Anda di halaman 1dari 11

Alas jagat Cirebon Girang, Sugih mukti kaya makmur, terhampar ladang yang subur,

terlindungi gunung-gunung. Dijagat Cirebon Girang, kocap ada raja adil, Raja Prabu
Sunan Ua Eudeum Jaya. Raja punya banyak perahu, sering dipinjam rakyatnya, kini
tinggallah empat sisanya, peminjam tidak kembali.

Kisah sang Juru Pantun, tentang gambaran cirebon, utama Cirebon Girang,
jembatan ke Pajajaran.

Sugih mukti beurat beunghar


Gedong barat gedong timur
Gedong siraraden denok
Alas jagat Cirebon Girang
Mledug ka awun-awun
Ngalimbung baris gegedug
Ngajujur baris ponggawa
Uger-uger paseuk pageuh
Jambatan ka Pajajaran
Cirebon Girang

Konon suatu hari, Sang Pangeran Pajajaran, datang bertandang kesana, mencari
ilmu linuhung, agar dapat jadi ratu, sangkan hurip jadi menak, jadi manusia waluya,
sempurna peneguh negri.

Nu nunggal di Pajajaran
Hayang tulus jadi ratu
Hayang waluya jadi menak
Dek diajar nguncang ngumbara
Geus paceklik ku nini nini
Geus kokoro ku wadon
Geus mararat ku bikang

Sang Munding Sanggawati, putra teureuh Pajajaran, diiringi gegedugnya, Kidang


Pananjung katelah, serta Jaksa Gelap Nyawang, kalih Patih Purwakalih, istrinya tak
ketinggalan, Nyi Lenggang Garing namanya. Pajajaran waktu itu, berkuasa Sang
Narpati, Perabu Geledeg Wayang, didampingi istri cantik, Kentrik Manik Dayang
Sunda. Sang Munding Sanggawati pun, punya saudara lainnya, Perabu Munding
Malati, Aci Malati kedua, ketiga Sekar Melati.

Sang Pangeran Pajajaran, berniat pinjam perahu, untuk laku mengembara, tujuan
kearah timur. Ua Eundeum mengatakan, empat puluh dia punya, sekarang hanyalah
empat, peminjam tak pernah balik. Keempat perahu itu, masing-masing punya
nama. Pertama Si Beulit Pugur, yang bertuah cepat laju, majunya tak pernah kalah,
sangat tahan kena ombak ; kedua si Sima Getih, yang kurang baik di pakai, apalagi
untuk perang ; Si Bayuta Ngambang ketiga, mampu hindari halangan, dan tak basah
kena ombak ; keempat si Colat Emas, baik untuk calon raja, terutama tuk manusia,
sempurna peneguh negeri. Atas petunjuk Wa Eundeum, Sang Pangeran dianjurkan,
memilih si Colat Emas.

Artinya si Colat Emas, sama dengan belang putih, warna dikepala kuda. Tapi warna
colat ini, bisa kuning atau putih, putih diartikan barat, melambangkan Mahadewa,
berwatak sombong dan angkuh, pedas bila berbicara, lambang lain yang tersirat,
burung pondang sejatinya, sama dengan lambang angin. Bagi sang pangeran
dalem, Perahu ini yang tepat, warna kuning lambang raja, atau anak lelakinya.
Warna kuning sejatinya, utama untuk manusia, yang ingin hidup sempurna, terutama
calon raja, agar waluya hidupnya. Tunda !!!

-o0o-

Kita tinggalkan Pangeran, didalam pengembaraan, naik perahu si colat, menuju


kearah timur.

Alkisah di Nusa Bali, rajanya gagah perkasa, namun sayang berangasan, Demang
Patih Naga Bali, itulah nama sang raja. Sang Raja di Nusa Bali, dikawal dua
ponggawa, Munding Rarangin namanya, Gajah Rarangin kedua. Ia pun berputri tiga,
ayu jelita rupawan, Nyi Geulang Rarang pertama, Keduanya Rarang Nimbrang
Inten, dan Bagadaya Panutup Sungging.

Kisah Munding Sanggawati, sampailah di Nusa Bali, Parwakalih mengingatkan, agar


Pangeran waspada. Seperti lajim bertamu, harus jaga sopan satun, menghormati
tuan rumah, tertib hidup tertib laku, jangan menyinggung pribumi. Purwakalih
mepelingan, sapun ka nu gaduh lembur, amit kanu gaduh bumi, tabe kanu gaduh
bale, map ka juragannana, mun deuk asup kanagara, amit tabe ka sang raja.

Sang pangeran masih muda, kadang sering lali diri, lupa nasehat pengasuh. Setiba
di Nusa Bali, ia berkeliling kota, memutar tembok keraton, mencari apa yang ada.
Munding Sanggawati lupa, mengetuk pintu kaputren, bertemu putri jelita, di tempat
Elong Kencana. Mereka pun jatuh cinta, lupa disekelilingnya, langsung masuk ke
kaputren, sanghyang pagulingan tempatnya. Sedangkan para pengasuh, mulai kesal
menunggu, sudah lewat waktu lama, sang pangeran urung tiba, perginya entah
kemana.

Di keraton Nusa Bali, konon putrinya sang raja, Geulang Rarang Nimbrang Inten,
bermimipi disiang hari. Waktu itu hari jum’at, sang putri tidur terlelap, lantas iapun
bermimpi, sang putri tertindih langit, merasakan bumi lembek, beringin daunnya
rontok, diterpa kencangnya angin. Matahari pun begitu, tidak akur dengan bulan,
hingga muncul bintang timur, dari bagian selatan. Ketika ia terbangun, bergegas
mencari Raka, sang raja di Nusa Bali.

Geulang Rarang bercerita, tentang mimpi tadi siang, keraton hening sejenak,
mendengar pitutur putri. Tidak sebegitu lama, setelah raja merenung, ia sangat
memahami, perlu laku yang waspada. Sang Raja Bali memanggil, para pengawal
keraton, seraya di perintahkan, segera ronda kaputren. Perintah pun ditaati, aki
lengser ikut nimbrung, niat membantu meronda. Namun purwakalih iseng, menakut-
nakuti lengser, hingga lari tak kepalang, konon kencing dicelana.

Bagi para pengasuhnya, jadi serba salah tingkah, karena Sang raja Nusa, langsung
menangkap Pangeran. Akibatnya sangat parah, Sang Pangeran Pajajaran, serta
para pengasuhnya, dijebloskan ke penjara. Purwakalih agak kesal, seraya ia
berkata, mengapa tak menuruti, nasehat yang diberikan, harus pamit harus ijin,
bertamunya harus sopan. Purwakalih mengingatkan, tujuan ke Nusa Bali, sang
Pangeran yang berniat, mencari ilmu sempurna. Untuk menghilangkan kesal,
merekapun bersemedi, siapa tau ada rakyat, dari negeri Pajajaran, berkunjung ke
Nusa Bali. Jika saja nanti ada, mereka akan meminta, agar dapat dilepaskan, dari
sang jeruji besi. Rupanya waktu berlangsung, sang penolong belum datang, hampir
tak ada harapan, hanya semedi lakunya.

-o0o-

Ketika pergi merantau, Munding Sanggawati ke timur, sang Aci Melati ngandeg,
mengandung seorang bayi. Baru berumur sebulan. Setelah diperiksakan, ternyata
sudah saatnya, putri harus melahirkan. Dipanggilnya Ua Lengser, untuk mencari
paraji, indung beurang disebutnya. Sang bayi pun lahir mulus, tanpa setetes pun
darah, keluar rahim sang bunda. Jangankan setetes darah, air tuban pun tak ada,
kering bersih sebiasa. Sang bayi pun di periksa, dengan cermat dan teliti, ternyata
kelahirannya, sang bayi tidak berpusar.

Tiga hari telah lewat, sang bayi mulai menangis, ngoceak maratan langit, teu
daekeun dipepende, tidak diketahui sebab. Oleh sang Nini Paraji, diberikan nama
bagus, Anggawarilang namanya, namun bayi terus nangis, tak ada henti-hentinya,
akhirnya ibu si utun, memberikan nama baru, Geulang Rarang wasta bayi. Tapi bayi
masih nangis, tak pula mau berhenti, hingga sang Munding Malati, segera datang
menjenguk. Tiba rasa kesal hati, dilemparnya bayi mungil, hingga terbang
keangkasa. Sang bayi jatuh ke bumi, tertahan setangkai kembang, tangannya
terselip dahan, di batang cempaka warna. Si bayi tak henti nangis, suaranya makin
keras, membuat pekak telinga, hingga tembus swargaloka.

Kocap di Sanghiyang Nunggal, gedung sigrong kahiyangan, Sunan Ambu


mendengarkan, jeritan pilu si mungil. Tibalah belas kasihan, mendengar tangis sang
cucu, ia pun turun kebumi, menimang sibayi lucu. Sang Nenenda pun memuji,
dengan membelai si utun. Sunan Ambu menyatakan, inilah cucunda sayang, :

lelaki langit lalanang jagat,


alap-alap mega malang,
kawaya di alam dunya,
sugan sikasei deui,
jadi harimeumeu dunya.

Sunan Ambu pun menimang, bernyanyi lagu nasehat, berisi tentang ajaran, yang
lajim disenandung, urang sunda masa buhun :

Geura itung mana kasep puluh-puluh


Petek lawe-lawe
Bilang widak-widak
Sawindu kasep dalapan taun
Sataun dua belas bulan
Sabulan tilu puluh poe
Poe tujuh dawuhan lima

Nu lima geura opatkeun


Nu opat geura tilukeun
Nu tilu geura duaeun
Nu dua geura tunggalkeun
Tunggal di awak sikasep
Nasehat sang Sunan Ambu, berintikan pesan moral, bagi manusia yang hidup, di
buana panca tengah. Kandungan nasehat itu, berpesan moral kasundan, yang wajib
diketahui, para pemimin sejati. Mungkin dapat di maknai, bagi manusia lainnya, yang
rindukan harmoni, pencari kesempurnaan.

Makna ini pun tersirat, dalam penamaan bayi, lahirnya dan menggemparkan,
bernama Badak Pamalang. Teureuh manusia kasundan, disebut lalaki langit, katelah
lalanang jagat, memiliki dua unsur, yang harus tetap bersatu. Manusia takdir
hidupnya, di buana pancatengah, di bumi ngaran kiwari. Namun kesejatiannya, tak
bisa tinggalkan moral, yang diatur dari langit. Inilah kesempurnaan, antara langit dan
bumi, bersatu menjadi tungal, ada didiri manusa.

Badak Pamalang terlahir, sebagai lalaki langit, dan juga lalanang jagat. Badak hidup
didunia, di alam manusia ada, ia melambangkan unsur, makhluk yang hidup di bumi.
Kedua nama Pamalang, disebutkan mega malang, melambangkan unsur langit.
Badak Pamalang artinya, disebut manusia sempurna, kelak menolong pamannya,
yang hendak menjadi ratu, dan menak anu waluya.

Cobalah kita maknai, nasehat sang Sunan Ambu, makna yang berpuluh-puluh,
artinya banyak sekali, takan terhitung jumlahnya. Sewindu itu delapan ; setaun dua
belas bulan ; sebulan itung harinya. tiga puluh biasanya ; seminggu harinya tujuh ;
tujuh bisa jadi lima. Inilah mandala waktu.

Dalam visi kasundaan, masyarakat yang agraris, terdapat keserasian, antara diri dan
alam. Semua akan terungkap jika membaca tandanya, mengenal mandala waktu.
Mandala waktu sapasar, terdiri unsur yang pasti. Pertama Legi - umanis, berada
diruang timur ; Kedua harinya pahing, berada di belah barat ; ketiga yang
disebutnya, Pon yang sering disebutkan, bersemayam belah barat ; Keempat nama
Uwage, sering diucapkan wage, bersemayan di Utara ; kelima itu pusatnya, dengan
sebutan Kaliwon.

Bila lima jadi empat, maka hilanglah pusatnya, yang empat pasang pasangan, pon–
pahing dan wage–legi. Dari penghadapan ini , muncul dualisme waktu, seperti siang
dan malam. Namun dari empat itu, harus dijadikan tiga. Kembali yang berpasangan,
harus disatukan lagi, menjadi pasangan tunggal, dengan tetap satu pusat. Tiga
dijadikan dua, tandanya pasang-pasangan, ada siang ada malam, itulah hakekat
hidup, untuk saling melengkapi. Dua dijadikan satu, disebutkan juga tunggal, inilah
hakekat waktu “Sang Hyang Tunggal” unina. Saestu Sanghyang Tunggal, tak
terbatas oleh waktu, sebab ragamnya sang waktu, miliknya Sanghyang Tunggal.
Ragamnya waktu terbelah, ada siang ada malam. Tetapi bagi yang tunggal, tidak
ada pembedaan, harmoni siang dan malam, artinya tidak terbelah, bukan siang
bukan malam, tetapi tetap menyatu. Unsur yang tidak berwaktu, juga Yang Tidak
berwaktu, bersemayam dalam diri, setiap manusia hidup.

-o0o-

Kita kembali ke timur, di Nusa Bali tempatnya, kisah ini dikisahkan, yang syarat
dengan maknanya. Demang Patih Naga Bali, memiliki burung elang, badannya tidak
berbulu, namun ia bisa terbang. Sang elang mau bertelur, ia menghadap majikan,
segera minta petunjuk, dimana ia bertelur. Sang Demang memerintahkan, pergilah
engkau kehutan, segera buat sarang mu, didahan pohon beringin, menjorok kearah
timur. Itulah pohon beringin, terbesar di Nusa Bali, menjorok kekebun bunga.

Maka pergilah sang Elang, bertelur dan mengerami, hingga menetas sang bayi.
Konon ada dikisahkan, anaknya sebesar kerbau, mulutnya terus menganga, tak
henti meminta makan. Kebingungan pun melanda, rasa sang elang induknya, ia pun
menghadap raja, memintakan petunjuknya. Sang raja memerintahkan, agar anaknya
si Elang, diberi makan menjangan, kucing, anjing atau kuda, ternak lainnya pun
boleh. Tapi jika tidak cukup, boleh diberi makanan, setiap hewan yang hidup,
dihutan tempat si Elang. Namun masih belum cukup, sang anak masih menganga,
kelaparan tak hentinya, hewan hutan pun tlah habis.

Sang Elang menghadap raja, mohon petunjuknya lagi, tentang anaknya yang lapar,
tak puas diberi makan. Sang Demang memerintahkan, agar diberi makanan,
manusia pun boleh saja, asal bukan orang Nusa. Elang terbang keangkasa, mencari
makan sang anak, manusia siapa saja, yang penting bisa dimakan. Elang melihat ke
bawah, nampak ada bayi hidup, sang bayi tergantung dahan, hidup dibatang
cempaka. Pohon Cempaka tempatnya, diwilayah Pajajaran, inilah Badak Pamalang,
yang tadi telah ditendang, oleh Sang Munding Malati. Sang bayi disambar elang,
dibawa ke Nusa Bali. Setiba elang di sana, dijadikan makanan elang, untuk anaknya
yang lapar.

Didalam perut si anak, Badak Pamalang terbangun, ia tidak bisa mati, malah tumbuh
makin besar. Anak Elang pun tak lapar, makin hari makin besar, kotorannya jadi
pupuk, memenuhi kebun bunga. Badak Pemalang tlah lama, tak kurang sembilan
bulan, hidup dalam perut elang, berjalan-jalan sendiri, di usus sang anak elang.

Hingga pada suatu hati, malah berniat keluar, lewat dubur anak elang, dari mulut tak
berani, karena takut di patuk, dimakan lagi sang anak. Setiba diluar dibur, Badak
Pamalang menarik, duburnya sang anak elang, hingga tak tertahankan lagi, anak
elang jadi mati. Sang induknya sangat marah, ia mematuk kembali, namun sang
Badak Pemalang, mengulangi jalan tadi, keluar dari duburnya, sambil menarik
duburnya, sang elang tewas disarang.
Pemaknaan kisah ini, konon dengan silib sampir, siloka pun pasti ada. Dikisahkan
Juru Pantun, ditelan Badak Pamalang, dalam tubuh anak elang, sembilan bulan
masanya, tentu sarat melambangkan, adanya ruwatan bayi, hingga terlahir kembali.
Menurut visi pemantun, Sang bayi harus berproses, maka dikelak nanti, tumbuh
manusia sempurna, lelaki langit yang sakti, membawa pesan sejati, moral langit
yang hakiki.

-o0o-

Kisah Sang Badak Pamalang, setelah tuntas lampahnya, Dari perutnya sang Elang,
berada di taman Bunga, milik negeri Nusa Bali. Taman bunga milik negeri, terletak
dekat kaputren, tempatnya Elong Kencana. Di kaputren itu juga, Lenggang Kencana
pun tinggal, adik raja yang satunya, berparas ayu rupawan.

Konon Sang Badak Pamalang, kerjanya memetik bunga, terutama bunga indah,
dipetiknya hingga habis. Pada suatu hari, Lenggang Kencana pun tiba, mengunjungi
taman bunga, yang bunganya sangat indah. Melihat taman yang rusak, sang putri
pun sangat marah, namun apa di kata, sang perusak tidak tampak. Namun sang
putri melihat, ada anak kecil tiba, ia pun jatuh kasihan, di peluk dan diciumnya.
Badak Pamalang gembira, apalagi dibawanya, masuk kedalam kaputren, dibuatkan
tempat main, ayunan yang biasanya, disukai anak kecil.

Pada waktu bersamaan, Sang Raja keliling kraton, niat memeriksa negri,
memastikan keamanan. Sampai ia di Kaputren, mendengar keceriaan, adiknya
tertawa renyah, sambil bersenandung riang, berteman Badak Pamalang, yang
sedang main ayunan. Naga Bali mengetuknya, kaputren Elong Kencana, lantas
iapun bertanya, kepada adik terkasih. Sang Kakanda menanyakan, ada tamu dari
mana, nampak bukan dari sini, karena logatnya beda. Sang putri menjawab bohong,
ia takut kena marah, tak mau bukakan pintu, agar tamunya tak nampak. Sang kakak
terbit amarah, di dobrak pintu kaputren, hingga nampak anak kecil, Sang Badak
Pamalang tadi. Kakanda berujar berang, anak ini berbahaya, jika besar jadi musuh,
membunuh seisi negeri. Sang Kakak memerintahkan, Badak Pamalang dibunuh,
agar tidak jadi momok, menghancurkan isi negri.

Dikisahkan selanjutnya, Sang putri tetap tak rela, Badak Pamalang dibunuh, karena
ia masih kecil, tak mungkin membunuh orang. Sang kakak pun tetap marah, menarik
Badak Pamalang, ditendangnya anak itu, sang anak hanya tersenyum, bagai tidak
kesakitan. Sang raja makin amarah, memukulkan dengan gada, besi malela
namanya. Badak Pamalang tersenyum, berujar yang sangat aneh, “paman
pijatannya kurang keras”. Sang raja makin amarah, dibawa Badak Pamalang,
ketempat penempa baja, ditekan alat penempa, dari atas dari bawah. Badak
Pamalang berujar, “paman, tekanlah yang keras, pijitannya masih lunak, aku tidak
merasakan”. Sang raja makin keras, menekankan penempaan, namun apa dikata,
alatnya malahan hancur. Upaya raja terakhir, menggunakan ilmu sakti, jarang yang
bisa bertahan, merasakan tempelengnya. Ketika mengangkat tangan, rasa sakit tak
tertahan, seolah tangannya lumpuh, tak bisa ia gerakan. Sang raja memanggil
lengser, untuk mengusir encoknya, dengan cambuk milik dia. Setelah sang raja
sembuh, ia lari ketakutan, bersembunyi ditempat sunyi, dikolong ranjang tempatnya.
Sang raja makin gemetar, takut tiada kepalang, dikejar si anak kecil, dikira hendak
membunuh.

Setelah sang raja lari, Badak Pamalang pun pergi, mencari Lenggang Kencana,
yang telah diaku ibu. Ketika ia keliling, tak kunjung juga bersua, ia ciptakan mustika,
bernama mustika anjing. Mustika pun diperintah, menyusur jejak ibunda, dilacak
hingga ke ujung, sampailah di air terjun, Cimande Racun tempatnya. Badak
Pamalang pun kaget, melihat ibunya mati, karena ia bunuh diri, tak tahan
menanggung sedih, dikira sang anak mati. Badak Pamalang pun matek, aji yang ia
yakini, dapat menghidupkan orang, yang belum saatnya mati. Lenggang Kencana
pun bangun, kaget melihat si anak, merekapun berpelukan, lantas pulang ke
kaputren.

Ibu dan anak bahagia, hidup didalam istana, namun sang Badak Pamalang,
hidupnya serasa sepi. Untuk usir rasa sepi, ia memohon ibunda, agar dicarikan
teman, untuk bermain bersama. Lenggang Kencana pun surti, dicari teman mainnya,
dapatlah seekor ayam. Sang ayam sangat lah pandai, bercakap-cakap biasa,
ngobrolnya seperti teman, hingga betahlah sang anak. Sang ayam pun punya nama,
layaknya bagai manusia, ia diberikan nama, Kentri Haji Mala Dewa.

Dalam suatu percakapan, si Kentri pun berceloteh, di jeruji bawah tanah, ada Satria
tahanan. Badak Pamalang terhenjak, mengajak menengok bui, lantas ia pun
melihat, satria dan pengasuhnya. Setelah ia tanyakan, gerangan satria ini, lantas
satria mengaku, nama Munding Sanggawati. Badak Pamalang pun iba, melihat
penderitaan, satria tahanan ini, yang lama telah disekap, badannya pun sangat
kurus. Badak Pamalang bersiap, untuk mendobrak penjara, tak lama waktu
berselang, penjara pun telah hancur. Keluarlah kesatria, bersama para pengasuh,
merekapun sangat lunglai, sudah lama tidak makan. Badak Pamalang berlalu,
mengajak ayam si Kentrik, guna mencari makanan, berduaan masuk hutan. Di
hutan nampak manusia, kakek dan nenek berdua, Keduanya sedang asyik,
membuat keranjang bambu. Badak Pamalang meminta, sepasang keranjang besar,
agar dapat digunakan, sebagai wadah makanan. Pergilah Badak Pamalang, kepasar
yang paling dekat, mencari makanan itu, sesuai yang dibutuhkan. Badak Pamalang
pun tiba, dipasar yang sangat ramai, ia minta kepedagang, makanan yang
dibutuhkan. Usai makanan terkumpul ia pun menyerahkannya, kepara tahanan tadi,
agar bisa dimakannya.
Setelah mereka pulih, ucapkan terima kasih, tak lupa juga bertanya, jati diri
penolongnya. Badak Pamalang pun wakca, jelaskan jatidirinya, ibunda Aci Malati,
sang ayah Munding Malati. Alangkah senang mereka, ternyata sang penolongnya,
teureuh asli Pajajaran, putra adik Sanggawati. Munding Sanggawati berujar, wakca
kenalkan dirinya, dialah kakak ayahnya, dari Sang Badak Pamalang. Tak lupa ia
kisahkan, ketika pergi merantau, ia tinggalkan adiknya, yang hamil baru sebulan,
itulah Badak Pamalang, sekarang dihadapannya.

Sang Badak Pamalang pun pamit, hendak mencari pakaian, untuk ganti pakaiannya,
busana para uanya. Badak Pamalang pun mampir, pamit ke ibu angkatnya, ia pun
meminta karung, diisi sampah dan beling. Diatas ia tempelkan, lempengan emas
sedikit. Ia pun memanggul karung, dibawa ke pelabuhan, mencari para pedagang,
untuk ditukar pakaian. Kepada para pedagang, Badak Pamalang tawarkan, karung
emas yang dibawa, dapat ditukar pakaian. Sang pedagang pun setuju, dikira emas
batangan, ia pun memerintahkan, untuk mengangkat barangnya. Para awak kapal
itu, tak mampu mengangkat barang, padahal orangnya banyak, masih juga tak
terangkat. Badak pemalang mengangkat, nampak barang sangat ringan, hingga tak
memakan waktu, barang sudah dikapal. Sang pedagang menyerahkan, pakaian
yang dibutuhkan, tujuh perangkat pakaian, yang bagus dan masih baru. Alangkah
kaget Nakhoda, setelah membuka karung, ternyata isinya sampah, diperberat beling
kaca. Namun sang nakhoda sadar, urungkan niat marahnya, ia juga sangat tahu,
anak itu masih kecil, ia punya kesaktian, akhirnya nakhoda diam, ikhlaskan
barangnya pergi.

Badak Pamalang pun tiba, di tempat para uannya, lantas diserahkannya, pakaian
yang ia dapat. Setelah ganti pakaian, para uanya berniat, bertemu dengan ibunya,
Lenggang Kencana yang cantik. Namun tentu dilarangnya, bertamu masuk
kaputren, kaputren sangat terlarang, menerima tamu asing. Kidang Pananjung
berfikir, ia gunakan sirepnya, buat seisi kaputren, tertidur lelap ditempat. Merekapun
bisa masuk, bertemu dengan sang Putri. Alangkah cantik sang putri, seperti dalam
impian, tertegun nampak mereka, kagumi Lenggang Kencana.

-o0o-

Terkisah Badak Pamalang, pamit tunaikan tugasnya, menaklukan Nusa Bali, sesuai
yang ditakdirkan. Ia dibekali do’a, ajian pun sangat lengkap, dari Sang Lenggang
Kencana, Munding Sanggawati tak tinggal. Tak lupa sang Gelap Nyawang, Kidang
Pananjung berikan, serta dari Parwa kalih. Lengkaplah isi dirinya, tak ada yang
tersisakan, ilmu lahir ilmu bathin, telah dilahap semua.

Langkah yang dilakukannya, menghancurkan kabuyutan, agar semua tuahnya,


merasuk dalam dirinya. Kabuyutan yang pertama, bernama Beusi Malela.
Kabuyutan yang kedua, yang bernama Beusi Kuning. Kemudian selanjutnya, Tiwuan
Gatung - Oray Laki. Kabuyutan yang terkahir, Kancah Malela namanya. Semakin
banyak yang hancur, makin bertambah saktinya, hingga sang Badak Pamalang,
menjadi tak terkalahkan.

Makna dari kabuyutan, berciri konsep mandala, memiliki kesakrakalan, yang paling
dipertahankan. Kisah ini pun bermakna, penghancuran satu negeri, didahului
mandalanya, pusat harga diri raja, katut nagara dan bangsa. Demikian Pajajaran,
ketika dikalahkannya, semula dari Cirebon, menuju kearah Banten, akhirnya masuk
ke Sentral, ke Pakuan yang di Bogor.

Di keraton Nusa Bali, Badak Pamalang pun tiba, menantang para panglima, yang
konon sangatlah sakti. Pertama Munding Rarangin, anggap enteng anak kecil,
kedua Gajah Rarangin, meremehkan tantangannya. Namun dalam satu
pertempuran, mereka pun dikalahkan, bahkan diliuar dugaan, tewas naas keduanya.

Tak cukup sampai disitu, juga raja Nusa Bali, tak luput dari incaran. Perang tanding
pun terjadi, seperti sangat seimbang, namun papasten Hyang Widi, sang raja
akhirnya kalah. Raja takluk terus nyerah, menyerahkan isi negeri, raja pun terus
berjanji, mengabdi ke raja baru. Sang Badak Pamalang surti, hidupkan dua
Panglima, yang telah dipecundangi, agar dapat mengabdikan, dirinya kepada negeri.
Demikian dua panglima, akhirnya ia berjanji, mengabdi ke Nusa Bali, dengan
rajanya yang baru .

Sang Badak Pamalang lanjut, menyerahkan Nusa Bali, kepada ibu angkatnya,
Lenggang Kencana yang cantik, adik raja Nusa Bali. saat telah jatuh krami, dengan
Munding Sanggawati, keduanya hidup rukun, konon kisah selanjutnya, raja Munding
Sanggawati, adil pimpin Nusa Bali. Cag.

-o0o-

Tentang negara yang disebutkan di dalam pantun ini, mungkin hanya negara sastra,
atau hanya dalam karya sastra, tapi tidak diunggelna. Namun seperti biasanya, Juru
Pantun meninggalkan simbol dan pemaknaan yang luas tentang tertib hidup urang
sunda buhun, berbasis budaya agraris. Masyarakat agraris biasanya sangat
menyatu dengan alamnya, ia mampu menciptakan keseimbangan, dalam suatu
bentuk harmoni.

Sebagai manusia Sunda yang hidup dimasa kini, ada beberapa pemaknaan yang
bisa didapatkan. Pertama tentang bagaimana seorang manusia harus mampu
belajar (disimbolkan mengembara) untuk bersiap diri menghadapi masa depan. Hal
ini sangat banyak manfaat bagi seorang calon pemimpin.

Kedua, ada nasehat yang paling baik tentang tertib bertamu (dipangumbaraan),
seperti pepatah Sunda “pindah cai pindah tampian”. Urang Sunda harus mampu
hidup dibelahan dunia mana saja (tampian), namun urang sunda pun mampu
memperlihatkan kesejatian dirinya sebagai manusia seutuhnya (cai). Juru Pantun
dengan apik menjelaskan tentang larangan yang dilanggar Munding Sanggawati di
Nusa Bali. Yang jelas, Mundingsanggawati dihukum karena ngarumpak larangan
adat yang berlaku didaerah tertentu. Disini pula mengandung ajaran tentang
bagaimana manusia Sunda harus dapat menghargai orang lain yang memang tidak
memiliki adat (budaya) yang sama.

Ketiga, nama Badak Pamalang, dilambangkan sebagai satu kesatuan antara moral
langit dengan manusia yang hidup didunia. Badak berarti makhluk hidup yang ada di
bumi, sedangkan pamalang, atau mega malang melambangkan dunia atas, yang
memiliki kesahihan moral, namun bisa dijalankan dengan baik, jika ditaati dan patuhi
pengisi bumi. Ajaran langit dapat membentuk kesimbangan jika mampu hidup
dengan kebutuhan manusia. Dengan cara ini akan ngancik didalam rohani manusia.
Tentang pertentangan dan keegoan langit terhadap bumi, juga sebaliknya, mungkin
dapat dimaknai dari kisah Pantun Mundingkawati. Seseorang yang memiliki pasport
sebagai pembawa ajaran langit harus dapat hidup seimbang dengan manusia lain
yang ada di bumi. Jika tidak dapat diselarsakan maka mengancam kehidupan itu
sendiri (***)

Anda mungkin juga menyukai