Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

EMPIEMA DENGAN TUBERKULOSIS

Disusun oleh :
Nabatul Khasan
030.12.180

Pembimbing :
dr. Yusfi Rydoka Sp.P.M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE NOVEMBER – JANUARI 2017
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Judul:

EMPIEMA DENGAN TUBERKULOSIS

Penyusun:
Nabatul Khasan
030.12.180

Telah disetujui oleh


Pembimbing

dr.Yusfi Rydoka Sp.P.Mkes


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinNya penulis dapat

menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Empiema dengan Tuberkulosis”


Laporan kasus ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan
Kepanitriaan Klinik dibagian Ilmu Penyakit Dalam yang dilaksanakan di RSUD Kardinah
Tegal.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Yusfi Rydoka
Sp.P.M.Kes selaku dokter pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan pengarahan agar laporan kasus ini lebih akurat dan bermanfaat.
Tentunya penulis menyadari bahwa laporan kasus ini banyak kekurangan untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar
kedepannya penulis dapat meperbaiki dan menyempurnakan kekurangan tersebut.
Besar harapan penulis agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk meningkatkan
keilmuannya.

Tegal, 23 November 2017

Nabatul Khasan
DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................... 2
KATA PENGANTAR.................................................................................................. 3
DAFTAR ISI................................................................................................................ 4

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 5


BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 7
2.1 Definisi Efusi Pleura.......................................................................... 7
2.2 Patofisiologi....................................................................................... 7
2.3 Klasifikasi.......................................................................................... 8
2.4 Diagnosis ........................................................................................... 9
2.5 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 10
2.6 Terapi Efusi pleura............................................................................. 14
3.1 Definisi Empiema............................................................................... 15
3.2 Etiologi............................................................................................... 15
3.3 Patofisiologi....................................................................................... 16
3.4 Klasifikasi.......................................................................................... 16
3.5 Manfestasi Klinis................................................................................ 17
3.6 Komplikasi......................................................................................... 17
3.7 Pemeriksaan Penunjang...................................................................... 18
3.8 Penatalaksanaan.................................................................................. 19
4.1 Definisi Tuberkulosis......................................................................... 20
4.2 Epidemiologi...................................................................................... 21
4.3 Patofisiologi....................................................................................... 21
4.4 Klasifikasi.......................................................................................... 24
4.5 Manifestasi Klinis............................................................................... 25
4.6 Diagnosis TB paru.............................................................................. 26
4.7 Tatalaksana TB paru........................................................................... 28
4.8 TB MDR............................................................................................. 32
4.9 Diagnosis TB MDR............................................................................ 33
4.10 Paduan Pengobatan TB MDR........................................................... 35
BAB III Kesimpulan............................................................................................. 41
Daftar Pustaka........................................................................................ 42
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002. 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Hampir sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman tuberkulosis. TB ekstra paru berkisar antara 9,7 sampai 46% dari semua
kasus TB. Organ yang sering terlibat yaitu limfonodi, pleura, hepar dan organ gastro
intestinal lainnya, organ genitourinarius, peritoneum, dan perikardium. Efusi pleura
tuberculosis merupakan TB ekstraparu kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka
kejadian efusi pleura tuberculosis dilaporkan bervariasi antara 4% di USA sampai 23% di
Spanyol.
Pendekatan yang tepat terhadap pasien efusi pleura memerlukan pengetahuan insidens
dan prevalensi efusi pleura. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan
penyebab tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan tuberkulosis (TB) merupakan
penyebab tersering efusi eksudatif.(1) Mengetahui karakteristik efusi pleura merupakan hal
penting untuk dapat menegakkan penyebab efusi pleura sehingga efusi pleura dapat
ditatalaksana dengan baik. Efusi pleura tuberkulosis sering ditemukan di negara berkembang
termasuk di Indonesia meskipun diagnosis pasti sulit ditegakkan. Dengan sarana yang ada,
sangat sulit untuk menegakkan diagnosis efusi pleura tuberkulosis sehingga sering timbul
anggapan bahwa penderita tuberkulosis paru yang disertai dengan efusi pleura, efusi
pleuranya dianggap efusi pleura tuberkulosis, sebaliknya penderita bukan tuberkulosis paru
yang menderita efusi pleura, efusi pleuranya dianggap bukan disebabkan tuberkulosis.
Angka komplikasi dan kematian akibat empiema tuberkulosis lebih tinggi dari pada
empiema non tuberkulosis. Hal ini disebabkan karena empyema tuberculosis sering disertai
dengan fibrokavitas pada parenkim paru, terdapatnya fistula bronkoalveolar dan kondisi
penderita secara umum yang lebih buruk. Selain itu terdapat kecenderungan peningkatan
insidens empiema tuberkulosis sejalan dengan peningkatan infeksi tuberkulosis yang
disebabkan peningkatan jumlah penderita imunosupresi karena HIV (Human
Immunodeficiency Virus), tranplantasi dan pasca kemoterapi. Terapi empiema tuberkulosis
seringkali sulit karena penetrasi obat anti tuberkulosis ke rongga pleura yang terbatas dan
tindakan penyaliran nanah dengan selang dada tidak memberikan respons yang diharapkan,
sehingga modalitas penatalaksanaan lain yaitu pembedahan seperti dekortikasi, torakoplasti,
maupun drainase terbuka diperlukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura. Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya absorbsi. Cairan pleura
diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang
diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorbsi maksimal drainase sistem
limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Ketika terjadi penurunan absorpsi cairan oleh sistem
tersebut ataupun produksinya yang sangat banyak maka terjadilah efusi pleura.

2.2. PATOFISIOLOGI EFUSI PLEURA

Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5 ml cairan yang cukup untuk
membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan
oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan daya
tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis,
sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan
di sini mencapai 1 liter seharinya. Dalam keadaan normal hanya terdapat 1-20 ml cairan di
dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis
pleura parietalis sebesar 9 cm H2O.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura (efusi pleura) terjadi bila keseimbangan antara
produksi dan absorpsi terganggu, dimana akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila
tekanan osmotik koloid menurun misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan
bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses keradangan atau neoplasma,
bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung dan tekanan negatif intra pleura
apabila terjadi atelektasis paru. Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena
bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik tekanan osmotik
koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi.
Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi.
Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya
rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah. Infeksi tuberkulosis pleura biasanya
disebabkan oleh efek primer sehingga berkembang pleuritis eksudativa tuberkulosa.
Pergeseran antara kedua pleura yang meradang akan menyebabkan nyeri. Suhu badan
mungkin hanya sub febris, kadang ada demam. Penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan pembentukan cairan pleura
melalui pengaruh terhadap hukum Starling. Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung
kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava superior. Tekanan intra pleura yang sangat
rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura
visceralis. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak
cairan masuk ke dalam rongga pleura. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal
bisa menyebabkan transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura. Obstruksi dari
saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena untuk sistemik.
Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe,
gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening. Efusi pleura akan
menghambat fungsi paru dengan membatasi pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan
kelemahan bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan
tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan
terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.

2.3. KLASIFIKASI EFUSI PLEURA

A. Transudat
Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan hidrostatik dan
onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang dihasilkan melebihi jumlah
cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini, endotel pembuluh darah paru dalam kondisi
yang normal, dimana fungsi filtrasi masih normal pula sehingga kandungan sel dan protein
pada cairan efusi transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat
diatasi maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut. Selain itu,
efusi pleura transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal dari peritoneum,
bisa pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter vena sentra dan pipa
nasogastrik. Penyebab-penyebab efusi pleura transudat relatif lebih sedikit yakni :
• Gagal jantung kongestif
• Sirosis (hepatik hidrotoraks)
• Atelektasis – yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru
• Hipoalbuminemia
• Sindroma nefrotik
• Hidronefrosis
• Dialisis peritoneal

B. Eksudat
Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan biasanya
diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi transudat. Cairan eksudat
dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi paru ataupun pleura, gangguan drainase
limfatik pada rongga pleura, pergerakan cairan eksudat dari rongga peritoneal melalui
diafragma, perubahan permeabilitas membran pleura, serta peningkatan permeabilitas dinding
kapiler atau kerusakan pembuluh darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya cairan
eksudat antara lain :
• Pneumonia bakteri (Parapneumonia)
• Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma, leukemia,
sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker lambung, sarkoma serta
melanoma)
• Emboli paru
• Infeksi virus
• Tuberkulosis
• Abses Intraabdomen
• Hernia diafragmatika
• Trauma

2.4. DIAGNOSIS EFUSI PLEURA


Diagnosis untuk menentukan pasien dengan efusi pleura di awali dengan melakukan
anamnesis. Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung pada
jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak bergejala. Bahkan efusi
dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya berlangsung perlahan hanya
menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi
sebagai akibat penyakit inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat
awal proses dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang
biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek
hingga sesak nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada
area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan
kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk
kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang
banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat dan atau disertai sputum atau darah dapat
merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat
penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis,
sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll.
Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini dapat
meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obatobat yang selama ini
dikonsumsi pasien.
Pada pemeriksaan fisik thoraks dilakukan dengan urutan inspeksi, palapasi, perkusi dan
auskultasi. Pada inspeksi dapat ditemukan tanda - tanda antara lain dinding paru asimetris,
dinding dada tertinggal, ada sianosis dan lain - lain. Pada palpasi akan ditemukan stem
fremitus paru akan mengalami penurunan dibandingkan paru yang tidak efusi. Pada perkusi
biasanya akan ditemukan perbedaan yang cukup nyata yakni pada pasien dengan efusi pleura
maka akan ditemukan suara redup pada lapangan bawah paru. Pada auskultasi akan
ditemukan suara paru melemah pada lapangan paru yang sedang kolaps oleh karena efusi
pleura.

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan radiologis
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah cairan,
distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas intratorakal yang
berkaitan dengan efusi pleura tersebut. Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan
lateral sampai saat ini masih merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya
efusi pleura pada awal diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang
menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke lateral, serta
sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA setidaknya butuh 175-250
mL cairan yang terkumpul sebelumnya agar dapat terlihat di foto toraks PA. Sementara foto
toraks lateral dekubitus dapat mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5
mL. jika pada foto lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah
melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan torakosentesis.
Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin tidak dijumpai. Pada posisi supine, efusi
pleura yang sedang hingga masif dapat memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang
homogen yang menyebar pada bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi
hemidiafragma, disposisi kubah diafragma pada daerah lateral.
Gambar 1. Foto PA dan Lateral, efusi pleura kanan

Pemeriksaan cairan pleura

Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat memudahkan untuk
mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut. Prosedur torakosentesis sederhana dapat dilakukan
secara bedside sehingga memungkinkan cairan pleura dapat segera diambil, dilihat secara
makroskopik maupun mikroskopik, serta dianalisa. Indikasi tindakan torasentesis diagnostik
adalah pada kasus baru efusi pleura atau jika etiologinya tidak jelas dimana cairan yang
terkumpul telah cukup banyak untuk diaspirasi yakni dengan ketebalan 10 mm pada
pemeriksaan ultrasonografi toraks atau foto lateral dekubitus. Observasi saja diindikasikan
jika efusi yang terjadi diyakini akibat dari gagal jantung kongestif, pleurisi viral, atau akibat
pembedahan torak dan abdomen sebelumnya. Namun, jika pada keadaan ini dijumpai adanya
hal-hal berikut, pasien mengalami demam atau merasakan nyeri dada khas pleuritik, jika efusi
yang terjadi unilateral atau bilateral namun dengan ukuran yang jelas berbeda, tidak
ditemukan kardiomegali, efusi tidak respon dengan terapi gagal jantung. Langkah diagnostik
pertama dalam analisa cairan pleura adalah membedakan antara transudat dan eksudat. Hal
ini diperlukan untuk menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan etiologi sebelum
akhirnya dicapai kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu, langkah ini juga dapat
menentukan apakah perlu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap efusi pleura untuk
memastikan diagnosa.
Ada beberapa paramater yang saat ini dapat dipakai untuk membedakan antara
transudat dan eksudat, namun dari keseluruhan parameter tersebut tidak ada yang memiliki
akurasi 100%. Pada awalnya, kadar total protein dalam cairan pleura dipakai untuk
membedakan jenis cairan pleura dimana jika kadar protein cairan pleura > 3 g/dL maka
cairan tersebut merupakan eksudat sedangkan < 3 g/dL merupakan transudat. Namun
menurut Meslom (1979), metode ini salah mengklasifikasikan baik transudat maupun eksudat
sebesar 30%. Sementara itu, Light dkk. (1972) menyatakan bahwa cairan eksudat harus
memenuhi 1 atau lebih kriteria berikut ini :
(1) rasio protein cairan pleura dan serum > 0,5
(2) Rasio LDH cairan pleura dan serum > 0,6
(3) LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga batas atas nilai normal LDH serum.
Sensitivitas dan spesifisitas dari paramater ini pada awalnya dilaporkan cukup tinggi yakni
99% dan 98%. Namun belakangan angka ini ternyata berubah khususnya pada spesifisitasnya
yakni hanya berkisar 70-86% saja. Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian yang
terkait (Peterman, 1984 ; Burges,, 1995 ; Assi, 1998 ; Gasquez, 1998). Pada tahun 1995,
Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan gabungan LDH dan kolesterol cairan pleura
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan hasil terbaik dari kriteria Light yakni
99% dan 98% (sedangkan dalam penelitian ini didapati bahwa spesifisitas kriteria Light
hanya 82% saja). Namun dalam penelitian ini cut off LDH yang digunakan untuk eksudat
adalah > 200 IU. Heffner dkk (1996) melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas atas
nilai LDH serum normal lebih baik berdasarkan kurva ROC daripada cut off sebelumnya
yakni LDH > 200 IU ataupun LDH > 2/3 (0,6) dari batas atas nilai LDH serum normal.
Costa M dkk, disebutkan pula bahwa spesifisitas pemeriksaan kolesterol cairan pleura
dalam membedakan transudat dan eksudat adalah sebesar 100%. Penelitian oleh Hamal dkk.
(2012) melaporkan pemeriksaan kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediksi positif (PPV) dan nilai prediksi negatif (NPV) berturut-turut 97,7% ; 100% ;
100% dan 95% dalam membedakan eksudat dan transudat. Sementara itu, pemeriksaan LDH
cairan pleura (LDH-P) memiliki nilai berdasarkan urutan sebelumnya yakni sebesar 100% ;
57,8% ; 84,3% ; serta 100%. Kedua pemeriksaan ini (LDH-P dan K-P) memiliki kelebihan
yakni tidak perlu pengambilan darah dan cairan pleura secara simultan. Terdapat pula
parameterparameter lain yang dapat digunakan dalam penilaian efusi pleura seperti rasio
albumin pleura/serum, rasio kolesterol pleura/serum serta rasio bilirubin pleura/serum, namun
parameter-parameter yang disebutkan terakhir tidak memberi hasil yang lebih memuaskan.

Evaluasi terhadap Efusi Eksudatif

Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan pada efusi pleura eksudatif bergantung pada
keadaan klinisnya. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan antara lain : hitung jumlah dan
jenis sel, pengecatan dan pembiakan kuman, pemeriksaan kadar gula dan kadar LDH, analisa
sitologi, serta uji diagnostik tuberkulosis pada cairan pleura.
Pada pemeriksaan hitung jumlah dan jenis sel pada cairan pleura ditemukan
predominasi sel netrofil ( > 50% dari seluruh sel) maka kemungkinan sedang terjadi proses
akut pada pleura. Hal ini dapat terjadi pada keadaan : efusi parapneumonia, emboli paru serta
pankreatitis. Namun hal yang sama tidak ditemukan pada efusi maligna dan efusi akibat
tuberkulosis. Jika sel didominasi oleh jenis mononuklear, maka hal tersebut menandakan
adanya proses kronis. Jika dijumpai sel limfosit ( > 85%) dalam jumlah yang besar maka
keganasan atau tuberkulosis mungkin saja menjadi penyebab. Namun hal ini dapat terjadi
juga pada efusi pleura paska pembedahan pintas jantung. Jika dominasinya selnya adalah
eosinofil (pleural fluid eosinophilia/PFE) ( > 10%) maka kemungkinannya terdapat darah
atau udara dalam rongga pleura. Namun dapat pula berkaitan dengan reaksi terhadap obat,
infeksi parasit, jamur, kriptokokus atau efusi akibat keganasan dan tuberkulosis yang
mengalami torasentesis berulang. Jika ditemukan mesotelioma > 5% dari seluruh sel berinti,
maka kemungkinan tuberkulosis menjadi semakin kecil. Dan Jika jumlah sel mesotelial
sangat banyak dijumpai maka kemungkinannya adalah emboli paru.
Pengecatan Gram dan kultur cairan pleura terhadap bakteri aerob dan anaerob akan
memberikan hasil identifikasi kuman terhadap efusi pleura akibat infeksi. Secara umum
tingkat keberhasilan kultur kuman dari cairan pleura adalah sebesar 60%. Hasil ini akan lebih
sedikit lagi dijumpai pada infeksi kuman anaerob. Untuk meningkatkan keberhasilan kultur,
khususnya patogen anaerob, maka inokulasi dilakukan sesegera mungkin (sesaat setelah
sampel diambil) pada media agar darah. Pemeriksaan lain yang spesifik untuk evaluasi
terhadap efusi pleura eksudatif.
Gambar 2.2. Berbagai uji diagnostik cairan pleura. Dikutip dari : Porcel JM, Light RW. 2006.

2.6. Terapi efusi pleura


Prinsip terapi pasien dengan efusi pleura adalah mengeluarkan isi abnormal di dalam
cavum pleura dan berusaha mengembalikan fungsi tekanan negatif yang terdapat di dalam
cavum pleura. Beberapa pilihan untuk terapi pada efusi pleura adalah sebagai berikut
 Water Seal Drainage (tube thoracostomy) : modalitas terapi yang bekerja dengan
menghubungkan cavum pleura berisi cairan abnormal dengan botol sebagai
perangkat WSD yang nantinya akan menarik keluar isi cairan abnormal yang ada di
dalam cavum pleura dan mengembalikan cavum pleura seperti semula,
menyebabkan berkurangnya kompresi terhadap paru yang tertekan dan paru akan
kembali mengembang 5,19
 Thoracocentesis : modalitas terapi yang bekerja dengan cara melakukan aspirasi
menggunakan jarum yang ditusukkan biasanya pada linea axillaris media spatium
intercostalis. Aspirasi dilakukan dengan menggunakan jarum dan spuit, atau dapat
juga menggunakan kateter. Aspirasi dilakukan dengan batas maksimal 1000 – 1500
cc untuk menghindari komplikasi reekspansi edema pulmonum dan pneumothoraks
akibat terapi.
 Pleurodesis : modalitas terapi yang bekerja dengan cara memasukkan substansi
kimiawi pada dinding bagian dalam pleura parietal, dengan tujuan merekatkan
hubungan antara pleura visceral dan pleura parietal. Dengan harapan celah pada
cavum pleura akan sangat sempit dan tidak bisa terisi oleh substansi abnormal. Dan
dengan harapan supaya paru yang kolaps bisa segera mengembang dengan
mengikuti gerakan dinding dada.

3.1. EMPIEMA

Empiema adalah kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang
mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru-
paru dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura2

3.2. ETIOLOGI

Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling sering


ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif. Sering
ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena tingginya insidensi
resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. Pada penelitian yang
dilakukan Yu Chen dkk pada pasien efusi pleura dengan empiema didapatkan Klebsiella
Pneumoniae merupakan penyebab terbanyak. Penyebab terjadinya empiema sendiri terbagi
menjadi:
o Infeksi yang berasal dari dalam paru :
 PneumoniaAbses paru
 Bronkiektasis
 TBC paru
 Aktinomikosis paru
 Fistel Bronko-Pleura
o Infeksi yang berasal dari luar paru :
 Trauma Thoraks
 Pembedahan thorak
 Torasentesi pada pleura
 Sufrenik abses
 Amoebic liver abses

3.3. Patofisiologi
Infeksi oleh organisme-organisme patogen menyebabkan jaringan ikat pada membran
pleura menjadi edema dan menghasilkan suatu eksudasi cairan yang mengandung protein
yang mengisi rongga pleura yang dinamakan pus atau nanah. Terjadinya empiema thoraks
dapat melalui tiga jalan :
1. Sebagai komplikasi penyakit pneumonia atau bronchopneumonia dan
abscessus pulmonum, oleh karena kuman menjalar per continuitatum dan
menembus pleuravisceralis.
2. Secara hematogen, kuman dari focus lain sampai di pleura visceralis.
3. Infeksi dari luar dinding thorax yang menjalar ke dalam rongga
pleura, misalnya pada trauma thoracis, abses dinding thorax. Akibat invasi
basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang akut yang
diikuti pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel PMN yang mati
akan meningkatkan kadar protein dimana mengakibatkan timbunan cairan
kental dan keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-
kantong yang melokalisasi nanah tersebut.

3.4. Klasifikasi
Empiema dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-
hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan
terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan
mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi
selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan
pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan
enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal,
drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang
dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan
dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri,
dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran
fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini
berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat.
Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang
lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit
fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura
dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi
untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan
hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi
pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah
gejala awal.

3.5. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia bakteria,


gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain), batuk, sesak, dan
dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri abdomen dan
muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak dialami penderita dengan
sistem imun yang tertekan.

Gejala dan Tanda Empiema biasanya adalah: Batuk, Pekak pada perkusi dada, Dispneu,
Menurunnya Suara Pernapasan, Demam, Pleural Rub (pada fase awal), Ortopneu,
Menurunnya vokal fremitus, Nyeri Dada, Menyempitnya ruangan interkosta, Nyeri
Abdomen, Daerah mediastinal bergeser pada sisi yang sehat, Muntah.

3.6. KOMPLIKASI

Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah pengentalan pada pleura. Jika inflamasi
telah berlangsung lama, eksudat dapat terjadi di atas paru yang menganggu ekspansi normal
paru. Dalam keadaan ini diperlukan pembuangan eksudat melalui tindakan bedah (dekortasi).
Selang drainase dibiarkan ditempatnya sampai pus yang mengisi ruang pleural dipantau
melalui rontgen dada dan pasien harus diberitahu bahwa pengobatan ini dapat membutuhkan
waktu lama
 Fibrosis pleura Kolaps paru akibat penekanan cairan pada paru-paru
 Panyakit paru restriktif
 Pergeseran organorgan mediastinum
 Piopneumotoraks

3.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Radiologi

Foto rontgen dada biasanya menunjukan gambaran efusi pleura unilateral minimal
hingga sedang. Gambaran sudut prenikokostalis tumpul pada posisi lateral jika cairan lebih
dari 50mL. Pada posisi posteroanterior (PA) sudut prenikokostalis apabila cairan pleura lebih
dari 200mL. Pada posisi AP terlihat gambaran efusi jika cairan lebih dari 300mL.

2. Ultrasonography

Pemeriksaan USG lebih sensitive dari pemeriksaan-pemeriksaan rontgen. USG dapat


membantu melihat adanya pita-pita fibrin, septa, dan efusi pleura berkantong. USG dapat
menentukan volume cairan lebih tepat dari pada rontgen, lokalisasi septa membrane, ruang
pleura, dan penebalan pleura.

3. CT Scan

Pemeriksaan ini lebih akurat untuk menentukan adanya lesi parenkimal, limfadenopati.

4. Pemeriksaan cairan pleura

Pasien dengan efusi pleura unilateral baru harus menjalani torakosintesis diagnostic
untuk menentukan jenis efusi transudate atau eksudat dan untuk analisis cairan pleura.

 Karakteristik cairan pleura

Karakteristik cairan pleura yang mengarah ke efusi pleura tuberculosis adalah eksudat
dengan kadar protein cairan pleura >5g/dl, persentase sel limfosit cairan pleura >50%, kadar
glukosa cairan pleura bisa rendah atau normal, ph cairan pleura >7,3%, lactic acid
dehydrogenase (LDH) cairan pleura > LDH serum, sel dan mesotelial tidak lebih dari 5%.
Kriteria Light digunakan untuk menentukan jenis efusi pleura transudate atau eksudat.

Sementara itu, Light dkk. (1972) menyatakan bahwa cairan eksudat harus memenuhi 1
atau lebih kriteria berikut ini :
(1) rasio protein cairan pleura dan serum > 0,5
(2) Rasio LDH cairan pleura dan serum > 0,6
(3) LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga batas atas nilai normal LDH serum.

 Adenosine Deaminase (ADA)

ADA merupakan suatu enzim limfosit T predominan yang berperan sebagai


katalisator konversi Adenosine dan deoxyadenosine menjadi inosine dan
deoxyinosine. ADA untuk membantu diagnosis infeksi tuberkulosis dari pleura
tersebut. 

3.8. PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan empiema adalah :


 Pengosongan nanah
Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksisnya.
 Closed drainage-tube toracostory water scaled drainage dengan indikasi:
o Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi.
o Nanah terus terbentuk setelah dua minggu.
o Terjadinya piopneumotoraks.
Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif sebesar 1020 cmH 2O. Jika setelah
3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus diempuh cara lain seperti empiema kronis.
 Drainage terbuka (open drainage)
Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga dengan
reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi
akibat pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau
tidak adekuat, drainase tidak adekuat sehingga harus mengganti atau membersihkan drain.(1)

 Antibiotik
Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotik memegang
peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosisnya
harus tepat. Pemilihan antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah.
Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotik dapat
diberikan secara sistematik atau topikal. Biasanya diberikan penicilin. Pemilihan awal
didasarkan pada CAP dan HAP (β laktam, penisilin, sefalosporin, kabapenem). Jika dicurigai
bakteri anaerob à ditambah metronidazole atau clindamycin. Lama pemberian antibiotik : 2-4
minggu(3)

 Fibrinolitik Intraeura
Diberikan pada empiema dengan pus yang kental dan atau empiema yang berkantong-
kantong. Kontraindikasi : fistula bronkopleura, gangguan koagulan . Fibrinolitik intra pleura
volume total 50-100ml. Jenis obat yang diberikan:
- Streptokinase 200.000 – 250.000 IU 1-2x/hari
- Urokinase 50.000 – 100.000 IU à 1 x 1 hari
Saat pemberian WSD di klem 4 – 8 jam. Obat diberikan selama 3 hari berturut-turut(2)

 Penutupan Rongga Empiema


Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena penebalan
dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilakukan pembedahan (dekortikasi) atau
torakoplasti.
 Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar dengan indikasi:
a. Drain tidak berjalan baik karena banyak kantng-kantung.
b. Letak empiema sukar dicapai oleh drain.
c. Empiema totalis yang mengalami organisasi pada leura visceralis.
 Torakoplasti
Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin
dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal,
dengan demikian dinding toraks jatuh kedalam rogga pleura karena tekanan atmosfer.

4.1. DEFINISI TUBERKULOSIS


Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras
yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru.
TB paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. TB paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang
dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.

4.2. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada
tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
Global Emergency. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.(2,3)
Pada tahun 2012, insiden TB di dunia mencapai 8.6 juta kasus, dan 1.3 juta mati karena
TB (1.0 juta kematian pada pasien tanpa HIV dan 0.3 juta kematian pada pasien dengan
HIV). Sebagian besar kasus TB pada tahun 2012 terjadi pada Asia (59%) dan Afrika (26%).
Lima Negara dengan angka insiden mulai dari yang terbanyak pada tahun 2012 adalah India
(2-2.4 juta), Cina (0.9-1.1 juta), Afrika Selatan (0.4-0.6 juta), Indonesia (0.4-0.5 juta) dan
Pakistan (0.3-0.5 juta). Sembilan puluh lima persen kematian akibat tuberkulosis terjadi pada
Negara-negara berkembang.(3)
Kebanyakan kasus TB dan kematian karena TB terjadi pada laki-laki, tapi beban
penyakit ini pada wanita juga tinggi. Pada tahun 2012, diperkirakan 2.9 juta kasus TB dan
410.000 wanita mati karenanya.(3)
Saat ini, Indonesia berada pada urutan keempat dengan beban TB tertinggi di dunia.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan Negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun
2006. Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah
sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Meskipun secara nasional
menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat
kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah.

4.3. PATOGENESIS TUBERKULOSIS


Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet saluran
nafas yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian
atas lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit
polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut, namun tidak
membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagosit atau berkembang
biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.(4,5)
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumoni
kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus.
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi:
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar.
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen
menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma
yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas
sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan
dibatukkan, akan menimbulkan kavitas.(4,5)
4.4. KLASIFIKASI TB PARU
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB meliputi 4 hal yaitu :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:


 Tuberkulosis paru: Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
 Tuberkulosis ekstra paru: Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1. Kasus baru
 Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (relaps)
 Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
3. Kasus setelah putus berobat (default)
 Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4. Kasus setelah gagal (failure)
 Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus lain
 Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.

25
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
o Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
o Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
o Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.
o Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
o Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat)
atau metode fenotip (konvensional).
Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) : pasien TB dengan :
o Hasil tes HIV positif atau sedang mendapatkan ART,
o atau Hasil tes HIV positif saat didiagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negative : pasien TB dengan :
o Hasil tes HIV negatif, atau
o Hasil tes HIV negatif saat didiagnosis TB.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui : pasien TB tanpa ada bukti pendukung
hasil tes HIV saat didiagnosis tb ditetapkan.

4.5. GEJALA KLINIS


Gejala sistemik/umum:
- Penurunan nafsu makan dan berat badan.
- Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

26
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang
timbul.
Gejala khusus:
- Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas
melemah yang disertai sesak.
- Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan
struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan tanda
konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa:
fokal fremitus meningkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi
terutama di apeks paru.
Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti: deviasi trakea ke sisi paru yang
terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amforik pada cavitas atau tanda adanya penebalan
pleura.

4.6. DIAGNOSIS TB PARU


Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
o Anamnesis baik terhadap pasien maupun keluarganya.
o Pemeriksaan fisik.
o Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
o Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
o Rontgen dada (thorax photo).
o Uji tuberkulin.

Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,

27
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat
dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pasien TB dapat ditemukan suara nafas bronkial, amforik, suara nafas melemah atau
ronki basah. Pada pasien dengan limfadenitis TB terdapat pembesaran KGB sekitar leher dan
ketiak. Pada pasien pleuritis TB karena ada cairan, hasil perkusi menjadi pekak dan auskultasi
melemah hingga terdengar pada tempat yang ada cairan.
Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH). Untuk pengambilan spesimen dahak dilakukan 3 kali (SPS), yaitu sewaktu
(waktu kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu (saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap
pagi selama 3 hari berturut-turut. Pemeriksaan spesimen ini dilakukan secara mikroskopis dan
biakan. Pewarnaan dengan Ziehl-Nielsen sedangkan fluoresens dengan auramin-rhodamin.
Kultur mtbdapat menggunakan metode Lowenstein-Jensen.
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif  BTA positif.
 1 kali positif, 2 kali negative  ulang BTA 3 kali, kemudian, bila 1 kali positif, 2 kali
negatif  BTA positif.
 Bila 3 kali negatif  BTA negatif.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

28
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

4.7. TATALAKSANA TB PARU

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.

29
5. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
• Rifampisin
• INH
• Pirazinamid
• Streptomisin
• Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) ini terdiri dari:
• Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
• Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg dan pirazinamid 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
• Kanamisin
• Kuinolon
• Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
• Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT
1. Rifampisin: 10 mg/kgBB, maksimal 600mg 2-3x/minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg/kali
1. INH: 5mg/kgBB maksimal 300mg, 10mg/kgBB 3x seminggu, 15mg/kgBB 2x
semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten: 600 mg/kali.
2. Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kgBB, 35 mg/kgBB 3x semingggu, 50mg/kgBB 2x
semingggu, atau:
BB > 60 kg: 1500mg
BB 40-60 kg: 1000mg

30
BB < 40 kg: 750mg
3. Etambutol: fase intensif 20mg/kgBB, fase lanjutan 15mg/kgBB, 30mg/kgBB 3x
seminggu, 45 mg/kgBB 2x seminggu, atau:
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
1. Streptomisin: 15mg/kgBB, atau:
BB >60kg: 1000mg
BB 40-60 kg: 750 mg
BB < 40 kg: sesuai BB
2. Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4
tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan
kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai
dengan pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap
tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit/fasilitas yang
mampu menanganinya.

6. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
 TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas.
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatif : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA (+), kasus baru.
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru).
c. TB di luar paru kasus berat.
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan
2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas.

31
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi /
kortikosteroid).
c. TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi.
 TB Paru (kasus baru), BTA negatif Paduan obat yang diberikan :
2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
 TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil
uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila
tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
 TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan
4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap
diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji
resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB).
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal.
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru.
 TB Paru kasus lalai berobat

32
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadual
- Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu
a) Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan
OAT STOP
b) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama
c) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama
d) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi
klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama
e) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadual.
 TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap
diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon,
betalaktam, makrolid
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

4.8. TB-MDR

Guidelines for the programmatic management of drug resistant tuberculosis:


emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro

33
saat terdapat satu atau lebih OAT.6 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap
OAT, yaitu: 4
Mono resisten Resisten terhadap satu obat lini pertama
Poli resisten Resisten terhadap lebih dari satu OAT lini
pertama selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.
Multi drug resistant (MDR) Resisten terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin
Extensively drug resistant TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah
(XDR) satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin).
Total Drug Resistance(TDR) Resisten baik dengan lini pertama maupun
lini kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi
obat yang bisa dipakai.

Resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi sekunder dan
resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi M. tuberculosis terhadap OAT,
dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan
OAT, namun kurang dari 1 (satu) bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah
mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak
diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum
pernah.7

4.9. DIAGNOSIS TB-MDR

Kriteria risiko resisten OAT adalah:


1. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan dengan OAT kategori II.
2. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah bulan ketiga dengan OAT
kategori II.

34
3. Pasien yang pernah mendapat pengobatan TB, termasuk OAT lini kedua, seperti kuinolon
dan kanamisin
4. Pasien yang gagal dalam pengobatan dengan OAT kategori I.
5. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tetap positif setelah sisipan dengan OAT
kategori I.
6. Kasus TB kambuh.
7. Pasien yang kembali berobat setelah lalai pada pengobatan kategori I dan/atau kategori II,
8. Pasien dengan keluhan yang dicurigai TB, pasien yang tinggal dekat pengidap TB
resisten obat ganda, termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB resisten
obat ganda.
9. Pasien HIV.

Diagnosis TB resisten obat ditegakkan berdasarkan uji kepekaan di laboratorium dengan


jaminan mutu eksternal. Semua pasien yang dicurigai mengidap TB resisten obat wajib diperiksa
sputumnya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji
kepekaan memperlihatkan adanya M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan
isoniazid, diagnosis MDR-TB dapat ditegakkan.12

Metode Konvensional Uji Kepekaan Obat

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendukung penggunaan metode biakan media cair
dan identifi kasi M. tuberculosis cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih
sensitif mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus sebesar 10%
dibandingkan media padat, di samping lebih cepat memperoleh hasil sekitar 10 hari
dibandingkan 28-42 hari dengan media padat.14

Metode Diagnostik Molekuler Cepat yang Telah Disetujui WHO

Xpert assay dapat mengidentifi kasi kuman Mycobacterium tuberculosis dan resistensi
rifampisin dari sputum dalam beberapa jam. Akan tetapi, konfi rmasi TB resisten obat dengan uji
kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku emas. Penggunaan Xpert MTB/RIF

35
tidak menyingkirkan kebutuhan akan metode biakan dan uji kepekaan obat konvensional untuk
menegakkan diagnosis defi nitif TB pada pasien dengan apusan BTA negatif. Lagi pula, uji
kepekaan obat dibutuhkan untuk menentukan kepekaan OAT selain rifampisin.14

4.10. Paduan Pengobatan TB MDR(19,20,21)


Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB,
WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan
efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2008) :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi
dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam
dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman
dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua pasien
yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid,
dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini
pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan
makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data
melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.
Pilihan panduan OAT resisten obat saat ini adalah panduan standar , yang pada
permulaan pengobatakan akan diberikan sama kepada semua pasien TB- Resisten Obat ,
Panduan Standar :

Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E)-(H)/ Eto – Lfx – Cs – Z-(E)-(H)

 Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara


laboratoris (hasil tes cepat atau metode konvesional ).
 Pengobatan dengan standar dapat dimulai berdasarkan hasil GeneXpert yang
menyatakan TB RR.

36
 Bila ada riwayat menggunakan paduan OAT yang telah dicurigai ada resistensi
misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon pada pengobatan TB sebelumnya,
maka diberikan levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resistan terhadap
levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah PAS dan levofloxacin diganti
dengan moksifloksasin, sedangkan untuk pasien yang sudah mendapatkan Kanamisin
sebelumnya dapat diberikan Kapreomisin sebagai bagian dari panduan OAT standar
yang diberikan.
 Paduan OAT resisten Obat standar diatas akan disesuaikandengan panduan atau
dosisnya jika :
1. Terdapat bukti tambahan resistensi terhadap OAT lain bedasarkan hasil uji
kepekaan konvesional untuk OAT lini pertama dan lini kedua sebagai contoh:
a) INH tidak diberikan jika pasien terkonfirmasi TB MDR (INH dan Rifampisin
resisten)
b) Etambutol tidak diberikan jika sudah terbukti resisten
2. Terjadi Efek Samping berat dan obat penyebab sudah diketahui maka obat bias
diganti bila tersedia obat pengganti , sebagai contoh :
a) Pasien mengalami efek samping gangguan kejiwaan karena Sikloserin maka
dapat diganti dengan PAS.
b) Pasien mengalami gangguan pendengaran karena Kanamisin maka dapat
diganti dengan Kapreomisin.
c) Pasien mengalami gangguan penglihatan karena Etambutol maka pemberian
dapat dihentikan
3. Dosis atau Frekuensi disesuaikan jika :
a) Terjadi perubahan kelompok berat badan
b) Terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia.
6. Jika terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut:
Cm – Lfx – Eto –Cs – Z – (E)-(H)/ Lfx – Eto – Cs – Z – (E)-(H)

7. Jika terbukti resistan terhadap kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut:

37
Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) )-(H)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) )-(H)

8. Jika terbukti resistan terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau pasien TB-MDR/
HIV maka paduan standar adalah sebagai berikut :
CM – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) )-(H)/ Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E) )-(H

38
Prinsip pengobatan TB-MDR

Dosis Harian Berat Badan >30kg


OAT
30kg- 36kg- 46kg-55kg 56kg-70kg >70kg
35kg 45kg
Kanamisin 15- 500mg 625- 875- 1000mg 1000mg
20mg/kg/hari 750mg 1000mg
Kapreomisin 15- 500mg 600- 750-800mg 1000mg 1000mg
20mg/kg/hari 750mg
Pirazinamid 20- 800mg 1000mg 1200mg 1600mg 2000mg
30mg/kg/hari
Etambutol 15- 600mg 800mg 1000mg 1200mg 1200mg
25mg/kg/hari
Isoniazid 4-6mg/kg/hari 150mg 200mg 300mg 300mg 300mg

Levofloksasin 750mg/hari 750mg 750mg 750mg 750- 1000mg


(dosis standar) 1000mg

Levofloksasin 1000mg/hari 1000mg 1000mg 1000mg 1000mg 1000mg


(dosis tinggi)

Moksifloksasin 400mg/hari 400mg 400mg 400mg 400mg 400mg

Sikloserin 500-750mg/hari 500mg 500mg 750mg 750mg 1000mg

Etionamid 500-750mg/hari 500mg 500mg 750mg 750mg 1000mg

Asam PAS 8g/hari 8g 8g 8g 8g 8g

Sodium PAS 8g/hari 8g 8g 8g 8g 8g

Bedaquilin 400mg/hari 400mg 400mg 400mg 400mg 400mg

Linezolid 600mg/hari 600mg 600mg 600mg 600mg 600mg

Klofazimin 200-300mg/hari 200mg 200mg 200mg 300mg 300mg

Lama dan cara pemberian pengobatan TB resisten Obat

39
Lama pengobatan pasien TB resisten Obat adalah :
1. Pasien baru/belum pernah diobati dengan TB RR/MDR ialah lama pengobatan adalah 18
bulan setelah konversi biakan dengan minimal lama pengobatan 20 bulan
2. Pasien sudah pernah diobati dengan pengobatan TB RR/MDR atau pasien TB XDR
adalah 22 bulan setelah konversi biakan dengan minimal lama pengobatan 24 bulan
3. Konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan
30 hari menunjukkan hasil negative,Tanggal konversi adalah tanggal pengambilan dahak
pertama untuk biakan yang hasilnya negatif. Tanggal ini digunakan untuk menentukan
lamanya pengobatan tahap awal dan lama pengobatan selanjutnya.

Tahap Pengobatan dibagi menjadi 2 tahap yaitu :


1. Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat oral dan obat suntikan
(kanamisin dan kapreomisin), pada pasien baru lama tahap awal adalah 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan dan diberikan sekurang-kurangnya selama 8 bulan. , pada pasien
yang sudah pernah diobati atau pasien TB XDR lama tahap awal adalah 10 bulan setelah
terjadi konversi biakan dan diberikan sekurang-kurangnya 12 bulan.
2. Tahap lanjutan adalah tahap pengoatalah setelah selesai pengobatan tahap awal dan
pemberian suntikan dihentikan, pada pasien baru lama tahap lanjutan adalah 12-14
bulan , dan pada pasien yang pernah diobati TB RR/MDR atau pasien TB XDR lama
tahap lanjutnya adalah 12 bulan
Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan lanjutan menganut
prinsip DOT, Cara Pemberian obat :
1. Tahap Awal : Suntikan diberikan 5x dalam 1 minggu (senin-jumat) dan obat per – oral
diberikan 7 kali seminggu (senin-minggu), jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan
minimal 224 dosis dan suntikan minimal 160 dosis
2. Tahap Lanjutan : Obat oral diberikan 7x dalam 1 minggu (senin-minggu),obat suntikan
sudah tidak diberikan lagi, jumlah minimal obat oral yang diberikan dan ditelan adalah
336 dosis
Pada Pengobatan TB resisten Obat diperbolehkan terjadinya pemberian obat
dengan dosis naik bertahap yang bertujuan untuk meminimalisir kejadian efek samping

40
obat, Piridoksin(vit B6) dapat ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin dengan
dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.

Tipe Pasien Bulan Lama Tahap Lama Tahap Lama


Konversi awala lanjutan Pengobatan

Baru 0-2 8 bulan 12 bulan 20 bulan


3-4 8 bulan 13-14 bulan Tambah 18
bulan dari bulan
konversi

5-8 Tambah 4 12 bulan Tambah 18


bulan dari bulan dari bulan
bulan konversi konversi

Pernah 0-2 12 bulan 12 bulan 24 bulan


diobati / TB 3-4 Tambah 13 12 bulan Tambah 22

XDR bulan dari bulan dari bulan


bulan konversi konversi
5-8 Tambah 10 12 bulan Tambah 22
bulan dari bulan dari bulan
bulan konversi konversi

BAB III
KESIMPULAN

Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang diakibatkan oleh
transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura dan merupakan komplikasi
berbagai penyakit. Efusi pleura terjadi apabila produksi meningkat minimal 30 kali normal
(melewati kapasitas maksimum ekskresi) dan atau adanya gangguan pada absorpsinya. Efusi

41
pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dikenal
juga dengan nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik
berhubungan dengan infeksi TB paru primer. Indonesia menempati urutan ke-3 dari antara
negara-negara dengan prevalensi TB tertinggi, dimana penyebab utama efusi pleuranya adalah
TB paru (30,26%) dengan umur terbanyak adalah 21-30 tahun. Oleh karena itu, diperlukan
pengetahuan yang baik akan penyakit efusi pleura tuberculosis oleh setiap insan tenaga medis
sehingga dapat menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang sesuai.

Daftar Pustaka

1. 1. Light RW. Pleural diseases. 5 ed. Baltimore: Williams and Wilkins; 2007. p.412 .
2. Maskell NA, Butland RJA. BTS guidelines for the investigation of unilateral pleural
effusion in adults. 2003;58:8-17.
3. Mayse M.L. Non malignant pleural effusions. In: Fishman A.P, editor. Fishman's
pulmonary diseases and disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill, 2008; p. 1487-504.

42
4. Hariadi S. Efusi Pleura. In: Wibisono MJ, Winariani, and H Slamet, editors. Buku ajar
ilmu penyakit paru. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair; 2010. p. 114-6.
5. Light RW. Update on tuberculous pleural effusion. Respirology. 2010;15:451-8.
6. Halim H. Penyakit-penyakit pleura. In: . In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, K
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p.2332-3
7. Mihardja L. Lolong DB. Ghani L. Prevalensi Diabetes Melitus Pada Tuberkulosis dan
Masalah Terapi. Desember 2015; 14(4) 350-51.

8. WHO. Global Tuberculosis Control 2011. Available at:


http://www.who.int/tb/publications/global_ report/2011/gtbr11_full.pdf. Accessed on
April 2017.

9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan


Tuberkulosis di Indonesia. Available at: http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf.
Accessed on April 2017.

10. Werdhani RA. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klasifikasi Tuberkulosis. Available at:
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf. Accessed on
April 2017.

11. Cahyadi A. Venty. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus. April 2011; 61(4)
173-78.

12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit


dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014.
Available at: http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-tbnasional2014.pdf. Accessed on
April 2017.

13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit


dan Penyehatan Lingkungan. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.
2011. Available at: http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/stranas_tb-2010-
2014.pdf?ua=1, Accessed on April 2017.

43
14. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta : Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI. Diakses tanggal 28 Maret 2012 :
http://staff.ui.ac.id/internal/140240448/material/empiema.pdf
15. Yu Chen, Kuan MD et al. Emphasis on Klebsiella Pneumoniae in Patients with Diabetes
Mellitus. 2000. American College of Chest Physician. Diakses tanggal 1 April 2012 :
http://chestjournal.chestpubs.org/content/117/6/1685.full.pdf+html
16. Fauci, Anthony et al. Harrison’s Manual of Medicine 17 th Edition. 2009. New York : The
McGraw-Hill Company

44

Anda mungkin juga menyukai