Anda di halaman 1dari 23

ecara garis besar prosedur dan mekanisme pembuatannya, adalah :

1. Penjual wajib menghubungi kantor pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus
disetor berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Kantor pajak akan memberikan surat
setoran pajak (SSP).
2. Penjual membayar paj
ak ke bank yang telah ditentukan.
3. Bukti dari setoran pajak dan sertifikat asli dibawa ke PPAT.
4. PPAT akan meneliti apakah penjual merupakan orang / lembaga yang berhak atas tanah
tersebut.
5. PPAT akan meneliti apakah pembeli merupakan orang / lembaga yang berhak membeli
tanah tersebut.
6. Jika harus mewakilkan kepada seseorang, kuasa itu harus dinyatakan secara tertulis di
atas kertas bermaterai secukupnya dan dilegalisasi seperlunya.
7. Menunjukkan sertifikat tanah yang asli untuk diperiksakan ke kantor pertanahan (BPN)
setempat. Jika tanah belum didaftarkan / dibukukan dalam buku tanah, kantor BPN dapat
menerbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) di kantor tersebut.
8. Penyerahan IMB dan blue print (gambar cetak biru).
9. Penyerahan copy KTP penjual (suami – istri).
10. Penyerahan surat persetujuan menjual dari suami – istri.
11. Penyerahan copy kartu keluarga penjual.
12. Penyerahan copy KTP pembeli.
13. Pembuatan akta jual – beli di PPAT.

Beberapa persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Mengecek keabsahan berkas – berkas yang diperlukan diantaranya bukti kepemilikan,


identitas penjual / pemilik tanah, serta surat keterangan dan riwayat tanah dari kelurahan /
kecamatan setempat.
2. Mengetahui kondisi fisik tanah, apakah tanah dalam keadaan kosong / dipergunakan dan
dikuasai oleh orang lain.
3. Mengetahui luas dan batas – batas tanah, apakah sesuai dengan surat / bukti kepemilikan.

4. Lembaga yang bertanggung jawab atas terjadinya tumpang tindih sertifikat adalah kantor
pertanahan (BPN). Secara prosedural BPN berkewajiban untuk melakukan penelitian
ketika diketahui terdapat masalah / tumpang tindih dalam penerbitan sertifikat. Beberapa
hal yang diteliti oleh BPN diantaranya data fisik dan data yuridis yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh suatu panitia yang dibentuk BPN. Setelah semua
penelitian dilakukan, BPN berkewajiban membatalkan salah satunya dan
mengumumkannya kepada publik.

5. Dalam era reformasi, keberhasilan penyelenggaraan pemerintah salah satunya diukur dari
penyelenggaraan pelayanan di bidang pertanahan yang baik oleh instansi atau unit
pemberi layanan. Terlebih lagi pelayanan di bidang pertanahan, karena tanah mempunyai
fungsi dan kedudukan yang sangat sentral dan bersifat strategis di dalam aspek ekonomi
dan aspek sosial. Dalam aspek ekonomi, tanah dapat memberikan kesejahteraan berupa
pendapatan melalui transaksi jual beli, sewa – menyewa, dan jaminan hak tanggungan
(Secured Transaction), dan sebagainya. Demikian juga bagi pemerintah, dalam aspek
ekonomi, tanah yang dimilikinya memberikan pendapatan baik melalui kerja sama BOT
(Built-Operate-Transfer) dan BTO (Built- Transfer-Operate), dan sebagainya.

6. Di dalam aspek sosial, tanah berperan sebagai tempat bermukim/perumahan, tempat


untuk melakukan kegiatan usaha, seperti perkantoran/pertokoan, pertamanan,
perindustrian, pergudangan, dan lainnya, misalnya di wilayah DKI Jakarta yang
merupakan sebagai pusat kegiatan ekonomi dan bisnis memiliki laju pembangunan fisik
yang cukup pesat di banding dengan wilayah lainnya di Indonesia.

7. Untuk mendukung akurasi data pertanahan, peran Lurah dan Camat sangat diperlukan
dengan maksud mencegah kekeliruan dan tumpang-tindihnya informasi mengenai stasus
dan pemilikan tanah.Peran Camat berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
Nomor 44 Tahun 2002 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan
Provinsi DKI Jakarta, untuk memberikan surat keterangan mengenai bagaimana keadaan
dan status tanah di wilayah kecamatan itu. Demikian juga peran Lurah berdasarkan
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 40 Tahun 2002 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintah Kelurahan Provinsi DKI Jakarta.

8. Pasal 19 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok – Pokok Agraria, telah mengamanatkan bahwa ”untuk menjamin kepastian hukum
oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah” peraturan
pemerintah dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961), yang
kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

9. Pensertifikatan itu sendiri merupakan realisasi dan konkretisasi dari catur tertib di bidang
pertanahan sehingga pensertifikatan tanah merupakan jaminan kepastian hukum bagi
penguasa dan pemilikan tanah sebagai tanda bukti hak yang kuat.

10. Peranan Camat dan Lurah dalam bidang pertanahan, yakni hal – hal yang berkaitan
dengan peralihan hak. Perlu dahulu diketahui bahwa peralihan hak atas tanah dapat
terjadi karena “beralih” atau ”dialihkan”. Beralih, misalnya kerena warisan. Adapun
dialihkan, misalnya karena jual beli, tukar menukar, hibah, dan pernyataan modal berupa
bidang tanah kedalam suatu perusahaan. Syarat utama untuk mendaftarkan peralihan hak
alias balik nama ini adalah akta yang dibuat oleh PPAT, sedangkan untuk waris cukup
dengan surat keterangan waris yang diperkuat oleh Lurah setempat.

11. Berdasarkan dokumen yang dipersyaratkan oleh PPAT, untuk bisa berlangsungnya
transaksi dan penerbitan akta, yang harus dipersiapkan oleh penjual dan pembeli tanah
adalah sertifikat asli (kalau belum ada, maka penggantinya adalah alat bukti lain yang
dikuatkan oleh surat keterangan Lurah dan Camat setempat mengenai kebenaran
kepemilikan atas tanah oleh penjual). Sebelum Lurah dan Camat memberikan surat
keterangan tersebut, maka Lurah dan Camat hendaklah menelusuri secara akurat
mengenai kebenaran sertifikat asli (jika ada), atau bukti pemilikan lainnya.

12. Tidak difungsikannya Camat dan Lurah sebagai PPAT di DKI Jakarta oleh pemerintah
tentulah harus dilihat dua aspek, pertama yaitu secara yuridis ketentuan PPAT telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, dimana jabatan PPAT tidak boleh rangkap oleh Pegawai
Negeri atau Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Kedua, secara filosofis, jabatan
PPAT adalah jabatan professional spesialisasi, dengan keahliannya di bidang hukum
pertanahan. Pendapat tersebut dilontarkan oleh Direktur Perdata Departemen Kehakiman
dan HAM yang masih menyangsikan kemampuan Camat dan Lurah dalam melakukan
tindakan hukum pembuatan akta tanah. Untuk menguasai masalah tanah tidak cukup
hanya pendidikan dua tahun, tetapi dituntut pengalaman dan menguasai materi terhadap
arus liberisasi serta investasi. Selain itu, jumlah PPAT yang memiliki kemampuan andal
dan profesional sudah banyak dan semakin bertambah setiap tahunnya.

13. Setiap Camat dan Lurah dalam menertibkan surat keterangan harus menerapkan “Asas
Kecermatan” dalam menertibkan surat keterangan. Asas kecermatan merupakan salah
satu asas formal di dalam asas – asas umum pemerintahan yang baik. Asas kecermatan di
sini dimaksudkan bahwa setiap pejabat TUN disyaratkan agar pada waktu menyiapkan
keluarnya suatu keputusan harus memperoleh pengetahuan tentang semua fakta yang
relevan dari semua kepentingan yang terkait, tidak semena – mena, adil, menghormati
hak – hak orang lain, mengakui persamaan derajat dan kewajiban antar manusia, dan
kalau perlu juga mempertimbangkan kepentingan hak ketiga.

14. Asas kecermatan mensyaratkan bahwa pihak yang berkepentingan, di dengar (kewajiban
mendengar), sebelum Camat dan Lurah dihadapkan pada suatu penerbitan surat
keterangan yang merugikan. Adapun asas kecermatan material menghendaki agar jangan
sampai menimbulkan kerugian seseorang akibat adanya Keputusan TUN yang
tersembunyi. Asas kecermatan ini diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 (sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Amandemen UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

15. Sumber            : Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, hal 179-182.

16. Penulis             : Adrian Sutedi, S.H., M.H.

Penerbit           : Sinar Grafika, 2008

17. Telah diketahui bersama bahwa tanah mempunyai peranan yang sangat penting bagi
kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Tercukupinya kebutuhan manusia akan bahan
pangan, dikarenakan manusia mampu mengolah dan mendayagunakan tanah.

18. Kemampuan tersebut ternyata tidak terbatas pada usaha untuk mencukupi kebutuhan
bidang pangan saja, melainkan untuk usaha-usaha yang lebih luas yang menyangkut
perkembangan kehidupan seperti  misalnya tanah untuk perumahan, pendirian bangunan
industri, perkantoran, pendidikan, tempat ibadah, dan berbagai keperluan yang lain.

19. Karena keadaan tanah terbatas sedangkan penduduk bertambah terus dengan pesatnya,
maka dengan sendirinya jumlah penduduk yang ingin mendayagunakan tanah menjadi
tidak seimbang dengan keadaan tanahnya. Dalam keadaan demikian, tanpa adanya
pengaturan yang tegas, maka tanah seringkali justru menjadi “masalah” bagi manusia,
baik yang disebabkan karena perebutan hak, pendayagunaan yang salah, dan sebagainya.
Di pihak lain, pemerintah sendiri memerlukan data penguasaan tanah untuk perencanaan
pembangunan dan pelaksanaannya, terutama yang melibatkan para pemilik tanah. Selain
itu, diperlukan pula untuk penarikan pajak atas tanah, sehingga mutlak diperlukan adanya
data pemilikan tanah berupa peta dan daftar.

20. Dari sejarahnya, pendaftaran tanah memang dilaksanakan untuk tujuan pemungutan pajak
atas tanah (fiscal cadastre). Sampai tahun 1961, dikenal tiga macam pungutan pajak
tanah, yaitu verponding Eropa, verponding Indonesia, dan Landrente. Sebagai dasar bagi
penentuan obyek pajak saat itu adalah status tanahnya sebagai tanah Hak Barat dan tanah
hak milik adat, sedangkan wajib pajaknya adalah pemegang hak/pemiliknya.

21. Dalam perkembangan berikutnya, untuk mewujudkan kepastian hukum atas tanah,
munculah pendaftaran tanah untuk tujuan kepastian hukum (legal cadastre). Sasarannya
adalah bidang-bidang tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak dan dikenal tanah hak
maupun persil yang kemudian diukur, dipetakan dan diteliti proses penguasaan oleh
pemegang haknya. Hasilnya berupa peta dan daftar yang memberikan penjelasan
mengenai siapa pemegang haknya, letaknya, dan luasnya  (data kadastral).

22. Pendaftaran Tanah


Menurut PP No.24 tahun 1997, pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliptui
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan
data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah haknya dan Hak Milik atas satuan rumah susun, serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.

23. Sebutan ‘pendaftaran tanah’ telah menimbulkan kesan seakan-akan obyek utama
pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran adalah tanah. Memang mengenai
pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanahlah yang merupakan obyek pendaftaran,
yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan
disajikan juga dalam daftar tanah.  Kata ‘kadaster’ yang menunjuk pada kegiatan bidang
fisik tersebut berasal dari istilah latin capitastrum (suatu daftar yang berisikan data
mengenai tanah). Tetapi dalam pengumpulan sampai penyajian data yuridis, bukan
tanahnya yang didaftar, melainkan hak-hak atas tanah yang menentukan status hukumnya
serta hak-hak lain yang membebani hak-hak tersebut. Bahkan dalam pendaftaran tanah
yang menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deeds), bukan haknya,
melainkan justru aktanya yang didaftar yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan
diciptakannya hak yang bersangkutan dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum
mengenai hak tersebut kemudian (Boedi Harsono, 2003).

24. Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
(initial registration) dan kegiatan pemeliharaan data yang tersedia (maintenance). Dalam
initial registration, terdapat 3 (tiga) pokok kegiatan, yaitu bidang fisik (teknis kadastral),
bidang yuridis, dan penerbitan dokumen tanda bukti hak. Sedangkan pemeliharaan data
(maintanance) dilakukan  apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek
pendaftaran tanah yang telah didaftar. Perubahan ini misalnya terjad akibat beralihnya,
dibebaninya, atau berubahnya nama pemegang hak yang sudah berakhir, pemecahan,
pemisahan dan penggabungan bidang tanah yang haknya sudah didaftar.

25. Pendaftaran tanah pertama kali (initial registration) dapat dilakukan secara sistematik dan
secara sporadik. Secara sistematik berarti dilakukan secara serentak yang meliputi semua
obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan, yang umumnya prakarsa datang dari Pemerintah.  Secara sporadik
berarti  kegiatan pendaftaran tanah untuk satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan secara individual atau massal,
yang dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah bersangkutan.

26. Obyek pendaftaran tanah meliputi (a). bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik,
HGU, HGB dan H.Pakai; (b).tanah Hak Pengelolaan; (c).tanah wakaf; (d).Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun; (e).Hak Tanggungan; (f).tanah Negara.

27. Pelaksanaan
Salah satu hasil dari kegiatan pendaftaran tanah adalah diterbitkannya sertifikat hak atas
tanah yang berisi data fisik (letak, batas, luas) dan data yuridis (status tanah, pemegang
hak, hak-hak pihak lain, dan beban-beban lain yang berada di atasnya). Sejak UUPA
diundangkan (1960), telah diterbitkan sebanyak 22 juta sertifikat tanah, baik melalui
kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik (65%) maupun sistematik (35%). Dengan
membandingkan total 75 juta bidang tanah yang harus disertifikatkan, maka prosentasi
tanah-tanah yang sudah disertifikatkan barulah mencapai 33%. Kecilnya jumlah tersebut
merupakan salah satu penyebab besarnya jumlah sengketa atau masalah dalam bidang
pertanahan.

28. Menurut Soejono dan Abdurrahman (1998), bila dalam kurun waktu sekian puluh tahun
tersebut baru bisa diselesaikan seperlimanya, maka untuk merampungkan seluruhnya
diperlukan waktu kurang lebih 120 tahun lagi. Sadjarwo (1978) menentukan waktu yang
lebih cepat yaitu sekitar 50 tahun, yang diharapkan dapat dilakukan melalui berbagai
“terobosan’ untuk mempercepat penyelenggaraan pendaftaran tanah, seperti melalui pola
pendaftaran tanah secara sistematik. Meski demikian, karena prakarsanya datang dari
Pemerintah, maka pendaftaran tanah secara sistematik memerlukan waktu untuk
memenuhi dana, tenaga dan peralatan yang diperlukan. Selain itu pelaksanaannya harus
didasarkan pada suatu rencana kerja yang meliputi jangka waktu agak panjang dan
rencana pelaksanaan tahunan yang berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan
dengan lancar.
29. Secara global berbagai persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan pendaftaran tanah
tersebut di atas tidak terlepas dari berbagai kendala, baik yang berupa teknis kadastral,
kualitas sumber daya manusia, dana, peralatan, maupun tingkat responsivitas masyarakat
dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Tak ketinggalan pula, keadaan obyektif tanah-
tanahnya sendiri yang selain jumlah besar dan tersebar di wilayah yang luas, sebagian
besar justru tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat
dipercaya kebenarannya. Di pihak lain, ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya
dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah
dalam waktu yang singkat dengan hasil yang lebih memuaskan.

30. Alternatif  Solusi


Dalam kaitan dengan hal tersebut, diperlukan penyelenggaraan proyek percepatan
pensertifikatan tanah dengan memanfaatkan teknologi tinggi di bidang pengukuran dan
pemetaan. Upaya lain untuk mempercepat pensertifikatan tanah adalah menertibkan
administrasi pertanahan, komputerisasi, pemanfaatan surveyor berlisensi dan lain
sebagainya, dengan pendekatan yang seyogyanya lebih menitikberatkan pada
penyelenggaran pendaftaran tanah secara sistematik. Di sisi lain, pendaftaran tanah secara
sporadik juga perlu ditingkatkan pelaksanaannya sebab dalam kenyataannya akan
bertambah permintaan untuk mendaftar secara individual dan massal yang diperlukan
dalam pelaksanaan pembangunan yang akan makin meningkat kegiatannya.

31. Demikian pula ‘kontinuitas’ penyelenggaraan pendaftaran tanah, perlu tetap dijaga sesuai
dengan makna pendaftaran tanah itu sendiri. Sebagai perbandingan, negara Swiss yang
luas wilayahnya jauh lebih kecil di banding dengan Indonesia, pelaksanaan pendaftaran
tanahnya telah dimulai sejak tahun 1911 sampai dengan sekarang ini. Hal ini
menunjukkan bahwa kontinuitas penyelenggaraan pendaftaran tanah memiliki arti
penting bagi kelancaran kegiatan dimaksud.

32. Maria SW. Sumardjono (2001) menyatakan, keberhasilan pelaksanaan pendaftaran tanah
tetaplah memerlukan peran serta masyarakat dan dukungan aparat pelaksana yang
profesional. Dalam hal ini  harus pula da tekad, kesiapan dan profesionalitas dari aparat
pertanahan untuk melaksanakan pendaftaran dimaksud.

33. Soejono dan Abdurrahman (1998) berpendapat, agar lebih banyak memberikan
kemudahan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, sehingga masyarakat bergairah untuk
mendaftarkan tanahnya, tentu saja tanpa harus mengabaikan kecermatan dan kepastian
hukum atas tanahnya. Misalnya, bila memang penguasaannya dilakukan berdasarkan
hukum adat setempat, maka tidak perlu melalui prosedur pemberian hak melainkan cukup
dengan konversi/ pengakuan hak.

34. Pada akhirnya, berkaca dari  pengalaman dan pelaksanaaan pendaftaran tanah selama ini,
maka diperlukan ‘kerja keras’ lagi dalam penyelenggaraan kegiatan dimaksud,  sebagai
upaya untuk mewujudkan kepastian hukum atas tanah.

http://www.kalimantanpost.com/opini/publik/794-pendaftaran-tanah-dalam-rangka-kepastian-
hukum.html
Sistem pendaftaran tanah

Dr. Boedi Djatmiko HA,SH,Mhum.


Sistem pendaftaran tanah, bahwa didunia ini dikenal ada dua model atau jenis
pendaftaran tanah , yaitu: pertama, disebut dengan model pendaftaran akta atau "
registration of deeds" yang oleh beberapa penulis menggunakan istilah pendaftaran tanah
dengan stelsel negatif atau pendaftaran tanah negatif dan kedua, pendaftaran hak atau
"registration of title", dimana lazim pula disebut dengan nama " pendaftaran dengan
stelsel positif" ataupun seringkali disebut " system Torrens". Hal ini diungkapkan oleh
Rowtow Simpton, menyebutkan:
" … some writers do not use our terminology of registration of deed and registration of title,
but distinguish between negative and positive system of registration.

Kedua system pendaftaran tanah ini mempunyai perbedaan – persamaan dan kelebihan -
kekurangan satu dengan yang lainnya. Secara umum perbedaan terlihat pada wujud
dokumen formal yang dipergunakan sebagai instrument atau alat pembuktian
kepemilikan hak atas tanah. Wujud dokumen formal dalam system pendaftaran tanah
dengan stelsel negative sebutannya adalah " akta " kepemilikan sedang wujud dokumen
dalam model pendaftaran tanah dengan stelsel positif sebutannya adalah berupa "
sertipikat" hak. Kedua wujud atau bentuk formal dari kedua model tersebut secara
yuridis sangat berpengaruh terhadap eksistensi kekuatan hukum dari hak kepemilikan
hak atas tanah. Khusus untuk pendaftaran tanah akta para penulis di Indonesia lebih
lazim menggunakan terminology sistem pendaftaran negative atau stelsel negative untuk
penyebutan sistem pendaftaran akta, seperti Abdurrahman, AP. Parlindungan, demikian
juga Boedi Harsono, lebih cenderung menggunakan istilah tersebut.
Gambar 1. Skema pendaftaran tanah
Sumber: diolah dari buku Robert TJ. Stein dan Margaret A. Stone, Torrens Title; dan S. Rowton Simpton,
Land Law and Registration.

Pada hakekatnya kedua lembaga pendaftaran tanah baik yang positif maupun negatif ada
persamaan karakter yuridisnya yaitu: kedua model atau jenis ini merupakan sebutan lain
dari "pendaftaran hak atas tanah" untuk kepentingan individual pemegang hak dengan
tujuan untuk memberikan kepastian hak dan keamanan hukum bagi pemilik bidang tanah
yang diselenggarakan oleh Negara. Sebagaimana diungkapkan oleh Boedi Harsono, bahwa
Setiap pendaftaran tanah baik dalam sistem pendaftaran akta maupun hak, tiap
pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan hak baru dan pembebanannya
dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam akta tersebut
dengan sendirinya dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan, perbuatan hukumnya,
haknya, penerima haknya, hak apa yang dibebankan.
Karakter yuridis yang spesifik dari sistem pendaftaran akta ( Registration of deeds) atau
sistem pendaftaran negatif ini adalah bahwa dokumen tertulis atau akta yang dibuat oleh
para pihak ( pemilik yang mengalihkan ) yang dilakukan atas bantuan pejabat umum yang
berwenang ( seperti Notaris atau pejabat lain seperti ahli hukum ) didaftarkan kepada
pejabat yang diberikan wewenang untuk itu agar dicatatkan haknya sebagai pemegang
hak atas tanah yang baru, dan oleh pejabat pencatat tersebut dicatatkan dalam register
( pencatatan buku tanah ), tanpa melakukan penelitian atas kebenaran akta atau dokumen
tertulis yang diserahkan. Kelebihan dari sistem pendaftaran tanah akta ini adalah adanya
jaminan yang diberikan kepada pemilik yang sebenarnya, dengan kata lain bahwa
kesempatan bagi pemilik atau yang berhak atas sebidang tanah untuk mengadakan
perlawanan atau tuntutan hukum terhadap pihak-pihak lain yang telah mendaftarkan
bidang tanah tersebut. Hal mana tuntutan atau klaim atas bidang tanah tersebut melalui
peradilan dengan alat bukti yang menunjukkan memang yang lebih berhak. Sebaliknya
bahwa dalam system pendaftaran dengan stelsel negative ( akta ) dapat diketemukan
beberapa kelemahan yang oleh beberapa pakar dinilai mendasar. Adapun kelemahannya
antara lain adalah:

1.

Dalam sistem pendaftaran akta lebih merefleksikan adanya ketidak adanya


jaminan kepastian hak dan hukum bagi mereka pemegang hak atas tanah dan bagi
mereka beretiket baik atas sebidang tanah yang didaftarkannya.

2.

Sifat pasif dari pejabat pendaftaran tanah. Artinya bahwa pejabat pendaftaran
tanah tidak melakukan pengujian kebenaran data ( akta ) yang disampaikan oleh
pemohon, sehingga posisi hukum menjadi lemah.

3.

Dalam sistem pendaftaran akta ini kekuatan hukum akte yang didaftarkan tidak
mempengaruhi kekuatan hukum akta lainnya. Bahwa pendaftaran akte hanyalah
penetapan sekala prioritas sebagai referensi waktu saat ( tanah ) tersebut
didaftarkan dan bukan waktu untuk pelaksanaannya.

4.

Bahwa suatu akta bukanlah bukti hak, namun hanyalah menunjukan adanya
pencatatan selesainya transaksi dan beralihnya benda yang ditransaksikan.

Robert TJ. Stein menyatakan bahwa kelemahan dari system pendafataran yang negative
ini antara lain adalah:
Pertama, dokumen yang dibuat oleh ahli hukum yang tujuannya untuk mengalihkan suatu
hak atas tanah dibangun sesuai dengan ketentuan hukum dan hubungan hukumnya, untuk
menjamin bahwa suatu kepentingan hukum atas tanah yang diperolehnya hanya bisa jika
sipemilik mempunyai hak dan kemampuan untuk mengalihkan. Suatu akta menjadi tidak
valid apabila terdapat pemalsuan atau karena menyalahi peraturan sehingga peralihan
tersebut tidak mempunyai pengaruh apa-apa; kedua, adanya kesulitan memahami
dokumen-dokumen lama yang dibuat ( sebelumnya) dari sebuah rangkaian hak-hak
terdahulu karena adanya perubahan penggunaan bahasa dan formatnya; ketiga,
pendaftaran akta ini rawan dari kesalahan dan pemalsuan; keempat, dalam sistem
pendaftaran akte ini ketidak pedulian akan penelitian padahal hal tersebut diperlukan
untuk melacak rangkaian hak-hak yang ada sebelumnya, dimana pelacakan tersebut
membutuhkan biaya yang besar , tenaga dan menyita waktu, kadang dibutuhkan tenaga
yang profesional yang mahal. Dalam hal jual beli dan jaminan, membutuhkan setidaknya
dua pengujian yang dilakukan seperti oleh penasehat hukum pembeli dan oleh penasehat
hukum penjaminan. Selajutnya masalah lewat waktu bisa memunculkan masalah dimana
dokumen-dokummen hak mungkin bukan pemilik terakhir, sehingga mereka bisa saja
salah, pada saat hak tersebut dialihkan; kelima, diperlukan kemampuan khusus yang
disyaratkan untuk membangun suatu rangkaian hak; keenam, kompleksitas yang
mengalir dari suatu pertumbuhan rangkaian hak termasuk pembagian hak yang asli dari
pemilik-pemilik kemudian; pertimbangan tempat penyimpanan dokumen-dokumen yang
relevan dari setiap perjanjian untuk hak; ketujuh, kemungkinan adanya kesalahan.
Dengan kata lain Jaminan terhadap pemilik atau pemegang hak atas tanah sifatnya tidak
mutlak, masih bisa dibantah atau dipertanyakan, inilah merupakan ciri pokok dari
pendaftaran sistem negative.
Sebaliknya, pertanyaan selanjutnya adalah lalu bagaimana dengan Sistem pendaftaran
hak ( registration of title) atau sistem stelsel positif atau sistem Torrens ( Torrens System ).
Bahwa sistem pendaftaran ini merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas sistem
pendaftaran sebelumnya. Sistem ini merupakan suatu pencatatan hak baik pencatatannya
maupun penyimpanannya menjadi kewenangan dari lembaga publik.Karakter yuridis
yang spesifik dari sistem pendaftaran positif, ini adalah bahwa:

1.

Bidang tanah yang didaftarkan menurut sistem ini dianggap belum ada haknya.
Hak baru akan lahir setelah dilakukan pengujian atau penelitian dan
diumumkan. Seperti yang dikemukakan oleh Stein bahwa dalam pendaftaran
hak ini hak hanya dapat diperoleh melalui atau pada saat dilakukan
pendaftaran atau tercatat dalam register.

2.

Negara memberikan jaminan penuh bagi pemegang haknya yang tercatat


( terdaftar ) dalam daftar umum terhadap tuntutan – tuntutan atau claim pihak
ketiga atau siapapun. Jaminan kerugian dari Negara bagi pemilik yang
mungkin dirugikan atau adanya kekeliruan atau kesalahan dalam pendaftaran
haknya bersifat " Indefeasible". Atau menurut Eugene C. Massie bersifat
absolute dan tidak dapat diganggu gugat. Setidaknya ada 3 ( tiga ) jaminan
keamanan bagi tanah yang terdaftar yakni: pertama, berkaitan dengan
bendanya (property ) atau tanahnya yang terdaftar ( the property register);
kedua, berkaitan dengan kepemilikan atau penguasaannya ( the proprietorship
register); ketiga, berkaitan dengan jaminan hak-hak yang ada ( the charges
register).

3.
Dalam sistem pendaftaran tanah positif ini pejabat yang diberikan kewenangan
melakukan pendaftaran bersifat aktif. Merupakan konsekuensi logis dari
adanya jaminan Negara hak yang terbit tidak lagi dapat diganggu gugat, tidak
ada tuntutan pihak-pihak lain yang merasa berhak atas bidang tanah yang
didaftarkan tersebut. untuk itu maka adanya pejabat yang disebut " Barister
and Conveyancer" yang dikenal sebagai pejabat penguji atau peneliti yang
disebut " examiner of title ( pemeriksa alas hak). dalam PP No. 10 tahun 1961
disebut sebagai Panitya A atau B, atau semacam panitya Ajudikasi dalam PP
No. 24 tahun 1997.

4.

Dalam sistem pendaftaran hak ini negara memberikan jaminan dana


kompensasi apabila ternyata terdapat kesalahan prosedur dalam
pendaftarannya yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang mungkin lebih
berhak.

5.

Dalam sistem pendaftaran positif ini adalah diterbitkannya tanda bukti


sekaligus alat bukti yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah yang
didaftarkan yaitu berupa " sertifikat hak atas tanah" atau " sertificate of title".

Tidak ada satu pun didunia ini yang sempurna, demikian juga dengan system pendaftaran
tanah yang positif ini. Sisi lemah dari sistem pendaftaran tanah positif ini antara lain:
Pertama, bahwa setiap pendaftaran hak dan peralihan hak dalam sistem positif ini
memerlukan pemeriksaan yang sangat teliti dan seksama sebelum orang tersebut
didaftarkan sebagai pemilik dalam daftar ini. Disini para petugas pendaftaran harus
memainkan peranan yang sangat aktif disamping peralatan yang cukup. Mereka harus
meneliti apakah hak yang akan didaftar / dipindahkan tersebut dapat didaftarkan, dan
mengenai segala persyaratan formil yang harus dipenuhi oleh orang yang akan
mendaftarkan haknya;
Kedua, dalam sistem pendaftaran positif ini, karena peran aktif dari petugas dalam hal
penelitian secara terinci membutuhkan dan menyebabkan memakan waktu lama serta
panjang, sehingga menimbulkan kesan dipersulit;

Ketiga, sistem ini sangat merugikan bagi mereka para pihak yang benar-benar berhak.
Bagi mereka yang berhak, tidak menutup kemungkinan akan tetap kehilangan hak atas
sebidang tanah atas suatu putusan yang jelas dimenangkan mereka akan tetapi akan tetap
kehilangan haknya diluar perbuatannya dan diluar kesalahannya;
keempat, dalam penyelesaian persoalan maka segala apa yang sebenarnya menjadi
wewenang Pengadilan ditempatkan dibawah kekuasaan administrative.
Gambar 2. Tabel Kelebihan dan kelemahan sistem pendaftaran tanah
N KELEBIHAN/ PENDAFTARAN AKTA/
PENDAFTARAN HAK/ POSITIF
o KELEMAHAN NEGATIVE
1 Kelebihan 1. 1.
 

 
Karakter spesifik dari sistem
pendaftarannya adalah adanya "
  sertifikat hak atas tanah" yang
diterbitkan sebagai tanda bukti dan
  alat pembuktian hak atas tanah.

  2.
Karakter yang spesifik
adalah adanya " akte "
  Hak kepemilikan atas tanah
sebagai bukti kepemilikan
tercipta atau lahir setelah
hak atas tanah dan
dilakukan pendaftaran haknya.
  peralihan hak.

2. 3.
 
Negara memberikan Jaminan
  Adanya jaminan hukum
penuh bagi pemegang hak atas
yang diberikan kepada
tanah yang terdaftar terhadap
pihak yang sebenarnya
  tuntutan pihak manapun
lebih berhak
( indefeasible)
 
4.
 
Adanya jaminan konpensasi
apabila terdapat kesalahan/
  kekeliruan prosedur.

 
2 Kelemahan 1. 1.

Tidak adanya kepastian Membutuhkan waktu yang lama


hukum dan hak bagi dalam rangka penerbitan hak atas
pemegang kepemilikan hak tanahnya. ( inventarisasi,
atas tanah. penelitian, dan pengumuman ).

2. 2.

Terhadap akte yang Merugikan pihak-pihak atau


didaftarkan tidak pemilik yang yang sebenarnya
dilakukan pengujian berhak atas tanah tersebut.
kebenarannya sehingga
posisi hukumnya menjadi 3.
lemah.
Persoalan sengketanya menjadi
3.
persoalan administrasi.
Bahwa akte yang
didaftarkan hanyalah
referensi waktu bidang  
tanah didaftarkan

Pertanyaan hukumnya kemudian adalah model sistem pendaftaran tanah yang mana yang
dipergunakan di Indonesia. Jawabannya seharusnya adalah Bilamana mencermati
ketentuan hukum yang berlaku ( PP No. 10 tahun 1961 yo. PP No. 24 tahun 1997 ) dengan
menunjuk bahwa dokumen formal kepemilikan hak atas tanah sesuai ketentuan hukum
tersebut berupa sertipikat hak maka dapat disimpulkan ( sementara ) bahwa Sistem
pendaftaran tanah di Indonesia seharusnya mendasarkan pada system pendaftaran
dengan stelsel positif, karena memang ciri atau karakter khas dari sistem pendaftaran
tanah ini adalah adanya sertipikat sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah. dan
terlebih lagi seluruh urutan prosedur dan mekanisme yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan kita menuju kepada aturan hukum pada system pendaftaran tanah
dengan model system stelsel positif. Namun demikian jika kita mencermati yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia ( MARI ) secara tegas menyatakan bahwa
pendaftaran tanah kita menganut model stelsel negative. Salah satu yurisprudensi tersebut
dapat dibaca dalam Putusan MARI No. Reg. 459 K / Sip / 1975, tanggal 18 September
1975, menyatakan bahwa:
Mengingat stelsel negative tentang register / pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia,
maka terdaftarnya nama seseorang didalam register bukanlah berarti absolute menjadi
pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain
(seperti halnya dalam perkara ini).

 
    Pendaftaran Tanah di Indonesia adalah menganut sistem negatif, Namun berkarakter
stelsel yuridis sistem pendaftaran positif sangat terlihat. Karakter positif tersebut dapat
dilihat antara lain:

1.

Adanya panitya pemeriksaan tanah "barrister and conveyancer" yang disebut


panitya A dan B yang tugasnya melakukan pengujian dan penelitian " examiner of
title". dari penelitian tersebut maka akan dilakukan pengujian dan menyimpulkan
bahwa setidaknya berisi: pertama, lahan atau bidang tanah yang diajukan
permohonan pendaftaran adalah dalam keadaan baik dan jelas; kedua, bahwa atas
permohonan tersebut tidak ada sengketa dalam kepemilikannya; ketiga, bahwa atas
kenyakinan panitya permohonan tersebut dapat diberikan; keempat, bahwa
terhadap alat bukti yang dijadikaan alas hak untuk pengajuan pendaftaran tidak
ada orang yang berprasangka dan keberatan terhadap kepemilikan pemohon
tersebut. tujuannya untuk menjamin kepastian hukum tanah yang didaftarkan
( pasal 19 UUPA). Boedi Harsono menyebut sebagai Sistem negatif tendens positif.
2.

Model karakter positif yang terlihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24
tahun 1997, antara lain: a. PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara material
dokumen-dokumen yang diserahkan dan berhak untuk menolak pembuatan akta;
b. pejabat yang berwenang ( petugas ) berhak menolak melakukan pendaftaran jika
pemilik tidak wewenang mengalihkan haknya; c. Pemerintah menyediakan model –
model akta untuk memperlancar mekanisme tugas-tugas PPAT.

3.

Adanya sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan, sebagai tanda bukti dan alat
pembuktian hak kepemilikan atas tanah.

Bentuk karakter negatif dinyatakan secara tegas dalam penjelasan pasal 32 PP No. 24
tahun 1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan tidak
menggunakan sistem publikasi positif, namun negatif. Karakter negatif muncul karena
tidak adanya kompensasi yang diberikan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam
rangka penerbitan sertifikat hak atas tanahnya.
Sistem pendaftaran negatif merupakan warisan masa lalu yang berlangsung sampai saat
ini. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pendaftaran tanah dilakukan untuk tanah-
tanah yang tunduk terhadap hukum barat ( Belanda ) yang dilaksanakan oleh yang
namanya Kantor Kadaster ( Kantor Pertanahan ). Sesuai dengan tugas dari Kantor
Kadaster dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran pada waktu itu, pendaftaran
tanahnya berdasarkan Stbl. 1824 No. 27 jo. 1947 No. 53, dimana perjanjian obligatoir
peralihan hak dilaksanakan dengan segala bukti tertulis, akta Notaris, ataupun dibawah
tangan yang disaksikan Notaris dan kemudian oleh Kepala Kantor Kadaster yang
merupakan seorang Pegawai Balik Nama ( Overschrijvingsambtenaar) beserta salah
seorang pegawainya membuatkan akte peralihannya. Baru didaftarkan pada daftar yang
bersangkutan setelah kewajiban – kewajiban pembayaran dilakukan lebih dahulu.
Perubahan yuridis baru setelah Negara kita merdeka dan setelah dikeluarkannya undang-
undang pokok agraria ( UUPA) beserta peraturan pelaksaannya sebagai pengganti atau
mencabut ketentuan perundangan sebelumnya yang dikeluarkan oleh pemerintah hindia
Belanda terutama yang berhubungan dengan tanah, seperti pencabutan ketentuan yang
diatur dalam buku II BW ( burgelijk Wetboek ) khusus yang mengatur mengenai tanah.
tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang berwujud Sertipikat baru muncul setelah
terbitnya UUPA ( pasal 19 UUPA ) yang ditindak lanjuti oleh PP. No. 10 tahun 1961 dan
selanjutnya digantikan oleh PP. No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Gambar 3. Skema kegiatan pendaftaran tanah PP No. 24 tahun 1997
Kesimpulan akhir, bahwa dari uraian jabaran sebagaimana tersebut diatas maka apabila
melihat konstruksi hukum dari system pendaftaran tanah di Indonesia dapat disimpulkan
adalah model atau jenis system pendaftaran tanah yang berkarakter stelsel positif minus
konpensasi.

http://sertifikattanah.blogspot.com/2009/09/sistem-pendaftaran-tanah_05.html
PELAKSANAAN PENDAFTARAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH KARENA

WARISAN (STUDI DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BREBES)

A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Baik sebagai

sumber hidup maupun sebagai wadah secara pembangunan fisik untuk digunakan bagi sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Lebih-lebih di Indonesia yang sebagian besar penduduknya bermata

pencaharian di sekitar pertanian. Fungsi tanah begitu penting dan mempunyai arti sendiri, sebab

tanah merupakan modal bagi kehidupan suatu keluarga. Selain itu, tanah juga selalu digunakan

untuk berbagai kegiatan manusia, seperti tempat tinggal, mendirikan bangunan, bahkan sampai

manusia meninggal dunia membutuhkan tanah.

Adanya hubungan yang erat antara manusia dengan tanah, karena tanah merupakan

tempat berpijak dan melakukan kelangsungan hidup sehari-hari. Maka manusia berlomba-lomba

untuk menguasai dan memiliki bidang tanah yang diinginkan karena tanah mempunyai nilai

ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia. Untuk menciptakan kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat seperti yang diinginkan bangsa Indonesia, maka permasalahan yang

berkaitan dengan penggunaan, pemilikan penguasaaan dan peralihan hak atas tanah memerlukan

perhatian yang khusus dalam peraturan perundangan.

Menyadari semakin meluasnya aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang dan semakin

bertambahnya penduduk dan kebutuhan manusia akan tanah menyebabkan kedudukan tanah

yang sangat penting terutama dalam penguasaan, penggunaannya dan kepemilikannya.

Khususnya hal ini semakin majunya aktivitas ekonomi, maka banyak tanah yang tersangkut di
dalamnya, meluasnya aktivitas itu yang umumnya berupa bertambah banyaknya jual beli, sewa

menyewa, pewarisan, pemberian kredit bahkan juga timbulnya hubungan hukum dengan orang

atau badan hukum asing.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedudukan dan peranan hak atas  tanah dalam

masyarakat Indonesia sangatlah penting. Karena pentingnya kedudukan dan peranan tanah maka

sering menimbulkan masalah. Seperti halnya mendirikan bangunan perumahan di kawasan sabuk

hijau, pemilikan tanah secara absente, adanya sertifikat ganda. Oleh karenanya upaya dalam

mengatasi permasalahan di bidang pertanahan yaitu dengan jalan memberikan jaminan hukum

dan kepastian hak dalam bidang pertanahan dan agraria.

Jaminan kepastian hukum mengenai penguasaan atau peralihan hak-hak atas tanah oleh

seseorang, yang diperoleh dari warisan merupakan perpindahan suatu hak atas tanah kepada

orang lain. Yang dimaksudkan dari peneliti disini adalah kepemilikan hak atas tanah yang

diperoleh dari pewaris kepada ahli waris. Maka perpindahan hak atas berarti subyek hak yaitu

pewaris dan ahli waris, perlu dilaksanakan pendaftaran peralihan hak untuk mendapatkan

jaminan kepastian hukum kepemilikan hak atas tanah. Untuk menjamin kepastian hukum

kepemilikan hak atas tanah warisan khususnya pada peralihan hak atas tanah warisan perlu diatur

dalam suatu peraturan perundang-undangan, khususnya diatur dalam Undang-undang Pokok 

Agraria (UUPA).

Landasan dasar bagi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menyusun politik hukum

serta kebijaksanaan di bidang pertanahan yang telah tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945

pasal 33 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
 Ketentuan ini dijabarkan dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 2 yang menyatakan

bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang tekandung di dalamnya itu

pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) dan Undang-

undang Pokok Agraria tahun 1960 pasal 2 di atas, maka ada 2 hal penting yang merupakan

negara mempunyai kekuasaan atas tanah. Selanjutnya apabila hal ini dikaitkan dengan asas-asas

perikemanusiaan dan keadilan sosial di dalam Pancasila akan diperoleh suatu pengertian

mengenai hubungan antara negara dengan tanah yang dimasukkan dalam kekuasaan negara pada

umumnya mengenai aturan yang bersangkutan dengan hidup bersama.

Atas dasar itu agar pelaksanaan peralihan penguasaan hak dari negara atau masyarakat

atas tanah di Indonesia tidak menimbulkan berbagai masalah atau sengketa mengenai

kepentingan-kepentingan terhadap tanah, maka diperlukan adanya pengaturan yang tegas dan

landasan hukum yang kuat di bidang pertanahan. Sesuai dengan sifat-sifat dari ketentuan di atas

masalah agraria menjadi tugas dari pemerintah pusat. Adanya wewenang dan tugas yang dimiliki

pemerintah mengenai masalah agraria ini memberikan konsekuensi bahwa pemerintah pusat

harus menyusun kebijaksanaan dalam rangka menyusun politik hukum di bidang agraria.

Kebijaksanaan yang dimaksud adalah Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang

berisi mengenai Inventarisasi tanah-tanah di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

pasal 19 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut “Untuk menjamin kepastian hukum oleh

pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah. Adapun yang bertugas untuk

melakukan pendaftaran peralihan hak yang ada sekarang ini ditangani oleh Badan Pertanahan

Nasional.

Dengan melihat ketentuan pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria tersebut, pendaftaran

hak atas tanah sangat penting, sebab tanah yang telah didaftarkan akan mendapatkan Surat Tanda

Bukti Pemilikan Tanah yang disebut sertipikat. Sertipikat ini merupakan hak atas tanah yang

mempunyai kekuatan dan kepastian hukum yang tetap. Sertipikat tanah yang diberikan itu akan

memberikan arti dan peranan penting bagi pemegang hak yang bersangkutan yang berfungsi

sebagai alat bukti atas tanah, terutama jika terjadi persengketaan terhadap tanah. Salah satu

pelayanan yang diberikan Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes kepada masyarakat di bidang

pertanahan adalah pencatatan peralihan hak terus menerus berusaha memberikan informasi agar

tahap-tahap

pelaksanaan kegiatan baik yang menyangkut dari aspek teknis, administrasi dan yuridis dapat

berjalan dengan baik, lancar dan memuaskan. Namun demikian dalam kenyataannya masih

banyak warga Kabupaten Brebes yang dalam melakukan peralihan hak atas tanah belum

didaftarkan peralihannya ke pelayanan pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan di Kantor

Pertanahan Kabupaten Brebes.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena warisan di

Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes?


2.  Apa kendala yang menghambat pelaksanaan peralihan hak atas tanah karena warisan di

Kantor Pertanahan Kabupaten Brebes?

 Penelitian korelasi bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan antara dua variabel atau
lebih, dan apabila ada, betapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan itu. Untuk
menentukan tingkat hubungan-hubungan antara variabel-variabel dapat digunakan suatu alat
statistik yang disebut koefisien yang dipilih adalah mereka yang menampakkan perbedaan dalam
beberapa variabel penting yang sedang diteliti. Untuk menghitung besarnya korelasi digunakan
statistik teknik statistik ini yang digunakan untuk menghitung antar dua atau lebih variabel. Ada
dua jenis statistik untuk menghitung korelasi:

a.  Koefisien korelasi bivariat adalah statistik yang dapat digunakan oleh peneliti untuk
menerangkan keeratan hubungan antara dua variabel.

b.  Metode korelasi multi variat adalah statistik yang digunakan peneliti untuk menggambarkan
dan menentukan hubungan antara tiga variabel atau lebih.

Teknik Korelasi

Ada beberapa jenis teknik korelasi yang bisa digunakan.

1.  Korelasi Product – Moment

Ada 3 unsur yang digunakan untuk menentukan koefisien korelasi ini, yaitu:

Dari ketiga rumus diatas akan didapat koefisien korelasi (r) lalu diinterpretasikan. Untuk
interpretasi dapat dilihat tabel berikut.

Besarnya r Interpretasi
0,800<r<1 Tinggi
0,600<r<0,600 Cukup

0,400<r<0,600 Agak Rendah

0,200<r<0,400 Rendah

0,000<r<0,200 Sangat Rendah

Apabila diperoleh angka negatif, berarti kelasnya negatif, ini menunjukkan kebalikan urutan
indeks korelasi tidak pernah lebih dari 1 (satu).

2.  Korelasi Tata Jenjang

Korelasi tata jenjang digunakan untuk menentukan hubungan atau dua gejala yang kedua-duanya
merupakan gejala ordinal atau tata jenjang.

Rumus yang dikemukakan:

3.  The Widespread Biserial Correlation

Sering terjadi dalam penelitian yang membutuhkan pengamatan seperti cenderung memberikan
nilai rata-ratadari pada menilai sangat baik atau sangat buruk.
Rumus:

4.  Poin Biserial Correlation

Digunakan apabila kita hendak mengetahui korelasi antara dua variabel, yang atu variabel
kontinum, sedang yang lain variabel deskrit murni. Hasil perhitungan dengan korelasi biserial
dapat dikonsultasikan ke tabel r hasil korelasi produk moment.

Rumus:

5.  Korelasi Tetrachoric


Digunakan untuk mencari korelasi dua variabel deskrit buatan. Mula-mula datanya merupakan
data kontenum yang sebenarnya dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:

a.  Subjek yang menguasai materi

b.  Subjek yang tidak menuasai materi

6.  Phi Coeficient

Koeficient Phi (π) yang menghasilkan Koeficient Phi digunakan untuk mencari hubungan dua
variabel diskrit dan diutamakan diskrit murni bila variabel deskrit dan merupakan variabel
diskrit, maka diubah dulu menjadi variabel diskrit Korelasi Phi sering digunakan untuk
menentukan validitas item variabel pertama adalah benar atau salahnya subjek dalam menjawab
item, sedangkan variabel kedua adalah skor total yang dibuat dikotomi.

Cara mengubah skor total menjadi dikatomi dapat menggunakan mean atau median. Jika
menggunakan mean sebagai nilai pemisah subjek maka ada kemungkinan banyaknya subjek
pada dua kelompok bisa tidak sama bila menggunakan mean sebagai nilai pemisah subjek maka
banyak subjek untuk kedua kelompok sama.

a.  Kelompok yang tidak sama jumlah subjeknya

b.  Kelompok yang sama jumlah subjeknya


7.  Contingen Coeficient (Koefisien Kontingensi)

Koefisien Kontingensi digunakan bila variabel yang dikorelasikan berbentuk kategori (gejala
ordinal) bila datanya bergaris diskrit, maka aelain menggunakan koefisient phi atau tetra korik.
Tetapi bila variabelnya diklasifikasikan menjadi lebih dari dua maka koefisient phi atau tetra
korik tidak dapat digunakan.

Contingency (C) sangat erat kaitannya dengan Ch – kuadrat dan dihitung dengan Chi kuadrat
maka C dapat dengan mudah diketahui. Rumus menghitung Chi kuadrat adalah:
Untuk menghitung koefisien kontinyansi digunakan rumus:

Read more: http://www.4skripsi.com/metodologi-penelitian/penelitian-korelasi.html#ixzz1p3W4eFbu

Anda mungkin juga menyukai