Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan kelompok gangguan perkembangan otak
yang ditandai dengan perilaku stereotip dan defisit dalam komunikasi serta interaksi
sosial. Tingkat keparahan dan gejala ASD bervariasi (Camelia, Wijayanti, & Nissa, 2019)
Menurut Data WHO jika tahun 2008 rasio anak autis 1 dari 100 anak, maka di 2012
terjadi peningkatan 23% dengan jumlah rasio 1 dari 88 orang anak saat ini mengalami
autism. Hasil penelitian ini dilakukan pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di
Amerika Serikat atau Centers For Disease Control and Prevention (CDC). Di Indonesia
peningkatan anak autis meningkat menjadi satu dari 500 anak terdapat kurang lebih 6.900
anak penyandang autis di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus
meningkat
juga terlihat meski tidak diketahui pasti berapa jumlahnya karena pemerintah belum
pernah melakukan survey. Ketua Yayasan Autis Indonesia menyebutkan adanya
peningkatan yang luar biasa. Sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autis
diperkirakan satu dari 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu dari 500 anak
terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autis di Indonesia. Jumlah tersebut
menurutnya setiap tahun terus meningkat (Riandini, 2015)
Dan menurut (Camelia et al., 2019) perkiraan prevalensi ASD di Amerika Serikat pada
tahun 2012 sebesar 14,6 per 1.000 anak- anak berusia 8 tahun dan secara signifikan lebih
tinggi pada anak laki-laki (23,6 per 1.000) dibandingkan anak perempuan (5,3 per 1.000).
Penelitian yang dilakukan Center for Disease Control and Prevention tahun 2013
menyatakan bahwa prevalensi autisme di dunia saat ini berkisar 0,15-0,20%, termasuk
Indonesia. Suatu penelitian memperkirakan adanya peningkatan jumlah anak autisme di
Indonesia mencapai 6.900 anak/tahun.
Penyebab autisme belum diketahui pasti. Faktor genetik, lingkungan dan faktor
imunologi mungkin berperan terhadap terjadinya autisme. Autisme dapat diderita oleh
anak siapapun tanpa melihat status sosial dan tingkat ekonomi keluarga (Onibala, Dundu,
& Kandou, 2016)
Pada faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yakni
gizi ibu pada saat hamil. Gizi ibu yang kurang dapat menghambat pertumbuhan otak
janin. Ada juga anak yang memang memiliki permasalahan dalam tumbuh kembang
karena anak tersebut mengalami gangguan fisik. (Yulianti & Saputra, 2019)
Anak dengan autisme memiliki beberapa ciri-ciri seperti kurangnya kemampuan untuk
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan juga kurangnya kemampuan untuk
mengatur emosi mereka, selain itu anak dengan autisme juga kurang memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi dan juga memberika respons terhadap pembicaraan
yang ditujukan kepadanya, minat yang mereka miliki juga terbatas, seringkali anak
dengan autisme melakukan sebuah gerakan secara berulang akan tetapi tidak memiliki
tujuan tertentu seakan mereka memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dimengerti
maupun dimasuki oleh orang lain disekitarnya (Wijaya, Suryawati, & Pradipta, 2017)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barke EJ, BrandeisD,, dkk 2013 autisme
diklasifikasikan dalam kategori Pervasive Developmental Disorders (PDDs) Gangguan
dalam kategori ini melibatkan sekelompok masalah dan gangguan gangguan yang
mempengaruhi kehidupan anak-anak. PDD muncul pada awal masa kanak-kanak, dan
gangguan dalam interaksi sosial adalah aspek utama dari semua gangguan dalam kategori
ini. Aspek utama dan menonjol dalam autisme adalah “sejak masa kanak-kanak ia tidak
mampu berinteraksi dengan orang-orang dengan cara yang normal”. Ditandai oleh
gangguan yang dapat menghambat beberapa tahap perkembangan pada anak, termasuk
interaksi sosial dan hubungan, keterampilan, dan adanya perilaku stereotip, minat atau
kegiatan (Shah-mansouri Marzieh Jamali, 2017; Sonuga-Barke et al., 2013; Yulianti &
Saputra, 2019).
Dengan menerapkan terapi perilaku menggunakan metode modifikasi tingkah laku yang
disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA). Dasar pemikirannya adalah perilaku
yang diinginkan atau yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem
penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Pemberian penghargaan akan
meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman akan
menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan, kemudian
menggunakan terapi bicara melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan karena
merupakan gangguan yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara
kata demi kata, serta cara ucapan harus diperhatikan. Setelah mampu berbicara, diajarkan
berdialog, dan terapi okupasional Melatih anak untuk menghilangkan gangguan
perkembangan motorik halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat
menulis atau melakukan keterampilan lainnya (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan dari Autism?

2. Apa saja etiologi dari Autism?

3. Bagaimana dari proses terjadinya Autism?

4. Apa saja tanda dan gejala Autism?

5. Apa saja kriteria Autism?

6. Apa saja diagnose dari Autism?

7. Apa saja penatalaksanaan dari Autism?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Autis
Autisme merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu saraf. Kondisi ini dapat
mengganggu perkembangan anak, diagnosanya diketahui dari gejala-gejala yang tampak
dan ditunjukan dengan adanya penyimpangan perkembangan (Prasetyono, 2008; Yulianti
& Saputra, 2019)
Autisme dapat diartikan sebagai suatu abnormalitas perkembangan yang dialami oleh
seorang anak dalam berinteraksi sosial dan berkomunikasi (Riandini, 2015)
Terdapat begitu banyak definisi autisme menurut para ahli, namun secara garis besar
autisme memiliki arti gangguan fungsi otak pada anak yang mengakibatkan terganggunya
perkembangan dari anak tersebut, anak dengan autisme dapat dilihat dari kurangnya
kemampuan mereka untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, sulitnya
mengendalikan emosi mereka dan mereka seolah memiliki dunianya sendiri yang tidak
dapat dimengerti oleh orang lain (Wijaya et al., 2017)

B. Etiologi
Penyebab autisme belum diketahui pasti. Faktor genetik, lingkungan dan faktor
imunologi mungkin berperan terhadap terjadinya autisme. Autisme dapat diderita oleh
anak siapapun tanpa melihat status sosial dan tingkat ekonomi keluarga (Onibala et al.,
2016)
Menurut CDC (Centers For Disease Control and Prevention) atau pusat pengendalian
dan pencegahan penyakit di Amerika Serikat, tidak ada yang mengetahui secara pasti
penyebab dari autisme. Para ilmuwan berpikir terdapat hubungan antara genetika dan
lingkungan, akan tetapi mengetahui penyebab pasti dari gangguan autisme sangatlah sulit
karena manusia memiliki otak yang sangat kompleks dan pada anak autisme, sel-sel pada
otak tersebut tidak berkembang secara normal sehingga menyebabkan gangguan fungsi
otak terutama dalam pengendalian pikiran, pemahaman, dan kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
Menurut (Wijaya et al., 2017) para ahli menyebutkan beberapa penyebab lain dari autism,
yaitu:
1. Sikap ibu yang dingin dan kurang bersahabat menerima kehadiran sang anak akan
mengakibatkan anak menderita autisme. Akan tetapi, teori ini juga kurang dianggap
benar sehingga penanganannya pun menjadi kurang tepat. Faktor lingkungan juga
menjadi salah satu penyebab anak menderita autisme. Ibu yang tinggal di lingkungan
yang kurang baik dan penuh tekanan akan menyebabkan janin juga merasa tertekan.
2. Genetika merupakan penyakit yang diturunkan dari keluarga dan hal ini juga berlaku
pada kasus autisme.
3. Usia orang tua ketika mengandung anak juga menjadi salah satu faktor penyebab anak
mengalami autisme. Pada tahun 2010 terdapat penelitian yang mengatakan bahwa
perempuan berusia 40 tahun beresiko 50% memiliki anak dengan autisme dibandingkan
dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Belum ada kepastian hubungan antara usia
orangtua dengan autisme, akan tetapi mutasi genetika disebut sebagai salah satu
penyebabnya.
4. Paparan pestisida yang dikonsumsi ibu ketika mengandung beresiko mempengaruhi
fungsi gen di syaraf pusat janin yang dapat mengakibatkan autisme pada anak.
5. Obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu hamil yang termasuk dalam golongan valproic
dan thalidomide juga dapat memicu terjadinya autisme pada anak.

C. Pathofisiologi
Menurut (Made Ovy Riandewi Griadhi, Nyoman Ratep, 2015) saat ini telah diketahui
bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, yaitu suatu gangguan terhadap
cara otak berkembang. Akibat perkembangan otak yang salah maka jaringan otak tidak
mampu mengatur pengamatan dan gerakan, belajar dan merasakan serta fungsi-fungsi
vital dalam tubuh. Penelitian post-mortem menunjukkan adanya abnormalitas di daerah-
daerah yang berbeda pada otak anak-anak dan orang dewasa penyandang autisme yang
berbeda-beda pula.
Pada beberapa bagian dijumpai adanya abnormalitas berupa substansia grisea yang
walaupun volumenya sama seperti anak normal tetapi mengandung lebih sedikit neuron.
Kimia otak yang paling jelas dijumpai abnormal kadarnya pada anak dengan autis adalah
serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu sebagai neurotransmiter yang bekerja
sebagai pengantar sinyal di sel-sel saraf. Anak-anak penyandang autisme dijumpai 30-
50% mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah. Perkembangan norepinefrine (NE),
dopamin (DA), dan 5-HT juga mengalami gangguan.

(Mardiyanti, 2016) mengungkapkan bahwa pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru
lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya
neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4,
vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia
otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi,
diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada
daerah tertentu. Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel
saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf
tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme.
Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan
penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara
abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye.
Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4
menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme
disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang
terjadi sejak awal masa kehamilan karena ibu mengkomsumsi makanan yang
mengandung logam berat. Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah
berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye.
Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat
seperti thalidomide.
Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses
persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi
lingkungan. Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan
yang dikenal sebagai lobus frontalis. Menurut kemper dan Bauman menemukan
berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan
dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar
yang berperan dalam proses memori). Faktor lingkungan yang menentukan
perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro
seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat.
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol,
keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada
masa kehamilan.

D. Gejala –gejala gangguan autis


(Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015) mengungkapkan bahwa beberapa gejala-gejala dan
gangguan autis yang banyak ditemukan pada anak atau remaja autis yaitu:
A. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal.
1. Terlambat bicara.
2. Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.
3. Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya.
4. Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
5. la banyak meniru atau membeo (echolalia).
6. Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, dan kata-kata
tanpa mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap tak dapat bicara
sampai dewasa.
7. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan
mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
B. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.
1. Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
2. Tak mau menengok bila dipanggil.
3. Sering kali menolak untuk dipeluk.
4. Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih asyik
main sendiri.
5. Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh
C. Gangguan dalam bidang perilaku.
1. Perilaku yang berlebihan (excess) dan kekurangan (deficient).
a. Contoh perilaku yang berlebihan adalah adanya hiperaktivitas motorik,
seperti tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas,
melompat-lompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu atau meja,
mengulang-ulang suatu gerakan tertentu.
b. Contoh perilaku yang kekurangan adalah duduk diam bengong dengan
tatap mata yang kosong, melakukan permainan yang sama atau monoton
dan kurang variatif secara berulang-ulang, sering duduk diam terpukau
oleh sesuatu misalnya bayangan dan benda yang berputar.
c. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu, kertas,
gambar, gelang karet, atau apa saja yang terus dipeganganya dan dibawa
ke mana saja.
D. Gangguan dalan bidang perasaan atau emosi.
1. Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalnya melihat
anak menangis, maka ia tidak merasa kasihan, tetapi merasa terganggu dan
anak yang menangis tersebut mungkin didatangi dan dipukul.
2. Kadang tertawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata.
3. Sering mengamuk tak terkendali (bisa menjadi agresif dan destruktif).

Gejala-gejala lain dalam anak autis termasuk gangguan bicara dan bahasa (termasuk
echolalia, keterlambatan bahasa, dan pembalikan kata ganti), suasana hati yang labil dan
mempengaruhi respon yang salah terhadap rangsangan sensorik; semua aspek ini dimulai
sebelum usia 3 tahun (Wong et al., 2015; Yulianti & Saputra, 2019)
E. Kriteria autis
Menurut (Riandini, 2015) mengungkapkan bahwa APA (American Psychiatric
Assosiation) telah menetapkan Kriteria diagnostik gangguan autism dalam (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder) DSM-IV, sebagai berikut:
A. Harus ada sedikitnya dari ketiga gejala berikut:
1. Gangguan dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal dua dari kriteria
berikut:
a. Tampak jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal seperti kontak mata, ekspresi
wajah, bahasa tubuh.
b. Adanya kelemahan didalam perkembangan hubungan dengan anak-anak sebaya
sesuai dengan tahap perkembangan.
c. Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain secara spontan.
d. Kurangnya timbal balik sosial atau emosional.
B. Gangguan dalam komunikasi seperti terwujud dalam mengenal satu dari kriteria berikut:
1. Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa upaya untuk menggantinya
dengan geraka non-verbal.
2. Pada mereka yang cukup mampu berbicara, hendaya yang tampak jelas dalam
kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.
3. Bahasa yang diulang-ulang atau idiosinkratik.
4. Kurang bermain sesuai tahap perkembangannya.
5. Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotip, terwujud dalam minimal satu
dari kriteria berikut ini:
a. Preokupasi yang tidak normal pada objek atau aktifitas tertentu.
b. Tingkah laku stereotip.
C. Keterlambatan atau keberfungsian abnormal dalam minimal satu dari bidang berikut,
berawal sebelum usia 3 tahun: interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan orang
lain, atau permainan imajinatif.
D. Gangguan yang tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan Rett atau gangguan disintegratif
dimasa kanak-kanak.
Ciri- ciri gangguan autisme masa kanak- kanak:
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang memadai, seperti kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, dan gerak-geriknya Kurang tertuju. Tidak dapat
bermain dengan teman sebaya. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang
lain.
2. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal-balik.
3. Bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk
mengimbangi komunikasi dengan cara lain selain bicara).
4. Jika bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
5. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang.
6. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
7. Mempertahankan satu permintaan atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebihan.
8. Terpaku pada satu kegiatan rutin yang tidak ada gunanya.
9. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
10. Seringkali sangat terpukau pada benda.
11. Adanya keterlambatan atau gangguan dalam interaksi sosial, bicara dan berbahasa,
dan cara bermain yang kurang variatif sebelum umur tiga tahun.

F. Diagnosis autis
Adapun beberapa diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan gangguan autis
(Rahayu, 2015)
A. Gangguan Komunikasi,
1. Mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara, atau kemampuan
bicara.
2. Meracau dengan bahasa aneh
3. Bicara tetapi tidak digunakan untuk komunikasi
4. Echolalia/membeo/meniru
5. Menarik tangan orang dewasa untuk minta tolong
B. Gangguan Interaksi Sosial
1. Tidak ada kontak mata dengan lawan bicara
2. Ekspresi wajah tidak sesuai dengan perasaab misalnya ketika seharusnya
anak mengekspresikan kesedihan namun anak menunjukan ekspresi gembira
misalnya tersenyum.
3. Gerakan/sikap tubuh tidak sesuai dengan pembicaraan yang sedang
berlangsung
4. Mengalami kesulitan dalam aktivitas dan minat yang melibatkan orang,
mengalami kesulitan melakukan hubungan timbal balik dengan orang lain
C. Gangguan dalam Perasaan/Emosi
1. Tidak ada/kurang empati
2. Tertawa sendiri, menangis/marah-marah tanpa sebab
3. Sering mengamuk apabila tidak mendapat yang diinginkan
D. Gangguan dalam Perilaku
1. Mengalami gangguan perilaku berlebihan, hiperaktivitas motorik.
2. Duduk diam, melamun, tatapan mata kosong, terpaku pada benda yang
berputas dan tidak beranjak. Lekat pada benda tertentu.
E. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan (Nurarif Huda Amin, 2015)
1. Gangguan pertumbuhan fisik
2. Penurunan waktu respon
3. Ketidakmampuan aktifitas perawatan diri yang sesuai denagn usia
4. Kesulitan dalam melakukan keterampilann umum kelompok usia
5. Ketidakmampuan aktifitas pengendalian dan perawatan diri yang sesuai
dengan usianya.
F. Dukungan Perlindungan Terhadap Kekerasan: Anak
(Bulechek. M. Gloria. dkk, 2016)
Definisi: identifikasi adanya hubungan ketergantungan yang memiliki resiko
tinggi pada anak dan tindakan untuk mencegah kemungkinan atau tindakan
penganiayaan lebih lanjut dalam hal fisik, seksual atau emosional atau pelalaian
dalam (pemenuhan) kebutuhan hidup dasar
G. Modifikasi perilaku: keterampilan-keterampilan sosial
Definisi: Membantu pasien untuk mengembangkan atau meningkatkan
keterampilan sosial interpersonal
H. Peningkatan ketahanan
Definisi: membantu individu, keluarga, dan komunitas dalam pengembangan,
penggunaan dan penguatan factor protektif untuk dapat digunakan dalam koping
terhadap stressor lingkungan dan sosial.
I. Peningkatan komunikasi: kurang bicara
Definisi: Penggunaan strategi peningkatan kemampuan komunikasi bagi orang
yang memiliki gangguan bicara.

G. Penatalaksanaan autis

No Diagnose Keperawatan Penatalaksanaan


1. Gangguan Komunikasi - Dorong pasien untuk berkomunikasi
secara perlahan dan untuk
mengulangi permintaan
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Berdiri didepan pasien ketika
berbicara
- Gunakan kartu baca, kertas, pensil,
bahasa tubuh, gambar, daftar
kosakata bahasa asing, computer, dll
untuk memfasilitasi komunikasi 2
arah yan optimal.
- Anjurkan kunjungan keluarga secara
teratur untuk memberi stimulasi
komunikasi
- Anjurkan ekspresi diri dengan cara
lain dalam menyampaikan informasi
(bahasa isyarat). (Nurarif Huda
Amin, 2015)
2. Gangguan Interaksi Sosial - Dorong pasien ke kelompok atau
program keterampilan interpersonal
yang membantu meningkatkan
pemahaman tentang pertukaran
informasi atau sosialisasi.
- Identifikasi perubahan perilaku
tertentu
- Berikan umpan balik positif jika
pasien berinteraksi dengan orang lain.
- Fasilitas pasien dalam memberi
masukan dan membuat perencanaan
- Anjurkan bersikap jujur dan apa
adanya dalam berinteraksi dengan
orang lain
- Bantu pasien meningkatkan
kesadaran tentang kekuatan dan
keterbatasan dalam berkomunikasi
dengan orang lain.
- Minta adanya komunikasi verbal
(Nurarif Huda Amin, 2015)
3. Gangguan dalam Perasaan/Emosi - Bangun rasa percaya dan hubungan
yang dekat dan harmonis dengan
pasien
- Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan
- Tentukan harapan mengenai tingkah
laku yang tepat dalam
mengekspresikan (kemarahan)
dengan cara yang adaptif
- Cegah menyakiti secara fisik jika
marah diarahkan pada diri atau orang
lain (misalnya., dengan menggunakan
pengekengan dan memindahkan
senjata yang mematikan)
- Dorong penurunan aktifitas yang
sangat kuat (misalnya., memukul tas,
mondar-mandir, dan latihan yang
berlebihan)
- Berikan pendidikan mengenai metode
untuk mengatur pengalaman emosi
yang sangat kuat (misalnya., latihan
asertif, teknik relaksasi, menulis
jurnal, distraksi).
- Dukung penggunaan kolaborasi
dalam rangka menyelesaikan masalah
- Berikan obat-obatan oral, dengan
cara yang tepat
- Gunakan control eksternal
(misalnya., pengekangan fisik atau
manual, waktu jeda, dan siklusi)
sesuai kebutuhan (sebagai usaha
terakhir) untuk
menenangkan pasien yang
mengekspresikan marah dengan
perilaku maladaptif.
(Bulechek. M. Gloria. dkk, 2016)
4. Gangguan dalam Perilaku - Gunakan suara bicara yang lembut
dan rendah
- Jangan memojokkan pasien
- Hindari mendebat pasien
- Acuhkan perilaku yang tidak tepat
- Turunkan (motivasi) perilaku pasif-
agresif
- Berikan penghargaan apabila pasien
dapat mengontrol diri
- Berikan obat sesuai kebutuhan
- Lakukan pengekangan pada
tangan/kaki/dada, sesuai dengan
kebutuhan
(Bulechek. M. Gloria. dkk, 2016)

5. Keterlambatan pertumbuhan dan - Kaji factor penyebab gangguan


perkembangan perkembangan anak
- Identifikasi dan gunakan sumber
pendidikan untuk memfasilitasi
perkembangan anak yang optimal
- Berikan perawatan yang konsisten
- Tingkatkan komunikasi verbal
- Berikan intruksi berulang dan
sederhana
- Memantau kesesuaian perintah diet
untuk memenuhi kebutuhan gizi
sehari-hari, sesuai
(Nurarif Huda Amin, 2015)
6. Dukungan Perlindungan Terhadap - Identifikasi ibu yang memiliki
Kekerasan: Anak
riwayat tidakadanya atau terlambat (4
bulan atau lebih) dalam hal mengikuti
perawatan prenatal.
- Identifikasi orang tua yang memiliki
riwayat penyalahgunaan zat, depresi,
atau memiliki penyakit psikiatrik
utama.
- Identifikasi orangtua yang memiliki
riwayat kekerasan dalam rumah
tangga atau ibu yang memiliki
riwayat sering cedera tidak sengaja.
- Monitor interaksi orangtua –anak dan
catat hasil observasi yang dilakukan.
- Sediakan bagi anak suatu penguatan
yang positif terkiat dengan harga diri
mereka, perawatan yang membangun,
komunikasi terapeutik, dan simulasi
perkembangan. (Bulechek. M. Gloria.
dkk, 2016)
7. Modifikasi Perilaku: Keterampilan - Bantu pasien untuk mengidentifikasi
Sosial langkah-langkah dalam berperilaku
dalam rangka mencapai kemampuan
keterampilan sosial.
- Sediakan umpan balik (penghargaan
atau reward) bagi pasien jika pasien
mampu menunjukkan kemampuan
keterampilan sosial yang ditargetkan
- Sediakan model yang menunjukkan
langkah-langkah dalam berperilaku,
dalam konteks situasi yang berarti
bagi pasien. (Bulechek. M. Gloria.
dkk, 2016)
8. Peningkatan Ketahanan - Dorong dukungan keluarga
- Dorong perkembangan dan
kepatuhan untuk melakukan kegiatan
rutinitasi dan tradisi keluarga,
misalnya Ulang tahun, hari libur
- Bantu anak dan usia remaja melihat
keluarga sebagai sumber untuk
mendapatkan nasehat dan dukungan.
- Dukung keluarga/komunitas untuk
menghargai hasil yang berhasil
dicapai.
- Dukung keluarga /komunitas untuk
menghargai kondisi kesehatan.
- Bantu anak
remaja/keluarga/komunitas dalam
mengembangkan optomisme terhadap
masa depan (Bulechek. M. Gloria.
dkk, 2016)
9. Peningkatan komunikasi: kurang bicara - Monitor kecepatan bicara, tekanan,
kecepatan, kuantitas, volume, dan
diksi.
- Monitor proses kognitif, anatomis,
dan fisiologi terkait dengan
kemampuan berbicara misalnya
memori, pendengaran, dan bahsa)
- Monitor pasien terkait dengan
perasaan frustasi, kemarahan, depresi,
atau respon-respon lain disebabkan
karena adanya gangguan kemampuan
berbicara.
- Kenali emosi dan perilaku fisik
pasien sebagai bentuk komunikasi
mereka.
- Sediakan metode alternatif untuk
berkomunikasi dengan berbicara.
Misalnya menulis di meja
- Sediakan metode alternatif menulis
atau membaca dengan cepat yang
tepat.
- Sesuaikan gaya komunikasi untuk
memenuhi kebutuhan klien. Misalnya
berdiri didepan pasien saat bicara.
(Bulechek. M. Gloria. dkk, 2016)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Autis banyak diartikan gangguan pada otak/ kelainan pada daerah-daerah tertentu di
dalam otak yang salah satunya mengarah pada gangguan perilaku dan komunikasi dengan
beberapa ciri-ciri seperti tidak bisa mengontrol amarah, mengulang perkataan, dan bisa
sampai menyakiti diri sendiri. Gangguan autis pada anak mempunyai kebutuhan khusus,
berbeda dengan anak normal lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Bulechek. M. Gloria. dkk. (2016). Nursing Interventions Classification. (T. D. R. Jannah Nur
Intan sari, Ed.) (Bahasa ind). Philadelphia: ELSEVEIR.

Camelia, R., Wijayanti, H. S., & Nissa, C. (2019). Studi kualitatif faktor yang mempengaruhi
orang tua dalam pemberian makan anak autis. Jurnal Gizi Indonesia (The Indonesian
Journal of Nutrition), 7(2), 99–108. https://doi.org/10.14710/jgi.7.2.99-108

Made Ovy Riandewi Griadhi, Nyoman Ratep, W. W. (2015). DIAGNOSIS DAN


PENATALAKSANAAN AUTISME. Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, 1–14.

Mardiyanti, M. (2016). Strategies for Successful Transition into Mainstream Schools for Young
Children with Autism Spectrum Disorders: A Case Study. Nurse Media Journal of Nursing,
6(1), 1–8. https://doi.org/10.14710/nmjn.v6i1.11815

Nurarif Huda Amin, K. H. (2015). NANDA NIC-NOC. (O. Yudha, Budi, Ed.) (Jilid 1).
Yogyakarta: Mediiaction.

Onibala, E. M., Dundu, A. E., & Kandou, L. F. J. (2016). Kebiasaan makan pada anak gangguan
spektrum autisme. E-CliniC, 4(2). https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.12803

Prasetyono. (2008). Serba-Serbi Anak Autis. Yogyakarta: DIVA Press.

Rahayu, S. M. (2015). Deteksi dan Intervensi Dini Pada Anak Autis. Jurnal Pendidikan Anak.
https://doi.org/10.21831/jpa.v3i1.2900

Riandini, S. (2015). Pengaruh Pola Pengasuhan dengan Perkembangan Komunikasi Anak Autis
kepada Orang Tua Influence of the Development of Communication Parenting Autistic
Children to Parents. Majority, 4(8), 99–106.

Shah-mansouri Marzieh Jamali, M. B. (2017). Effectiveness of applied behavior analysis in the


self-help skills and stereotyped behaviors of children with autism spectrum disorder in
Isfahan. Social Determinants of Health, 3(3), 141–147.
https://doi.org/10.22037/sdh.v3i3.20958

Sonuga-Barke, E. J., Brandeis, D., Cortese, S., Daley, D., Ferrin, M., Holtmann, M., …
Thompson, M. (2013). Nonpharmacological interventions for ADHD: Systematic review
and meta-analyses of randomized controlled trials of dietary and psychological treatments.
American Journal of Psychiatry, 170(3), 275–289.
https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2012.12070991

Wijaya, N. C., Suryawati, I. G. A. A., & Pradipta, A. D. (2017). Pola Komunikasi Guru di
Yayasan Peduli Autisme Bali dalam Meningkatkan Interaksi Sosial Anak Autistik. E-
Jurnal Medium, 1 No.1.

Wong, C., Odom, S. L., Hume, K. A., Cox, A. W., Fettig, A., Kucharczyk, S., … Schultz, T. R.
(2015). Evidence-Based Practices for Children, Youth, and Young Adults with Autism
Spectrum Disorder: A Comprehensive Review. Journal of Autism and Developmental
Disorders, 45(7), 1951–1966. https://doi.org/10.1007/s10803-014-2351-z

Yulianti, Y., & Saputra, D. S. (2019). Efektivitas Terapi Applied Behavior Analysis (Aba)
Terhadap Perkembangan Bahasa Anak Berkebutuhan Khusus Autisme. Jurnal Cakrawala
Pendas, 5(2), 40–44.

Yusuf, A.H, F., & ,R & Nihayati, H. . (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Buku
Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366. https://doi.org/ISBN 978-xxx-xxx-xx-x

Anda mungkin juga menyukai