari tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dan pemenuhan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa perjuangan HAM, sebagaimana perjuangan isu-isu kerakyatan lainnya, sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik dan juga fragmentasi di dalam gerakan sosial. Dalam konteks transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi elektoral, sebagaimana dialami oleh Indonesia dan banyak negara lainnya, kesuksesan transisi dan fase awal demokrasi yang muncul setelahnya sedikit banyak bergantung pada pakta di antara para elit, yang juga membahas sejauh mana proses peradilan dapat dijatuhkan dan dijalankan kepada para pelanggar HAM – terutama aktor- aktor militer – di masa otoritarianisme. Inilah dilema yang dihadapi oleh banyak gerakan sosial di berbagai negara yang melakukan demokratisasi: di satu sisi ada keadilan kepada korban yang belum terpenuhi, namun di sisi lain kelancaran dan stabilitas fase awal demokrasi juga bergantung kepada komitmen para elit – termasuk mereka yang dulunya merupakan bagian dari ancien régime – terhadap proses-proses demokrasi setidaknya pada tataran yang formal, yang berimplikasi pada penundaan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh elit-elit lama tersebut. Namun ini bukan berarti bahwa kemungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggarahan HAM menjadi nihil. Persis di titik inilah pembacaan atas konfigurasi politik yang ada menjadi penting. Pengalaman dari sejumlah negara lain seperti Korea Selatan dan Argentina menunjukkan bahwa pakta elit, termasuk yang menyangkut persoalan HAM, dapat berubah apabila ada tekanan dari gerakan rakyat yang kuat, yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam sebuah gerakan yang tuntutannya lebih dari sekadar penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah. Ini memang dicapai melalui perjuangan yang panjang. Di Argentina, gerakan Mothers of the Plaza de Mayo, setidaknya telah melakukan 2000 aksi – penulis ulangi, 2000 aksi – semenjak tahun 1977 hingga pertengahan Agustus tahun kemarin selama hampir 40 tahun! Gerakan para ibu dan anggota keluarga korban lainnya ini juga mengalami pasang surut yang begitu berdinamika. Dalam perkembangannya, tuntutan gerakan Mothers of the Plaza de Mayo mengalami radikalisasi, yang berujung kepada perpecahan di antara elemen-elemen gerakan tersebut. Kemudian, selama bertahun-tahun, pemerintah Argentina seakan acuh tak acuh terhadap tuntutan popular ini, hingga proses transisi menuju demokrasi elektoral kurang lebih selesai pada tahun 1983 dan Pengadilan atas Petinggi Junta (Trial of the Juntas) berlangsung pada 1985. Pencapaian ini, yang telah berhasil menyeret sejumlah perwira tinggi militer yang berkuasa di masa kediktatoran junta dan bertanggung jawab atas penghilangan paksa ribuan aktivis anti-rejim, pun bukannya berjalan secara mulus. Dua undang-undang, Full Stop Law dan Law of Due Obedience yang masing-masing disahkan pada tahun 1986 dan 1987, menginstruksikan untuk menghentikan proses penyidikan dan peradilan kasus-kasus pelanggaran HAM, hingga kemudian dua undang-undang tersebut dicabut oleh Parlemen Argentina dengan dukungan dari Presiden Néstor Kirchner, seorang Peronis berhaluan Kiri, dan penerapannya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung Argentina di tahun 2005. Ini menunjukkan bagaimana konfigurasi politik berpengaruh kepada sikap pemerintah terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Perjuangan yang panjang ini juga tidak bisa hanya dilakukan oleh para korban dan penyintas pelanggaran HAM dan para keluarganya maupun para aktivisnya semata. Pengalaman Pergerakan Demokratisasi Gwangju atau yang dikenal juga sebagai Pemberontakan Demokratik 18 Mei di Korea Selatan, menunjukkan bahwa dampak dari gerakan-gerakan pro-demokrasi – dalam hal ini gerakan anti-otoritarian yang dimotori oleh para mahasiswa – akan meluas jika dan hanya jika elemen-elemen dari gerakan sosial lain termasuk juga publik yang lebih luas juga bersolidaritas dan terlibat dengan sadar dengan gerakan tersebut. Tentu saja ada konteks politik tertentu yang menjadi pendorong dari aksi solidaritas tersebut, yaitu represivitas rejim otoritarian pada masa itu yang mencapai puncaknya dan harus mengandalkan kekerasan terbuka untuk meredam gelombang perlawanan pada waktu itu. Namun, ini bukan berarti bahwa kita tidak bisa mengambil kesempatan di tengah iklim politik yang relatif terbuka khas tatanan demokrasi elektoral. Referensi
Aksi Kamisan. (2014). Pengertian Aksi Kamisan. 15 Maret 2017. Diakses dari http://www.aksiKamisanan.net/