Anda di halaman 1dari 5

RADIOLARIA: KEINDAHAN MAHLUK LAUT RENIK

DAN MAKNANYA DALAM KAJIAN LINGKUNGAN


PURBA

R
adiolaria merupakan zooplankton yang tergolong dalam Kelas Sarcodina,
Filum Protozoa. Hewan ini pada umumnya mempunyai bentuk cangkang
yang bulat, dengan berbagai variasi struktur simetri radial, atau memencar. Itu
sebabnya kelompok ini dinamai Radiolaria. Cangkangnya membentuk pola geometri yang
simetris yang menampilkan bentuk yang sangat indah. Apalagi bahan pembentuk cangkangnya
itu terbuat dari opal berbasis bahan
silika yang di kalangan umum banyak
dikenal sebagai bahan pembentuk gelas
atau batu mulia. Jalinan kerangka gelas
opal ini berbentuk rangkaian yang rumit
(delicate), yang menyebabkan
tampilannya bagaikan karya artistik
yang sangat mempesona. Namun
tampilannya yang indah menawan itu
tak mudah diamati karena ukurannya
yang mikrosopis, tak dapat terlihat
dengan mata telanjang. Sel radiolaria
umumnya berkisar sekitar 0,1 – 0,2 mm
tetapi permukaan selnya dapat
mempunyai perlanjutan bagai duri-duri
yang memanjang dan memencar yang
kompleks. Dengan morfologi seperti itu,
total luas permukaan selnya menjadi
sangat luas hingga akan sangat
membantu daya apungnya (buoyancy) Gambar 1. Berbagai ragam bentuk radiolaria dari ordo
untuk hidup sebagai plankton yang Ascidiae. Petikan dari karya Ernst Haeckel (1904)

1
mengambang atau melayang dalam laut.
Sebagaimana umumnya hewan protozoa, radiolaria juga mempunyai kaki semu
(pseudopodia) yang merupakan bagian protoplasma yang dapat dijulurkan keluar dari
cangkangnya untuk bergerak dan mencari makan. Makanan radiolaria sangat beragam, bisa
mencakup berbagai grup zooplankton seperti kopepoda, larva krustasea, diatom, dinoflagelata,
bakteri dan juga detritus organik.
Radiolaria mempunyai sebaran
yang meluas di laut, tetapi lebih
banyak di perairan tropis, biasanya di
perairan lepas pantai dengan salinitas
di atas 30 psu. Hewan laut ini
terbanyak dijumpai hidup di laut
lapisan teratas hingga kedalaman
beberapa ratus meter, meskipun ada
juga dilaporkan hidup di lapisan yang
lebih dalam. Sebaran geografinya, baik
di permukaan maupun di bawah
permukaan, banyak dipengaruhi oleh
berbagai faktor lingkungan oseanografi
setempat, seperti suhu, salinitas dan
arus.
Karena umumnya radiolaria
mempunyai kerangka dari bahan silika
yang tidak mudah terurai, maka
peninggalannya berupa fossil yang

Gambar 2. Radiolaria, ordo Stephoidea. Petikan banyak ditemukan pada sedimen di


dari karya Ernst Haeckel (1904) dasar laut, dapat merekam dengan
sangat baik kondisi lingkungan bumi
dari jutaan tahun lampau. Oleh sebab itu jejak fossil radiolaria banyak dimanfaatkan dalam
kajian-kajian lingkungan purba (palaeo-environment).
Adalah Ernst Haeckel yang pertama kali mengungkapkan ragam seni dalam alam yang
sangat indah yang dituangkannya dalam karya agungnya Kunstformen der Natur (Ragam Seni
dalam Alam) yang terbit tahun 1904. Ernst Haeckel adalah seorang ilmuwan Jerman yang
banyak kontribusinya dalam biologi dan seni. Ia pendukung teori evolusinya Charles Darwin

2
dan mempopulerkannya di Jerman. Disamping itu
Haeckel juga seorang seniman pelukis yang mampu
menggambarkan berbagai ragam seni yang ternyata
bisa banyak ditemui dalam alam di sekitar kita.
Deskripsinya tentang radiolaria yang berukuran
renik itu disertai lukisannya yang mengagumkan
menyadarkan kita bahwa banyak ragam keindahan
dalam alam yang luput dari perhatian kita karena
ukurannya yang mikroslopis, tak kasat mata.
Di kalangan sebagian masyarakat kita,
kerajinan seni dari bahan gelas kristal sangat
dihargai tinggi dan telah dikenal sejak lama.
Perabot dan hiasan berbahan gelas kristal tergolong
benda seni yang sangat indah dan mahal yang
dihasilkan dari tangan-tangan para seniman. Tetapi,
Gambar 3. Radiolaria ordo
Spumellaria, petikan dari karya Ernst hewan renik radiolaria yang tak mempunyai otak
Haeckel (1904) setelah dengan sentuhan itu, dapat menghasilkan juga ragam seni kristal
komputer (computer enhanced)
yang rumit dan sangat halus yang tak mungkin
ditiru oleh seniman perupa kita karena reniknya.
Informasi mengenai radiolaria di Indonesia relatif masih terbatas, lebih banyak dikaji
dari aspek sedimentologinya dari pada kehidupannya
sebagai plankton. Paverd & Bjørklund (1989) dalam
penelitiannya di Laut Banda misalnya, menemukan
kerangka radiolaria terbanyak pada sedimen di kedalaman
laut 950-4800 m, sedangkan penelitian oleh Adisaputra
(1989) di perairan Samudra Hindia sebelah selatan Nusa
Tenggara yang dikenal sebagai Palung Jawa (Java
Trench) menunjukkan bahwa sedimennya didominasi oleh
radiolaria.

Gambar 4. Radiolaria Ordo Cyrtoidea,


petikan dari karya Ernst Haeckel (1904)

3
Gambar 5. Salah satu singkapan batulumpur sepanjang Sungai Noil Kolbano, Timor, yang
banyak mengandung radiolaria. (Foto: Munasri)

Karena tidak mudah terurai, radiolaria yang mengendap sebagai sedimen di dasar laut
dapat terpendam sebagai fossil hingga jutaan tahun. Dasar laut itu sendiri tidaklah statis tetapi
mengikuti dinamika gerakan kulit bumi seiring aktivitas lempeng tektonik setempat yang bisa
menyebabkannya terangkat naik hingga menjadi bagian dari daratan. Oleh sebab itu fossil
radiolaria dapat ditemukan dalam berbagai formasi daratan yang berusia tua. Di Pulau Timor
(Gambar 5) misalnya terdapat singkapan geologi
yang banyak mengandung fossil radiolaria yang
dapat dimanfaatkan untuk mengkaji lingkungan
purba di kawasan itu.
Penemuan paling awal tentang adanya
radiolaria di Indonesia adalah seperti yang
dilaporkan oleh G. J. Hinde. Laporan radiolaria
berumur Mesozoikum (selang waktu geologi dari
sekitar 252 sampai 66 juta tahun yang lalu)
ditemukan di Pulau Buton (1897), di Kalimantan
Barat (1900), dan di Sulawesi Tengah (1917).
Namun ulasan yang lebih komprehensif
dilakukan oleh Tan Sin Hok (1927) atas Gambar 6. Citra SEM (Scanning
deskripsi radiolaria dari Pulau Rote. Nama- Electron Microscopy) radiolaria dari
batuan dasar berumur Mesozoikum dari
nama spesies radiolaria beserta sketsa hasil kawasan Barru, Sulawesi Selatan
karya Tan Sin Hok turut menjadi referensi bagi (Munasri, 2013)

4
peneliti radiolaria di dunia. Nama Tan Sin Hok pun menjadi identik dengan radiolaria di
Indonesia, namun banyak di antara kita tak mengenalnya.

PUSTAKA

Adisaputra, M. K. 1989. Plankton foraminifera in recent bottom sediments of the Flores,


Lombok and Savu Sea basins, Eastern Indonesia. Neth. J. Sea Res. 24 (4): 465-475.
Frazer, J. 2012. Proteus: How radiolarians saved Ernst Haeckel. Scientific American, Jan. 31,
2012.
Munasri. 2013. Early Cretaceus radiolarians in manganese carbonate nodule from the Barru
Area, South Sulawesi, Indonesia. Ris. Geo. Tam. Vol. 23, No. 2: 79-88.
Munasri. 2014. Radiolaria perunut batuan bancuh. GeoMagz. Majalah Geologi Populer
16/04/2014.
Nontji, A. 2008. Plankton Laut. LIPI Press: 331 hlm.

Paverd, F. J. van & K. R. Bjørklund. 1989. Frequency distribution of polycystine radiolarian in


surface sediments of the Banda Sea, Eastern Indonesia. Neth. J. Sea Res. 24 (4): 511-
521.
-----

Anugerah Nontji
07/08/2017

Anda mungkin juga menyukai