Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Khudhari Bek dalam Tarekh Tasyri’ al-Islami membagi periodesasi pembentukan


hukum Islam dalam enam fase tasyri’. Pertama adalah fase kerasulan Nabi Muhammad,
dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada belia. Kedua adalah fase para
sahabat Nabi yang senior (kibar al-shahabah) mulai dari saat kematian Nabi sampai akhir
masa khulafa’ al-Rasyidin. Ketiga adalah fase sahabat Nabi yang yunior (shighar al-
shahabah) mulai dari permulaan masa Umawi sampai kurang lebih satu abad setelah hijrah.
Keempat adalah fae fiqh menjadi ilmu tersendiri mulai dari awal abad kedua hijrah sampai
abad ketiga. Kelima adalah fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di
kalangan fuqaha’, mulai daari awal abad keempat hijrah samapai akhir masa Abbasiyah dan
penaklukan Tartar atas dunia Islam pada abad ketujuh hijrah (1258 M). keenam adalah fase
taqlid mulai dari kejatuhan dinasti Abbasiyah sampai sekarang.

Dewasa ini menurut Rifa’i Ka’bah, kita memasuki fae ketujuh, yaitu fase kodifikasi atau
kompilasi dan ijtihad untuk masalah-maslaah kontemporer. Kodifikasi atau kompilasi ini
dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi Negara atau semi resmi, atau lembaga internasional,
atau murni swasta. Tujuannya adalah untuk memperkaya hukum nasional. Hukum Islam baik
yang dikodifikasi maupun yang dikompilasi untuk sebagian menjadi bahan pembentukan
hukum nasional dan sebagian Negara tertentu dijadikan sepenuhnya sebagai peraturan
perundang-undangan. Menjadikan hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh atau
yang telah dikodifikasi atau dikompilasi sebagai undang-undang  ini dalam bahasa Arab
dikenal dengan al-Taqnin, yang dalam sejarah hukum Islam ide dan upaya taqnin pertama
kali dikemukakan oleh Ibn al-Muqaffa’.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa yang dumaksud taqnin ?
2. Apa yang dimaksud dengan perkembangan taqnin?
3. Apa yang dimaksud dengan ide taqnin Ibn Muqaffa’ ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Taqnin

Secara etimologi, kata taqnin (‫ )تقنين‬merupakan bentuk masdar dari qannana ( َ‫)قَنَّن‬, yang


berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan dari
Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa
Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (‫ )قَانُوْ ن‬yang berarti ukuran segala sesuatu,
dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).

Menurut Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi
bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang beratialat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah
kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula
canonik, seperticorpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII tahun 1580,
kemudian codex iuris coninci  oleh Paus Benediktus XV tahun 1919. Hukum kanonik ini
terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja, keputusan dari sidang-sidang gereja dan
keputusan dan perintah dari paus. Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah kanun
digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yag
ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kedokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb,   Qanun al-
Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-
Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.

Dalam konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qanun memiliki tiga arti


yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex) seperti
qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus
untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang
mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif membuat qanun
larangan menimbun barang.

Sebagai perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang.
Dalam ilmu hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun
larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya
ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas peraturan tersebut
dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.  Adapun yang disebut
pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan yang dibuat oleh negara.
Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis, dibuat oleh pejabat yang berwenang,
berisi tentang aturan tingkah laku, dan mengikat secara umum.

Dalam literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam
mengalami perkembangan, ada yang disebut fikihyakni ijtihad ulama yang tertera dalam
kitab-kitab fikih, fatwa  yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan ulama tentang suatu
hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun.

Qanun dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan
syara’ yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum.
Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang
berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini, sebagian
ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting sebagai panduan
putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama pada lembaga peradilan yang
berbeda-beda. Sementara sebagian yang lain tidak sependapat dengan taqnin al-
ahkam dengan argumentasi tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang
menghasilkan pertentangan yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi, patut untuk
melakukan analisa atas argumentasi dua kutub pemikiran yang berbeda ini. Maka, dalam
makalah ini akan dipaparkan tentang sekilas sejarah taqnin al-ahkam, pandangan para ulama
tentangtaqnin al-ahkam dan analisa pendapat-pendapat tersebut.

B. Sekilas Perkembangan Taqnin

Apabila taqnin dimaknai secara luas dan salah satu maknanya diartikan


sebagai tasyri’ (pembentukan hukum), maka taqnin dapat dilacak keberadaannya sejak masa
Nabi saw. Akan tetapi apabila taqnin diartikan sebagaimana konsep hukum sekarang, yakni
hukum tertulis yang bersifap mengikat, temporer dan memiliki sanksi, maka
maka taqnin dalam konsep tersebut tidaklah dapat diterapkan kepada masa Nabi saw.
Memang benar bahwa di masa Nabi pernah ada Piagam Madinah atau Shahifah
Madinah yang berisi tentang hak dan kewajiban wargaMadinah, baik muslim maupun non
muslim untuk menjaga kedaulatan Madinah. Oleh ahli hukum, dikatakan bahwa
piagam Madinah merupakan konstitusi negara yang tertulis.

Begitu juga di masa sahabat, ide tentang taqnin belum ditempuh. Ide yang baru muncul
adalah pemushafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar atas usulan Umar ibn Khattab,
dan kemudian dituntaskan pada masa Utsman ibn Affan. Begitu pula pada masa Umayah, ide
yang muncul adalah pentadwinan Hadis baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz (w.
720 M/102 H), khalifah kedelapan Bani Umayah.

Di masa Abbasiyah barulah ide tentang taqnin lahir. Salah seorang sekretaris negara, Ibn
Muqaffa  (w. 756 H/ 140 H), keturunan Persia, mengusulkan gagasan kepada khalifah al-
Mansyur (khalifah kedua Abbasiyah) untuk meninjau kembali doktrin yang beraneka ragam,
kemudian mengkodifikasikan dan mengundang-undangkan keputusannya sendiri dengan
tujuan menciptakan keseragaman yang mengikat para qadhi. Undang-undang ini juga harus
direvisi oleh para khalifah pengganti. Ibnu muqaffa  mengungkapkan bahwa khalifah
memiliki hak untuk memutuskan kebijakannya. Khalifah dapat membuat aturan atau tatanan
yang mengikat kekuasaan militer dan sipil, dan secara umum pada semua masalah yang tidak
ada contoh sebelumnya, tetap berdasarkan kepada pada Al-Quran dan Sunnah.

Perkembangan taqnin berikutnya mulai lebih konkrit pada masa Utsmani, yakni pada
masa Sultan Sulaiman (1520-1560 M) dimana ia secara serius  memberlakukan qanun
atau Qanun Name sebagai hukum resmi. Atas usaha itulah Sultan Sulaiman diberi digelar
Sulaiman al-Qanuni (Sulaiman the Legislator). Dalam Qanun Name dikupas secara lengkap
tentang gaji tentara, polisi rakyat yang bukan muslim, urusan kepolisian dan hukum pidana,
hukum pertanahan dan hukum perang. Namun menurut Bernart Lewis seperti yang dikutip
oleh Wahiduddin Adams, produk hukum Sulaiman ini belum dapat disebut undang-undang
dalam arti yang sebenarnya, bahkan lebih pantas disebut lembaran-lembaran untuk
memudahkan dalam pengaturan administrasi.

Kodifikasi/ kompilasi dan taqnin paling terkenal di dunia Islam dimulai pada masa Turki
Utsmani. Usha ini dirintis melalui sebuah tim yang diketuai Menteri Kehakiman yang
bekerja mulai tahun 1285 H/1869 M sampai 1293 H/1876 M. pada tahun 1877 M berhasil
disusun kitab undang-undang Hukum Perdata yang diberi nama majallaat al-Ahkam al-
Adliyah. Kitab undang-undang yang berisi 16 bab dan 1851 pasal ini diberlakukan di negeri-
negeri yang tunduk pada kekuasaan Turki Usmani seperti Mesir, Irak, Suria, Libia, dan
Tunisia. Kitab hukum tersebut  secara umum diambil dari kitab-kitab madzhab Hanafi. Jika
dalam kitab tersebut ditemukan khilafah antara Abu Hanifah dan pengikutnya, maka
pendapat yang diambil adalah yang dianggap cocok dengan kondisi dan kemaslahatan umum.

Pada masa kekuasan Dinasti Moghul di India juga dihimpun satu aturan hukum yang
disebut Fatawa Alamghirriyah. Alamghirriyah adalah nama yang dinisbatkan kepada sultan
Aurangzeb (1658-1707 M) dari dinasti Moghul. Ketika Inggris menguasai India (tahun 1772
M), terjadi fusi antara hukum Islam yang telah berjalan di India dengan sistem hukum Inggris
sehingga melahirkan istilah Anglo Muhammadan Law (Hukum Inggris Islam). Dalam
praktek, para hakim-hakim Inggris didampingi oleh para mufti untuk menyatakan hukum
Islam yang benar untuk membantu para hakim Inggris tersebut.

Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab.
Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula
dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini merupakan campuran antara
hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri
Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata yang
diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir
mengalami berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak
pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi hukum
Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami perubahan pada
tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani, melakukan kodifikasi
pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai mengkodifikasi hukum Islam pada
tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan
negara-negara Islam lainnya.

Indonesia sejak abad ke-15 M telah banyak berdiri kesultanan Islam dan menjadikan
hukum Islam sebagai aturan negara, meskipun sulit untuk menelusuri bentuk konkrit
peraturan yang diterapkannya. Ketika Indonesia menjadi wilayah belanda, sistem hukum
Belanda banyak mewarnai sistem hukum yang diterapkan di Indonesia sampai kini. Di
Indonesia semangat taqnin telah ada sejak awal pendirian bangsa Indonesia yang ditandai
dari ide untuk memasukkan kewajiban melaksanakan syariat bagi pemeluk agama Islam. Di
era orde baru, sebagain dari hukum Islam diakomodasi oleh pemerintah dengan lahirnya
undang-undang perkawinan (1974), Peraturan pemerintah tentang Wakaf (1977), Undang-
undang peradilan agama (1987), Kompilasi hukum Islam (1991). Di era reformasi,
semangat Taqnin al-Ahkam semakain besar baik melaui undang-undang maupun melalui
peraturan daerah, dan hasilnya beberapa undang-undang maupun peraturan daerah berkenaan
dengan hukum Islam telah lahir.

Sekalipun yang disebutkan di atas hanya sebagian yang berlaku di negara-negara


tersebut, khususnya di bidang hukum keluarga, perlu dicatat bahwa ide Ibnu al-Muqaffa
tentang kodifikasi hukum (taqnin) baru mendapatkan jawaban setelah negara-negara Islam
dijajah oleh Barat. Dalam upaya menghindari pengaruh hukum Eropa, ulama dan pakar
hukum Islam di berbagai negara tersebut berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum Islam,
walaupun tidak meliputi seluruh aspek.    

C. Ide Taqnin Ibn Muqaffa’

Ide taqnin  Ibn Muqaffa’ ini dilatar belakangi oleh keadaan peradilan pada masa itu yang
semrawut (faudha’) dan tidak adanya peraturan yang dapat dijadikan pegangan oleh para
qadhi. Akibatnya tidak ada kodifikasi dan unifikasi hukum, muncullah putusan hakim yang
berbeda-beda, bahkan saling bertentangan mekipun kasusnya sama. Semua keputusan
tergantung pada ijtihad masing-masing qadhi. Putusan qadhi di Kufah menghalalkan,
sedangkan ditempat lain mengharamkan. Sebagai contoh: di Hirah darah dihalalkan
sedangkan di Kufah diharamkan.

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam taqnin tersebut, antara lain untuk
memberikan batasan jelas tentang hukum sehingga mudah disosialisasikan di masyarakat;
dan untuk membantu para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus
yang dihadapi, tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi. Inilah yang mendorong Ibnu al-Muqaffa
sebagai sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul kodifikasi hukum Islam, melalui
bukunya ar-Risalah as-Sahabah.  Dalam buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan
hukum dan subyektifitas hakim di lembaga peradilan dapat dihindari dengan adanya
kodifikasi hukum Islam. Dalam kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa
terkandung usulan agar hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fiqh,
melainkan diplih dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan
kondisi dan kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis berupaya
menghilangkan sikap fanatik mazhab yang merajalela ketika itu.

Dalam hal ini Ibn Muqaffa berkata kepada al-Mansyur, “Yang amat penting diperhatikan
oleh Amirul Mukminin adalah munculnya hasil keputusan para hakim yang saling
bertentangan di berbagai wilayah dinasti Abbasiyah, sekalipun kasusnya yang mereka hadapi
adalah sama. Perbedaan hukum yang dijatuhkan tersebut amat membahayakan jiwa, harta
dan kehormatan manusia. Dalam menghadapi persoalan ini, seyogyanya khalifah mengambil
sikap dengan menghimpun berbagai pendapat fikih yang terkuat dan relevan sebagai hukum
materil yang akan diterapkan oleh seluruh pengadilan. Himpunan hukum yang telah
disatukan ini dijadikan pedoman dan berkekuatan mengikat bagi seluruh hakim di
pengadilan. Untuk itu khalifah perlu menunjuk petugas khusus untuk setiap wilayah yang
akan menghimpun hukum yang lebih sesuai dengan kondisi dan daerah  tersebut serta
menerapkan kaidah-kaidah penerapannya”.

Akan tetapi, ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan bertaklid di
pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka keterpakuan pada hukum yang
telah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain dan pemilihan hukum yang tepat dari
berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula dapat menghindarkan unsur subyektifitas
sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini, pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-
Muqaffa tersebut.

Akan tetapi Imam Malik tidak sependapat dengan khalifah, karena menurutnya masing-
masing wilayah telah mempunyai aliran tersendiri, seperti penduduk irak yang tidak mungkin
sependapat dengan pendapat Malik. Tetapi, khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam
Malik bahwa kitab yang akan disusun itu akan diberlakukan si seluruh wilayah Abbasiyah
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi
Imam Malik untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk
memenuhi permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta. 
Sesuai dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad bin al-
Mahdi, utusan khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, buku al-Muwatta’ ini
merupakan bentuk kodifikasi fiqh ketika itu, akan tetapi, sesuai dengan jawaban Imam Malik
diatas, keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang terkandung dalam
kitab al-Muwattha’ dalam menyelesaikan berbagai kasus diberbagai tempat dan budaya,
tidak berjalan mulus.

D. Pandangan Ulama Terhadap Taqnin

Meskipun istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal tersebut bisa
ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim untuk memegang satu
pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan suatu perkara dan tidak boleh
melanggar pendapat tersebut meskipun secara pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri.
Tentang hal ini, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang
dan kedua  membolehkan.

Menurut kelompok pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk


berpegangan pada satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini
merupakan pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali,
seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid Abu
Hanifah. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati pandangan tersebut.

Para ulama yang melarang tersebut mendasarkan pandangan mereka pada beberapa dalil,
seperti ayat: Maka putuskanlah hukum di antara manusia dengan kebenaran (QS. Shad:
26).  Kebenaran tidaklah terbatas pada mazhab tertentu. Terkadang kebenaran justru terdapat
di luar mazhab yang diikuti oleh seorang hakim.  Dengan demikian, pemerintah tidak
berhak melarang masyarakat untuk melaksanakan hasil ijtihadnya agar bisa meringankan
dan memberikan keleluasaan kepada mereka.

Sedangkan menurut kubu kedua, penguasa boleh mewajibkan kepada para hakim atau
aparat penegak hukum untuk memutuskan suatu perkara dengan satu mazhab tertentu.
Pandangan ini dipegang oleh Abu Hanifah, yang kemudian tidak disetujui oleh kedua
muridnya seperti yang diungkapkan di atas. Abu Hanifah beralasan, wewenang untuk
mengadili dibatasi oleh waktu, tempat dan diberikan kepada orang tertentu pula. Jika
penguasa mengangkat seseorang sebagai hakim, maka jabatan itu dibatasi pada tertentu,
tempat, atau masyarakat tertentu. Hal ini karena orang tersebut adalah bertugas sebagai
wakil penguasa. Jika penguasa melarang hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan
berbagai mazhab yang ada, maka hakim pun tidak boleh melakukannya. Ia hanya boleh
memutuskan berdasarkan kitab undang yang telah disahkan penguasa.

Dari uraian di atas, tampaknya pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama yang
diikuti oleh mayoritas para ulama. Sedangkan alasan Abu Hanifah maka ia mungkin bisa
dijawab dengan bahwa jika seorang hakim telah mengetahui persoalan sebenarnya dari
perkara yang ia tangani dan ia juga mengerti hukum Allah dan rasul-Nya, maka ia wajib
mengikuti kebenaran yang ia telah ketahui itu. Betapapun hukum hanyalah milik Allah dan
Rasul-Nya. Inilah yang dimaksud dengan adil (al-adl), dalam ayat Alquran: Dan jika kalian
memutuskan suatu perkara di tengah masyarakat, maka putuskanlah dengan adil  (QS: an-
Nisa: 58).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perbedaan pendapat ulama tentang taqnin al-ahkam disebabkan karena taqnin al-


ahkam adalah sesuatu yang baru, yang tidak dikenal istilah itu pada masa Rasul Saw.,
Sahabat, dan ulama salaf. Pendapat ulama dalam hal ini ada dua, yakni membolehkan dan
melarang.
Ulama yang membolehkan taqnin al-ahkam berpendapat bahwa membuat hukum dalam
suatu undang-undang yang akan diberlakukan untuk seluruh individu dalam satu wilayah
kekuasaan Negara adalah sesuatu yang membawa maslahat. Misalnya keputusan yang
dianggap maslahat oleh Usman ibn Affan ketika mengkodifikasi Alquran dalam satu bahasa
dan kemudian memusnahkan seluruh mushaf selain mushaf yang telah dikodifikasinya
itu. Taqnin al-ahkam  membawa kepastian hukum, meski dalam prakteknya tidak menutup
usaha ijtihad para hakim dalam memutuskan perkara.
Sementara ulama yang tidak membenarkan taqnin al-ahkam menganggap bahwa ini
adalah penyimpangan yang tidak dapat dibenarkan. Argumentasi mereka adalah keharusan
para hakim dalam mencari kebenaran dan keadilan melalui ijtihad pada sumber hukum,
yakni Alquran dan Hadis. Suatu kebenaran dan keadilan tidak bisa merujuk pada suatu
undang-undang saja yang notabenenya merupakan hasil ijtithadi dan membuka peluang
perbedaan ukuran kebenaran itu dalam perspektif dan ijtihad ulama atau hakim. Dengan
menetapkan suatu hukum fiqh dalam format undang-undang maka akan memaksa hakim
untuk mematuhi aturan tersebut dan menutup kesempatan rakyat untuk mengamalkan sesuatu
yang benar atau adil menurut ijtihad mereka. Dengan demikian, taqnin al-ahkam  tidak dapat
dibenarkan menurut pendapat ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru vanH Hoeve, 1996.

Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz 8, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1416 H.

Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Jurisprudence, Pakistan, 1970

Al-Mahamid, Masirah al-Fiqh al-Islami al-Mu’ashir, Jam`iyyah Umm al-Mathabi`, 1422 H.

Bakar ibn Abdullah Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil, Muassasah al-Risalah, 1412 H.

Deddy Ismatullah, Gagasan Peerintahan Modern dalam Konstitusi Madinah, Bandung: Sahifa,
2006.

Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama RI, 1991.

Anda mungkin juga menyukai