Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian dirasakan semakin meningkat, menyebabkan masyarakat sulit


untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan konsumtif maupun produktif. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat perlu adanya dana maupun modal. Untuk
membuka suatu lapangan usaha tidak hanya dibutuhkan bakat dan kemauan keras untuk
berusaha, tetapi juga diperlukan adanya modal yang cukup. Hal iulah yang menjadi
kendala bagi masyarakat khususnya bagi golongan ekonomi lemah, sehingga mereka
memerlukan adanya lembaga perkreditan yang menyediakan dana pinjaman. Untuk
mendapatkan modal usaha, masyarakat membutuhkan adanya sarana dan prasana. Maka
pemerintah memberikan sarana berupa lembaga perbankan dan lembaga non perbankan.
Salah satu lembaga non perbankan yang menyediakan kredit adalah lembaga pegadaian.
Lembaga pegadaian menawarkan peminjaman dengan sistem gadai. Jadi masyarakat
tidak perlu takut kehilangan barang-barangnya.1

Pengertian gadai diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata yang merumuskan gadai
adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh kreditur atau oleh kuasanya sebagai jaminan atas utangnya, dan yang
memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang
itu dengan mendahului kreditr-kreditu lain dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya
penyelamatan barang itu yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang
harus didahulukan.

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa gadai merupakan perjanjian riil yaitu
perjanjian yang disamping kata sepakat diperlukan suatu perbuatan nyata (dalam hal ini
penyerahan kekuasaan atas barang gadai). Penyerahan itu dilakukan oleh debitur pemberi
gadai dan ditujukan kepada kreditur penerima gadai. Berdasarkan penjelasan definisi
tersebut dapat dijelaskan bahwa gadai terjadi dengan adanya penyerahan benda gadai,
1
Djumardin, “Perkembangan Lembaga Hukum Jaminan Kebendaan di Indonesia”, cet 1, Mataram, Pustaka Bangsa,
2019, hlm. 1
dan benda jaminan berada dalam kekuasaan pemegang gadai. Jika benda jaminan telah
keluar dari kekuasaan kreditur maka secara tidak langsung hutang debitur lunas.2

Timbulnya hak gadai pertama-tama karena diperjanjikan. Perjanjian yang


melibatkan dua pihak yaitu pihak yang menggadaikan barangnya dan disebut pemberi
gadai atau debitur dan pihak yang menerima jaminan gadai dan disebut juga
penerima/pemegang gadai atau kreditur. Mengenai bentuk hubungan hukum perjanjian
gadai ini tidak ditentukan, apakah dibuat secara tertulis ataukah cukup dengan lisan saja,
tergantung kesepakatan para pihak. Apabila dilakukan secara tertulis, dapat dituangkan
dalam akta notaris maupun cukup dengan akta di bawah tangan saja. Namun yang
terpenting, bahwa perjanjian gadai itu dapat dibuktikan adanya.

Objek yang dapat dijadikan jaminan dalam gadai menurut KUH Perdata ialah
benda bergerak, yaitu setiap benda yang karena sifatnya memang bergerak, dapat
bergerak atau dapat digerakkan, atau karena undang-undang digolongkan ke dalam
benda-benda bergerak, kecuali benda yang karena sifatnya dapat bergerak tetapi oleh
undang-undang dikategorikan sebagai benda tidak bergerak. Adapun penggolongan
benda bergerak menurut KUH Perdata yaitu ada 2 diantaranga benda bergerak berwujud
(bertubuh) dan benda bergerak yang tak berwujud (tak bertubuh). Benda bergerak
bertubuh yaitu benda yang sudah tertentu bentuknya yang secara langsung benda tersebut
dapat dikuasai oleh penerima jaminan. Sedangkan benda bergerak tak bertubuh yaitu
tagihan-tagihan atau piutang-piutang, surat-surat atas tunjuk dan surat-surat atas bawa.
Menurut KUH Perdata benda bergerak tidak berwujud tetapi oleh undang-undang
ditentukan sebagai benda bergerak ialah diantaranya :
a. Hak pakai hasil dan hak pakai barang-barang bergerak
b. Hak atas bunga yang dijanjikan, baik bunga yang terus menerus, maupun bunga
cagak hidup
c. Perikatan dan tuntutan mengenai jumlah uang yang dapat ditagih atau mengenai
barang bergerak (hak tagih/piutang)
d. Saham
e. Obligasi

2
Ibid, hlm. 3
Salah satu praktek gadai benda bergerak tidak berwujud yang kerap terjadi di
masyarakat ialah gadai saham, karena menurut karakteristiknya saham merupakan barang
bergerak. Dikatakan bergerak karena saham bukanlah sesuatu yang melekat pada tanah
dan bangunan serta saham dapat dipindahtangankan dengan cara penyerahan secara nyata
ataupun secara yuridis. Bila dikaji menurut KUH Perdata sendiri telah menentukan
bahwa hak kebendaan yang melekat pada barang bergerak harus dijaminkan secara gadai.
Untuk selanjutnya akan dibahas lebih terperinci mengenai gadai saham dalam bab
pembahasan makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini antara lain :
1. Apa pengertian gadai saham ?
2. Dapatkah pemegang gadai secara langsung menjadi pemilik barang yang digadaikan
apabila debitur cedera janji ?
3. Bagaimana cara eksekusi gadai saham ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Gadai Saham


Pasal 1153 KUH Perdata menentukan bahwa :
“Hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali surat-surat tunjuk atau
surat-surat bawa, diletakkan dengan pemberitahuan perihal penggadaiannya kepada orang
terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksankan. Oleh orang ini, tentang hal
pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya si pemberi gadai dapat diminta suatu bukti
tertulis”
Sehubungan dengan hal tersebut perlu diperhatikan Pasal 60 UUPT Tahun 2007 yang
berbunyi sebagai berikut :
1) Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 52 kepada pemiliknya.
2) Saham dapat digunakan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan
lain dalam anggaran dasar.
3) Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, wajib dicatat dalam daftar pemegang
saham dan daftar khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
4) Hak suara atas saham yang digunakan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada
pada pemegang saham.

Gadai saham merupakan hak jaminan kebendaan yang merupakan hak kebendaan
(zakelijkrecht) yang bersifat mutlak, yang memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu
benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Namun pada gadai saham yang
merupakan perjanjian, terdapat juga hak perorangan yaitu timbul dari perutangan. 3 Orang
yang mempunyai hak kebendaan yang secara jujur atas barang-barang yang bergerak
dilindungi dengan ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata. Tidak demikian dengan
orang yang mempunyai hak perorangan. Dalam praktik dijumpai hak-hak perorangan
yang mempunyai sifat hak kebendaan seperti hak absolut (mutlak), sifat mengikuti

3
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Perdata Hukum Perutangan”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
1980, hlm. 24
bendanya (droit de suite) dan sifat prioritas. Missal pada hak yang timbul dari perutangan
pada gadai saham, yaitu dilindungi dari setiap gangguan dari pihak ketiga, hak piutang
mengikuti bendanya, dan hak lebih didahulukan pelunasannya dari kreditur lainnya.

Dalam hal gadai saham juga memiliki sifat droit de suite, droit de preference, hak
menggugat dan lain-lain. Sifat droit de suite dapat dilihat dari pasal-pasal yaitu Pasal 582,
Pasal 1152 ayat (3), dan Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata. Bahwa penguasaan
mempunyai kekuatan sebagai titel yang sah. Dari Pasal 1977 KUH Perdata dapat
disimpulkan bahwa dari segi pemegang gadai, pemberi gadai dianggap sebagai pemilik
yang sah dari benda itu, walaupun dikemudian hari ternyata sebaliknya. 4 Hal ini
berdampak pada penjualan saham yang kreditur kalah (penjualan saham dinyatakan tidak
sah) terhadap pembeli (pihak ketiga) yang beritikad baik.

Pada penjelasan sebelumnya bahwa lembaga jaminan saham adalah gadai.


Terhadap benda-benda terdaftar untuk penyerahan dan pembebanan diterapkan ketentuan
penyerahan dan pembebanan benda tetap, yaitu mencatatnya dalam register yang
bersangkutan. Karena saham adalah benda bergerak tidak berwujud, maka untuk
pembebanan saham, ketentuan Pasal 1153 KUHPerdata yang mengatur tentang benda
bergerak tidak berwujud, menentukan caranya adalah dengan memberitahukan gadai itu
ke pihak terhadap siapa hak itu bisa ditujukan. Karena objek gadai dalam hal ini adalah
saham, maka pemberitahuan mestinya ditujukan kepada perseroan yang mengeluarkan
saham tersebut. Pasal 60 ayat (3) UUPT Tahun 2007, sebagai lex specialis, yang
mensyaratkan pencatatan dalam daftar saham dan daftar khusus. Artinya setelah kreditur
dan debitur/pemberi jaminan sepakat untuk meletakkan gadai atas saham, tindakan lebih
lanjut adalah mencatatkan gadai itu pada perseroan yang mengeluarkan saham terebut.

Gadai Saham Tunduk pada Asas-Asas Hukum Jaminan

Keberadaan gadai saham sebagai jaminan atas utang, berlaku padanya asas yang
menyangkut jaminan yang tertuang dalam norma hukum. Hal ini untuk memantapkan
keyakinan kreditur bahwa debitur akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah

4
Mariam Darus Badrulzaman, “Bab-Bab tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia”, cet. 5, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 113.
jangka waktu pinjaman sampai pada waktu yang ditentukan, maka hukum
memberlakukan beberapa asas :

a. Asas yang menentukan bahwa apabila debitur ternyata karena suatu alasan tertentu
pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur, maka harta kekayaan
debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun
yang aka nada dikemudian hari, menjadi jaminan utangnya yang dapat dijual untuk
menjadi sumber pelunasan dari utang itu. Asas ini dituangkan dalam Pasal 1131
KUHPerdata.5
Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan bahwa harta kekayaan debitur
bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi hutang kepada kreditur yang
diperoleh dari perjanjian utang-piutang diantara debitur dan kreditur, tetapi untuk
menjamin segala kewajiban yang timbul dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1234
KUHPerdata, wujud perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuatn sesuatu. Dalam istilah hukum, perikatan dalam
wujudnya yang demikian itu disebut pula dengan istilah prestasi. Apabila perikatan
itu timbul karena ditentukan di dalam perjanjian gadai saham yang dibuat diantara
debitur dan kreditur, maka pihak yang tidak melaksanankan prestasinya disebut pula
sebagai telah melakukan cidera janji atau ingkar janji, atau dalam bahasa inggris in-
default.
b. Asas yang terdapat dalam jaminan utang selain dari asas yang terdapat dalam Pasal
1132 KUHPerdata adalah asas yang mengatur tentang cara membagi asset debitur
untuk membayar utang-utangnya kepada kreditur yang dituangkan dalam Pasal 1132
KUHPerdata, yang mengisyaratkan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang
sama terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena
memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lainnya.
Dalam hukum kreditur-kreditur tertentu yang didahulukan dari kreditur-kreditur
lainnya itu disebut kreditur preferen atau preferent creditor, sedangkan kreditur-
kreditur lainnya disebut kreditur konkuren atau concurrent creditor.6

5
Sutan Reny Sjahdeni, “Hukum Kepailitan, Memahami Failissementsverordening Jucto Undang-Undang No. 4
Tahun 1998”, Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 7
6
Ibid, hlm. 9
Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan
pemberian kredit, hal ini sesuai dengan tugas pokok bank itu sendiri yaitu
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
Dengan adanya lembaga jaminan khususnya jaminan kebendaan dalam hal ini saham,
oleh karena itu yang harus diperhatikan tentang jaminan yang baik yaitu :7

a) Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang
memerlukannya.
b) Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan
(meneruskan) usahanya.
c) Memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang
jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah
diuangkan untu melunasi utang si penerima (pengambil) kredit.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa keberadaan jaminan dimaksudkan


untuk memberikan perlindungan dan sekaligus kepastian hukum, baik kepada kreditur
maupun kepada debitur. Bagi kreditur, dengan diikatnya suatu utang dengan
kebendaan jaminan, hal itu akan memberikan kepastian hukum jaminan pelunasan
utang debitur seandainya debiturnya gagal membayar pada waktu yang telah
ditentutkan. Sedangkan untuk debitur dapat mempermudah memperoleh kredit
dengan menjaminkan benda dalam hal ini saham sebagai jaminan.

c. Asas publisitas berlaku pada gadai saham. Tidak semua saham dapat dijadikan
jaminan kredit bank. Hanya yang terdaftar dan yang diperjualbelikan di pasar modal
yang memenuhi syarat. Syarat pendaftaran ditinjau dari segi hukum, sangat realistis
dan objektif. Syarat ini merupakan pendorong kearah pembinaan pengembangan
perusahaan yang benar-benar ditanggung organisasi, permodalan dan manajemennya.

Ketentuan tentang harus terdaftarnya saham yang dijadikan jaminan kredit di


pasar modal bertujuan untuk membatasi terjadinya spekulasi dan persekongkolan
antara debitur dan komite kredit untuk menerima semua jenis saham tanpa
persyaratan pendaftaran, besar kemungkinan akan berkembang saham yang
7
R. Subekti, “Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia”, Citra Aditya Bakti, 1991, hlm.
29.
dikeluarkan oleh perseroan yang permodalan dan bidang usahanya fiktif. Sehingga
mudah terjadi persekongkolan antara debitur dengan perseroan yang sedang sekarat.
Debitur bersekongkol mempergunakan saham yang sedang sekarat, untuk dijadikan
jaminan ke bank. Dalam hal ini kreditur sudah tahu bahwa saham perseroan terebut
tidak mempunyai nilai apa-apa.

2. Dapatkah Pemegang Gadai Secara Langsung Menjadi Pemilik Barang yang


Digadaikan jika Debitur Cidera Janji ?

Kreditur/pemegang gadai demi hukum dilarang secara langsung menjadi pemilik


barang yang digadaikan jika debitur cidera janji. Hal ini berdasarkan Pasal 1154
KUHPerdata yang berbunyi:
“Jika yang berutang atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, maka yang
berpiutang tidak diperkenankan memiliki barang yang digadaikan. Segala janji yang
bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”
Dengan adanya pasal tersebut, maka dilarang dalam pembuatan perjanjian gadai
dicantumkan jika debitur/pemberi gadai cidera janji, kreditur secara otomatis/langsung
menjadi pemilik benda yang digadaikan. Kecuali untuk membeli barang yang digadaikan,
diperbolehkan asal melalui prosedur eksekusi sebagaimana diatur pada Pasal 1155 dan
Pasal 1156 KUHPerdata. Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan tersebut karena
dalam hal ini tidak serta merta menjadi pemilik benda yang digadaikan.
Mahkamah Agung dalam putusannya M.A. 7-10-1972 No. 401 K/Sip/1972; M.A.
10-02-1976 No. 262 K/Sip/1975; M.A. 16-09-1975 No. 1148 K/Sip/1972, menyatakan
bahwa status hak milik tidak dapat begitu saja berpindah pada kreditur, tetapi untuk
memiliki barang jaminan masih diperlukan adanya perbuatan hukum lain, yaitu
penyerahan. Perjanjian utang piutang tetap berlaku, tetapi klausulnya yang menyebutkan
seperti diatas adalah batal demi hukum. Adanya ketentuan seperti itu adalah untuk
melindungi kepentingan dari para peminjam uang yang pada umunya berada dalam posisi
yang sangat lemah, sehingga syarat-syarat yang beratpun seringkali karena keadaan
terpaksa harus diterima. Jika tidak ada larangan yang demikian, dapat saja kreditur
memang mengharapkan agar debitur wanprestasi, karena benda jaminan pada umunya
mempunyai nilai jauh lebih besar dari piutang kreditur. Sama halnya pada benda-benda
yang ditentukan oleh hasil penjualan, sudah barang tentu kemungkinan dan kesempatan
bagi kreditur untuk main-main dengan harganya. Dengan demikian dapat dhindarkan
adanya kalusula yang bertentangan dengan Pasal 1154 KUHPerdata.
Dalam praktik perjanjian gadai saham, adanya surat kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali yang diberikan oleh debitur/pemberi gadai kepada kreditur/penerima
gadai (irrevocable power of attorney atau kuasa mutlak), untuk menjual benda yang
digadaikan dengan cara apapun dan dengan harga berapapun, tidak dengan sendirinya
merupakan tindakan kepemilikan oleh kreditu penerima gadai sebagaimana yang dilarang
pada Pasal 1154 KUHPerdata. Seharusnya surat kuasa tersebut tidak dibuat sebelum
debitur/pemberi gadai melakukan wanprestasi. Sebaliknya surat kuasa mutlak itu dibuat
stetelah debitur/pemberi gadai melakukan wanprestasi.8
Surat kuasa yang tidak dapat ditarik tersebut tidak mengakibatkan
kreditur/pemegang gadai secara langsung menjadi pemilik benda yang digadaikan
sehingga surat kuasa itu tidak melanggar Pasal 1154 KUHPerdata, tetapi perlu
diperhatikan bahwa ketika menggunakan surat kuasa itu kreditur/pemegang gadai tidak
boleh melanggar proses eksekusi sebagaimana diatur antara lain dalam Pasal 1155 dan
Pasal 1156 KUH Perdata. Sehingga untuk melakukan private sale suatu barang gadai,
kreditur/pemegang gadai harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada hakim
untuk memperoleh izin menjual barang gadai itu tanpa melalui lelang sebagaimana dalam
Pasal 1156 KUHPerdata, jadi tidak cukup hanya menggunakan surat kuasa yang tidak
dapat ditarik kembali tersebut.9

3. Eksekusi Gadai Saham

Dalam hal pelaksanaan eksekusi gadai saham, sampai saat ini belum ada
peraturan perundang-undangan yang menjelaskannya secara terperinci. Oleh karenanya,
pelaksanaan gadai saham masih mengacu pada KUH Perdata maupun UUPT. Perlu

8
Suharnoko, Kartini Muljadi, “Penjelasan Hukum tentang Eksekusi Gadai Saham”, Ed. 1, Cet. 1, NLRP, 2010, hlm. 8
9
Ibid.
diketahui mengenai eksekusi gadai saham apabila debitur cedera janji (wanprestasi),
dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu dengan parate executie atau eksekusi dengan izin
hakim.10

a. Parate Executie (Eksekusi Langsung)


Parate executie atau eksekusi langsung adalah kewenangan untuk menjual atas
kekuasaan sendiri barang yang menjadi objek jaminan kalau debitur cedera janji
tanpa harus meminta fiat (persetujuan) dari ketua pengadilan. Jadi, parate executie
bisa terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur
tanpa mempunyai titel eksekutorial. Dengan parate executie ini maka memberikan
kepastian dan kedudukan kreditur apabila debitur cedera janji, karena seakan-akan
pihak debitur telah melunasi sebagian atau seluruh harta kebendaannya untuk
pelunasan hutangnya di kemudian hari.
Ketentuan tentang Parate Executie terhadap gadai diatur dalam Pasal 1155
ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “apabila oleh para pihak tidak telah
diperjanjikan lain, maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si
pemberi gadai bercedera janji setelah tenggang waktu yang ditentukan lampau,
setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barang
gadainya di muka umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-
syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah
piutangnya beserta bunga dan biaya daripada penjualan tersebut”.
Dengan mengacu pada kalimat “apabila para pihak telah diperjanjikan
lain..”, maka mengandung makna :
a) Jika debitur cedera janji, para pihak dalam perjanjian gadai tersebut dapat
menentukan bahwa kreditur berhak menyuruh agar gadai tersebut dijual di bawah
tangan (private sale). Maksudnya, jika para pihak menaruh dalam perjanjian,
maka kreditur dapat menjual saham tersebut secara privat/tertutup tanpa melalui
lelang di muka umum, atau
b) Parate Executie dapat dikesampingkan dengan jenis eksekusi lainnya seperti
melalui lelang. Bisa tidak lewat pengadilan dulu, namun harus dijual secara lelang
melalui kantor lelang, dan tidak boleh secara privat.
10
Djumardin, op.cit. hlm. 17
Pelaksanaan eksekusi gadai saham itu dapat dilakukan secara privat selama
adanya kesepakatan, seperti yang terjadi pada sengketa Ekeskusi Gadai Saham Adaro.
Hal ini diperkuat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1130 K/Pdt/2010 yang
menyebutkan bahwa Parate Executie dapat dilakukan secara private dikarenakan ada
Perjanjian Gadai Saham (Share Pledge Agreement) yang diperjanjikan sebelumnya.
Oleh karena itu, kreditur berhak untuk menjual keseluruhan saham yang telah
digadaikan secara privat atau secara tidak di muka umum sebagaimana kesepakatan
yang telah diperjanjikan.

b. Eksekusi dengan Izin (Fiat) Hakim

Eksekusi dengan izin (fiat) hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 1156 KUH
Perdata yang berbunyi, “bagaimanapun, apabila si berutang atau si pemberi gadai
bercedera janji, si berpiutang dapat menuntut di muka Hakim supaya barang
gadainya dijual menurut cara yang ditentukan oleh Hakim untuk melunasi utang
beserta bunga dan biaya, ataupun Hakim, atas barang gadainya akan tetap pada si
berpiutang untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam putusan hingga sebesar
utangnya beserta bunga dan biaya..”

Jadi, apabila debitur cedera janji (wanprestasi) pihak kreditur harus menuntut ke
pengadilan dan meminta hakim untuk menetapkan putusan pengadilan, baik itu
dilakukan secara lelang atau dijual secara privat atau dibeli oleh kreditur dengan
harga tertentu (jika dimohonkan kreditur).11
Jaminan gadai saham adalah jaminan yang seringkali dipakai dalam perjanjian
kredit pembiayaan. Secara hukum jaminan gadai saham adalah perjanjian accessoir
dari perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok. Gadai saham perseoran terbatas
diatur di dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT) yang mengklasifikasikan saham sebagai benda bergerak
sehingga dapat diagunkan secara gadai atau fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal
60 ayat (2) UUPT.
Persoalan timbul ketika terjadi cedera janji (wanprestasi) oleh debitur pada
perjanjian pembiayaan pokok dan tidak ditemukan solusi hingga eksekusi jaminan
11
Ibid. hlm. 19
gadai saham menjadi penyelesaian. Perihal eksekusi gadai saham ini tidak ada
kesamaan persepsi antara penegak hukum dan ketentuan terkait gadai saham di
Indonesia sangatlah multitafsir. Perjanjian pembiayaan umumnya menggunakan
klausula parate executie, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan secara langsung tanpa
melalui pengadilan.

Prioritas dalam penjualan saham12


Terkait parate executie sebagaimana diatur dalam Pasal 1156 KUH Perdata,
para penegak hukum memiliki pemahaman yang berbeda dan bertolak belakang.
Sebagian hakim menafsirkan anak kalimat “jika oleh para pihak tidak diperjanjikan
lain” berarti bahwa jika debitur cedera janji (wanprestasi) para pihak di dalam gadai
saham tersebut dapat menentukan bahwa kreditur berhak menyuruh agar benda dijual
dibawah tangan (private sale) tanpa melalui lelang. Hal ini mengacu pada Penetapan
Pengadilan No. 332/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel sd No. 343/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel dengan
pemohon Deutsche Bank Aktiengesellschaft, berdasarkan penetapan tersebut hakim
menetapkan bahwa berdasarkan share pledge agreement, kreditur berhak untuk
menjual keseluruhan saham yang telah digadaikan secara private atau tidak di muka
umum.

Dalam praktek, seringkali pihak kreditur selalu meminta surat kuasa mutlak
(irrevocable power of attorney) untuk menguatkan posisi jaminan gadai saham. Surat
kuasa yang berisi kreditur sebagai pemegang gadai atas saham jika terjadi debitur
cedera janji (wanprestasi) maka kreditur berhak menjual saham yang digadaikan
dengan cara dan harga yang ditentukan oleh kreditur.

Surat kuasa mutlak tersebut tidaklah mutlak karena debitur dalam perlawanan
eksekusi gadai saham tentu akan berlindung pada Pasal 1154 KUH Perdata.
Ketentuan tersebut secara prinsip melarang kreditur dengan perjanjian apapun serta
merta menjual objek gadai dan dikuatkan dengan anak kalimat “semua janji yang
bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”. Ini artinya mengacu pada Pasal 1155
dan 1156 KUH Perdata, barang gadai harus dijual melalui lelang artinya kreditur
harus menggugat dan melalui proses peradilan untuk memeperoleh putusan hakim
12
Ibid. hlm. 19-22
dan mengeksekusi gadai saham melalui lelang. Mahkamah Agung berpendapat
melalui Putusan Peninjauan Kembali No. 115 PK/PDT/2007 juncto Putusan Kasasi
Mahkamah Agung No. 517/PDT.G/2003/PN.JKT.PST antara PT Ongko
Multicorporation melawan PT BFI dinyatakan bahwa eksekusi dan penjualan saham
yang timbul atas perjanjian gadai saham harus dilakukan dengan cara lelang di muka
umum atau dengan cara yang ditentukan oleh pengadilan yang berkekutan hukum
tetap.

Ketidakpastian berikutnya adalah terkait perbedaan penafsiran jika dilakukan


melalui pengadilan apakah dengan gugatan atau permohonan, hingga saat ini
pengadilan tidak mempunyai kesatuan pandangan terkait hal ini meskipun
implikasinya berbeda jauh. Persoalan mengenai perbedaan cara eksekusi melalui
pengadilan ini Nampak dalam ketentuan Pasal 1156 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa untuk melakukan eksekusi atas gadai saham maka lembaga jaminan
memerlukan penetapan pengadilan. Namun praktek di pengadilan bahwa prosedur
eksekusi objek jaminan melalui perantara pengadilan adalah dalam hal ini perjanjian
gadai saham adalah perjanjian ikutan yang bersifat accessoir dan merupakan
perjanjian ikutan dari perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok, sehingga
termasuk dalam perkara sengketa dengan dua pihak yang saling berkepentingan yaitu
kreditur dan debitur sehingga harus diajukan dalam bentuk gugatan dan pengadilan
akan memutus dalam bentuk putusan.

Dalam hal ini, paska terjadinya default oleh debitur, jika akan dilakukan
eksekusi apakah dapat dilakukan secara langsung atau melalui perantaraan
pengadilan. Jika melalui perantaran pengadilan apakah prosesnya dengan
permohonan maupun gugatan dengan putusan sebagai output. Perbedaan
implementasi dan penafsiran ketentuan gadai saham ini umumnya merugikan kreditur
mengingat kreditur harus menempuh jalan yang panjang dan berliku untuk melakukan
eksekusi atas perjanjian gadai saham. Dalam hal ini jika gadai saham adalah satu-
satunya jaminan maka resiko terbesar pada pihak kreditur, bahkan dalam praktek
tidak jarang perjanjian gadai saham tidak dapat dieksekusi.
Ketika kreditur melakukan penjualan atas saham yang digadaikan baik secara
langsung maupun dengan cara melalui pengadilan akan muncul hambatan dan jika
kreditur tidak jeli akan dimanfaatkan oleh debitur yang wanprestasi untuk menunda
dan membatalkan eksekusi atas gadai saham. Dalam Pasal 57 ayat (1) UUPT terdapat
3 hal yang secara mekanisme akan menunda atau membatalkan eksekusi gadai saham.
Persoalan tersebut adalah adanya keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada
pemegang saham atau pemegang saham lainnya, keharusan mendapatkan
persetujuan dari organ perseroan, keharusan mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang. Jika hal tersebut tercantum dalam anggaran dasar maka perjanjian gadai
saham menjadi tidak ada artinya dan tidak dapat dieksekusi.

Walaupun Mahkamah Agung melalui Penetapan No.


333/Pdt.P/2001/PN.Jaksel, bahwa penetapan seluruh saham yang digadaikan tanpa
memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari pemberi gadai. Langkah antisipatif yang
dapat dilakukan adalah bersamaan dengan ditandatanganinya gadai saham adalah
pemegang saham setuju melepaskan haknya untuk membeli saham yang digadaikan
tersebut dan dibuat persetujuan notarial untuk melepaskan ha katas penawaran dan
memberi persetujuan pemberi gadai atas penjualan saham tersebut.

Anda mungkin juga menyukai