Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEPERAWAAN GERONTIK
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

Dosen Pembimbing : Ridha Mardiyani, M. Kep.

Disusun Oleh :
Kelompok 9
Dhika Andriani SR18212098
Agi Ehsya Putra SR172110084
Ferdinan Prasetyo D.C SR172110082
Reksi SR1721100

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2020

i
ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah Subhana Wa Ta’ala, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga makalah ini dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya. Shalawat dan salam selalu kita lakukan atas qudwah kita Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, para sahabatnya serta umatnya yang
senantiasa beribadah hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah “Keperawatan
Gerontik” pada Program Studi S1 Keperawatan STIK Muhammadiyah Pontianak.
Dalam penyusunan makalah ini mungkin akan terdapat beberapa kesalahan yang
kami kurang sadari, makalah ini dapat terselesaikan atas bantuan dari beberapa pihak.
Kami ucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ridha Mardiyani, M. Kep. selaku pembimbing, yang bersedia membimbing
dan meluangkan waktunya.
2. Orang tua kami yang selalu mendoakan kami.
3. Teman-teman kelompok atas kebersamaannya dalam penyusunan makalah ini.
4. Dan kepada teman-teman lain yang telah membantu namun tidak dapat
disebutkan satu-persatu.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah jauh dari sempurna. Karena itu,
saran yang diberikan senantiasa Kami harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin Ya Rabbil Alamin.
Billahi Fiisabilil Haq Fastabiqul Khairat.
Wassalamu‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pontianak, 30 September 2020

Penulis
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. Pengertian.......................................................................................................3
B. Etiologi............................................................................................................3
C. Tanda Dan Gejala...........................................................................................4
D. Patofisiologi....................................................................................................6
E. Pathway...........................................................................................................8
G. Pemeriksaan Penunjang................................................................................11
H. Komplikasi....................................................................................................12
I. Penatalaksanaan Medis.................................................................................13
BAB III........................................................................................................................18
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN.....................................................................18
A. Asuhan Keperawatan....................................................................................18
B. Diagnosa Keperawatan.................................................................................18
BAB IV........................................................................................................................19
KASUS ASUHAN KEPERWATAN..........................................................................19
A. Kasus.............................................................................................................19
B. Pengkajian.....................................................................................................19
C. Diagnosa Keperawatan.................................................................................19
iv

D. Intervensi Keperawatan................................................................................19
E. Implementasi Keperawatan...........................................................................19
F. Evaluasi Keperawatan...................................................................................19
BAB V.........................................................................................................................20
PENUTUP...................................................................................................................20
A. Kesimpulan...................................................................................................20
B. Saran.............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hiperplasia prostatis benigna (BPH) adalah pembesaran prostat yang


mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria (Nursalam, M & Batticaca, 2011)

Seiring dengan bertambahnya umur, maka akan terjadi perubahan


keseimbangan testosteron dan estrogen karena produksi testoteron menurun dan
akan terjadi konversi testosteron menjadi esterogen pada jaringan adiposa
diperifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah
dapat dittemukan pada umur 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada laki-laki umur 50
tahun, angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%.
Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda
klinis. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahandan efek
dari perubahannya juga terjadi perlahan-lahan (Sjamsuhidajat, R & Jong, 2004).

Di wilayah Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah (50%) pada jenis
kelamin laki-laki berusia 60-70 tahun yang mengalami gejala-gejala Benigna
Prostat Hiperplasi (BPH) dan antara usia 70-90 tahun sebanyak 90% mengalami
gejala-gejala Benigna Prostat Hiperplasi (BPH). Hasil riset mengatakan
bahwa laki-laki yang hidup di daerah pedesaan sangat rendah terkenan Benigna
Prostat Hiperplasi (BPH) dibandingkan dengan laki-laki yang hidup di daerah
perkotaan. Ini terkait dengan gaya hidup seseorang. Laki-laki yang bergaya
hidup modern cenderung lebih besar terkena Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)

1
2

dibandingkan dengan laki-laki di daerah pedesaan (Suharyanto, 2009).

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) terjadi pada usia yang semakin tua (>45
tahun) dimana saat keadaan fungsi testis menurun. Penurunan yang diakibatkan
oleh fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan
dehidrotesteosteron sehingga memicu pertumbuhan atau pembesaran prostat.

(Rendi, M. Clevo, 2012).

Ketika masalah terjadi masalah psikososial pada lansia baik secara biologis
maupun psikologis yang berkepanjangan dan tidak segera diatasi maka akan
menimbulkan masalah baru dalam kehidupan sehari-hari lansia yang
bersangkutan seperti masalah kesejahteraan, masalah kemandirian baik
kemandirian, baik kemandirian untuk melakukan perawatan diri maupun untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang akan menyebabkan menurunnya kualitas
hidup lansia tersebut (Nugroho, dalam Muhlth 2016).
B. Rumusan Masalah
Melihat banyaknya orang yang menderita penyakit BPH, yang menjadi
permasalahan pada asuhan keperawatan serta uraian latar belakang masalah
diatas, maka kami tertarik mengambil kasus dengan BPH. Maka dapat
dikemukakan rumusan masalah : “………”

C. Tujuan

1. Umum
Untuk memahami konsep asuhan keperawatan benigna prostat hyperplasia,
dan memberikan pengalaman dalam melakukan asuhan keperawatan pada
pasien BPH
3

2. Khusus
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat


nonkanker, (Corwin, 2000).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh


penuaan. Price&Wilson (2005).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Yuli Reni, 2014).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran prostat yang jinak


bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun
orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang
dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)

BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar


prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan
kondisi patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)

4
5

D. Etiologi

Menurut Yuli Reni (2014) Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai


sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung
pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :

1.  Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan


stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.

2.  Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron

Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.

3.  Interaksi stroma – epitel

Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan


penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.

4.  Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan


epitel dari kelenjar prostat
6

5.  Teori sel stem

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

E. Tanda Dan Gejala

1.  Gejala iritasi meliputi  :

a. Peningkatan frekuensi berkemih


b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

2.  Gejala obstruktif meliputi :

a. Pancaran urin melemah


b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
7

f. Urin terus menetes setelah berkemih


g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume
residu yang besar.

3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik.

Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak


puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan
dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.
8

F. Patofisiologi

Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia  30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi
anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal
menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular 
pada prostat.

Teori-teori tentang terjadinya BPH :

1. Teori Dehidrosteron (DHT)

Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron (DHT)


dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel
yang menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya
sintesa protein.
9

2. Teori hormon

Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia yamg
disebabkan oleh sekresi androgen yang berkurang, estrogen bertambah relatif
atau aabsolut. Estrogen berperan pada kemunculan dan perkembangan 
hiperplasi prostat.

3. Faktor interaksi stroma dan epitel

Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth factor
(b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang
lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. Proses reduksi ini
difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. b-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma
karena miksi, ejakulasi dan infeksi.

4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan


mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan membentuk jaringan
prostat.

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan


pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah
terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga
timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis
10

dan disfungsi saluran kemih atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing


gejala yaitu :

1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah


gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema
yang terjadi pada prostat yang membesar.
2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa
belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam
buli-buli.
4. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan
yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal
dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
5. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat
miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor
sehingga terjadi kontraksi involunter,
6. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli
mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik
melebihi tekanan spingter.
7. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah
submukosa pada prostat yang membesar. Lobus yang mengalami hipertropi
dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan
pengosongan urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
11

8. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin
tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme
infektif. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam
buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.
Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat
terjadi pielonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama
kelamaan dapat menyebabkan hernia dan hemoroid.
12

G. Pathway
13

G. Pemeriksaan Penunjang

A. Urinalisa

Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit,sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus
diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih,
batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.

B. Pemeriksaan
prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya
biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific
antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila
PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai
PSA > 10 ng/ml
C. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi
jantung dan pernafasan harus dikaji.

Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit,


CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
14

D. Pemeriksaan radiologis

Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan


sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat
disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya
batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga
dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat
supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran
ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu
urin dan batu ginjal. BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari
ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP
untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan
IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya
dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya
refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin

H. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
15

yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)

I. Penatalaksanaan Medis

Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan


kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat  karena ia tidak
dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat
mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang
suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk
drainase yang adekuat.

Jenis pengobatan pada BPH  antara lain:

A. Observasi (watchfull waiting)


Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan
adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
16

nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan


tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3
bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur
B. Terapi medikamentosa
Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada
otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran
air seni dan gejala-gejala berkurang. Penghambat enzim 5-a-reduktase,
menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil.
C. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk
terapi bedah yaitu :

- Retensi urin berulang

- Hematuri

- Tanda penurunan fungsi ginjal

- Infeksi saluran kemih berulang

- Tanda obstruksi berat seperti hidrokel

- Ada batu saluran kemih

1.  Prostatektomi
17

Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen


bedah dan optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam
prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat
dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral
jarang menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi
retrogard karena pengangkatan jaringan prostat  pada kolum kandung kemih
dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah belakang ke dalam
kandung kemih dan bukan melalui uretra.

a) Prostatektomi Supra pubis.

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi


abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan
kelenjar prostat diangkat dari atas.

b) Prostatektomi  Perineal.

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.


Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk
biopsi terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal
dapat mungkin terjadi  dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan
kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta  bidang operatif terbatas.

c) Prostatektomi retropubik.

Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu


antara arkus pubis  dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
18

Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan


spingter kandung kemih lebih sedikit.

Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang


jaringan prostat yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin
terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh
karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada
prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf
pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat dilakukan kembali
dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah sembuh.
Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih
dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrogard.

d) Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).

Yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan cara memasukkan


instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan
kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran
kecil (30 gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH.
Cara ini dapat dilakukan  di klinik rawat jalan dan mempunyai angka
komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.

e) TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )


19

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra


menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat
pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini
memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan
invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal. TURP
merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat
yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan
reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan
isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi
dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika  (Anonim,FK
UI,2005).

Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24


yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan
darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan
setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas
tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah
operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.

TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-


gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan
pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka
pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena
bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra,
ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali
20

8-10 tahun kemudian. Selain itu terdapat komplikasi yang dapat


membahayakan kondisi pasien, bahkan dapat mengakibatkan kematian, yaitu
sindrom TURP. Sindrom TURP adalah sindrom yang disebabkan karena
kelebihan volume cairan irigasi sehingga menyebabkan hiponatremia (Peters
and Olson, 2011). Sindrom ini disebabkan oleh post TUR tumor kandung
kemih, diagnostik penyakit dengan cystoscopy, percutaneus
nephrolithotomy, arthroscopy, berbagai macam tindakan ginekologi yang
menggunakan endoskopi dan irigasi, kelebihan penyerapan cairan irigasi
TURP, terbukanya sinus pada prostat, tingginya tekanan cairan irigasi,
waktu operasi > 60 menit (Gravenstein D, 1997, Moorthy, 2002, Hawary,
2009). Prevalensi kasus ini di Inggris selama dua puluh tahun terakhir
menunjukkan insiden sindrom TURP ringan ke sedang adalah 0,5% hingga
8% dengan angka kematian 0,2% hingga 0,8%. Sedangkan untuk kategori
berat mencapai 25 % (Reich, 2008). Di Indonesia khususnya di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta adalah 4,7 % dari 168 tindakan TURP (Data
Rekam Medis PKU I Yogyakarta, 2013)

Terapi invasif minimal, seperti dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum 


transuretral
21

TURP BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)


BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN
SISTEM PERKEMIHAN “BPH”

A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas klien yang biasa dikaji pada penyakit sistem perkemihan adalah
usia diatas 60 tahun.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan : infeksi saluran
kemih, inkontinensia urin dan BPH adalah klien mengeluh nyeri saat
berkemih, urin tisak terkontrol atau urin keluar menete (retensio urin).
3. Riwayat penyakit sekarang
Rriwayat kesehatan saat ini dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan
sampai klien dibawa ke RS, dan apakah pernah memeriksakan diri ke tempat
pelayanan kesehtan serta pengobatan apa yang pernah diberikan dan
bagaimana perubahannya.
4. Riwayat penyakit dahulu
Seperti riwayat penyakit perkemihan sebelumnya, riwayat pekerjaan , serta
dengan adanya riwayat penyakit infeksi saluran kemih, penggunaan obat-
obatan.riwayat mengkonsumi alkohol dan merokok.
5. Riwayat penyakit keluarga
Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang
sama karena faktor genetik.

H. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Keadaan umum klien lansia yang mengalami gangguan perkemihan biasanya
tampak lemah.
2. Kesadaran
Kesadaran Composmentis, Apatis sampai Samnolen.
3. Tanda – Tanda Vital
Suhu meningkat (>37C), Nadi meningkat (70-82 x/menit), tekanan darah
meningkat, pernapasan biasanya mengalami normal atau meningkat.
4. Pemeriksaan Review of system (ROS)
a. Sistem pernafasan (B1: Breathing)

22
23

Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas


normal
b. Sistem Sirkulasi (B2: Bleeding)
Kaji adanya penyakit jantung, frekuensi nadi apikal, sirkulasi perifer,
warna dan kehangatan.
c. Sistem Persarafan (B3: Brain)
Kaji adanya hilangnya sensasi, spasme otot, terlihat kelemahan/hilang
fungsi, pergerakan mata/kejelasan melihat, dilatasi pupil.
d. Sistem Perkemihan (B4: Bleder)
Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin, disuria, distensi
kandung kemih, warna dan bau urin, dan kebersihannya.
e. Sistem Pencernaan (B5: Bowel)
Kaji adanya konstipasi, konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultasi
bising usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri tekan abdomen.
f. Sistem Muskuloskeletal (B6: Bone)
Kaji adanya nyeri berat tiba-tiba/ mungkin terlokalisasi pada area
jaringan, dapat berkurang pada imobilisasi.
5. Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih, ada atau tidaknya masalah
defekasi, masalah nutrisi dan penggunaan kateter.
6. Pola seksual dan reproduksi
Mengkaji terkait masalah terhadap seksualitas.

I. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada kasus sistem
perkemihan dengan BPH adalah :

1. Nyeri akut b.d agen injuri (biologi, kimia, fisik) ditandai dengan klien
melaporkan nyeri secara verbal atau nonverbal, posisi untuk mengurangi
nyeri, ekspresi wajah meringis.
2. Inkontinensia Urin b.d kelemahan otot pelvis dan struktur penyangganya,
ketidakmampuan bladder untuk mengeluarkan urin ditandai dengan klien
melaporkan tetesan urin sesuai dengan peningkatan tekanan abdomen,
frekuensi BAK (lebih sering tiap 2 jam).
3. Retensio urin b.d adanya kelemahan destrusor, adanya obstruksi ditandai
dengan klien mengatakan urin keluar sedikit, sering berkemih, urin keluar
menetes, adanya urin sisa, adanya rasa penuh di kandung kemih.
4. Resiko infeksi b.d prosedur invasif
24

5. Defisit pengetahuan b.d kurang paparan, mudah lupa, kurangnyya informasi


ditandai dengan klien mengungkapkan adanya masalah, klien mengikuti
intruksi tidak akurat.

J. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa keperawatan 1 : Nyeri akut b.d agen injuri ditandai dengan klien
melaporkan nyeri secara verbal atau nonverbal, posisi untuk mengurangi nyeri,
ekspresi wajah meringis.

Tujuan dan kriteria :

setelah dilakukan tindakan keperawatan dihrapkan klien dapat :

1. Mengontrol nyeri
2. Menunjukkan tingkat nyeri

Intervensi :

1. Kaji tingkat nyeri


2. Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi dan
tindakan pencegahan.
3. Anjurkan klien untuk mengatasi nyeri
4. Ajarkan klien untuk mengontrol nyeri dengan teknik relaksasi
5. Kolaborasikan tim farmakologi terkait penggunaan obat obatan.

Diagnosa keperawatan 2 : Inkontinensia Urin b.d kelemahan otot pelvis dan


penyangganya, perubahan degenaratif. Ditandai dengan klien melaporkan tetesan
urin sesuai dengan peningkatan tekanan abdomen, frekuensi BAK meningkat.

Tujuan dan kriteria :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kontinensia urin dengan


kriteria:

1. Klien mengenali urgensi berkemih


2. Klien mampu berkemih secara mandiri

Intervensi :

1. Monitor eliminasi urin termasuk frekuensi,konsistensi, bau, volume dan warna.


2. Monitor tanda dan gejala retensio urin.
3. Ajarkan untuk minum 200 ml cairan pada saat makan.
25

4. Bantu klien untuk mengembangkan kebiasaan berkemih.


5. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran kemih.

Diagnosa Keperawatan 3 : Retensio urin b.d adanya kelemahan destrusor, adanya


obstruksi ditandai dengan klien mengatakan urin keluar sedikit, sering berkemih,
urin keluar menetes, adanya urin sisa, adanya rasa penuh di kandung kemih.

Tujuan dan Kriteria :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan eliminasi urin tidak terganggu


dengan kriteria :

1. Tidak ada hematuria


2. Bau, jumlah dan warna urin dalam rentang normal

Intervensi :

1. Identifikasi penyebab inkontinensia (output urin, pola berkemih, dan


pengobatan)
2. Ajarkan sugesti dengan mengalirkan air keran
3. Monitor input dan output
4. Monitor derajat distensi kandung kemih dengan palpasi
5. Lakukan pemasangan kateter sesuai kebutuhan.
BAB IV
ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN BPH

A. Kasus
Tn. F usia 63 tahun, datang ke RS dengan diagnosa BPH dan harus dilakukan
operasi dengan keluhan pancaran kencing lemah, miksi tidak puas sejak 6 bulan yang
lalu. Klien juga mengeluh frekuensi BAK bertambah terutama malam hari, nyeri
berkemih. Pasien juga mengalami kesakitan mengawali dan mengakhiri berkemih.
Saat ini klien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi pada perut bagian bawah dan
nyeri saat BAK. Nyeri seperti tertusuk-tusuk, skala nyeri 6, nyeri terasa terus
menerus. TD: 130/90 mmHg, S: 37c, RR: 22 x/menit, N: 80 x/menit.

K. Pengkajian
1. Identitas klien :
Nama : Tn.F
Umur : 63 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Kawin
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Swasta
Diagnosa Medis : Benigna Prostat Hiperplasi
Alamat : Pontianak
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Klien mengatakan nyeri pada luka bekas operasi pada perut bagian bawah
dan nyeri saat BAK. Nyeri seperti tertusuk-tusuk, skala nyeri 6, nyeri
terasa terus menerus.
b. Riwayat Penyakit
Sekarang Klien mengatakan ± 1 minggu yang lalu mengeluh nyeri pada
saat BAK, klien dibawa oleh keluarga ke RS di UGD oleh dokter
diagnosa BPH dan harus dilakukan operasi, dan pada tanggal 29 oktober
2020 dilakukan operasi oleh dokter.
3. Pola fungsional
a. Pola Aktivitas dan Latihan

26
27

Sebelum sakit : Klien mengatakan mampu melakukan aktivitas secara


mandiri seperti: makan, minum, mandi, berpakaian, toileting
Selama sakit : klien mengatakan hanya bisa tiduran serta aktivitas dibantu
oleh keluarga dari makan, minum, mandi, toileting, berpakaian ,
mobilitas, ROM, dikarenakan jika terlalu banyak bergerak merasa nyeri.
Klien sulit untuk mengerakkan ektermitas.
Klien juga mengatakan takut untuk bergerak dikarenakan nyeri.
4. Pola eleminasi
Sebelum sakit : saat miksi tidak merasakan nyeri
Selama sakit : saat miksi terasa nyeri, klien terpasang kateter

L. Pemeriksaan fisik
TD: 140/90 mmHg, S: 37c, RR: 22 x/menit, N: 80 x/menit
Abdomen:
I : terdapat luka pembedahan daerah suprapubis,panjang luka ± 5 cm dan
terdapat ± 5 jahitan, luka bersih, tidak ada pus, tidak bengkak, tampak warna
kemerahan, tidak ada edema, terpasang drainase.
A : Peristaltik 10x/ menit
P :Suara tympani
P :tidak terdapat nyeri tekan
Genetalia : Tampak bersih

M.Analisa data
Data Etiologi Problem
DS : klien mengatakan nyeri Agen pencedera Nyeri akut
pada luka bekas operasi bagian fisik (prosedur
bawah perut, nyeri saat BAK, operasi)
nyeri seperti ditusuk-tusuk,
panas, skala nyeri 6, terus-
menerus
DO: wajah klien tampak
tegang menahan sakit,
P: Post op BPH
Q: seperti ditusuk-tusuk, panas
R: di bagian abdomen bawah
S: Skala 6
T: Terus menerus
TTV: TD: 140/90 mmHg, N:
80x/ menit, RR: 22x/ menit, S:
37C
28

S: “klien mengatakan setelah Nyeri post op Gangguan mobilitas fisik


operasi hanya tiduran ditempat
tidur karena jika bergerak klien
merasakan nyeri”
“Klien mengatakan sulit untuk
menggerakan ektermitas.
“aktivitas dibantu oleh
keluarga dari makan, minum,
mandi, toileting, berpakaian ,
mobilitas, ROM”
O: aktivitas dibantu keluarga,
klien tampak bedrest ditempat
tidur
Klien tampak lemah hanya
ditempat tidur saja.

S: klien mengatakan pada luka Efek prosedur Resiko infeksi


bekas operasi terasa panas invasif

O: terlihat panjang luka ± 5 cm


dan terdapat ± 5 jahitan, luka
bersih, tampak kemerahan ,
tidak ada pus, tidak bengkak.
Terpasang kateter

N. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (prosedur operasi) ditandai dengan : nyeri
pada luka bekas operasi bagian bawah perut, nyeri saat BAK, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, panas, skala nyeri 6, wajah klien tampak tegang menahan sakit.
2. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri pasca operasi, ditandai dengan : klien
mengatakan setelah operasi hanya tiduran ditempat tidur, aktivitas dibantu
keluarga, klien tampak bedrest ditempat tidur.
3. Resiko infeksi b.d efek prosedur invasif, ditandai dengan : luka bekas operasi
terasa panas, terlihat panjang luka ± 5 cm dan terdapat ± 5 jahitan, luka bersih,
tampak kemerahan , tidak ada pus, tidak bengkak. Terpasang kateter.

O. Intervensi keperawatan
1. Dx 1:
a. Kaji skala nyeri
b. Atur posisi klien senyaman mungkin
29

c. Ajarkan teknik non farmakologi (relaksasi)


d. Kolaborasikan tim farmakologi
2. Dx 2 :
a. Dukungan ambulasi
b. Dukungan perawatan diri : BAB/BAK, mandi,berpakaian
c. Edukasi latihan fisik
d. Edukasi teknik ambulasi
3. Dx 3 :
a. Monitor tanda – tanda infeksi
b. Ajarkan perawatan untuk pencegahan terjadinya infeksi
c. Dukungan perawatan diri
d. Manajemen nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Nunez, C., Cansino, J. R., Bethencourt, F., Pérez‐Utrilla, M., Fraile, B., Martínez ‐
Onsurbe, P., ... & Royuela, M.(2008). TNF/IL‐1/NIK/NF‐κB transduction
pathway: a comparative study in normal and pathological human prostate
(benign hyperplasia and carcinoma). 

Bartosz Horosz. (2014). Methods to prevent intraoperative hypothermia.


Anaesthesiology intensive therapy. Vol. 46 (2), 96-100. Doi :
10.5603/AIT.2014.019

Arifin, R. B. (2015). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Benigna Prostat


Hiperplasia Post Open Prostatectomy Hari Ke-1 Di Ruang Gladiol Atas
RSUD Sukoharjo (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

30

Anda mungkin juga menyukai