Anda di halaman 1dari 17

MADZAHIB TAFSIR DARI SEGI SUMBER

(Tafsir Al-Ma’tsur, Tafsir Ar-Ra’yi, dan Tafsir At-Tamaddun Al-Islami)

Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Madzahib Tafsir
Dosen pengampu: H. Zulyadain, MA.

Disusun Oleh Kelompok 04:


Muhammad Labibuddin (180601073)

MAHASISWA SEMESTER 5 C
PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

AL-HAMDULILLAHIRABBIL„ALAMIN...

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allaah subhanahu wa ta‟ala karena atas segala
rahmat, karunia, serta hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“MADZAHIB TAFSIR DARI SEGI SUMBER” dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentu penulis tidak akan dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan alam semesta yakni baginda
Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam yang kita nantikan syafa‟atnya di akhirat kelak.
Tak lupa pula penulis menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang bersangkutan,
khususnya kepada bapak H. Zulyadain, MA selaku dosen pengampu Mata Kuliah Madzahib
Tafsir.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, sehingga akan menjadi lebih baik lagi pada
kesempatan berikutnya. Dengan demikian, apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,
kami selaku penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya. Terima kasih.

Mataram, 20 Oktober 2020

Kelompok 4

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


BAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I-PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II-PEMBAHASAN
A. Tafsir Al-Ma‟tsur ............................................................................................ 2
B. Tafsir Ar-Ra‟yi ............................................................................................... 7
C. Tafsir Al-Tamaddun Al-Islami ......................................................................... 11

BAB II-PENUTUP .................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 23

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | ii


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Agama Islam ada dua sumber pokok yang menjadi landasan dari semua
ajaran syari‟ah yang ada, yaitu Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Al-Qur‟an sendiri adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam yang
lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang
diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf.

Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup bagi umat manusia perlu difahami dan dikaji
sedalam-dalamnya. Oleh karena itu lahirlah tafsir, dalam perkembangannya dari masa ke
masa, ilmu tafsir telah menjadi disiplin ilmu yang sangat luas. Dari masa Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam hingga saat ini kajian tafsir melahirkan berbagai macam
corak dan metode dalam memahami Al-Qur‟an. Metode dalam penafsiran secara umum
ada empat, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode maudhu‟i, metode muqaran.
Sedangkan corak-corak dalam penafsiran diantaranya yaitu: tafsir bi al-ma‟tsur, tafsir bi
ar-ra‟yi, tafsir fiqhi, tafsir shufi, tafsir „ilmi, tafsir adabi-ijtima‟i, dll.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi, pembagian, kelebihan dan kekurangan tafsir al-ma‟tsur ?
2. Bagaimana definisi, pembagian, kelebihan dan kekurangan, serta pandangan ulama
terhadap tafsir ar-ra‟yi ?
3. Apakah yang dimaksud dengan tafsir at-tamaddun al-Islami ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi, pembagian, kelebihan dan kekurangan tafsir al-ma‟tsur,
2. Untuk mengetahui definisi, pembagian, kelebihan dan kekurangan, serta pandangan
ulama terhadap tafsir ar-ra‟yi,
3. Untuk mengetahui tafsir at-tamaddun al-Islami.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 1


BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir Al-Ma’tsur
1. Definisi Tafsir Al-Ma‟tsur
Secara etimologi, kata al-ma‟tsur adalah isim maf‟ul dari kata atsar yang
berarti jejak, pengaruh, bekasan dan kutipan. Jadi, kata ma‟tsur pada hakikatnya
memiliki makna mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain
atau masa lalu sehingga tinggal mewarisi dan meneruskan apa adanya.
Secara terminologi, menurut az-Zarqani tafsir bi al-ma‟tsur ialah penafsiran
al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, penafsiran al-Qur‟an dengan sunnah Nabi, dan dengan
pendapat para sahabat.1 Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut Manna al-
Qatthan, Husen az-Zahabi dan al-Farmawi tafsir bi al-ma‟tsur adalah penafsiran al-
Qur‟an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur‟an, Rasul, para sahabat, dan
aqwal tabi‟in. 2
Dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma‟tsur (disebut pula bi ar-riwayah dan
an-naql) adalah tafsir yang berdasarkan Al-Qur‟an atau riwayat, yaitu : berdasarkan
hadis Nabi, perkataan sahabat, atau pun dengan pendapat tabiin.
2. Macam-Macam Tafsir Al-Ma‟tsur
Dilihat dari definisi sebelumnya, diketahui bahwa tafsir al-ma‟tsur ada empat
jenis, yaitu :
a. Tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an
Al-Qur‟an dipandangan sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Qur‟an, 3
karena Allah lebih mengetahui maksud dari firman-Nya. Tafsir Al-Qur‟an
dengan AlQur‟an sendiri ada beberapa bentuk, ada yang dalam bentuk
menafsirkan bagian kata tertentu dengan bagian kata lainnya dalam ayat dan
surat yang sama. Ada yang dalam bentuk penafsiran ayat yang satu dengan
ayat yang lain dalam surat yang sama dan ada pula dalam bentuk menafsirkan

1
Syarafuddin, Tafsir bi al-ma‟tsur (Kelemahan Dan Kekurangan Serta Pengembangannya), Jurnal Suhuf Vol. 29
No. 01, 2017, hal. 98.
2
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi), (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hal. 243.
3
Ibid

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 2


ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang berbeda.4 Contoh :
penafsiran Al-Qur‟an dari firman Allah: 5

.....         ...

.....Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan


dibacakan kepadamu..... (QS. Al-Maidah : 1)
Pengecualian makanan pada ayat di atas dijelaskan oleh firman Allah:

....          

diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,


(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.....(QS. Al-
Maidah : 3)

b. Tafsir Al-Qur‟an dengan Sunnah


Rasulullah secara spiritual telah ditunjuk oleh Allah untuk menceerahkan
wahyu kepada manusia. Beliau merupakan mubayyin Al-Qur‟an, sehingga
ketika Rasulullah ditanya tentang suatu ayat, jawaban-jawaban yang beliau
berikan menjadi tafsir yang tepat bagi ayat tersebut. Misalnya ketika beliau
menjelaskan firman Allah:

           

82. orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan


iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. Al-An’am : 82)

4
Syarafuddin, Tafsir bi al-ma‟tsur (Kelemahan Dan Kekurangan Serta Pengembangannya), Jurnal Suhuf Vol. 29
No. 01, 2017, hal. 99.
5
Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufasirun (Medan: Perdana Publishing, 2015), hal. 15.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 3


Ketika ayat ini diturunkan orang-orang mendapat kesulitan dalam
memahami dan menangkap maksudnya. Oleh karena itu, mereka bertanya
kepada Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah
menjelaskan kata “zhulm” dalam ayat tersebut dimaknai syirik, 6 sebagaimana
firman-Nya:

    ....

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar


kezaliman yang besar". (QS. Luqman : 13)

c. Tafsir Al-Qur‟an dengan Perkataan Sahabat


Tafsir ini juga termasuk yang mukmamad (dapat dijadikan pegangan) dan
dapat diterima, karena para sahabat hidup bersama Rasulullah. Mereka
bertemu dan berkumpul bersama Rasulullah, sehingga mendapatkan langsung
dari sumbernya yang asli dan telah menyaksikan turunnya wahyu. Mereka
mempunyai tabi‟at yang murni, fitrah yang lurus dan berkedudukan tinggi
dalam hal kefasihan dan kejelasan dalam berbicara, serta memiliki
kemampuan dalam memahami kalam Allah. Dan hal lain yang ada pada
mereka tentang rahasia-rahasia Al-Qur‟an sudah tentu melebihi orang lain.
Al-Hakim berkata “Kedudukan tafsir sahabat yang menyaksikan wahyu
dan turunnya Al-Qur‟an adalah marfu‟. Tafsir tersebut mempunyai kedudukan
sebagaimana kedudukan hadis Nabi yang silsilahnya sampai kepada Nabi.
Karena itu, tafsir sahabat termasuk ma‟tsur.”7
Misalnya, penafsiran Ibnu Abbas terhadap kandungan surat An-Nashr
dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi. 8
d. Tafsir Al-Qur‟an dengan Pendapat Tabi‟in
Adapaun tentang kedudukan tafsir tabiin, ada perbedaan pendapat.
Mayoritas ulama, seperti Ad-Dahhak bin Al-Mujahim, Abi Al-Aliyyah Ar-
6
Thameem Ushama,Methodologies of The Qur‟anic Exegesis terjem. Oleh Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta: Riora
Cipta, 2000), hal. 7.
7
Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufasirun (Medan: Perdana Publishing, 2015), hal. 16-17.
8
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi), (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hal. 244.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 4


Rayyah, Hasan Basri, dan Ikrimah berpendapat bahwa tafsir tabiin itu
termasuk tafsir ma‟tsur, karena sebagian besar pengambilannya secara umum
mendengar langsung dari sahabat.9
Sedangkan sebagian ulama seperti Ibnu Syaibah dan Ibnu „Aqli
berpendapat berpendapat bahwa tafsir tafsir tabiin itu termasuk tafsir ra‟yu,10
karena dalam menafsirkan Al-Qur‟an mereka juga melakukan ijtihad dan
memberikan interpretasi sendiri terhadap Al-Qur‟an. Di samping itu, berbeda
dengan sahabat, mereka tidak mendengar langsung dari Nabi dan tidak
menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika Al-Qur‟an turun. Sehingga
kedudukannya disamakan dengan kedudukan mufasir selain Nabi dan sahabat,
sebagaimana perkataan Abu Hanifah “apa yang datang dari Rasulullah harus
diterima, apa yang datang dari tabiin, (kita menyikapinya) mereka adalah laki-
laki dan kami pun laki-laki.”
Penafsiran Al-Qur‟an dengan aqwal tabiin, misalnya penafsiran tabiin
terhadap Al-Qur‟an surah Ash-Shaffat ayat 65 dengan sya‟ir „Imr Al-Qays. 11
3. Kelebihan Dan Kelemahan Tafsir Al-Ma‟tsur
Karena merupakan penafsiran yang merujuk pada Al-Qur‟an dan Hadis dapat
dipastikan bahwa tafsir bi al-ma‟tsur memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan
dengan corak penafsiran lainnya. Menurut M. Quraish Shihab, keistimewaannya
antara lain sebagai berikut:
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur‟an,
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-
pesannya,
c. Mengikat mufasir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk
tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan. 12

Selain memiliki keistimewaan, tafsir bi al-ma‟tsur juga memiliki kelemahan-


kelemahan, diantaranya sebagai berikut:

9
Ibid, hal. 245.
10
Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufasirun (Medan: Perdana Publishing, 2015), hal. 17.
11
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi), (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hal. 245.
12
Ibid, hal.247.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 5


a. Adanya pemalsuan dalam penafsiran dan tercampur antara riwayat yang
shahih dengan yang tidak. Pemalsuan tafsir muncul seiring dengan
pemalsuan hadis Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Pada dasarnya,
antara periwayatan tafsir dan hadis tidak bisa dipisahkan, karena sebagian
dari materi riwayat adalah materi tafsir. Pemalsuan hadis sendiri
disebabkan oleh perselisihan umat Islam di bidang politik yang
menghasilkan terpecahnya umat menjadi beberapa golongan, seperti
golongan syi‟ah dan khawarij. Imbasnya, terdapat fanatisme madzhab,
politik atau pun orang-orang yang menjual agama demi harta, yang mana
ikut andil dalam menjelaskan dan menyiar ajaran Islam. Oleh karena itu,
tidak dapat dihindari bahwa terjadi percampuran antara riwayat yang
shahih dengan riwayat yang dha‟if.
b. Masuknya israiliyat dalam penafsiran, Di antara umat Islam terdapat
orang-orang yang dulunya beragama Yahudi dan Nasrani, yang mana
tatkala mereka membaca ayat Al-Quran yang menceritakan tentang kaum
Yahudi dan Nasrani, mereka menjelaskan ayat-ayat tersebut dengan
pengetahuan yang didasari kepada budaya mereka. Dan Rasulullah
sendiri menyuruh untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan
berita yang datang dari ahli kitab. Ulama membagi israiliyat kepada tiga,
yaitu israiliyat yang sejalan dengan Islam, israiliyat yang tidak sejalan
dengan Islam, serta israiliyat yang tidak termasuk keduanya. Israiliyat
yang sejalan dengan Islam tidak memberi dampak terhadap Islam,
sedangkan israiliyat yang tidak sejalan dengan Islam inilah yang
menjatuhkan posisi tafsir bi al-ma‟tsur dan menjadi kontroversi di
kalangan ulama.
c. Penghilangan sanad, eksistensi sanad yang menjadi salah satu kualifikasi
keakuratan sebuah riwayat, pada sebagian tafsir bi al-ma‟tsur tidak
ditemukan lagi. Hal ini menyebabkan penilaian terhadap suatu riwayat

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 6


sulit dilakukan sehingga sulit untuk mengetahui mana riwayat yang
shahih dan dha‟if, 13
d. Terjerumusnya sang mufasir ke dalam urusan kebahasaan dan kesastraan
yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-Qur‟an menjadi kabur,
e. Sering konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat
hukum yang difahami dari uraian (nasikh-mansukh) hampir dapat
dikatakan terabaikan.14

B. Tafsir Ar-Ra’yi
1. Definisi Tafsir Ar-Ra‟yi
Secara semantik, ar-ra‟yu berarti keyakinan, analogi (qiyas), dan akal. Ar-
ra‟yu identik juga dengan ijtihad. Oleh karena itu, para pakar ilmu tafsir menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi ar-ra‟yi adalah menyingkap isi kandungan Al-
Qur‟an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal. 15
Menurut Husen Adz-Dzahabi, tafsir bi ar-ra‟yi (disebut juga tafsir bi ad-
dirayah) adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran
mufasir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil
hukum yang ditunjukan, serta problema penafsiran seperti asbabun nuzul, nasikh-
mansukh, dan sebagainya. Adapun menurut Al-Farmawi, tafsir bi ar-ra‟yi adalah
menafsirkan Al-Qur‟an dengan ijtihad setelah mufasir yang bersangkutan mengetahui
metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata
Arab beserta muatan artinya.
2. Macam-Macam Tafsir Ar-Ra‟yi
Tafsir bi ar-ra‟yi dibagi menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:
a. Tafsir bi Ar-Ra‟yi Al-Mahmud (Terpuji)
Tafsir yang terpuji adalah tafsir Al-Qur‟an yang didasarkan dari ijtihad
yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai dengan
peraturan bahasa Arab, dan menggunakan metodologi yang tepat dan benar

13
Jani Rani, Kelemahan-Kelemahan Dalam Manahij Al-Mufassirin, Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII No. 02, 2012,
hal. 168-169.
14
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi), (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hal. 250.
15
Muhammad Sofyan, Tafsir Wal Mufasirun (Medan: Perdana Publishing, 2015), hal. 2-3.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 7


dalam memahami Al-Qur‟an. 16 Ciri-ciri dari penafsiran ar-ra‟yi yang terpuji
diantaranya yaitu: sesuai dengan syari‟at, jauh atau terhindar dari kesesatan,
dibangun atas dasar kaidah bahasa Arab yang benar dengan memperhatikan
uslub-nya dalam memahami nash-nash Al-Qur‟an, dan memperhatikan
kaidah penafsiran yang sangat penting seperti memperhatikan asbabnun
nuzul, ilmu munasabah, ilmu qira‟at dan sebagainya. 17
b. Tafsir bi Ar-Ra‟yi Al-Madzmum (Tercela)
Tafsir yang tercela adalah tafsir Al-Qur‟an tanpa dibarengi dengan
pengetahuan yang benar, yaitu tafsir yang didasarkan hanya kepada keinginan
seseorang dengan mengabaikan peraturan dan persyaratan tata bahasa serta
kaidah-kaidah hukum Islam. 18 Ciri-ciri dari penafsiran ar-ra‟yi yang tercela
diantaranya yaitu: mufasirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai,
tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan, menafsirkan semata-mata
dengan mengandalkan kecendrungan hawa nafsu, mengabaikan aturan-aturan
bahasa dan syari‟ah sehingga penafsirannya menjadi menyesatkan.19 Contoh
tafsir madzmumah, salah satunya penafsiran sebagian mufasir terhadap surah
An-Nahl ayat 68:

             

68. dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-


sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia",

16
Thameem Ushama,Methodologies of The Qur‟anic Exegesis terjem. Oleh Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta:
Riora Cipta, 2000), hal. 15.
17
Rendi Fitra Yana dkk, Tafsir Bil Ra‟yi, Jurnal Pena Cendikia Vol. 01 No. 01, 2020, hal. 3.
18
Thameem Ushama,Methodologies of The Qur‟anic Exegesis terjem. Oleh Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta:
Riora Cipta, 2000), hal. 15.
19
Rendi Fitra Yana dkk, Tafsir Bil Ra‟yi, Jurnal Pena Cendikia Vol. 01 No. 01, 2020, hal. 3.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 8


Mereka berpendapat bahwa diantara lebah-lebah itu ada yang diangkat
sebagai nabi-nabi yang diberi wahyu oleh Allah, dan mereka mengemukakan
cerita dusta tentang kenabian lebah. 20

3. Pandangan Ulama Terhadap Tafsir Ar-Ra‟yi


Para ulama sejak dahulu berbeda pandangan terkait boleh tidaknya penafsiran
dengan ra‟yu. Sebagian berpendapat bahwa penafsiran dengan ra‟yu tidak boleh
dilakukan meski penafsir memiliki kualifikasi dan perangkat keilmuan yang
mencukupi yang dibutuhkan oleh seorang penafsir al-Qur‟an. Mereka tidak
memperbolehkan tafsir bi ar-ra‟yi dengan dalil dan alasan sebagai berikut:
a. Menafsirkan Al-Qur‟an dengan menggunakan ra‟yu berarti menjelaskan
apa yang dimaksudkan oleh Allah subhanahu wa ta‟ala tanpa didasarkan
pada ilmu, dan penjelasan yang tanpa ilmu semacam itu terlarang,
sehingga tafsir bi al-ra‟y adalah juga terlarang.
b. Sesungguhnya Allah sudah menyampaikan firman-Nya kepada Nabi
Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam, sehingga yang berhak
menjelaskan Al-Qur‟an adalah Nabi sendiri.
c. Mereka mengatakan bahwa telah disebut dalam hadis Nabi bahwa:
“barang siapa mengatakan sesuatu tentang Al-Qur‟an dengan
pendapatnya sendiri maka tempatnya adalah di neraka” (HR. Tirmidzi
dan Abu Dawud). Selain itu ada juga hadis terkait yang diriwayatkan at-
Tirmidzi dan Abu Dawud dari Jundub bahwa ia mengatakan: Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: “barang siapa mengatakan
sesuatu tentang Al-Qur‟an dengan ra‟yinya, meskipun perkataan itu
benar, tetapi tetap saja ia salah”.
d. Mereka juga mengatakan, bahwa ada atsar yang berasal dari para Sahabat
dan Tabi'in yang menunjukkan bahwa para salafushalih mengagungkan
tafsir Al-Qur‟an tetapi mereka menjauhkan diri dari perkataan-perkataan
yang bersumber dari pandangan atau pikiran mereka sendiri.

20
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi), (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hal. 256.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 9


Dan sebagian ulama yang lain berpendapat sebaliknya, bahwa penafsiran
dengan ijtihad boleh dilakukan oleh siapa saja yang telah memiliki kualifikasi
keilmuan dan perangkat ilmu yang dibutuhkan oleh seorang penafsir. Mereka
membolehkan tafsir bi ar-ra‟yi dengan alasan sebagai berikut:
a. banyak ayat dalam al-Qur‟an yang menunjukkan bahwa menafsirkan
alQur‟an bi ar-ra‟yi itu boleh bagi yang memang ahli dalam bidang itu, di
antaranya adalah firman Allah: “Maka tidakkah mereka menghayati Al-
Qur‟an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad : 24)
b. Jika tafsir bi ar-ra‟yi dilarang, maka ijtihad itu sendiri juga akan terlarang,
sebab banyak hukum yang akan menjadi sia-sia dan tak terjamah
mengingat hukum itu sendiri digali dengan cara ijtihad. Oleh sebab itu,
pelarangan tafsir ijtihad itu sendiri jelas-jelas keliru, sebab pintu ijtihad
masih selalu terbuka hingga hari ini, dan siapa saja yang berijtihad tetap
akan mendapatkan pahala. Selain itu, Nabi Muhammad shallallahu „alaihi
wa sallam sendiri pun belum memberikan penafsiran Al-Qur‟an secara
keseluruhan.
c. Sesungguhnya para Sahabat pun juga melakukan penafsiran terhadap Al-
Qur‟an dengan pikiran mereka sendiri. Dalam memahami ayat-ayat Al-
Qur‟an, mereka juga saling berbeda pendapat satu dengan yang lain.
d. Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam pernah
memanggil Sahabat Ibnu Abbas, kemudian menyampaikan doanya khusus
baginya: “Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama dan
anugerahkanlah kepadanya penakwilan.”21
4. Kelebihan Dan Kelemahan Tafsir Ar-Ra‟yi
Tafsir bi ar-ra‟yi memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya terletak pada kemungkinan mufasir dapat menafsirkan seluruh
komponen ayat Al-Qur‟an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga dengan tafsir bi ar-ra‟yi memungkin untuk
menjelaskan ayat-ayat yang sebelumnya difahami secara sempit, menjadi luas dan

21
Muhammad Husain Al-Dzahabi, „Ilmu Tafsir terjem. Oleh M Nur Prabowo (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press),
hal. 60-64.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 10


dinamis. Sedangkan kelemahannya ialah terletak pada kemungkinan penafsiran yang
dipaksakan, subjektif, dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara
pendekatan ilmiah yang sesunguhnya dengan kecendrungan subjektifitas mufasir. 22

C. Tafsir Al-Tamaddun Al-Islami (Tafsir Modernis)


Semenjak masa khulafa‟ ar-rasyidin sosio-kultural umat Islam berkembang ke
dalam kondisi yang berbeda dengan zaman Nabi. Perkembangan dan perubahan itu
berjalan terus seiring dengan perkembangan dan pergantian zaman, terutama ketika
peradaban dunia menginjak setengah abad ke-20. Setelah bersentuhan dengan peradaban
menjadi lebih intesif, terutama setelah munculnya sejumlah problematika akibat
hellenisme. banyak persoalan umat Islam yang tidak dapat diselesaikan oleh akrya-karya
tafsir klasik. Oleh karena itu, para mufasir menyadari bahwa tafsir pada hakikatnya
merupakan upaya untuk mempertemukan tekas Al-Qur‟an dengan kondisi zaman yang
dihadapinya. 23 Tafsir at-tamaddun al-Islami ialah aliran tafsir yang berperadaban Islam,
yang mana dapat dikategorikan menjadi beberapa corak penafsiran, di antaranya sebagai
berikut:

1. Tafsir Ilmi
Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa tafsir bi al-„ilmi adalah tafsîr yang
menerapkan beberapa istilah ilmiah terhadap teks-teks Al-Qur‟an dan
berusaha untuk mengekspresikan bermacam-macam ilmu pengetahuan
(termasuk non sains) dan ide-ide filosofis yang terkandung di dalamnya.
Pengertian ini menunjukkan bahwa tafsîr bi al-ilmi adalah penafsiran yang
ditempuh oleh para mufasir dengan cara menghubungkan ayat-ayat Al-Qur‟an
dengan teori-teori dan istilah-istilah ilmiah, serta berusaha semaksimal
mungkin untuk mengekspresikan berbagai persoalan ilmu pengetahuan dan
ide-ide filosofis yang terkandung di dalamnya.
Faktor yang melatarbelakangi kehadiran tafsîr bi al-ilmi ialah keyakinan
bahwa Al-Qur‟an sebagai pedoman hidup memuat seluruh aspek kehidupan
manusia; sebagian ayat-ayat Al-Qur‟an membahas tentang persoalan jagad

22
Irfan Sofyan Efendi dkk, Makalah: Tafsir Bi Al-Ra‟yi (Ponorogo: Universitas Muhammadiyah, 2017), hal. 12-13.
23
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi), (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hal. 360.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 11


raya dan fenomena-fenomenanya, yang lazim disebut sebagai ayat-ayat
kauniyah. Pada umumnya ayat-ayat kauniyah sering diakhiri dengan perintah
untuk berpikir, menganalisis, memperhatikan dan lain sebagainya. Hal ini oleh
sebagian mufasir dipandang sebagai indikasi perlunya penafsiran baru
terhadap ayat-ayat tersebut dengan menggunakan pendekatan ilmiah (tafsîr bi
al-„ilmi).24
2. Tafsir Adabi-Ijtima‟i
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tafsir adabi-ijtim‟i adalah tafsir
yangg menitikberatkan penjelasan ayat0ayat Al-Qur‟an pada segi ketelitian
redaksinya, kemudian kandungan ayat tersebut dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan tujuan utama Al-Qur‟an, yaitu membawa petunjuk
ilahiah ke dalam kehidupan, kemudian ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Berangkat dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa unsur pokok dari
tafsir adabi-ijtima‟ii antara lain:
a. Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Qur‟an,
b. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan
susunan kalimat yang indah,
c. Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikannya Al-Qur‟an,
d. Penafsiran dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam
masyarakat.25
3. Tafsir Fiqhi
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir yang kecenderungannya mencari hukum-
hukum fikih di dalam ayat-ayat Al Qur‟an. Corak ini memiliki kekhususan
dalam mencari ayat-ayat yang secara tersurat maupun tersirat mengandung
hukum-hukum fikih. 26

24
Shultan Syahril, Kontroversi Para Mufasir Di Seputar Tafsir Bi Al-Ilmi, Jurnal Millah Vol. 08 No. 02, 2009, hal.
228-229.
25
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi), (Bandung : Pustaka Setia, 2018), hal. 266-267.
26
Kusroni, Mengenal Ragam Pendekatan, Metode, Dan Corak Dalam Penafsiran Al-Qur‟an, Jurnal Kaca Jurusan
Ushuluddin STAI Al-Fitrah Vol. 09 No. 01, 2019, hal. 101.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 12


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tafsir bi al-ma‟tsur adalah tafsir yang berdasarkan Al-Qur‟an atau riwayat, yaitu :
berdasarkan hadis Nabi, perkataan sahabat, atau pun dengan pendapat tabiin. Tafsir al-
ma‟tsur ada empat jenis, yaitu : Tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, tafsir Al-Qur‟an
dengan sunnah, tafsir Al-Qur‟an dengan perkataan sahabat, dan tafsir Al-Qur‟an dengan
pendapat tabi‟in.

Tafsir bi ar-ra‟yi adalah menyingkap isi kandungan Al-Qur‟an dengan ijtihad


yang dilakukan oleh akal. Tafsir ar-ra‟yi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tafsir bi ar-
ra‟yi al-mahmud, dan tafsir bi ar-ra‟yi al-madzmum. Para ulama berbeda pandangan
mengenai tafsir bi ar-ra‟yi, sebagian ada yang menolak dan sebagian yang lain
menerimanya.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 13


DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi, Muhammad Husain. 2016. „Ilmu Tafsir terjem. Oleh M Nur Prabowo. Yogyakarta:
Baitul Hikmah Press.
Anwar, Rosihon. 2018. Pengantar Ulumul Qur‟an (Edisi Revisi). Bandung : Pustaka Setia.
Efendi, Irfan Sofyan dkk. 2017. Makalah: Tafsir Bi Al-Ra‟yi. Ponorogo: Universitas
Muhammadiyah.
Kusroni. 2019. Mengenal Ragam Pendekatan, Metode, Dan Corak Dalam Penafsiran Al-
Qur‟an. Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al-Fitrah, Vol. 09 No. 01.
Rani, Jani. 2012. Kelemahan-Kelemahan Dalam Manahij Al-Mufassirin. Jurnal Ushuluddin, Vol.
XVIII No. 02.
Sofyan, Muhammad. 2015. Tafsir Wal Mufasirun. Medan: Perdana Publishing.
Syahril, Shultan. 2009. Kontroversi Para Mufasir Di Seputar Tafsir Bi Al-Ilmi. Jurnal Millah,
Vol. 08 No. 02.
Syarafuddin. 2017. Tafsir bi al-ma‟tsur (Kelemahan Dan Kekurangan Serta Pengembangannya).
Jurnal Suhuf, Vol. 29 No. 01.
Ushama, Thameem. 2000. Methodologies of The Qur‟anic Exegesis terjem. Oleh Hasan Basri
dan Amroeni. Jakarta: Riora Cipta.
Yana, Rendi Fitra dkk. 2020. Tafsir Bil Ra‟yi. Jurnal Pena Cendikia, Vol. 01 No. 01.

Tafsir Ayat-Ayat Ibadah | 14

Anda mungkin juga menyukai