Anda di halaman 1dari 26

KONSEP DASAR BAHASA DAN ILMU BAHASA

(LINGUISTIK)

0. PENGANTAR
Setelah membaca dan memahami materi ini diharapkan Anda mampu berpikir
kritis, bertanggung jawab, dan bekerja sama dalam merumuskan konsep atau
pengertian bahasa, ciri-ciri atau karakterisitik dan dan fungsi bahasa. Karena itu,
materi yang disediakan pada bab ini berkisar tentang hakikat/pengertian bahasa,
karakteristik bahasa dan fungsi bahasa.

1. HAKIKAT BAHASA
Secara etimologis, bahasa berasal dari bahasa Latin lingua yang bermakna ‘lidah’,
yang secara istilah dapat dimaknai sebagai “sistem lambang bunyi yang dipergunakan
oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri” (Hasanuddin WS, 2009:141). Definisi ini sejalan dengan
pendapat Kridalaksana (2005, 1993); Trager, (1949:18), Barber (1964:21), de
Saussure (1966:16), Bolinger (1975:15), dan Wardhaugh (1977:3) dalam Chaer
(2003:32). Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa hakikat bahasa itu adalah
lambang bunyi yang bersistem dan bersifat arbitrer (mana suka)yang hanya dimiliki
oleh manusia. Digunakan oleh penutur (anggota masyarakat) untuk berbagai
keperluan komunikasi, seperti untuk bekerja sama dengan orang lain, berinteraksi
(silaturahmi), dan juga untuk menyatakan keberadaan dirinya (eksistensi).
Terkait dengan pengertian bahasa tersebut, para ahli selanjutnya merumuskan
karakteristik (ciri-ciri) bahasa secara lebih terperinci. Hal tersebut sangat diperlukan
untuk dapat membedakan pengertian bahasa secara awam (umum) dengan
pengertian bahasa secara spesifik dalam konteks keilmuan linguistik, yang

1
menyatakan bahwa ciri bahasa tersebut dapat diungkap dari segi hakikat dan
fungsinya. Keseluruhan ciri yang dimaksud menyatakan bahwa bahasa itu: (1)
bersistem, (2) berwujud lambang, (3) berupa bunyi, (4) bersifat arbitrer, (5)
bermakna, (6) bersifat konvensional, (7) bersifat unik, (8) bersifat universal, (9)
bersifat produktif, (10) bervariasi, (11) bersifat dinamis, dan (12) manusiawi (Chaer,
2003:33-56) Penjelasan satu-persatu mengenai ciri-ciri bahasa yang dimaksud
terdapat pada penjelasan berikut ini.

2. CIRI-CIRI BAHASA
Sebagaimana sudah disinggung pada bagian pertama, berikut ini akan dijelaskan
secara ringkas ciri-ciri/karakteristik bahasa manusia yang menjadi objek kajian
linguistik.

a. Bahasa Itu Bersistem


Sistem dalam konteks ini adalah susunan teratur berpola yang membentuk suatu
keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem dibentuk oleh sejumlah unsur
atau komponen yang saling terkait secara fungsional. Bahasa bersistem karena
bahasa memiliki aturan atau pola. Aturan atau pola dalam bahasa bisa dipelajari.
Umpamanya, pada kontruksi Fadhlan mem ... seekor .... Konstruksi ini belum
lengkap. Ada unsur yang dihilangkan, tetapi sebagai penutur bahasa Indonesia kita
dapat memahami bahwa konstruksi tersebut sebuah kalimat bahasa Indonesia yang
benar. Dengan memahami pola konstruksi tersebut, kita dapat menduga bahwa unsur
pertama yang dihilangkan adalah sebuah kata kerja yang diawali dengan fonem /b/,
/p/ atau /m/. Begitu juga dengan unsur kedua yang dihilangkan adalah sebuah kata
benda yang berwujud binatang. Dengan memahami polanya, konstruksi tersebut
lengkapnya seperti berikut.
(1) Fadhlan memiliki seekor kucing.
(2) Fadhlan memelihara seekor kambing
(3) Fadhlan mempunyai seekor ayam jago
(4) Fadhlan membakar seekor ikan lele

2
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya
bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tertata menurut suatu pola tertentu dan
membentuk satu kesatuan. Sebagaimana yang dicontohkan di atas, dengan mudah
dapat diduga rumusan kalimat tersebut secara utuh. Penyebabnya tentulah karena
unsur-unsur dalam bahasa diatur menurut pola-pola yang berulang sehingga kalau
salah satu unsur saja yang ada, dapat diramalkan unsur lain secara keseluruhan.
Selanjutnya, bahasa juga bersifat sistematis. Artinya, di dalam bahasa itu
terdapat kaidah atau aturan yang harus dipatuhi. Lebih lanjut Oka (1994:11)
menyatakan bahwa sejumlah satuan yang terbatas hanya dapat berkombinasi dalam
sejumlah cara yang terbatas. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, prefiks ber- dapat
berkombinasi dengan verba. Akan tetapi, tidak selamanya kombinasi prefiks ber-
dengan verba menghasilkan bentuk yang gramatikal, misalnya bersembelih, berlihat,
dan bermandi.
Sistemis dapat pula bermakna bahwa bahasa itu terdiri atas sub-subsistem.
Subsistem yang dimaksud, yaitu subsistem fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
dan leksikon. Subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis yang disebut subsistem
struktural tersusun secara hierarkis. Subsistem fonologi terletak di bawah subsistem
morfologi dan subsistem morfologi berada di bawah subsistem sintaksis. Subsistem
struktural terkait dengan subsistem semantik, sedangkan subsistem leksikon yang
diliputi oleh subsistem semantik berada di luar subsistem struktursl itu.
Urutan (hierarki) subsistem dalam kajian bahasa diistilahkan juga dengan
tataran subsistem bahasa. Jika subsistem struktur sebuah bahasa diurutkan dari yang
paling rendah, urutannya dimulai dari fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat
dan yang paling atas adalah wacana. Fonem termasuk bidang kajian fonologi,
morfem dan kata termasuk morfologi. Selain dikaji dalam bidang morfologi, kata
juga dikaji dalam sintaksis. Pada tataran morfologi kata adalah satuan yang sudah
mengalami proses, yang dinamakan juga dengan luaran (output), pada tataran
sintaksis, kata adalah bahan dasar (input) yang akan diolah sehingga akan
menghasilkan satuan (konstituen) yang lebih besar dari kata (frasa, kaluasa, dan
kalimat).

3
b. Bahasa Berwujud Lambang
Ada sekurangnya tiga istilah yang sering didengar dan mirip. Ketiga istilah yang
dimaksud adalah lambang, tanda dan simbol. Di dalam kajian semiotika setidaknya
dikenal istilah tanda (sign), simbol (symbol), sinyal (signa)l,gejala (sympton), gerak
isyarat (gesture), kode (code), ikon (icon), dan indeks (index) (Chaer, 2003:37).
Sebelum pembicaraan dikhususkan kepada bahasa berwujud lambang, ada baiknya
dijelaskan terlebih dulu sejumlah istilah yang berkaitan dengan lambang dan tanda
ini. Pierce
Pertama, tanda secara umum meliputi semua konsep yang sudah disebutkan
terdahulu. Secara khusus tanda (sign) dapat bermakna sesuatu yang dapat mewakili
ide, pikiran, perasaan, benda, dan tindakan secara alamiah (langsung) (Chaer,
2003:37). Untuk memperjelas pengertian ini dikemukakan contoh sebagai berikut ini.
Ketika berada di jalan raya, kita melihat banyak pecahan kaca, dan ada bekas bercak
darah di aspal, berarti di tempat tersebut baru terjadi sebuah kecelakaan. Begitu pula
apabila dari kejauhan kita mendengar suara serine meraung-raung, setidaknya ada
dua kemungkinan adanya mobil ambulan yang membawa pasien gawat darurat, atau
jenazah, dan yang kedua adanya mobil pemadam kebakaran yang sedang menuju ke
lokasi sebuah kebakaran.
Lambang adalah tanda yang secara khusus dipergunakan oleh anggota
kelompok sosial tertentu berdasarkan perjanjian. Untuk memahaminya harus
dipelajari. Tanda adalah hal atau benda yang mewakili sesuatu yang menimbulkan
reaksi yang sama terhadap yang diwakilinya (Kencono, 1994:2). Berdasarkan
rumusan kedua istilah tersebut, dapat dikatakan bahwa lambang merupakan sejenis
tanda. Perbedaannya lambang bersifat konvensional, sedangkan tanda bersifat
alamiah. Satuan bahasa, seperti kata dan frasa adalah lambang bukan tanda karena
lambang bersifat arbitrer. Lambang bahasa yang berwujud bunyi [kerbau] dengan
rujukannya seekor binatang berkaki empat yang biasa digunakan untuk membajak
sawah, dan menghela pedati tidak ada hubungannya sama sekali, tidak ada ciri
alamiahnya sedikit pun. Lambang bunyi [air] dengan rujukannya sejenis benda cair
(H2O) dalam ilmu kimia tidak ada hubungannya sama sekali.

4
Lambang [kuda] dan [air] pada contoh tersebut mengacu pada konsepnya sesuai
konvensi. Dengan kata lain, yang dilambangkan adalah konsep, pengertian, ide atau
gagasan yang disampaikan dalam wujud bunyi. Melalui lambang-lambang bunyi
itulah manusia berkomunikasi. Umpamanya, kita ingin mengatakan kemarin tidak
dapat hadir karena mobil mogok. Kita tidak perlu menghadirkan konsep “mogok” di
benak lawan bicara kita. Melalui kalimat “Maaf, kemarin mobil saya mogok”, lawan
bicara sudah paham maksud yang kita sampaikan. Jadi, dengan lambang /m/, /o/, /g/,
/o/, /k/ sudah terwakili konsep yang dimaksudkan.

c. Bahasa Itu Berupa Bunyi


Masuk akal jika dikatakan bahasa itu bunyi karena pada kenyataannya
keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai adalah menyimak dan berbicara.
Kehadiran bunyi bahasa lebih dahulu daripada tulisan. Sehubungan dengan itu,
Bloomfield (dalam Oka, 1994:10) mengungkapkan bahwa bahasa itu bunyi. Perlu
dipahami bahwa tidak semua bunyi dapat dikatakan bahasa. Bunyi pada konteks ini
adalah bunyi yang dihasikan oleh alat ucap manusia. Alat ucap manusia itu, di
antaranya bibir, lidah, gigi, rongga mulut, dan pita suara.
Jadi, bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di
dalam fonetik diamati sebagai fon dan di dalam fonemik sebagai fonem. Bunyi
bersin, dengkur, dan batuk bukan bunyi bahasa karene tidak tergolong ke dalam
sistem bunyi bahasa. Kalaupun dengkuran itu dihasilkan oleh alat ucap manusia,
terjadinya tidak disadari dan tidak dapat menyampaikan pesan apa pun. Batuk
terjadinya bisa disadari dan bisa digunakan untuk menyampaikan pesan seperti
halnya bahasa. Akan tetapi, tidak dapat disebut bahasa karena bunyi tersebut tidak
dapat dikombinasikan dengan bunyi lain (Chaer, 2010:43).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi baru dapat dikategorikan
sebagai bahasa jika memenuhi empat syarat berikut. Pertama, dihasilkan oleh alat
ucap manusia. Kedua, terjadinya direncanakan atau disadari. Ketiga, dapat
menyampaikan pesan atau bermakna. Keempat, bunyi tersebut dapat berkombinasi
dengan bunyi lain.

5
d. Bahasa Bersifat Arbitrer
Arbitrer berasal dari arbitrary yang berarti selected at random and without
reason diterjemahkan dengan ‘dipilih secara acak tanpa alasan’. Arbitrer dapat juga
diartikan ‘sewenang-wenang’, ‘berubah-ubah’, ‘tidak tetap’, ‘mana suka’. Secara
istilah, arbitrer dimaknai tidak ada hubungan yang wajib antara lambang bahasa yang
berwujud bunyi itu dengan konsep, makna, atau pengertian yang oleh lambang
tersebut. Umpamanya, tempat duduk yang dilambangkan dengan kursi atau bangku
tidak dapat dinalar atau dijelaskan mengapa dilambangkan dengan bunyi kursi atau
bangku. Contoh lain, burung digunakan untuk menamai binatang vertebrata yang
bersayap dan bertelur dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris digunakan
lambang bird, dalam bahasa Belanda digunakan vogel dan dalam bahasa Arab
digunakan lambang thairun. Mengapa untuk konsep yang sama, seperti binatang
vertebrata tersebut lambangnya berbeda-beda? Hal itu tidak dapat dijawab karena
tidak ada hubungan yang logis antara lambang yang digunakan dengan konsepnya.
Tidak satu pun ciri atau sifat yang dapat dijadikan patokan untuk melambangkan
konsep tersebut dengan burung, bird, vogel, atau teorun.(Chaer:2003:45)
Bunyi-bunyi yang bersifat arbitrer tersebut digunakan oleh masyarakat pemakai
suatu bahasa. Bunyi-bunyi yang arbitrer itu selanjutnya menjadi kebiasaan
(convention) yang menetap dan akhirnya menjadi suatu aturan atau sistem. Andaikan
bahasa tidak bersifat arbitrer, tentu untuk lambang burung dalam bahasa Indonesia
akan dilambangkan dengan burung juga dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Arab.
Karena sifat kearbitreran itu, bahasa menjadi bervariasi. Bayangkan jika bahasa tidak
bersifat arbitrer, tentu hanya ada satu bahasa di muka bumi ini (Chaer, 2003:46).

e. Bahasa Itu Bermakna


Bahasa itu berwujud lambang. Jika ada lambang, tentu ada yang dilambangkan.
Lambang tersebut melambangkan konsep, ide, pikiran yang ingin disampaikan.
Karena lambang dalam suatu bahasa mengacu pada konsep, ide, atau pikiran, dapat
dikatakan bahwa bahasa itu memiliki makna (Chaer, 2003:44). Lambang bahasa
yang berwujud bunyi [pencuri] melambangkan konsep “orang yang mengambil milik

6
orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya”.Contoh lain, lambang bahasa yang
berwujud bunyi [kuda] mengacu pada konsep “sejenis binatang berkaki empat yang
memiliki ekor panjang yang biasa ditunggangi”. Kedua contoh tersebut menunjukkan
bahwa bahasa itu bermakna.
Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna tersebut di dalam bahasa berupa
satuan bahasa. Satuan bahasa yang dimaksud berwujud morfem, kata, frase, klausa,
kalimat, dan wacana. Karena satuan bahasa itu berada pada tataran yang berbeda,
jenis maknanya pun berbeda. Makna yang terkait dengan morfem dan kata disebut
makna leksikal. Makna yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat dinamakan
makna gramatikal dan makna yang berkaitan dengan wacana disebut makna
pragmatik atau makna konteks. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semua
ucapan atau bentuk yang tidak bermakna tidak dapat disebut bahasa.

f. Bahasa Itu Konvensional


Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, hubungan antara lambang dan yang
dilambangkan bersifat arbitrer. Namun, penggunaan lambang tersebut untuk suatu
konsep tertentu bersifat sosial bukan individual (Oka, 1994:14). Maksudnya,
penggunaan lambang untuk suatu konsep tertentu merupakan kesepakatan
masyarakat pemakai suatu bahasa. Karena merupakan hasil kesepakatan itulah,
bahasa disebut bersifat konvensional.
Kesepakatan untuk menentukan lambang tertentu tidak besifat formal. Artinya,
tidak melalui musyawarah, sidang, rapat atau kongres. Akan tetapi, pemakai bahasa
harus tunduk terhadap kesepakatan itu. Jika kesepakatan tidak dipatuhi, komunikasi
akan terganggu. Umpamanya, pemakai bahasa Indonesia sepakat menggunakan
lambang bahasa [kucing ] untuk melambangkan konsep ‘binatang peliharaan yang
mengeong’. Seandainya lambang tersebut diganti dengan lambang lain, komunikasi
tidak akan lancar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kekonvensionalan
bahasa mengacu pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang
bahasa sesuai dengan konsep yang dilambangkan. Sebaliknya, kearbitreran bahasa

7
terkait dengan hubungan lambang-lambang bunyi dengan konsep yang
dilambangkan.
Terkait dengan kearbitreran dan kekonvesionalan bahasa, ada tiga persoalan
yang perlu dijawab. Pertama, mungkinkah sebuah lambang melambangkan lebih dari
satu konsep. Kedua, mungkinkah sebuah konsep dilambangkan dengan lebih dari
satu lambang. Ketiga, mungkinkah diciptakan sebuah lambang untuk sebuah konsep.
Permasalahan pertama terkait dengan konsep homonim dan polisemi, sedangkan
permasalahan kedua terkait dengan sinonim. Selanjutnya, permasahan ketiga terkait
dengan pembentukan istilah baru, misalnya lambang bunyi [sembako]. Lambang
bunyi [sembako] melambangkan konsep ‘sembilan bahan pokok’. Lambang bunyi
[sembako] adalah akronim yang dibentuk dengan menggabungkan suku pertama
dari kata sembilan [sem] juga suku peratama dari kata bahan, dan [ko] sebagian suku
kedua dari kata pokok. (Chaer, 2010:48).

g. Bahasa Itu Unik


Bahasa dikatakan unik karena setiap bahasa mempunyai ciri khas, ciri yang tidak
dimiliki oleh bahasa lain. Ciri khas sebuah bahasa di antaranya bisa terkait dengan
sistem bunyi, sistem pembentukan kata, dan sistem pembentukan kalimat. Salah satu
keunikan bahasa Indonesia adalah tekanan kata bersifat sintaksis. Maksudnya, dalam
sebuah kalimat tekanan diberikan pada kata tertentu, makna kata tersebut tidak
berubah, yang berubah adalah makna kalimatnya. Umpamanya, jika pada kalimat
“Fadil bermain sepeda”, tekanan diberikan pada kata Fadil. Kalimat tersebut
bermakna bahwa yang melakukan tindakan bermain itu adalah Fadil bukan fadhlan
atau Afif. Seandainya kata bermain yang diberikan tekanan, kalimat tersebut
bermakna bahwa yang dilakukan Fadil adalah bermain bukan berenang. Kalau
tekanan diberikan pada kata sepeda, kalimat tersebut bermakna bahwa Fadil bermain
sepeda, bukan bermain boneka (Chaer, 2003:51).
Keunikan seperti dalam bahasa Indonesia itu tidak ditemukan dalam bahasa
Batak atau dalam bahasa Inggris. Tekanan kata pada kedua bahasa tersebut bersifat
morfomis. Maksudnya, jika tekanan kata diberikan pada suku kata pertama,

8
maknanya akan berbeda jika tekanan diberikan pada suku kata kedua. Umpamanya,
dalam bahasa Batak kata ‘bontar berbeda maknanya dengan kata bon’tar. Kata
‘bontar artinya darah, sedangkan kata bon’tar artinya putih. Begitu juga dengan kata
‘insult dan in’sult dalam bahasa Inggris berbeda maknanya. Kata ‘insult artinya
penghinaan, sedangkan in’sult artinya menghina. Perbedaan makna kata tersebut
disebabkan perbedaan pemberian tekanan.
Menurut Oka (1994:14), setiap bahasa mempunyai ciri yang diskrit, yang
memberikan identitas diri sebagai bahasa yang berbeda dengan bahasa yang
lain..Umpamanya, kata ulang dwiwasana, seperti lon-alon, nak-kanak, dan
reng-oreng merupakan keunikan dalam bahasa Madura. Contoh lain, struktur frase
dalam bahasa Inggris berpola DM, sedangkan struktur frase dalam bahasa Indonesia
berpola MD. Dalam bahasa Inggris terdapat bunyi /o/ seperti pada kata think dan
thank yang tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jawa, pelafalan
konsonan /b/, /d/, /g/, /k/, /p/, dan /t/ di awal kata selalu didahului oleh konsonan
nasal yang homorgan, misalnya gopek dilafalkan nggopek, tendang dilafalkan
te-ndang.

h. Bahasa Itu Universal


Bahasa dikatakan bersifat universal karena bahasa memiliki ciri yang sama.
Maksudnya, ada ciri-ciri yang sama dimiliki oleh setiap bahasa di dunia. Ciri-ciri
yang universal ini tentunya merupakan unsur bahasa yang paling umum. Ciri-ciri
yang dapat dikaitkan dengan ciri yang dimiliki oleh bahasa lain. Dengan kata lain,
ciri-ciri yang berlaku pada semua bahasa (Chaer, 2010:52). Umpamanya, setiap
bahasa memiliki unsur bunyi yang terdiri atas vokal dan konsonan. Berapa
banyaknya vokal dan konsonan dalam setiap bahasa bukan persoalan keuniversalan.
Bahasa Indonesia, misalnya, memiliki enam vokal dan 22 konsonan, bahasa Arab
memiliki enam vokal dan 28 konsonan, dan bahasa Inggris mempunyai 16 vokal
(termasuk diftong) dan 24 konsonan (AL-Kuli dalam Chaer, 2010:52).
Ciri keuniversalan yang lain adalah bahwa setiap bahasa memiliki kata yang
berkategori nomina dan verba, ajektiva, dan adverbia. Setiap bahasa memiliki

9
satuan-satuan gramatikal, seperti morfem, kata, klausa, kalimat, dan wacana. Akan
tetapi, bagaimana satuan-satuan bahasa itu terbentuk mungkin tidak sama untuk
setiap bahasa. Jika pembentukan satuan bahasa itu hanya berlaku dalam sebuah
bahasa, berari itu bukan keuniversalan bahasa, melainkan ciri keunikan. Kalau ciri
yang sama dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu rumpun atau satu golongan
bahasa, ciri tersebut menjadi ciri universal dan ciri keunikan rumpun atau subrumpun
bahasa tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ciri universal dilihat dari
rumpun atau subrumpun sebagai satu kesatuan, sedangkan keunikan dilihat dari
rumpun atau subrumpun lain.

i. Bahasa Itu Produktif


Bahasa dikatakan produktif karena dengan unsur-unsurnya yang terbatas
pemakai bahasa dapat menghasilkan satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas.
Dengan pola-pola dan lambang-lambang bahasa yang terbatas, pemakai bahasa dapat
mengkreasi hal-hal baru melalui bahasa (Oka, 1994:20). Hal-hal baru yang dikreasi
melalui bahasa tersebut tentunya sesuai dengan sistem yang yang berlaku dalam
suatu bahasa. Dengan kontruksi posesif dalam satuan trase, misalnya, pemakai
bahasa mampu menciptakan frase rumah kakakku, rumah tetangga saya, dan rumah
majikan saya, yang jumlahnya tidak terbatas. Dalam bahasa Indonesia hanya ada
enam bunyi vokal dan 22 bunyi konsonan, tetepi dengan bunyi-bunyi tersebut dapat
dibentuk kata, frase atau kalimat yang jumlahnya tidak terbatas.
Lebih lanjut, Oka (1994:20) menyatakan bahwa keproduktivan bahasa itu
merupakan perbandingan unsur-unsur bahasa dengan daya pemakaiannya. Dari
unsur-unsur yang terbatas, bahasa dapat digunakan secara tidak terbatas oleh
pemakainya. Dengan 28 fonem, pemakai bahasa Indonesia mampu menghasilkan
puluhan ribu kata. Dengan jumlah kata lebih kurang 60.000, pemakai bahasa
Indonesia mampu menghasilkan kalimat yang jumlahnya tidak terbatas (Chaer,
2010:50). Bukti lain keproduktivan bahasa dapat dilihat dari pola kalimat ‘frase
nomina (FN) + frase nomina (FN)’ pemakai bahasa mampu menciptakan kalimat
“Orang itu tetangga saya dan Anak perempuan itu teman adiknya” dan lain-lain.

10
Menurut Chaer (2010:50), keproduktifan bahasa ada batasnya, yaitu
keterbatasan pada tingkat parole dan tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat parole
adalah ketidaklaziman bentuk-bentuk yang dihasilkan. Umpamanya, bentuk
memperbetuli, memperlebarkan, dan mencantikkan tidak berterima dalam bahasa
Indonesia. Keterbatasan pada tingkat langue adalah ketidakberterimaan suatu bentuk
karena menyalahi kaidah. Umpamanya, bentuk membom dan mencat menyalahi
kaidah pembentukan kata, meskipun bentuk membatu dan mencaci berterima dalam
bahasa Indonesia. Bentuk membom dibentuk dari kata dasar bom dan diberi imbuhan
me-, bentuk me- berubah menjadi menge- bukan mem-. Berbeda halnya dengan
bentuk membatu yang dibentuk dari kata dasar batu yang terdari atas dua silabi,
bentuk me- menjadi mem-. Begitu pula dengan bentuk mencat dan mencuci.

j. Bahasa Itu Bervariasi


Bahasa digunakan oleh suatu masyarakat tertentu yang disebut masyarakat
bahasa. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa memilki dan
menggunakan bahasa yang sama (Kencono, 1997:116). Umpamanya, yang disebut
masyarakat bahasa Indonesia adalah semua orang yang merasa memiliki dan
menggunakan bahasa Indonesia. Anggota masyarakat bahasa tersebut tentu saja
memiliki latar belakang sosial beragam, baik dari segi tempat tinggal, pekerjaan
maupun pendidikan. Keanekaragaman latar belakang itulah yang menyebabkan
bahasa bervariasi.
Menurut Chaer (2010:55), ada tiga istilah yang terkait dengan variasi bahasa,
yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat
individual. Setiap orang pasti memiliki gaya bicara yang berbeda, begitu juga dalam
menulis. Bahasa tulis seorang Sapardi Djoko Damono berbeda demgan bahasa tulis
Arswendo Atmowiloto. Dengan membaca kedua tulisan pengarang tersebut, dapat
dikenali seperti apa ciri khas atau idiolek Sapardi dan seperti apa idiolek Arswendo.
Dialek adalah variasi bahasa menurut pemakainya (Kencono, 1997:116). Dialek
dapat dibedakan dari segi status sosial pemakainya, asal daerah pemakainya, dan
masa atau waktu pemakaiannya. Variasi bahasa berdasarkan status sosial pemakainya

11
disebut dengan sosiolek, misalnya ragam bahasa masyarakat terpelajar, ragam bahasa
petani, ragam bahasa nelayan. Variasi bahasa berdasarkan daerah asal pemakainya
dinamakan dialek regional. Selanjutnya, variasi bahasa yang digunakan pada masa
tertentu disebut kronolek, misalnya bahasa Indonesia pada Zaman Balai Pustaka jelas
berbeda dengan bahasa pada Indonesia Zaman Orde Baru.
Ragam adalah variasi bahasa berdasarkan pemakaiannya. Ragam bahasa
bermacam-macam tergantung pada dasar pengklasifikasiannya. Menurut Nababan
(dalam Oka, 1994:17), ragam bahasa berdasarkan tingkat keformalannya dibedakan
atas lima macam, yaitu (1) ragam beku (frozen), (2) ragam resmi (formal), (3) ragam
usaha (consultative), (4) ragam santai (casual), dan (5) ragam akrab (intimate).
Pertama, ragam beku digunakan dalam dokumen bersejarah, seperti dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan namanya, ragam beku tidak
boleh diubah-ubah. Kalimat pertama dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan
oleh karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” tidak boleh diganti. Dengan
“Kemerdekaan itu hak semua bangsa. Karena itu, semua wujud penjajahan harus
dihapuskan.”
Kedua, ragam resmi adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi,
situasi kedinasan pada suatu lembaga, misalnya ragam bahasa yang digunakan dalam
rapat atau sidang DPR. Ketiga, ragam usaha adalah ragam yang digunakan pada
konteks usaha, misalnya pembicaraan di sebuah perusahaan. Keempat, ragam santai
adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi santai antarpersonal yang sudah
akrab, misalnya ragam bahasa yang digunakan ketika rekreasi. Kelima, ragam akrab
adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi yang sangat akrab, seperti ragam
bahasa yang digunakan dalam keluarga.

k. Bahasa Itu Dinamis


Sesuai dengan kehidupan masyarakat yang selalu berubah atau dinamis,
bahasa sebagai salah satu unsur yang erkait erat dengan kehidupan manusia otomatis

12
juga berubah. Perkembangan budaya suatu masyarakat bahasa turut berpengaruh
pada perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa tersebut dapat berupa
penambahan unsur atau perubahan bentuk/makna.. Umpamanya, kata canggih yang
awalnya bermakna cerewet berubah menjadi banyak tuntutan atau sangat rumit.
Contoh lain, kata sarjana yang dahulu bersinonim dengan cendekiawan berubah
rujukannya pada lulusan perguruan tinggi (Muliastuti, 2009:1.10).
Perubahan bahasa bisa terjadi pada semua tataran, baik fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, maupun leksikon. Pada tataran fonologi, dulu dalam bahasa
Indonesia tidak dikenal fonem /kh/, /f/, /z/, dan /sy/. Keempat fonem tersebut
disamakan dengan fonem /k/, /p/, /j/, dan /s/ sehingga kata khawatir dilafalkan
kawatir, februari dilafalkan pebruari, zakat dilafalkan jakat, dan kata syair
dilafalkan sair. Akan tetapi, sekarang keberadaan fonem itu sudah dianggap otonom
karena ada pasangan minimalnya yang membedakan fonem /kh/ dengan /k/, /f/
dengan /p/, dan /sy/ dengan /s/, misalnya, kata folio berbeda maknanya dengan polio
dan kata syarat berbeda maknanya dengan sarat.
Perubahan yang sangat mencolok terjadi pada tataran leksikon dan semantik.
Hampir setiap saat ada kata baru yang muncul akibat perubahan budaya, ilmu, dan
teknologi. Umpamaya, kata komputer, perangkat lunak, perangkat keras, internet,
dan surat elektronik merupakan kata yang muncul mengikuti perkembangan
teknologi. Hal tersebut dapat dipahami karena kata sebagai satuan bahasa terkecil
merupakan wadah penampung suatu konsep yang ada dalam masyarakat. Dengan
berkembangnya kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, sudah dapat
dipastikan akan bermunculan konsep baru yang memerlukan wadah penampungnya
berupa kata atau istilah baru. Pesatnya perkembangan leksikon dalam bahasa
Indonesia dapat diketahui dari jumlah kata yang terdapat dalam kamus. Jumlah kata
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan tahun 2008 sudah pasti lebih banyak
daripada jumlah kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan tahun 2003.

l. Bahasa Itu Manusiawi

13
Bahasa adalah suatu aspek perilaku yang dapat dipelajari. Manusialah yang
mampu mempelajari bahasa. Hal itu disebabkan manusia memiliki akal budi atau
yang dikenal dengan animal rationale. Dengan akal budi itulah manusia dapat
memikirkan sesuatu, menemukan ide-ide baru, dan menyampaikannya kepada orang
lain melalui bahasa. Melalui akal budinya, manusia dapar berkembang. Berbeda
halnya dengan binatang yang tidak mempunyai akal budi. Karena tidak memiliki akal
budi, alat komunikasi binatang tidak berubah dan terbatas untuk keperluan hidup
kebinatangannya saja (Chaer, 2010:58). Kalaupun ada binatang yang dapat mengerti
dan melakukan perintah yang disampaikan melalui bahasa, itu bukan karena
intelegensinya, melainkan berkat latihan yang dilakukan secara berulang-ulang.
Bahasa menumbuhkembangkan kemampuan manusia untuk berkomunikasi.
Bahasa dapat menempatkan peradaban manusia jauh di atas berbagai bentuk
kehidupan makhluk yang lebih rendah (Oka, 1994:21). Oleh karena itulah, dikatakan
bahwa alat komunikasi manusia yang berupa bahasa bersifat manusiawi. Dengan
kata lain, bahasa hanya milik manusia dan hanya manusia yang menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi.

C. FUNGSI BAHASA
Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi,
bahasa digunakan untuk menyampaikan dan menerima berbagai informasi faktual
dari orang lain. Misalnya, pemakaian bahasa pada saat guru menjelaskan materi
pelajaran di kelas. Selain itu, bahasa juga digunakan untuk memelihara hubungan
sosial dan sikap-sikap pribadi. Misalnya, pemakaian bahasa dalam situasi santai
(obrolan di warung kopi) (Juita, 1999:13; Juita, 2012:55).
Lebih lanjut, Atmazaki (2006:5) memperjelas bahwa ada keistimewaan yang
dipunyai bahasa dalam menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi. Menurutnya,
meskipun ada alat komunikasi selain bahasa, tidak dapat menggantikan kecanggihan
bahasa. Dengan bahasa orang sepenuhnya dapat berekspresi, mengungkapkan
berbagai gagasan, dan perasaan. Dengan kata lain, alat komunikasi selain bahasa,

14
semisal isyarat dan lambang-lambang morse tidak dapat diisi dengan pikiran dan
perasaan. Apa lagi untuk pemakaian bahasa secara kreatif (di dunia sastra).
Selain itu, masih menurut Atmazaki (2006:6) bahasa juga digunakan oleh
manusia untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Bahasa digunakan oleh
manusia untuk membangun, memelihara dan mewariskan kebudayaan yang menjadi
bukti dari mutu kehidupan suatu bangsa. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa bahasa
dapat dijadikan oleh manusia sebagai alat untuk memecahkan berbagai persoalan
kehidupan. Manusia yang beradab tidak menyelesaikan berbagai persoalan dengan
bom dan senjata. Akan tetapi, diselesaikan dengan cara diplomasi (berbicara) dan
menulis.
Sehubungan dengan fungsi utama bahasa, Brown dan Yule (1996:1)
mengelompokkan fungsi bahasa itu atas fungsi transaksional dan interaksional. Pada
fungsi transaksional yang diutamakan adalah bagaimana sebuah informasi faktual
dapat disampaikan secara efektif. Artinya, berorientasi pada kejelasan isi atau pesan
yang disampaikan. Contohnya terdapat pada pemakaian bahasa oleh dokter ketika
memberi tahu perawat tentang cara memberikan obat kepada pasien. Contoh lain
adalah pada saat guru/dosen memberikan penjelasan di depan kelas. Sebaliknya, pada
fungsi interaksional yang lebih diutamakan terbentuknya interaksi (komunikasi)
yang serasi (mesra) antara pemeran serta komunikasi. Pada fungsi ini orientasinya
bukan pada isi/pesan, melainkan lebih pada terbentuknya hubungan-hubungan sosial
dan sikap-sikap pribadi dengan memperhatikan pemakaian bahasa untuk membina
hubungan. Contohnya, pemakaian ungkapan-ungkapan fatis dalam bertegur sapa.
Seseorang berpapasan di sebuah gang, lalu dia saling bertegur sapa, misalnya:
A : Assalamualaikum
B : Waalaikumussalam (sambil berlalu)

A : Mau ke mana?
B : ... hmm (dengan wajah senyum) tanpa menjawab secara pasti.

Dari dua contoh tegur sapa di atas jelas A dan B tidak mementingkan isi pesan, tetapi
lebih mengutamakan terbentuknya interaksi (hubungan sosial).

15
Selanjutnya, Popper (1972:70) dalam Leech (1993:75) menjelaskan bahwa ada
empat fungsi utama bahasa, yang terdiri atas fungsi ekspresif, fungsi informatif,
fungsi deskriptif, dan fungsi argumentatif. Berkenaan dengan keempat fungsi bahasa
menurut Popper ini akan dijelaskan pada uraian berikut ini.
Bahasa dikatakan berfungsi ekspresif jika bahasa digunakan untuk mengungkap
keadaan internal individu. Artinya, bahasa digunakan oleh individu untuk
menyatakan keadaan/kondisi emosinya, misalnya perasaan senang, marah, jengkel,
sedih, dan kagum. Pada fungsi informatif, bahasa digunakan untuk menyampaikan
berbagai informasi kepada orang lain berkenaan dengan kondisi-kondisi yang berada
di luar diri seseorang (ekternal) termasuk lingkungan sekitar. Pada fungsi deskriptif,
bahasa digunakan untuk memerikan objek-objek dalam dunia eksternal. Terakhir,
pada fungsi argumentatif, bahasa digunakan untuk memberikan penjelasan,
mempresentasikan dan juga menilai argumen. Menurut Popper, keempat fungsi
bahasa ini bersifat hierarkis. Fungsi akhir adalah fungsi argumentatif. Ke dalam
fungsi ini masuk ketiga fungsi yang lain (deskriptif, informatif, dan ekspresif).
Seterusnya fungsi deskriptif mengandung fungsi informatif dan ekspresif, dan fungsi
informatif mengandung fungsi ekspresif.
Pakar lain yang menjelaskan tentang fungsi bahasa adalah Halliday (1989:49)
yang megelompokkan fungsi bahasa (tuturan) menjadi fungsi instrumental, regulator,
interaksi, kepribadian, heuristik, khayalan, dan fungsi informatif. Pada fungsi
instrumental, bahasa digunakan untuk mengekspresikan berbagai gagasan kepada
orang lain, sedangkan pada fungsi regulator, bahasa digunakan untuk menyuruh
orang lain melakukan sesuatu. Pada fungsi interaksi, bahasa juga digunakan untuk
menjalin persahabatan dengan orang lain. Artinya, bahasa digunakan untuk
berinteraksi, menciptakan suasana yang akrab. Bahasa juga digunakan untuk
mengetahui perilaku, sifat, atau perasaan seseorang. Ini adalah fungsi bahasa sebagai
penanda kepribadian. Pada fungsi heuristik, bahasa digunakan untuk memahami
dunia sekitar. Bahasa juga berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan imajinasi.
Karena itu, bahasa juga berfungsi khayalan. Pada fungsi informatif, bahasa
digunakan untuk menyampaikan beragam informasi kepada orang lain.

16
a. Fungsi Personal
Fungsi personal yang disebut oleh Jacobson dengan istilah emotive speech
adalah fungsi bahasa untuk menyatakan diri atau perasan. Tolok ukur dari fungsi ini
adalah apa yang disampaikan itu berasal darinya bukan dari diri orang lain. Secara
garis besar yang terdapat dalam diri seseorang dibedakan atas dua macam, yaitu
perasaan dan pikiran. Perasaan dan pikiran yang dapat dinyatakan itu, misalnya
senang, susah, kalut, jengkel, dan marah. Umpamanya, ketika seorang teman sedang
menceritakan kegalauan pikirannya pada Anda, dia akan menggunakan bahasa yang
mengemban fungsi personal. Contoh lain, Anda menceritakan betapa senangnya
Anda ketika bertemu dengan pacar Anda. Tentunya Anda menggunakan bahasa yang
mengemban fungsi personal.

b. Fungsi Interpersonal
Sesuai dengan namanya, fungsi interpersonal merupakan fungsi yang terkait
dengan hubungan antarpenutur. Fungsi interpersonal tujuannya untuk membina
hubungan atau menjalin hubungan sosial. Ciri khas fungsi interpersonal adalah
terciptanya hubungan antarpemakai bahasa itu. Dalam kehidupan sehari-hari, fungsi
interpersonal dapat diwujudkan ketika dua orang yang saling tidak kenal lalu
bertegur sapa. Bahasa yang digunakan ketika dua orang tersebut bertegur sapa
mengemban fungsi interpersonal. Jacobson menyebutnya dengan istilah phatic
speech. Pathic Speech digunakan pada situasi tertentu, misalnya sapaan atau
basa-basi terhadap seseorang untuk mengakrabkan suasana.

c. Fungsi Direktif
Fungsi direktif merupakan fungsi bahasa untuk mengatur orang lain,
mempengaruhi orang lain, dan mengondisikan pikiran/tingkah laku mitra bicara.
Melalui fungsi direktif penutur bermaksud menyuruh dan menyarankan mitra tutur
untuk melakukan tindakan atau meminta sesuatu. Dampak fungsi bahasa direktif
adalah mitra tutur berperilaku sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Bahasa yang
digunakan memiliki ciri khas bentuk direktif. Menurut Fasold (dalam Oka, 1994:37),

17
penggunaan bahasa direktif menimbulkan resiko karena penutur harus memilih
bentuk-bentuk bahasa yang relevan. Selain itu, penutur juga harus memahami situasi,
menginterpretasi, dan memprediksi konteks sosial dan budaya yang berlaku.
Penerapan fungsi direktif tersebut dapat diamati, misalnya ketika seorang ibu
menyuruh anaknya belajar. Kalimat yang disampaikan bisa bermacam-macam.
Namun, maksudnya persis sama, yakni menyuruh si anak belajar. Si ibu bisa
menggunakan kalimat langsung “Belajarlah, Nak” atau kalimat tidak langsung, “Kok,
masih menonton televisi juga”. Dari kedua contoh tersebut, ternyata bentuk bahasa
yang digunakan tidak paralel dengan fungsi yang diemban.

d. Fungsi Referensial
Fungsi referensial merupakan fungsi bahasa yang bertujuan menampilkan
suatu acuan/referen dengan menggunakan lambang bahasa. Dengan fungsi
referensial penutur mampu membicarakan atau menjelaskan sesuatu tanpa harus
menghadirkan acuannya ke konteks dan situasi tuturan. Coba bayangkan andaikan
fungsi bahasa referensial tidak ada. Betapa repotnya manusia untuk menjelaskan
sesuatu. Dengan adanya fungsi ini, penutur menjadi lebih mudah dalam
berkomunikasi. Umpamanya, untuk menjelaskan tentang Sang Maha Pencipta cukup
dengan menggunakan lambang Allah.

e. Fungsi Imajinatif
Fungsi imajnatif pada umumnya ditemukan di dalam karya sastra, seperti
dalam cerpen, dalam puisi, dalam novel, dan dalam roman. Dengan kata lain, karya
sastra merupakan karya yang lahir berkat fungsi bahasa sebagai alat berimajinasi.
Fungsi imajinatif digunakan untuk menciptakan sesuatu dengan berimajinasi. Fungsi
imajinasi tersebut sulit untuk dipelajari atau diajarkan. Fungsi imajinatif sangat
tergantung pada bakat. Bakat yang ada pada diri seseorang turut mempengaruhi
berkembangnya kemampuan seseorang untuk berimajinasi (Finochiaro dalam Oka,
1994:38). Fungsi imajinatif disebut dengan poetic speech. Poetic speech adalah

18
ujaran yang digunakan untuk membentuk ujaran tersendri dengan menonjolkan
nilai-nilai estetika (Jacobson dalam Chaedar, 2000:42).
Tokoh lain yang membicarakan fungsi bahasa adalah Halliday. Menurut
Halliday (dalam Oka, 1994:38), fungsi bahasa dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu
(1) fungsi instrumental, (2) fungsi regulatori, (3) fungsi representasional, (4) fungsi
interaksional, (5) fungsi personal, (6) fungsi huristik, dan (7) fungsi imajinatif.

f. Fungsi Instrumental
Fungsi imajinasi merupakan fungsi bahasa untuk mengatur lingkungan agar
tercipta situasi atau peristiwa tertentu. Umpamanya, seorang pemilik rumah
mengatakan kepada tamunya “Silakan masuk” atau “Masuklah”. Kalimat yang
digunakan pemilik rumah mengemban fungsi instrumental. Dengan menggunakan
kalimat tersebut terciptalah situasi yang diharapkan. Situasi yang dimaksud adalah
tamu memasuki rumah. Contoh lain, seseorang mengatakan pada temannya “Tolong
ambilkan aku segelas air”. Dengan kalimat “Tolonglah ambilkan aku segelas air”,
peristiwa lawan tutur mengambilkan segelas air akan terwujud dengan tuturan
tolonglah tersebut.

g. Fungsi Regulatori
Fungsi regulatori ini sama dengan fungsi direktif menurut klasifikasi
Finochiaro. Fungsi regulatori digunakan untuk memelihara atau mengontrol keadaan
atau peristiwa. Peristiwa negosiasi (penolakan dan persetujuan), pengendalian
tingkah laku yang dilakukan dengan menggunakan bahasa merupakan buktu
penerapan fungsi regulatori.

h. Fungsi Representasional
Fungsi representasional digunakan untuk mengomunikasikan fakta dan
khasanah ilmu pengetahuan. Fakta kedunian dan khasanah ilmu pengetahuan
merupakan benda yang memerlukan perujukan/referen. Untuk keperluan itu, bahasa
memainkan fungsinya sebagai fungsi representasional. Melalui fungsi

19
representasional penutur bahasa mampu menghadirkan dunia ke hadapan lawan
tuturnya. Umpamanya, seorang ilmuwan menyampaikan khasanah ilmunya di dalam
seminar. Ilmuwan tersebut menggunakan bahasa yang mengemban fungsi
representasional.

i. Fungsi Interaksional
Sesuai dengan namanya, fungsi interaksional digunakan sebagai alat untuk
berinteraksi. Fungsi interaksional tersebut dapat diwujudkan jika nilai-nilai atau
karakteristik budaya yang belaku dalam bahasa yang digunakan dipahami dengan
baik. Umpamanya, jika ingin menggunakan bahasa Inggris, seseorang harus
memahami aspek-aspek budaya yang berlaku dalam bahasa Inggris Pemahaman
terhadap aspek budaya suatu bahasa sangat penting. Penggunaan bahasa akan salah
dalam dan dari ukuran konteks komunikasi kalau menyimpang dari nila-nilai budaya
yang berlaku. Dalam kaitan penggunaan bahasa yang mengemban fungsi
interaksional, perlu dibedakan antara kebenaran (correctness) dengan kecocokan
(appropriacy) (Widdowson dalam Oka, 1994:39).
Fungsi bahasa kategori interaksional tampk jelas dalam bahasa percakapan.
Kebutuhan fungsi interaksional tersebut bagi manusia sangat vital terutama kalau
dikaitkan dengan kebutuhan sehari-hari. Kehidupan manusia sehari-hari lebih banyak
ditandai 0leh penggunaan bahasa dengan fungsi interaksional dibandingkan fungsi
transaksional.

j. Fungsi Personal
Fungsi personal dalam klasifikasi yang dikemukakan Halliday ini sama
dengan fungsi personal yang diungkapkan oleh Finochiaro. Fungsi personal
menyiratkan bahwa bahasa merupakan alat untuk menyampaikan pikiran atau
perasaan yang bersifat pribadi. Dengan kata lain, infomasi yang disampaikan penutur
terkait dengah masalah pribadinya bukan menginformasikan masalah pribadi orang
lain. Jika yang diinformasikan tersebut permasahan orang lain, bahasa yang
digunakan untuk meinformasikan masalah itu bukan mrngemban fungsi personal.

20
k. Fungsi Huristik
Fungsi huristik digunakan untuk mendapatkan informasi yang berupa ilmu
pengetahuan. Dalam konteks itu, manusia memanfaatkan bahasa yang berfungsi
huristik. Penggunaan fungsi huristik dapat ditemukan dalam karya ilmiah dalam
bentuk rumusan masalah. Ungkapan berikut merupakan contoh penggunaan bahasa
yang mengemban fungsi huristik.
1. Bagaimana caranya ular dapat mengenali lingkungannya, padahal ular tidak
memiliki gendang telinga?
2. Mengapa daun talas dengan air tidak kohesif?
3. Mengapa orang enggan duduk di deretan paling depan pada forum
pertemuan?
Untuk memperoleh jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut, manusia memerlukan
bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mengemban fungsi huristik.

l. Fungsi Imajinatif
Kemampuan berimajinasi merupakan salah satu ciri pembeda manusia
dengan spesies lain. Dengan kemampuan berimajinsi itu, manusia mampu
menciptakan berbagai karya, misalnya cerpen atau novel. Berbeda dengan fungsi
referensial, fungsi imajinasi tidak bergantung pada dunia faktual. Acuan yang
dilambangkan bahasa bukanlah dunia yang nyata, tetapi dunia khayalan (Oka,
1994:40).
Kemampuan berimajinasi menuntut manusia untuk menguasai bahasa sebagai
alatnya. Seseorang tidak akan mampu berimajinasi dalam bahasa Inggris, mialnya,
kalau yang bersangkutan tidak menguasai bahasa Inggris. Dengan kata lain,
kemampuan berimajinasi baru dapat diwujudkan kalau seseorang menguasai bahasa
yang relevan. Hal itu disebabkan kemampuan berimajinasi adalah aktivitas mental
untuk mengkreasi referen imajinatif. Untuk mampu mengkreasi referen imajinatif,
dalam otak seseorang seharusnya sudah tersedia lambang-lambang bahasa dan

21
hubungan antarlambang tersebut dalam rangka mengimplementasikan referen yang
dimaksud.
Klasifikasi lain tentang fungsi bahasa dikemukakan oleh Nababan. Nababan
(1985) mengklasifikasikan fungsi bahasa atas empat kelompok, yaitu (1) fungsi
kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, (4) fungsi pendidikan.
Keempat kelompok itu saling berkaitan. Maksudnya, sebuah bentuk bahasa tidak
mengemban satu fungsi, tetapi dalam penggunaannya fungsi-fungsi bahasa tersebut
bisa tumpang tindih. Umpamanya, sebuah pernyataan dapat berfungsi regulatori
sekaligus mengemban fungsi instrumental.

m. Fungsi Kebudayaan
Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa dalam
kebudayaan mengemban fungsi kebudayaan. Fungsi kebudayaan itu mencakup
fungsi bahasa sebagai (a) sarana perkembangan kebudayaan, (b) jalur penerus
kebudayaan, dan (c) inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dalam konteks kebudayaan itu,
bahasa merupakan unsur kebudayaan yang dapat mengembangkan kebudayaan.
Kebudayaan suatu masyarakat akan tumbuh dan berkembang selama masyarakat
pemilik kebudayaan itu tidak punah. Kebudayaan suatu masyarakat senantiasa
mengalami perkembangan. Khasanah kebudayaan sangat ditentukan oleh bahasa
yang mewadahinya. Khasanah kebudayaan itu merupakan hasil kumulatif
perkembangan kebudayaan itu. Kumulatif perkembangan kebudayaan terjadi karena
fungsi bahasa sebagai sarana perkembangan kebudayaan.
Kebudayaan suatu masyarakat tidak muncul dengan serta merta. Masyarakat
tumbuh dan berkembang.Dalam perkembangannya tersebut terjadilah regenerasi.
Regenerasi di sini bukan peristiwa yang revolusioner. Maksudnya, perkembangan
generasi itu berlangsung secara bertahap sehingga dalam proses perkembangan
masyarakat tersebut terjadi pewarisan kebudayaan. Dalam konteks ini, bahasa
memerankan fungsinya sebagai jalur penerus kebudayaan.
Unsur-unsur kebudayan yang diwariskan pada generasi selanjutnya perlu
diabadikan. Jika tidak diabadikan, tentu unsur-unsur kebudayaan itu akan hilang.

22
Benda-benda purbakala dan candi-candi merupakan perekaman budaya. Untuk
merekam unsur-unsur kebudayaan itu, selain dalam bentuk peninggalan benda-benda
purbakala, diperlukan bahasa. Bahasa merupakan alat perekam unsur-unsur
kebudayaan secara verbal. Dengan demikian, dalam konteks ini, bahasa mengemban
fungsi sebagai inventaris kebudayaan.

n. Fungsi Kemasyarakatan
Fungsi kemasyarakatan bahasa berdasarkan ruang lingkupnya terbagi atas dua,
yaitu bahasa nasional dan bahasa daerah. Dalam skala nasional, bahasa berfungsi
sebagai (a) lambang kebanggaan bangsa, (b) lambang identitas nasional, (c) alat
pemersatu aneka suku, dan (d) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Keempat fungsi tersebut berlaku untuk bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai
bahasa nasional. Penggunaan suatu bahasa tidak selamanya berskala nasional.
Kelompok-kelompok tertentu dalam suatu negara, seperti Indonesia memiliki bahasa
sendiri. Bahasa yang digunakan kelompok-kelompok tersebut dinamakan bahasa
daerah. Bahasa daerah memiliki fungsi yang berbeda dengan bahasa nasional. Bahasa
daerah berfungsi sebaga (a) lambang identitas daerah dan (b) alat pelaksanaan
kebudayaan daerah.
Bahasa daerah di Indonesia berfungsi sebagai (a) lambang kebanggaan daerah,
(b) lambang identitas daerah, dan (c) alat perhubungan dalam keluarga dan
masyarakat daerah. Sebagai lambang kebanggaan daerah, bahasa daeran itu
menumbuhkan rasa bangga sebagai orang daerah. Sebagai lambang identitas daerah,
bahasa daerah itu menanai pemakainyasebagai orang daerah tertentu. Dengan kata
lain, penutur bahasa daerah akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang daerah
tertentu saat yag bersangkutan menggunakan bahasa daerahnya. Sebagai alat
perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah, bahasa daerah itu digunakan
dalam keluarga dan dalam berbagai peristiwa yang bercirikhas daerah (Oka,
1994:46).

23
o. Fungsi Perorangan
Fungsi bahasa perorangan yang dikemukakan oleh Nababan identik dengan
fungsi bahasa yang diungkapkan oleh Halliday. Menurut Nababan (dalam Oka,
1994:47), fungsi bahasa perorangan selain yang dikemukakan oleh Halliday
ditambahnya dengan fungsi informatif. Dengan demikian, fungsi bahasa perorangan
menurut Nababan ada tujuh, yaitu (a) fungsi instrumental, (b) fungsi menyuruh, (c)
fungsi interaksional, (d) fungsi kepribadian atau representasiona, (e) fungsi
pemecahan masalah atau huristik, (f) fungsi khayal atau imajinatif, dan (g) fungsi
informatif.

p. Fungsi Pendidikan
Berdasarkan pada tujuan penggunaan bahasa dalam dunia pendidikan dan
pengajara, bahasa mengemban fungsi pendiikan. Dalam konteks pendidikan dan
pengajaran, fungsi bahasa dikelompokkan menjadi empat, yaitu (a) fungsi integratif,
(b) fungsi instrumental, (c) fungsi kultural, dan (d) fungsi penalaran.
q. Fungsi Integratif
Fungsi integratif memberikan penekanan pada penggunaan bahasa sebagai
alat untuk menjadikan peserta didik memiliki kesanggupan menjadi anggota
masyarakat. Dengan fungsi integratif peserta didik dimungkinkan untuk mampu
megintegrasikan dirinya dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, peserta didik
harus menguasai bahasa yang dipelajarinya.
Fungsi integratif tersebut jika dikaitkan dengan pengajaran bahasa Indonesia
tampak jelas bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia tersebut agar peserta didik
mampu mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat Indonesia. Dengan mampu
berbahasa Indonesia diharapkan peserta didik menjadi bagian yang seutuhnya dari
bangsa Indonesia. Terkait dengan hal itu, Nababan (1982:44) menyatakan bahwa
bahasa Indonesia merupakan pembuka jalan bagi peserta didik menjadi anggota yang
seutuhnya dari bangsa Indonesia. Karena itu, sangat penting bagi lembaga
pendidikan, terutama sekolah dasar, untuk memasyarakat-indonesiakan peserta didik.
Pengajaran bahasa di sekolah dasar bukan sekadar mengajarkan keterampilan

24
berbahasa, melainkan untuk memperkenalkan masyarakat Indonesia yang bhinneka
tunggal ika dan menjadikan peserta didik sanggup dan ingin menjadi anggota sejati
dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam, tetapi utuh bersatu.

r. Fungsi Instrumental
Fungsi instrumental merupakan fungsi bahasa untuk mendapatkan
keuntungan material, memperoleh pekerjaan, meraih ilmu pengetahuan,
mendapatkan peluang ekonomi, dan lain-lain. Pengajaran bahasa Inggris merupakan
contoh nyata fungsi instrumental. Pesera didik yang menguasai bahasa Inggris
mempunyai peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu, wajar jika
pendidikan bahasa Inggris diminati, terlebih lagi kalau dikaitkan dengan orientasi
praktis masyarakat dewasa ini, yakni bekerja. Orientasi itu menggiring orang untuk
mempelajari sesuatu yang memungkinkan dia secara cepat dapat bekerja.

s. Fungsi Kultural
Fungsi kultural merupakan fungsi bahasa sebagai wahana untuk mengenal,
mempelajari, mengapresiasi, dan menghargai nilai-nilai budaya yang berwahanakan
bahasa. Pengajaran bahasa daerah dimaksudkan agar peserta didik memperoleh
pengalaman kultural yang terdapat dalam bahasa daerah yag dipelajarinya.
Sehubungan dengan itu, Nababan (1982) menyatakan bahwa bahasa daerahlah yang
memenuhi fungsi kultural terhadap kebudayaan daerah atau kebudayaan suku
bangsa. Karena itu, sudah sewajarnya pengajaran bahasa daerah dimaksudkan untuk
mewujudkan fungsi kultural. Dengan kata lain, fungsi kultural itulah yang mendapat
penekanan dalam penyediaan bahan ajar dan penyajian di kelas. Sama halnya dengan
bahasa daerah, pengajaran bahasa Indonesia pun mengemban fungsi kultural. Melalui
pengajaran bahasa Indonesia, peserta didik dapat mengenal kebudayaan nasional atau
mendapatkan pengalaman berbudaya Indonesia.

25
t. Fungsi Penalaran
Fungsi penalaran merupakan fungsi bahasa yang menekankan pada
penggunaan bahasa sebagai alat berpikir dan bernalar. Bernalar merupakan
proses/aktivitas kognitif yang berusaha untuk menghubung-hubungkan konsep, untuk
menganalisis, dan untuk menyintesis. Aktivitas tersebut tidak akan mungkin terjadi
pada diri seseorang jika tidak menguasai bahasa yang seharusnya digunakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahasa sebagai alat untuk berpikir dan bernalar.

D. DAFTAR RUJUKAN

Atmazaki, 2006. Kiat-kiat Mengarang dan Menyunting. Padang: Visigraf.

Alwasilah, A. Chaedar. 1990. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Diindonesiakan oleh I.
Soetikno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Kencono, Djoko. 1991. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta: FSUI.

Kushartanti,dkk.,2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik .


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Oka, IGN. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Parera, JD. 1987. Studi Linguistik Umum dan Historis Bandingan. Jakarta: Erlangga.

Suganda, Dadang. 2006. “Fungsi Bahasa dalam Kehidupan Manusia” Artikel dalam
Bumiku Bahasa dan Sastra (Kumpulan Tulisan untuk Prof.Dr. H.J.S. Badudu
pada HUT-nya yang ke-80). Bandung: Jurusan Sastra Indonesia Fasa Unpad.

26

Anda mungkin juga menyukai