Anda di halaman 1dari 19

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

LAPORAN KELOMPOK PRAKTIKUM MK FARMAKOLOGI II

OBAT ANTIINFLAMASI
(KORTIKOSTEROID)

OLEH

KELOMPOK II (DUA)

ANGGOTA : 1. AHMAD ALWI DEU

2. FAHRUDIN PATEDA

3. GHAITSA ZAHIRA SOPHA YUSUF

4. MISRA YENO

5. SILVIA A. IBRAHIM

6. YULAN HUSAIN

PEMBIMBING : SUKMAWATI A. DAMITI, S.Farm, M.Farm, Apt, Klin.

PRODI D3 FARMASI
JURUSAN FARMASI
POLTEKKES KEMENKES GORONTALO
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh
kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol
respon inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting
pada metabolism karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid
memiliki efek kuat terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit (Katzung,
2012; Gilman, 2012; Johan, 2015).
Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan karena efek yang
kuat dan reaksi antiinflamasi yang cepat. Kortikosteroid banyak digunakan
untuk tatalaksana penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA) dan
systemic lupus erythematosus (SLE). Kortikosteroid juga diresepkan dalam
berbagai pengobatan seperti replacement therapy pada penderita insufisiensi
adrenal, supresor sekresi androgen pada congenital adrenal hyperplasia
(CAH), dan terapi kelainan-kelainan non endokrin seperti penyakit ginjal,
infeksi, reaksi transplantasi, alergi, dan lain-lain (Azis, 2006).
Kortikosteroid juga banyak diresepkan untuk penyakit kulit, baik itu
penggunaan topikal maupun sistemik. Penggunaan yang luas dan manfaat
yang banyak, membuat kortikosteroid menjadi obat yang digemari. Selain
memiliki manfaat yang banyak, kortikoseteroid memiliki banyak efek
samping, yaitu sekitar sembilan puluh lima efek samping pengobatan.
Kortikosteroid sering disebut life saving drug karena dalam penggunaanya
sebagai antiinflamasi, kortikosteroid berfungsi sebagai terapi paliatif, yaitu
menghambat gejala saja sedangkan penyebab penyakit masih tetap ada. Hal
ini akhirnya menyebabkan kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai
indikasi, dosis, dan lama pemberian (Suherman & Ascobat, 2005; Azis, 2006;
Guidry et al., 2009; Johan, 2015).
B. Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa mampu membedakan pengobatan obat antiinflamasi
(kortikosteroid)
2. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme obat kortikosteroid lokal
maupun sistemik.
C. Prinsip Percobaan
Pengamatan efek obat kortikosteroid yaitu Prednison, Salep Betason,
Salep Hidrokortison dan Metil prednisolon pada mencit yang diinduksi
dengan Staphylococcus aureus sebagai pemberi infeksi lokal dengan
kegagalan 5%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
1. Definisi Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang
dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas
hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar
hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak
sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan
sistem kekebalan tubuh dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku
(Dorland, 2002).
Kortikostreoid merupakan anti-inflamasi yang bekerja dengan
mekanisme menghambat enzim fosfolipase A2 sehingga akan mencegah
pelepasan asam arakidonat yang memproduksi enzim cyclooxygenase
(COX). Enzim COX inilah yang bertanggung jawab atas pembentukan
prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi dan nyeri (Erlangga,
dkk. 2015).
2. Klasifikasi Kortikosteroid
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas
biologis yang menonjol darinya yaitu glukokortikoid dan mineral
kortikoid. Glukokortikoid yang digunakan secara sistemik diklasifikasikan
sebagai kerja pendek, kerja menengah dan kerja panjang berdasarkan
durasi penindasan ACTH (Axelrod, 2006).
Glukokortikoid memiliki perbedaan potensi relatif dibandingkan
dengan potensi mineralkortikoid (Brunton, 2006).

a. Glukokortikoid
Glukokortikoid berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat,
lemak, protein dan juga bersifat antiinflamasi dengan cara menghambat
pelepasan fosfolipid, serta dapat menurunkan kerja eosinophil, contoh
dari glukokortikoid adalah kortisol (Katzung, 2012).
b. Mineral kortikoid
Mekanisme kerja minerokortikoid secara umum berhubungan dengan
metabolisme elektrolit dan air. Hormon ini memelihara fungsi ginjal
dengan mengatur pemasukan ion natrium dan pengeluaran ion kalium
pada tingkat jaringan. Sedangkan pada tingkat molekul, hormone
berinteraksi membentuk kompleks terpulihkan dengan reseptor khas
yang terdapat pada bagian inti ginjal. Pembentukan kompleks tersebut
meransang system RNA dan enzim yang diperlukan untuk
pengangkutan aktif ion Na, sehingga menimbulkan efek
mineralokortikoid yakni peningkatan pemasukan ion natrium dan
pengeluaran ion kalium. Hormon mineralkortikoid yang di produksi
dalam tubuh yaitu aldosterone, deoksikortikosteron dan fluodrokortison
(Siswandono, 2008).
3. Fisiofarmakologi
Glukokortikoid mempunyai dampak pada seluruh sel dalam tubuh
melalui berbagai cara. Efek farmakologi glukokortikoid lebih bervariasi
dibanding efek fisiologi dan bergantung pada tipe dan dosis glukokortikoid
yang digunakan. Sejumlah kecil kortikosteroid, 0,5-1 mg/kg perhari
hydrocortisone, diperlukan untuk memberikan efek fisiologi normal dari
hari ke hari pada anjing yang tidak stress untuk mempertahankan distribusi
air tubuh, aktifitas otak, dan kekuatan otot jantung dan otot alat gerak
(Triakoso, 2008).
a. Metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
Glukokortikoid akan meningkatkan glukosa darah melalui
glukoneogenesis dan insulin anatagonisme. Glukokortikoid akan
menginduksi sintesis enzim-enzim hepar seperti glukosa-6-fosfatase
yang mengkatalisis sintesis glukosa. Begitu glukosa darah meningkat,
akan timbul sekresi insulin sebagai kompensasi. Glukokortikoid juga
mendorong sintesis glikogen hepar. Pada defisiensi glukokortikoid,
kekurangan makanan akan menimbulkan kehilangan glikogen, dan
meningkatkan potensi hipoglisemia. Glukokortikoid juga mendorong
glukoneogensis melalui mobilisasi asam amino dari jaringan perifer dan
memfasilitasi pembongkaran trigliserida pada jaringan lemak. Efek
protelisis dan lipolisis ini akan meningkatkan asam lemak dan asam
amino, yang mana kedua substrat tersebut merupakan bahan glikogen
hepar (Triaksono, 2008).
b. Distribusi air dan elektrolit
Kortisol dan beberapa glukokortikoid sintetik lain mempunyai efek
mineralokortikoid yang mana mendorong retensi natrium, eksresi
kalium dan ekspansi volume cairan ekstraseluler. Terapi glukokortikoid
akan menyebabkan diuresis melalui peningkatan glumerular filtration
rate (GFR), menghambat aksi antidiuretik hormone (ADH) pada
tubulus renalis dan meningkatkan inaktivasi ADH (Triaksono, 2008).
c. Efek pada tubuh
Kadar fisiologis dari glukokortikoid dibutuhkan dalam
mempertahankan hampir seluruh sistem tubuh. Banyak pengaruh-
pengaruh pada tubuh yang diakibatkan pemberian glukokortikoid dan
berpengaruh pada peningkatan dosis secara langsung, potensi dan
durasi treatment. Pada saluran pencernaan, glukokortikoid
menyebabkan peningkatan asm lambung dan sekresi pepsin serta
merangsang sekresi pancreas. Vakuolisasi hepatosit dan induksi
isoenzim alkalin fosfatase juga berhubungan dengan pemberian
glukokortikoid pada anjing. Pemberian glukokortikoid juga berdampak
pada system musculoskeletal, menyebabkan kelemahan muskulus dan
atrofi. Interferensi dengan pelepasan growth hormone akan
menyebabkan menurunnya pertumbuhan fibrocartilage dan menurunkan
matrik tulang. Dosis farmakologi berpengaruh pada sistem endokrin.
Hormon lain yang dipengaruhi adalah TSH, GH, FSH, LH dan
prolactin. Glukokortikoid juga mempunyai efek secara signifikan pada
sistem hematology dan imun. Glukokortikoid akan merangsang
produksi sel darah merah dan meningkatkan platelet dalam sirkulasi,
namun menekan platelet agregasi. Glukokortikoid eksogen
meningkatkan netrofil sirkulasi danmenurunkan limfosit, eosinofil dan
basofil (Triaksono, 2008).
d. Fungsi Antiinflamasi dan imunosupresif
Dosis farmakologi glukokortikoid akan menyebabkan limfopenia. Pada
hewan sangat sensitive terhadap steroid (tikus, mencit dan kelinci) akan
terjadi limfolisis. Sedang pada hewan yang tahan terhadap steroid
(kuda, sapi, anjing dan kucing, termasuk manusia) lisis pada limfosit
normal tidak terjadi. Perkeculaian terjadi pada limfosit neoplastik. Pada
hewan yang tahan steroid, glukokortikoid akan menyebabkan
redistribusi limfosit ke daerah ekstravaskular. Sel T lebih kena dampak
dibanding sel B. Penurunan limfosit dalam sirkulasi juga berdampak
pada respon atau reaksi inflamasi dan imunologi. Glukokortikoid punya
efek pada sel B secara tidak langsung melalui modulasi sel-sel asesoris.
Asam arakidonat yang berperan penting dalam proses inflasi juga
dipengaruhi oleh glukokortikoid. Lipomodulin adalah anti inflamasi
protein yang penting diinduksi oleh interaksi steroid-reseptor-nuclear,
menghambat fosfolipasi A2 yang secara normal mengkonversi
membrane fosfolipid menjadi asam arakidonat (AA). AA adalah
prekursor mediator inflamasi yang poten, baik pada jalur
siklooksigenase dan lipooksigenase, seperti prostaglandin, prostasiklin,
tromboksan, leukotrien. Glukokortikoid adalah terapeutik agen yang
menghambat kedua jalur inflamasi AA (Triakoso, 2008).
B. Uraian Bahan
1. Aquadest (Depkes, 1979)
Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama lain : Air suling, Aquadest
RM/BM : H2O/18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berbau; tidak mempunyai rasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
2. Betametason (Depkes, 1995; MMN, 2017; Gupta, 2008)
Nama resmi : BETAMETHASONUM
Nama lain : Betametason
RM/BM : C22H125FO5/392,47
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih, tidak
berbau
Kelarutan : Tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam aseton,
dalam etanol, dalam dioksan dan dalam metanol,
sangat sukar larut dalam kloroform dan dalam eter
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Indikasi : Supresi inflamasi dan gangguan alergi; hyperplasia
adrenal congenital. Supresi inflamasi pada kulit dan
mata (sediaan topikal)
Kontra-indikasi : Diabetes melitus, tukak peptik/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskular lainnya
Efek samping : Jika dilakukan penghentian obat secara tiba-tiba
setelah penggunaan yang lama maka dapat
menyebabkan insufisiensi akut dengan gejala
demam, mialgia, atralgia dan malaise
Dosis : Oral (Dosis dewasa: Dosis umum 0,5-5 mg/hari).
Topikal (Cream 3-4 kali sehari)
Sediaan : Tablet 0,5 mg; Ampul 4 mg/ml: Celestone; Cream
Betason 5 gr
Kat. Kehamilan : C, D jika diberikan pada kehamilan trimester 1
Durasi : 36-72 jam
3. Hidrokortison (Depkes, 1995; MMN, 2017; Gupta, 2008)
Nama resmi : HYDROCORTISONI
Nama lain : Hidrokortison
RM/BM : C21H30O5/362,47
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai praktis putih, tidak
berbau
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, dalam eter, agak sukar
larut dalam aseton dan dalam etanol, sukar larut
dalam kloroform
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Indikasi : Mengurangi gejala inflamasi dan manifestasi piuritik
pada dermatosis yang bersifat responsive terhadap
kortikosteroid
Kontra-indikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap hidrokortison
Efek samping : Rasa terbakar, gatal, iritasi, kulit kering, folikulitis,
hipertrikosis, erupsi akneiform
Dosis : Oral (Dewasa: 20-30 mg/hari dibagi menjadi dua
dosis. Anak-anak: 400-800 mkg/hari dibagi menjadi
2-3 dosis). Topikal (Dewasa 0,1-2,5% pada daerah
yang terkena dermatosis)
Sediaan : Oral, Topikal, Injeksi
Durasi : 8-12 jam
4. Metilprednisolon Asetat (Depkes, 1995; MMN, 2017; Gupta, 2008)
Nama resmi : METHYLPREDNISOLONI ACETAS
Nama lain : Metilprednisolon Asetat
RM/BM : C24H32O6/416,51
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau praktis putih, tidak berbau
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam dioksan,
agak sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dalam
kloroform dan dalam metanol, sukar larut dalam eter
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya
Indikasi : Sebagai anti inflamasi atau imunosupresi pada
beberapa penyakit hematologi, alergi, inflamasi,
neoplasma maupun autoimun
Kontra-indikasi : Diabetes melitus, tukak peptik/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskular lainnya
Efek samping : Jika dilakukan penghentian obat secara tiba-tiba
setelah penggunaan yang lama maka dapat
menyebabkan insufisiensi akut dengan gejala
demam, mialgia, atralgia dan malaise
Dosis : Dewasa (4-48 mg/hari dalam dosis terbagi). Anak
(Per oral, IV dan IM yaitu 0,5-1,7 mg/kgBB/hari
diberikan dalam dosis terbagi
Sediaan : Tablet, Vial
Kat. Kehamilan :C
Durasi : 8-12 jam
5. Prednison (Depkes, 1995; MMN, 2017; Gupta, 2008)
Nama resmi : PREDNISONUM
Nama lain : Prednison
RM/BM : C21H26O5/358,43
Pemerian : Serbuk hablur putih atau praktis putih, tidak berbau
Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam
etanol, dalam kloroform, dalam dioksan dan dalam
metanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Indikasi : Terapi insufisiensi adrenokortikal; digunakan untuk
memperoleh efek anti inflamasi atau imunosupresan
Kontra-indikasi : Diabetes melitus, tukak peptik/duodenum, infeksi
berat, hipertensi atau gangguan sistem
kardiovaskular lainnya
Efek samping : Jika dilakukan penghentian obat secara tiba-tiba
setelah penggunaan yang lama maka dapat
menyebabkan insufisiensi akut dengan gejala
demam, mialgia, atralgia dan malaise
Dosis : Dewasa (5-20 mg/hari. Dosis harus diturunkan
secara bertahap hingga dosis efektif terendah). Anak
(sebagai antiinflamasi dan imunosupresif: 0,05-2
mg/kgBB/hari dibagi 1-4 kali per hari
Sediaan : Tablet
Kat. Kehamilan : C, D jika diberikan pada kehamilan trimester 1
Durasi : 8-12 jam
6. Staphylococcus aureus (Madigan, 2008)
Superdomain : Biota
Superkerajaan : Prokaryota
Kerajaan : Bacteria
Upakerajaan : Posibacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus.
Kegunaan : Penginduksi
C. Uraian Hewan
Mencit (Mus musculus)

Taksonomi mencit (Mus musculus) (Kusumawati, 2004):


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya: (Tim Penyusun
Farmasi, 2019):
Lama hidup : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis: 9 bulan
Lama bunting : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak : 1-24 jam
Umur disapih : 21 hari
Umur dewasa : 35 hari
Umur dikawinkan : 8 minggu
Siklus kelamin : Poliestrus
Perkawinan : Pada waktu estrus
Berat dewasa : 20-40 gram (jantan) dan 18-35 gram (betina).

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Alu
b. Lumpang
c. Micrometer digital
2. Bahan
a. Aquadest
b. Disposable 1cc
c. Kapas
d. Kanula
e. Lap halus
f. Methhyprednison 4mg
g. Prednison
h. Salep betametason
i. Salep hydrocortisone
j. Staphylococcus aureus
B. Hewan Coba
Mencit (Mus musculus)
C. Cara Kerja
1. Mengaklimasi mencit selama 14 hari
2. Masing masing mencit mendapat injeksi S.Aureus 9x10,0 ul.
3. Setelah terjadi infeksi local dengan kegagalan 5% maka hewan uji diberi
terapi
4. Pemberian prednisone tablet pada hewan uji kelompok 1
5. Pemberian betametason salep pada hewan uji kelompok 2
6. Pemberian hydrocortisone salep pada hewan uji kelompok 3
7. Pemberian methylprednisolone tablet pada hewan uji kelompok 4
8. Dilakukan pengamatan setelah diberi terapi.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada praktikum yang dilakukan ini yaitu tentang kortikosteroid.
Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar
adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon
inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid
dan mineralkortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme
karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralkortikoid memiliki efek kuat
terhadap kesetimbangan cairan dan elektrolit (Katzung, 2012).
Pada praktikum ini menggunakan obat dengan jenis pemberian yang
berbeda yaitu peroral dan pertopikal. Menurut Maya (2016), pemberian obat
secara topikal dapat meningkatkan bioavaibilitas dan efikasi obat dengan
menghindari first-pass elimination pada hati. Keuntungan efek lokal yang
diinginkan juga dapat dicapai dengan penggunaan obat antiinflamasi topikal.
Keefektifan obat secara sistemik dari pengobatan secara topikal bergantung pada
kemampuan penetrasi obat ke dalam kulit serta kemampuan untuk memasuki
sirkulasi atau diabsorbsi ke dalam jaringan yang lebih dalam untuk menghambat
siklooksigenase (Gunani, 2009).
Dalam praktikum ini kami menggunakan hewan coba mencit yang telah
diaklimasi 14 hari dan kemudian diinduksi dengan bakteri Staphylococcus aureus
sebanyak 9x10,0 μL. Tujuan penginduksian ini karena S.aureus merupakan
bakteri patogen gram positif yang bersifat invasif dan mampu menyebabkan
penyakit pada hewan dan manusia. Pada manusia, S.aureus dapat berperan
sebagai agen pada berbagai penyalit termasuk infeksi kulit, ases, pneumonia,
endokarditis, meningitis dan sepsis. Tanda-tanda infeksi adalah rubor
(kemerahan), calor (panas), tumor (bengkak) dan dolor (nyeri) (Jawetz, 2005;
Septiari, 2012).
Pada perlakuan pertama diberi prednisone tablet. Prednison adalah obat
golongan kortikosteroid dengan mekanisme kerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran
plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan
reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks
reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang kan
menghasilkan efek fisiologik steroid (Maulyani, 2017).
Perlakuan kedua diberi betametason salep. Betametason adalah obat
kortikosteroid yang mengandung fluor, mempunyai daya kerja yang besar.
Betametason dalam bentuk krim biasanya merupakan senyawa betametason
valerat. Indikasi dari krim ini adalah alergi dan peradangan lokal. Penggobatan
dilakukan dengan mengoleskan tipis pada kulit 2-3 kali sehari (Sartono, 1996).
Adapun mekanisme kerja dari betametasone yaitu mengontrol atau mencegah
peradangan dengan mengontrol laju sintesis protein, menekan migrasi PMN dan
fibroblas, membalikkan permeabilitas kapiler dan menstabilkan lisosom pada
tingkat sel (Medscape, 2020).
Perlakuan ketiga diberi hydrokortison salep. Hidrokortison asetat adalah
golongan kortikosteroid yang mempunyai daya kerja antialergi dan antiradang.
Kortikosteroid bekerja dengan cara mencegah reaksi alergi, mengurangi
peradangan, dan menghambat sel epidermis. Mekanisme hidrokortison adalah
menyebabkan vasokonstriksi bila diterapkan langsung ke kulit, kemungkinan
dengan menekan degranulasi sel mast dan juga menurunkan permeabilitas kapiler
dengan mengurangi jumlah histamin yang dilepaskan oleh basofil dan sel mast.
Hidrokortison mempengaruhi respons inflamasi dengan menghambat fosfolipase
A2 sehingga mengurangi sintesis asam arakidonat, prekursor prostaglandin dan
leukotrien, dan faktor pengaktifan platelet, dimana prostaglandin merupakan
mediator nyeri, mediator inflamasi. Sifat kelarutan hidrokortison asetat adalah
praktis tidak larut dalam air dan bersifat lipofil (Jafar, 2019).
Perlakuan terakhir yatu diberi methylprendisolon tablet. Metilprednisolon
diindikasikan untuk penekanan inflamasi dan kelainan hipersensitivitas, inflamasi
bowel parah, edema serebral disertai dengan keganasan, rematik, dan inflamasi
kulit. Dosis metil-prednisolon untuk indikasi tersebut adalah 2-40 mg/hari secara
peroral, sedangkan dosis dengan pemberian secara intramuskular, intravena
lambat atau infus adalah 10-500 mg/hari. Metilprednisolon mempunyai waktu
paruh 18-36 jam dan dapat mencapai kadar plasma puncak (Cp max) dalam waktu
minimal 1,1-2,2 jam (Triasari, 2017).
Dalam hal ini, obat antiinflamasi sediaan topikal lebih berefektif yaitu
hydrocortisone dan betametasone dibandingakan dengan sediaan oral yaitu
prednisone dan methylprednisone. Tetapi dari kedua obat ini methylprednisone
lebih efektif karena memiliki onset 1-2 jam sedangkan prednisone belum
diketahui onsetnya secara pasti (Medscape).
Perbandingan efektifitas obat topikal hydrocortisone dan betametasone.
Lebih efektif hydrocortisone karena memiliki waktu pendek untuk mencapai
diabsorbsi yaitu 8-12 jam sedangkan betametasone memiliki waktu panjang untuk
mengabsorbsi yaitu 36-72 jam. Tetapi tergantung juga dri formulasi, integritas
epidermal dan penggunaan pembalut oklusif (Axelrod, 2006; Medscape)

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Obat antiinflamasi sediaan topikal lebih berefektif yaitu hydrocortisone
dan betametasone dibandingakan dengan sediaan oral yaitu prednisone
dan methylprednisone. Untuk sediaan topikal antara hydrocorticone dan
betametasone lebih berefektif hydrocortisone dibandingkan dengan
betametason.
2. Mekanisme kortikosteroid secara local yaitu menyebabkan vasokonstriksi
bila diterapkan langsung ke kulit, kemungkinan dengan menekan
degranulasi sel mast dan juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan
mengurangi jumlah histamin yang dilepaskan oleh basofil dan sel mast.
Sedangkan yang sistemik yaitu mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi
pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor
protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks
reseptor-steroid.
B. Saran
Sebaiknya praktikum dilakukan dengan benar agar lebih dimengerti.

DAFTAR PUSTAKA
Axelrod L, 2006. Glucocorticoid therapy. In DeGroot LJ, Jemeson JL, de Kretser
D, Grossman AB, Marshall JC, Melmed S et al eds. Endocrinology, 5th ed.
Elsevier Saunders. Philadelphia.
Aziz. A.H. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.
Brunton LL, et al. 2006. Goodman and Gilman’s The Pharmacological basis of
Therapeutics, 11th ed. The McGraw-Hill Companies. USA.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Dirjen POM. Jakarta.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Dirjen POM. Jakarta.
Dorland, W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta.
Erlangga, dkk. 2015. Perbandingan Pemberian Deksametason 10 mg dengan 15
mg Intravena sebagai Adjuvan Analgetik terhadap Skala Nyeri Pascabedah
pada Pasien yang Dilakukan Radikal Mastektomi Termodifikasi. Jurnal
Anestesi Perioperatif, Volume 3 Nomor 3.
Goodman & Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10. Diterjemahkan
Oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
Guidry et al., 2009. Corticosteroid Side-Effect and Risk for Bleeding in Immune
Thrombocytopenic Purpura. Patient and Hematologist Perspectives
European Journal of Hematology 83: 176-82.
Gunani, S. B., 2009, Uji Daya Antiinflamasi Krim Tipe A/M Ekstrak Etanolik
Jahe 10% (Zingiberofficinale Roscoe) yang Diberikan Topikal Terhadap
Udem Kaki Tikus yang Diinduksi Karagenin. LaporanPenelitian.
Surakarta.
Gupta dan Bhatia, 2008. CORTICOSTEROID Physiology and Principles of
Therapy. Indian Journal of Pediatrics. Vol 75.
Jafar, dkk. 2019. Pengembangan Formula Solid Lipid Nanoparticles (SLN)
Hidrokortison Asetat. Jurnal Pharmascience. Vol. 06. No.01.
Jawetz, E. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta. EGC.
Johan. 2015. Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang tepat. Jurnal Continuing
Professional Development 42 (4) : 308-12.
Katzung, G.B. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik; penerjemah dan editor:
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Edisi 10.
Salemba Medika. Jakarta.
Kusumawati, D. 2014. Bersahabat dengan Hewan Coba. UGM Press.
Yogyakarta.
Madigan, et al. 2008. Biology of Microorganisms 12th edition. Pearson. San
Francisco.
Medical Mini Notes. 2017. Basic Pharmacology and Drug Notes. MMN
Publishing. Makkasar.
Maulyani, 2017. Analisis Prenisolone Dalam Jamu Asam Urat Dengan Metode
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Di Kota Purwokerto. Skripsi.
Maya dan Ayuningtyas. 2016. Efek Antiinflamasi Sediaan Krim dan Salep
Senyawa2,5-Bis-(4-Nitrobenzilidin) Siklopentanonpada Edema Mencit
yang Diinduksi Formalin. Journal of Pharmaceutical Science and Clinical
Research, 01, 102-111.
Sartono, 1996. Apa Yang Sebaiknya Anda Ketahui Tentang Obat Wajib
Apotek. Edisi Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Septiari, B. 2012. Infeksi Nosokomial. Penerbit Nuha Medica. Jakarta.
Suherman, SK. Ascobat P. 2005. Farmakologi dan Terapi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Tim Penyusun Farmasi, 2019. Modul Praktikum Farmakologi. Poltekkes
Kemenkes Gorontalo. Gorontalo.
Triakoso, 2008. Penggunaan Kortikosteroid Dan Non Steroid Anti-Inflammatory
Drug’s. Researc Gate.
Triasari, 2017. Penggunaan Metilprednisolon Sebagai Pereda Nyeri Pada Pasien
Nyeri Punggung Bawah Akut Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. Volume 2. No. 3

Anda mungkin juga menyukai