Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN Ny.

FR DENGAN NEFROTIK
SYNDROME DI RUANG HEMODIALISA BRSU TABANAN

Oleh:
Ni Wayan Widiasih
2014901035

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
(ITEKES BALI) DENPASAR
2020

LAPORAN PENDAHULUAN

1
SINDROM NEFROTIK

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Anatomi Fisiologi

Gambar 1.1 : Anatomi ginjal

a. Anatomi
1) Makroskopis Ginjal
Terletak sedikit ke  bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi
tempat lobus hepatis dexter yang  besar. Ginjal dipertahankan dalam posisi
tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua
lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
guncangan. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan
medulla renalis di bagian dalam yang  berwarna coklat lebih terang
dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis,
puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil
disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf
sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.
Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal.
Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan

2
bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi
menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut
dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan
duktus  pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk
duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari
banyak duktus pengumpul (Price,1995 : 773).

2) Mikroskopis Ginjal
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2
juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron
terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan
diri keduktus pengumpul. (Price, 1995)
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat
sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler
tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang
berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran
yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung
kencing, kemudian ke luar melalui Uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama
elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi
cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan  pembuangan dilakukan menggunakan
mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian
diekskresikan disebut urin.

3) Vaskularisasi ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi
vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena
kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis
masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang

3
berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks.
Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada
glomerulus (Price, 1995). Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang
kemudian bercabang membentuk sistem  portal kapiler yang mengelilingi
tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem
portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena
interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya
mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit
suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih
dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya
dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran
darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat
merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri
dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
tetap konstan ( Price, 1995).

4) Persarafan Pada Ginjal


Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis
(vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk
kedalam ginjal, saraf ini berjalan  bersamaan dengan pembuluh darah yang
masuk ke ginjal”.

b. Fisiologis Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat
banyak (sangat vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah
“menyaring/membersihkan” darah. Aliran darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit
atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi cairan filtrat sebanyak 120
ml/menit (170 liter/hari) ke Tubulus. Cairan filtrat ini diproses dalam Tubulus
sehingga akhirnya keluar dari ke-2 ginjal menjadi urin sebanyak 1-2 liter/hari.
 Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam  pengeluaran
zat-zat toksis atau racun,  b) mempertahankan keseimbangan cairan tubuh, c)

4
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan d)
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan
amoniak. e) Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang. f)
Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah. g) Produksi Hormon
Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.

Tahap Pembentukan Urine :


 
1. Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,
seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat
impermiabel terhadap protein plasma yang  besar dan cukup permabel
terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino,
glukosa, dan sisa nitrogen.
Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari
curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau
sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini
dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal
dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus
mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik
filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi
glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas
namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.

2. Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non
elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi
selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.

5
3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang
secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-
ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang
juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam
hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular,
cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular
“perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi,
hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang
akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari
ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation
dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami  beberapa hubungan
yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti
mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa
pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat
dikoreksi secara theurapeutik.

Gambar 1.2 : Fisiologi ginjal

6
2. Definisi Sindrom Nefrotik
Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia, kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 2005).

Sindroma Nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh


peningkatan permeabilitas glumerulus terhadap protein plasma yang
menimbulkan proteinuria, hipoalbumenemia, hiperlipidemia, dan edema (Betz,
Cecily dan Sowden, Linda. 2002).

Sindroma Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang di sebabkan oleh


injuri oleh glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita
Yuliani, 2001).

Sindroma Nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari


proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kg BB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/ 100 ml) yang disertai atau tidak di sertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia ( Rauf, 2002).

Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan


bahwa sindroma nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan
protein urinaris yang massif, dengan karakteristik : proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, disertaia atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia.

3. Etiologi
Penyebab sindroma nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen-antibodi.
Menurut Ngastiyah, 2005, umumnya etiologi di bagi menjadi 3 (tiga), yaitu :

1. Sindroma Nefrotik bawaan.


Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reksi maternofetal,
resisten terhadap semua pengobatan. Gejala : Edema pada masa neonatus.

7
2. Sindroma Nefrotik sekunder.
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritemosus desiminata, purpura
anafilaktoid.
c. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena
renalis.
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, air raksa.
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif, hipokomplementemik.

3. Sindroma Nefrotik Idiopatik atau sindrome nefrotik primer


Sekitar 90% nefrosis pada anak dan penyebabnya belum diketahui,
berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron. Diduga ada hubungan
dengan genetik, imunologik dan alergi .

4. Epidemiologi
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan= 2:1, sedangkan pada
masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. Biasanya 1 dari 4 penderita
sindrom nefrotik adalah penderita dengan usia>60 tahun. Namun secara tepatnya
insiden dan prevalensi sindrom nefrotik pada lansi tidak diketahui karena sering
terjadi salah diagnosa.Kira-kira dua dari setiap 10.000 orang mengalami
sindroma nefrotik. Prevalensi sindroma nefrotik sulit untuk ditentukan pada
orang-orang dewasa karena kondisi ini biasanya merupakan suatu akibat dari
penyakit yang mendasarinya. Pada anak-anak, penyakit ini didiagnosa pada
lebih banyak anak laki-laki dibandingkan dengan pada anak-anak perempuan,
biasanya antara usia 2 dan 3 tahun.

8
5. Patofisiologi
Terjadi proteinuria akibat peningkatan permiabilitas membran
glomerulus. Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin sehingga jika laju
sintesis hepar dilampui, meski telah berusaha ditingkatkan, terjadi
hipoalbuminemia. Hal ini menyebabkan retensi garam dan air. Menurunnya
tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah
dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler. Penurunan sirkulasi
volume darah mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi
natrium dan edema lebih lanjut. Hilangnya protein dalam serum menstimulasi
sintesis lipoprotein di hati dan peningkatan konsentrasi lemak dalam darah
(hiperlipidemia). Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan,
kemungkinan disebabkan karena hypoalbuminemia, hyperlipidemia atau
defisiensi seng.
Sindrom nefrotik dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik
atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit
ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada
orang dewasa termasuk lansia.

9
6. Pathway

Gambar 1.3 : Pathway Sindrom Nefrotik

10
7. Tanda dan Gejala

Di samping proteinuria, ada tiga gejala utama nephrotic syndrome yang


berkenaan dengan kebocoran dalam urine:

a) Hypoalbuminemia (tingkat albumin rendah dalam darah) < 2,5 g/dL

Hypoalbuminemia merupakan suatu tingkat albumin yang rendah


(protein) dalam darah yang disebabkan oleh proteinuria. Albumin yang
rendah dalam darah menyebab-kan cairan berpindah dari darah masuk ke
dalam jaringan, yang menyebabkan pembengkakan .Ginjal  merasakan
penurunan cairan dalam darah dan secara terus menerus menahan cairan
dan garam sebanyak-banyaknya. Hal ini menyumbang kepada keadaan
kelebihan beban cairan pada tubuh.

b) Edema (pembengkakan)

Pembengkakan yang berhubungan dengan nephritic membuat jaringan


bengkak, lembut, dan peka terhadap sentuhan. Edema sangat umum pada
kaki, terutama setelah berdiri sepanjang hari. Hal ini dapat menyebabkan
rasa sesak pada bagian-bagian tubuh dan bias mempengaruhi mobilitas.
Dalam tahap – tahap selanjutnya, pembengkakan bias terjadi dalam perut
(ascites), tangan, dan sekitar mata pada pagi hari (periorbital edema). Pada
tahap - tahap selanjutnya, tubuh seluruhnya bias membengkak (edema
anasarca). Beberapa orang naik berat tubuhnya setelah cairan terkumpul
dalam tubuh mereka selama jangka waktu yang lama. Manifestasi edema
dapat berupa efusi pleura atau edema laring yang dapat menyebabkan
sesak nafas, efusi perikard yang disebabkan substernal chest pain, skrotum
bengkak, lutut bengkak (hydrarthrosis)

c) Hypercholesterolemia (tingkat kolesterol tinggi dalam darah). Kadar lipid


meningkat> 10 kali nilai normal

11
Hypercholestrolemia adalah kolestrol darah yang tinggi, umum pada
nephrotic syndrome. Di samping albumin, enzim-enzim penting lainnya
yang berperan dalam metabolisme kolesterol ikut keluar bersama albumin
melalui glomeruli, yang mengakibatkan kolesterol dalam darah menjadi
tinggi.

8. Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic
syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia
sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat
hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

b. Sindrom Nefrotik Sekunder


Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis,
bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

c. Sindrom Nefrotik Kongenital


Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal.
Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala
awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua
pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan
bayi jika tidak dilakukan dialysis.

9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan Sindrom Nefrotik
yaitu :
1. Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik. Proteinuria
berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes

12
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.

2. Pemeriksaan sedimen urin


Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel
sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.

3. Pengukuran protein urin


Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single
spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin
24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan
harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya
proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan
kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari
sebanyak ≥ 3g.

4. Albumin serum
 kualitatif : ++ sampai ++++
 kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai
reagen ESBACH)

5. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis

6. USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.

7. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia>
8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta

13
terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak
diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk
diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena
masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda.
Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa
dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease
memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.

8. Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- α2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
- β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
- γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
- rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)
- komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

10. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
a) Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai
kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dan menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2
– 3 gram/kgBB/hari.

b) Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat


digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung
pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter,
dapat digunakan hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama
pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi,
alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.

14
c) Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive
Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut : 1).
Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari
luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari. 2).
Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari
dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan
dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan,
maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu

d) Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi

e) Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindrom nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena
memerlukan pengawasan dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien
yang perlu di perhatikan adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko
komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman
dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
pasien atau umum.
Pasien dengan sindrom nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di
tempat tidur karena keadaan edema yang berat menyebabkan pasien
kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih berat
semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.
a) Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan didalam rongga
toraks akan menyebabkan sesak napas.
b) Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal di
letakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki
akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
c) Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum
untuk mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah
terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadui penyebab
kematian pasien).

15
Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan
sesuai kemampuannya , tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga
atau perawat dan pasien tidak boleh kelelahan. Untuk mengetahui
berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, diukur lingkar perut
pasien. Selain itu perawatan pasien dengan sindrom nefrotik, perlu
dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada
pasien dengan sindrom nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0
g/kg BB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kal/kg BB/hari serta rendah garam
(1g/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien, dapat
makanan biasa atau lunak (Ngastiyah, 2005).
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh
yang mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat
infeksi streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut,
kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien
harus bersih dan kering. Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan
pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien
perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita
penyakit sindrom nefrotik. Pasien sendiri perlu juga diterangkan aktivitas
apa yang boleh dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih perlu
diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan bebas diet.
Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa penyakit ini sering kambuh
atau berubah menjadi lebih berat jika tidak terkontrol secara teratur, oleh
karena itu orang tua atau pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu yang
ditentukan (biasanya 1 bulan sekali) (Ngastiyah, 2005).

11. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Sindroma nefrotik menurut Betz, Cecily
L.2002 dan Rauf, 2002, antara lain :
1. Penurunan volume intravaskular (syok Hipovolemik).
2. Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosis vena ).

16
3. Perburukan pernapasan (berhubungan dengan retensi cairan).
4. Kerusakan kulit.
5. Infeksi sekunder karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
6. peritonitis

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a) Identitas
Mengkaji identitas pasien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, status
pernikahan, agama, pekerjaan, alamat.

b) Riwayat Penyakit Saat Ini


Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Pengkajian
dilakukan secara rinci dan aktual mulai dari awal gejala penyakit
dirasakan sampai akhirnya memilih tim kesehatan untuk memeriksakan
keadaannya.

c) Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita Sindrom Nefrotik serta menanyakan
mengenai obat – obatan yang klien minum pada masa lalu

d) Riwayat Penyakit Keluarga


Perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah di alami oleh
anggota keluarga lainnya sebagai faktor presdisposisi penularan di dalam
keluarga

e) Pengkajian Bio-Psiko-Sosio-Spiritual (Pola Fungsi Gordon)


- pola makan dan minum,
- pola kebersihan,

17
- pola istirahat tidur,
- pola aktivitas atau bermain, dan
- pola eliminasi.

f) Pemeriksaan Fisik
 Pengkajian umum : TTV, BB, TB, lingkar kepala, lingkar dada
(terkait dgn edema ).
 Sistem kardiovaskuler : irama dan kualitas nadi, bunyi jantung, ada
tidaknya cyanosis, diaphoresis.
 Sistem pernafasan :  kaji pola bernafas, adakah wheezing atau ronki,
retraksi dada, cuping hidung.
 Sistem persarafan : tingkat kesadaran, tingkah laku ( mood,
kemampuan intelektual,proses pikir ), sesuaikah dgn tumbang? Kaji
pula fungsi sensori, fungsi pergerakan dan fungsi pupil.
 Sistem gastrointestinal : auskultasi bising usus, palpasi adanya
hepatomegali / splenomegali, adakah mual, muntah. Kaji kebiasaan
buang air besar.
 Sistem perkemihan : kaji frekuensi buang air kecil, warna dan
jumlahnya.

Pengkajian Fokus
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses
keperawatan. Dalam mengkaji, harus memperhatikan data dasar
pasien. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada
kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian. Pengkajian yang
perlu dilakukan pada klien anak dengan sindrom nefrotik (Donna L.
Wong,2004 : 550) sebagai berikut :
1. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajian luasnya edema.
2. Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang
berhubungan dengan penambahan berat badan saat ini, disfungsi
ginjal

18
3. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :
 Penambahan berat badan
 Edema
 Wajah sembab : 1). Khususnya di sekitar mata
2). Timbul pada saat bangun pagi
3). Berkurang di siang hari
 Pembengkakan abdomen (asites)
 Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
 Pembengkakan labial (scrotal)
 Edema mukosa usus yang menyebabkan : 1). Diare
2). Anoreksia

 Peka rangsang
 Mudah lelah
 Letargi
 Tekanan darah normal atau sedikit menurun
 Kerentanan terhadap infeksi
 Perubahan urin : 1). Penurunan volume
2). Gelap
3). Berbau buah

g) Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada Sindroma Nefrotik menurut Betz, Cecily
L, 2002 :
1. Uji Urin
a. Protein urin → > 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari
b. Urinalisa → cast hialin dan granular, hematuria.
c. Dipstick urin → positif untuk protein dan darah.
d. Berat jenis urin → meningkat(normal: 285 mOsmol).

2. Uji Darah

19
a. Albumin serum → <3 g/dl
b. Kolesterol serum → meningkat
c. Hemoglobin dan hematokrit → meningkat (hemokonsentrasi)
d. Laju Endap darah (LED) → meningkat
e. Elektrolit serum → bervariasi dengan keadaan penyakit
perorangan.

3. Uji Diagnostik
a. Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.
b. USG ginjal, dan CT scan ginjal atau IVP menunjukkan
pengkisutan ginjal.
c. Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk
glomerulonefritis kronis atau pembentukan jaringan parut yang
tidak spesifik pada glomeruli.

2. Diagnosa
1) Kelebihan volume cairan( hypervolemia) berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan tekanan osmotik
kapiler ( hipoventilasi) s/e dari penumpukan cairan di rongga pleura
3) Deficit nutrisi b/d ketidakmampuan mencerna makanan
4) Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan peningkatan ureum
nitrogen dalam darah s/e dari hipervolemia
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke
jaringan.
6) Resiko kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan
kegagalan mekanisme regulasi( protein dan albumin ).
7) Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer(statis cairan tubuh)
8) Gangguan body image berhubungan dengan perubahan struktur/bentuk
tubuh( oedema nasarka).

20
3. Intervensi
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan menentukan Diagnosa
keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun perencaan. Dalam
tahap perencanaan ini meliputi 3 menentukan prioritas Diagnosa
keperawatan, menentukan tujuan merencanakan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan sebagai
berikut :

1. Kelebihan volume cairan( hypervolemia) berhubungan dengan gangguan


mekanisme regulasi
 Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien tidak mengalami kelebihan cairan.
 Kriteria Hasil :
a. Oedema berkurang
b. Balance cairan antara input dan output seimbang.
Intervensi :
Observasi:
 Periksa tanda dan gejala hypervolemia( ortopnea, dyspnea, oedema)
 Identivikasi penyebab hypervolemia
 Monitor status hemodinamik( frekuensi jantung, TD, MAP,CVP)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor tanda hemokonsentrasi( kadar natrium, BUN SC,HCT,BJ
Urine)
 Monitor efek samping deuretik9 hipotensi ortostostatik, hipovolemia)
Therapeutic :
 Timbang BB tiap hari pada waktu yang sama
 Batasi asupan cairan dan garam
 Tinggikan kepala TT 30-40 derajat
Edukasi :
 Anjurkan melapor jika haluaran urine kurag dari 0,5 ml/kg/jam
dalam 6 jam

21
 Anjurkan melaor jika bb bertambah 1 kg dalam sehari
 Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan
 Ajarkan cara membatasi asupan cairan
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian deuretik
 Kolaborasi penggantian kalium akibat deuretik
 Kolaborasi pemberian (HD, CRRT)

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan tekanan osmotik kapiler
( hiperventilasi) s/e dari penumpukan cairan di rongga pleura
 Tujuan: setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan Pola nafas efektif dengan frekuensi dan
kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas / bersih

 Kriteria hasil :
a. Mempertahankan frekuensi dan kedalaman nafas paten dengan bunyi
nafas bersih/ jelas
b. Pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman nafas tidak
mengalami gangguan.

Intervensi :
Observasi :
 Monitor pola nafas(bradipneu, takipnea, hiperventilasi,
kusmaul, chyene stokes)
 Monitor bunyi nafas tambahan
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil X-Ray thorak
 Monitor adanya secret, batuk darah/bercak darah

22
Therapeutic :
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Posisikan semi fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisiotherapi dada jika perlu
 Berikan oksigen sesuai kebutuhan
Edukasi :
 Anjurkan / jelaskan prosedur pemantauan respirasi
 Anjurkan untuk membatasi asupan cairan dan garam
 Anjurkan cara mengatur keseimbangan asupan dan haluaran cairan
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian deuretik.
 Kolaborasi tindakan HD

3. Deficit nutrisi b/d ketidakmampuan mencerna makanan


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien mendapatkan nutrisi yang optimal.

Kriteria Hasil :
a. Kebutuhan nutrisi tubuh tercukupi.
b. Tidak terjadi anoreksia, mual dan muntah.
c. Makan habis satu porsi.

Intervensi :
Observasi:
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Monitor asupan makanan
 Monitor BB tiap hari
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

23
Terapeutik :
 Lakukan oral hygiene sebelum makan
 Sajikan makanan secara menarik dan hangat
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi pasien
Edukasi :
 Anjurkan makan dengan posisi duduk
 Anjurkan mematuhi diet yang diberikan
 Anjurkan makan dalam porsi kecil ,hangat, dan sering
 Anjurkan untuk selalu menjaga keseimbangan asupab dan haluaran
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan( anti emetic)
 Kolaborasi dengan akhli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan.

4. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan peningkatan ureum


nitrogen dalam darah s/e dari hipervolemia .
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak terjadi gangguan integritas kulit.

Kriteria hasil :
a. Kulit tidak menunjukan adanya kerusakan integritas kulit :
kemerahan atau iritasi.
b. Pasien merasa nyaman (tidak merasa gatal)

Intervensi :
Observasi :
 Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
 Monitor adanya infeksi
Therapeutic :
 Ubah posisi tiap 2 jam jika pasien tirah baring

24
 Gunakan tempat tidur yang khusus untuk mencegah luka tekan
 Lakukan perawatan kulit
 Hindari pakaian yang ketat
 Topang oedema pada area tertentu seperti scrotom
Edukasi :
 Anjurkan untuk menggunakan pelembab
 Anjurkan untuk membatasi asupan garam
 Anjurkan untuk merubah posisi sesering mungkin
Kolaborasi :
 Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian topical bila terjadi infeksi seperti
selulitis.

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke


jaringan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien dapat melakukan aktifitas sesuai dengan
kemampuan.

Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat beraktifitas sesuai kemampuan
b. Pasien tidak cepat lelah.
c. pasien merasa senang dan mendapatkan istirahat tidur yang adekuat.

Intervensi :
 Identifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dapat
mengakibatkan intoleransi aktivitas
 Tampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa bantuan
(misalnya, eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi).
 Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri,
ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI
 Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas

25
 Penyuluhan Keluarga dan Pasien
 Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang teknik perawatan untuk
meminimalkan konsumsi oksigen (misalnya, pemantauan secara mandiri dan
teknik langkah untuk melakukan AKS)
 Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk
mencegah kelelahan
 Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar, duduk, berdiri,
dan ambulasi, sesuai toleransi
 Pantau tanda-tanda vital sebelum,selama, dan setelah beraktivitas, hentikan
aktivitas jika tanda-tanda vital dalam rentang normal bagi pasien atau jika ada
tanda-tanda aktivitas tidak dapat ditoleransi
 Kolaborasi pemberian obat nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan
salah satu faktor penyebab
 Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan asupan
makanan yang kaya energi.
 Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan dengan
penyakit jantung

6. Resiko kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan


kegagalan mekanisme regulasi( protein dan albumin ).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan anak tidak menunjukkan kehilangan cairan intravaskuler
atau shock hipovolemik yang ditunjukkan pasien minimum atau tidak
ada.

Kriteria Hasil :
a. Tidak terdapat tanda shock hipovolemik
b. Nilai ureum nitrogen normal

Intervensi :
Observasi:

26
 Periksa tanda dan gejala hipovolemia( nadi meningkat/lemah, TD menurun,
turgor kulit menurun, memberan mukosa kering, haus, HCT meningkat, lemah)
 Monitor intake dan output
Therapeutik:
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modifield trendelenburg jika terjadi hipovolemia
 Berikan asupan cairan oral sesuai kebutuhan
Edukasi:
 Anjurkan untuk menghindari perubahan posisi mendadak
 Anjurkan untuk memperbanyak asupan cairan oral
Kolaborasi:
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis( RL, NaCl)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis(glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid( alnumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah.

7. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh


primer(statis cairan tubuh
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien tidak menunjukan adanya tanda-tanda infeksi.

Kriteria Hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi
b. Suhu tubuh normal (36,7 °C – 37,2 °C).

Intervensi :
Observasi :
 Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Therapeutic :
 Beikan perawatan luka pada area oedema
 Cuci tangan sebelum,sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien

27
 Pertahankan teknik aseptic pada pasien yang beresiko tinggi
 Monitor TTV
 Monitor laboratorium
Edukasi :
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan yang benar
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka tekan akibat oedema
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian antibiotik

9) Gangguan body image berhubungan dengan perubahan struktur/bentuk


tubuh( oedema nasarka)

Intervensi :
 Gali masalah dan perasaan mengenai penampilan
 Tunjukkan aspek positif dari penampilan dan bukti penurunan edema
 Dorong sosialisasi dengan individu tanpa infeksi aktif
 Beri umpan balik positif.

4. Implementasi
Pada implementasi, perawat melakukan tindakan berdasarkan perencanaan
mengenai diagnosa yang telah dibuat sebelumnya.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan. Semua
tahap proses keperawatan (Diagnosa, tujuan untervensi) harus di evaluasi,
dengan melibatkan klien, perawatan dan anggota tim kesehatan lainnya dan

28
bertujuan untuk menilai apakah tujuan dalam perencanaan keperawatan
tercapai atau tidak untuk melakukan perkajian ulang jika tindakan belum
hasil.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan
berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapun
alternatif tersebut adalah :
1. Tujuan tercapai
2. Tujuan tercapai sebagian
3. Tujuan tidak tercapai (Budi Anna Keliat, SKP, th 1994, hal 69)

Sesuai dengan rencana tindakan yang telah di berikan, dilakukan


penilaian untuk melihat keberhasilannya. Bila tidak/belum berhasil perlu
disusun rencana baru yang sesuai. Evaluasi disusun dengan menggunakan
SOAP secara operasional.

DAFTAR PUSTAKA

29
Doengoes et. al, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, alih bahasa Made Kariasa:
EGC, Jakarta

Mansjoer, Arif, dkk, (1999), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1, Media
Aesculapius: Jakarta 

Matondang, dkk. (2000), Diagnosis Fisis Pada Anak, Sagung Seto:Jakarta   


Ngastiyah. (1997), Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta

Rusepno, Hasan, dkk. (2000), Ilmu Kesehaatan Anak 2, Infomedica: Jakarta


Suryadi dan Yuliani, Rita, (2001), Praktek klinik Asuhan Keperawatan Pada Anak.
Sagung Seto: Jakarta
SDKI, SLKI,SIKI, edisi satu cetakan 2018  

30

Anda mungkin juga menyukai