Anda di halaman 1dari 31

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan mengenai tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka terdiri

dari grand theory yaitu teori legitimasi dan pengertian tentang kinerja lingkungan,

CSR Dislcosure serta kinerja keuangan.

2.1 Teori Legitimasi

Gantino (2016), mengungkapkan definisi teori legitimasi sebagai suatu

kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan sejalan dengan

sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan

bagiannya. Sejalan dengan pemahaman ini Sudana (2016) meyakini bahwa

aktivitas ekonomi harus dipahami sebagai bagian dari kegiatan sosial

kemasyarakatan. Kegiatan sosial itu sendiri pada akhirnya harus dipahami sebagai

bagian dari seluruh aktivitas yang terjadi dalam ekosistem. Dalam pandangan ini,

aktivitas ekonomi diasumsikan beradadalam kehidupan sosial, kemudian seluruh

kegiatan sosial itu sendiri (dimana aktivitas ekonomi adalah bagiannya) bersarang

dalam aktivitas ekosistem. Aktivitas ekonomi bukan sebagai sistem yang mandiri,

melainkan sebagai subsistem dari pilar sosial. Adapun pilar sosial (dengan pilar

ekonomi sebagai subsistemnya) adalah susbsistem dari pilar lingkungan.

Teori Legitimasi bergantung pada gagasan bahwa ada ‘kontrak sosial'

antara perusahaan dan masyarakat. Social Contract dibangun untuk menjelaskan

hubungan antara perusahaan dan masyarakat (society). Perusahaan atau organisasi

memiliki kewajiban pada masyarakat untuk memberi manfaat bagi masyarakat.

14
15

Perusahaan akan selalu berinteraksi dengan masyarakat dan selalu berusaha untuk

memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat,

sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimate(Guthrie, 2006).

Perusahaan berusaha menciptakan keselarasan antara nilai-nilai yang

melekat pada kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada dalam sistem

sosial masyarakat dimana organisasi adalah bagian dari sistem tersebut.

Legitimasi perusahaan tercapai manakala kedua hal tersebut berjalan selaras.

Ketika terjadi ketidakselarasan antara kedua sistem tersebut, maka akan ada

ancaman pada legitimasi perusahaan. Djuitaningsih dan Ristiawati (2011)

menyatakan bahwa legitimasi dapat dikatakan sebagai manfaat atau sumber

potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup. Legitimasi akan meningkatkan

reputasi perusahaan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai perusahaan

tersebut.

Operasi perusahaan dalam posisi sebagai bagian dari masyarakat,

seringkali mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya. Eksistensinya dapat

diterima sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksistensinya pun dapat

terancam bila perusahaan tidak menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku

dalam masyarakat atau bahkan merugikan anggota komunitas tersebut. Oleh

karena itu, perusahaan melalui manajemennya mencoba memperoleh kesesuaian

antara tindakan organisasi perusahaan dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan

publik yang relevan atau stakeholder-nya. Keselarasan antara tindakan organisasi

dan nilai-nilai masyarakat ini tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan.

Tidak jarang terjadi perbedaan antara perusahaan dan nilai-nilai sosial yang dapat
16

mengancam legitimasi perusahaan yang sering disebut legitimacy gap. Guthrie

(2006) menyatakan bahwa ketika legitimacy gap terjadi dapat menghancurkan

legitimasi organisasi yang berujung pada berakhirnya eksistensi perusahaan. Teori

legitimasi memberikan pandangan pentingnya CSR disclosure yang dilakukan

oleh perusahaan untuk menjaga keselarasan organisasi dan menghilangkan

ancaman pada legitimasi. Panjaitan, (2015) dalam penelitiannya mengungkapkan

CSR memiliki pengaruh signifikan pada nilai perusahaan melalui profitabilitas.

2.2 Kinerja Lingkungan

2.2.1 Pengertian Kinerja Lingkungan

Kinerja lingkungan merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan

pada pihak eksternal. Pranoto dan Yusuf (2014) menyatakan bahwa

environmental performance adalah kinerja perusahaan dalam menciptakan

lingkungan yang baik (green). Pengukuran kinerja lingkungan merupakan bagian

penting dari sistem manajemen lingkungan. Hal tersebut merupakan ukuran hasil

dari sistem manajemen lingkungan yang diberikan perusahaan secara riil dan

konkrit. Kinerja lingkungan adalah hasil yang dapat diukur dari sistem manajemen

lingkungan, yang terkait dengan kontrol aspek-aspek lingkungannya (Andriana

dan Panggabean, 2017).

Menurut Lankoski (2000), konsep kinerja lingkungan merujuk pada

tingkat kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh perusahaan. Tingkat kerusakan lingkungan yang lebih rendah

menunjukan kinerja lingkungan perusahaan yang lebih baik. Begitu pula

sebaliknya, semakin tinggi tingkat kerusakan lingkungannya maka semakin buruk


17

kinerja lingkungan perusahaan tersebut. Jaffeer (2011), melalui penelitiannya

terkait sustainability development menilai analisis kinerja lingkungan

menunjukkan bahwa permintaan pada sumber daya yang langka dan polusi

memainkan peran penting dalam tekanan lingkungan pada perusahaan.

Menurut Sembiring (2005) kinerja lingkungan perusahaan adalah

mekanisme bagi perusahaan untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian

pada lingkungan ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders.

Kinerja lingkungan merupakan salah satu investasi bagi perusahaan untuk

memperoleh kesuksesan bisnis. Jika kinerja lingkungan perusahaan baik, maka

image perusahaan akan meningkat, begitu juga sebaliknya. Hal ini sejalan dengan

teori legitimasi (Setyaningsih dan Asyik, 2016).

2.2.2 Pengukuran Kinerja Lingkungan

Tujuan penerapan PROPER adalah untuk mendorong peningkatan kinerja

perusahaan dalam pengelolaan lingkungan. Peningkatan kinerja ketaatan ini dapat

terjadi melalui efek insentif dan disinsentif reputasi yang timbul akibat

pengumuman peringkat kinerja PROPER kepada publik. PROPER berkaitan erat

dengan penyebaran informasi kinerja penaatan masing-masing perusahaan kepada

seluruh pemangku kepentingan pada skala nasional (Yanti, 2015). Para pemangku

kepentingan (stakeholders) akan memberikan apresiasi kepada perusahaan yang

berperingkat baik dan memberikan tekanan dan dorongan kepada perusahaan yang

belum berperingkat baik. Pemberian apresiasi bertujuan mendorong perusahaan

untuk taat pada peraturan lingkungan hidup dan mencapai keunggulan lingkungan

(environmental excellence) melalui integrasi prinsip-prinsip pembangunan


18

berkelanjutan (Burhany, 2014). Sasaran dari pelaksanaan PROPER adalah

menciptakan lingkungan hidup yang baik, mewujudkan pembangunan

berkelanjutan, menciptakan ketahanan sumber daya alam, mewujudkan iklim

dunia usaha yang kondusif dan ramah lingkungan.

Secara umum peringkat kinerja PROPER dibedakan menjadi 5 warna

Emas, Hijau, Biru, Merah dan Hitam.Kriteria ketaatan berperingkat: biru, merah

dan hitam, sedangkan kriteria penilaian aspek lebih dari yang dipersyaratkan

(beyond compliance) adalah hijau dan emas. Penilaian Hijau dan Emas, dilakukan

melalui screening kinerja berdasarkan Dokumen Ringkasan Kinerja Pengelolaan

Lingkungan.

Tabel 2.1
Peringkat Warna PROPER

Tingkat Efek Publikasi yang


Peringkat Warna
Penaatan Diharapkan
Lebih dari taat 5 Emas Insentif Penghargaan
4 Hijau Reputasi Stakeholder
Taat 3 Biru
Belum taat 2 Merah Disinsentif Tekanan
1 Hitam Reputasi Stakeholder
Sumber: Permen Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2013

Pelaksanaan PROPER bertujuan untuk mendorong tingkat ketaatan

perusahaan terhadap peraturan lingkungan hidup dan menjadikan isu lingkungan

sebagai salah satu pendorong inovasi dan peningkatan daya saing perusahaan.

Dengan meningkatnya daya saing maka perusahaan berusaha efektif dan efisien

mungkin dengan pelaksanaan 3 R sehingga terjadi pengurangan biaya. Program

ini mendorong perusahaan untuk melakukan penurunan beban pencemaran dan


19

reduksi gas rumah kaca, di samping terpacu untuk melakukan Community

Development yang menerapkan prinsip sustainable development.

Tabel 2.2
Kriteria Peringkat PROPER

Kode Warna Keterangan


Emas Telah secara konsisten menunjukan keunggulan lingkungan
dalam proses produksi atau jasa, melaksanakan bisnis yang
beretika dan bertanggungjawab pada masyarakat.
Hijau Telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang
dipersyaratkan dalam peraturan melalui pelaksanaan sistem
pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara
efisien melalui upaya 4R (reduce, reuse, recycle, dan
recovery) dan melakukan tanggungjawab sosial dengan baik.

Biru Telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang


dipersyaratkan sebagaimana diatur dalam perundang-
undangan.
Merah Pengelolaan lingkungan hidup tidak dilakukan dengan
persyaratan sebagaimana di atur dalam UU.
Hitam Sengaja melakukan perbuatan atau kelalaian yang
mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan atau
pelanggaran terhadap peraturan undang-undang atau tidak
melaksanakan sanksi administrasi.

Sumber: Permen Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2013

Kegiatan pengawasan melalui PROPER merupakan upaya pemberian

insentif atau disinsentif kepada penanggung jawab usaha. Pemberian insentif

sebagaimana dimaksud pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor

06 tahun 2013 berupa penghargaan PROPER. Kriteria Penilaian PROPER tersaji

dalam lampiran 2.
20

2.3 Corporate Social Responsibility

2.3.1 Pengertian Corporate Social Responsibility

Banyak perusahaan saat ini telah mengintegrasikan pelestarian lingkungan

ke dalam operasi perusahaannya. Pelestarian lingkungan telah menjadi bagian

dalam sustainable development yaitu pembangunan yang menyeimbangkan aspek

ekonomi, ekologi/lingkungan dan sosial. Hal ini sejalan dengan konsep triple

bottom line yakni profit, planet, people atau 3P (Sahla dan Aliyah, 2016). Triple

bottom line adalah suatu konsep yang mendorong perusahaan agar selain

mengejar profit, perusahaan juga harus memperhatikan pemenuhan kesejahteraan

masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian

lingkungan (planet). Gagasan ini menghendaki perusahaan tidak hanya

dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu

aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi finansialnya saja, namun juga

harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya.

Menurut Karagiorgos (2010), CSR adalah komitmen berkelanjutan oleh

dunia usaha untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan

ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarganya serta

komunitas lokal dan masyarakat luas. Corporate Social Responsibility merupakan

suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan

memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham,

komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. Apabila

Program CSR hadir sebagai bagian dari strategi bisnis, maka akan dengan mudah

bagi unit-unit usaha yang berada dalam suatu perusahaan untuk


21

mengimplementasikan rencana kegiatan dari program CSR yang dirancangnya.

Yanti (2015) menyatakan bahwa CSR mampu menciptakan brand image bagi

perusahaan di tengah pasar yang kompetitif. Hal ini pada gilirannya mampu

menciptakan customer loyalty dan membangun reputasi bisnis serta membantu

perusahaan untuk mendapatkan license to operate dari Pemerintah dan publik.

Perusahaan akan dinilai kepedulian sosialnya melalui standar yang telah

ditetapkan.

Menurut ISO 26000 CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi

terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya

pada masyarakat dan lingkungan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk perilaku

transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan

kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan para pemangku

kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku

internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh (Kamatra

and Kartikaningdyah, 2015). Corporate Social Responsibility dapat dipahami

sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan

berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas

hidup komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas (Nugrohoet. al., 2016).

2.3.2 Manfaat CSR

Manfaat kegiatan CSR dibagi menjadi dua yaitu dari sisi internal dan sisi

eksternal. Manfaat CSR dilihat dari aspek internal meliputi (Mursitama, 2011):

1) Pengembangan aktivitas yang berkaitan dengan sumber daya manusia. Untuk

itu dibutuhkan praktik-praktik ketenagakerjaan yang bertanggung jawab

sosial.
22

2) Adanya pencegahan polusi dan reorganisasi pengelolaan proses produksi dan

aliran bahan baku, serta hubungan dengan supplier berjalan dengan baik.

Muaranya adalah peningkatan performa lingkungan perusahaan.

3) Menciptakan budaya perusahaan, kapabilitas sumber daya manusia dan

organisasi yang baik.

4) Kinerja keuangan perusahaan, terutama harga saham bagi perusahaan yang

telah go public, menjadi lebih baik.

Adapun manfaat kegiatan CSR dilihat dari sisi eksternal meliputi hal-hal

sebagai berikut:

1) Penerapan CSR akan meningkatkan reputasi perusahaan sebagai badan yang

mengemban dengan baik pertanggungjawaban secara sosial.

2) Corporate Social Responsibility merupakan satu bentuk diferensiasi produk

yang baik. Artinya, sebuah produk yang memenuhi persyaratan-persyaratan

ramah lingkungan dan merupakan hasil dari perusahaan yang bertanggung

jawab secara sosial.

3) Melaksanakan CSR dan membuka kegiatan CSR secara publik merupakan

instrumen untuk sebuah komunikasi yang baik dengan khalayak.

Sementara itu manfaat CSR bagi perusahaan menurut Sembiring (2005),

antara lain sebagai berikut:

1) Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan.

2) Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial.

3) Mereduksi risiko bisnis perusahaan.

4) Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha.


23

5) Membuka peluang pasar yang lebih luas.

6) Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah.

7) Memperbaiki hubungan dengan stakeholders.

8) Memperbaiki hubungan dengan regulator.

9) Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.

10) Peluang mendapatkan penghargaan.

2.3.3 Faktor-faktor Pendorong Implementasi CSR

Menurut Princess of Wales Foundation yang dikutip oleh Mursitama

(2011), ada lima hal penting yang mempengaruhi perusahaan dalam melakukan

implementasi CSR yaitu:

1) Human capital atau pemberdayaan manusia

2) Environments yang berbicara tentang lingkungan

3) Good corporate governance

4) Social cohesion, artinya dalam melaksanakan CSR jangan sampai

menimbulkan kecemburuan sosial

5) Economic strength atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian

bidang ekonomi

Faktor yang mempengaruhi implementasi CSR adalah komitmen pimpinan

perusahaan, ukuran dan kematangan perusahaan serta regulasi dan sistem

perpajakan yang diatur oleh pemerintah. Corporate Social Responsibility

merupakan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk menunjukkan tanggung

jawab sosial sebagai salah satu perwujudan etika dalam membangun kinerja

jangka panjang (Hassan dan Harahap, 2010). Corporate Social Responsibility


24

merupakan bagian dari kegiatan perusahaan, yaitu program perusahaan untuk

menjaga kelangsungan usahanya dengan memperhatikan hubungan internal dan

eksternal perusahaan (Retnaningsih, 2015).

2.3.4 Pelaksanaan CSR di Indonesia

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

menandai pengaturan CSR di Indonesia. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU

tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam

untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Lebih lanjut pada Peraturan Nomor K.X.6: Keputusan Ketua Bapepam-LK

Nomor KEP-431/BL/2012 menjelaskan tentang informasi tanggung jawab sosial.

Emiten atau perusahaan publik dapat mengungkapkan informasi tanggung jawab

sosial perusahaan pada laporan tahunan atau laporan tersendiri kepada Bapepam-

LK, seperti laporan keberlanjutan (sustainability report) atau laporan tanggung

jawab sosial perusahaan (CSR report).

Marnelly (2012), menekankan pada aspek bisnis dimana CSR dapat:

1) Meningkatkan penjualan dan pangsa pasar;

2) Memperkuat posisi merek dagang;

3) Meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi dan memelihara

karyawan;

4) Menurunkan biaya operasi;

5) Menarik minat investor dan para analis keuangan.


25

2.3.5 Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Menurut Karagiorgos (2010), pengungkapan kegiatan CSR diperlukan

karena fakta bahwa perusahaan berutang tugas untuk masyarakat atau memiliki

kontrak sosial. Secara konseptual, pengungkapan (disclosure) merupakan bagian

integral dari pelaporan keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan

langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk

seperangkat penuh pernyataan keuangan. Sembiring (2005), mendefinisikan

pengungkapan sebagai sutau proses pengkomunikasian dampak sosial dan

lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang

berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Bentuk

pengungkapan pada dasarnya bersifat wajib (mandatory) dan sukarela (voluntary).

Perusahaan melakukan pengungkapan baik informasi keuangan maupun non

keuangan agar dapat meningkatkan nilai perusahaan. Ketentuan mengenai

kegiatan CSR di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun

2007 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Pasal

78 menyatakan bahwa setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai

tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan atau yang sering disebut

dengan social disclosure, corporate social reporting, social accounting atau

corporate social responsibility merupakan proses pengkomunikasian dampak

sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap kelompok

khusus yang berkepentingan dan masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut

memperluas tanggung jawab perusahaan, diluar peran tradisionalnya untuk


26

menyediakan laporan keuangankepada pemilik modal, khususnya pemegang

saham (Gray, 1994). Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan

bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan

kegiatan berdasarkan nilai-nilai keadilan dan bagaimana perusahaan menanggapi

berbagai kelompok untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Jika terjadi

ketidakselarasan sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat maka

perusahaan kehilangan legitimasinya sehingga dapat mengancam kelangsungan

hidup perusahaan. Pengungkapan informasi CSR merupakan salah satu cara

perusahaan untuk membangun, mempertahankan dan melegitimasi kontribusi

perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Dewi, 2015).

Berbagai alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan CSR telah

diteliti sebelumnya seperti untuk menaati peraturan, memperoleh keunggulan

kompetitif, memenuhi ketentuan kontrak pinjaman dan ekspektasi masyarakat

dalam melegitimasi tindakan perusahaan dan menarik investor (Basamalah

danJermias, 2005). Motivasi perusahaan menggunakan sustainability reporting

framework adalah untuk mengkomunikasikan kinerja manajemen dalam mencapai

keuntungan jangka panjang kepada stakeholder. Aktivitas CSR juga terbukti dapat

meningkatkan reputasi sehingga memperbaiki hubungan dengan pihak bank,

investor, atau lembaga pemerintahan dan hasil perbaikan hubungan tersebut

tercermin pada keuntungan ekonomi perusahaan (Harjoto dan Jo, 2011).

Perusahaan dari aspek ekonomi akan mengungkapkan suatu informasi jika

informasi tersebut dapat meningkatkan nilai perusahaan. Melalui pengungkapan

CSR diharapkan perusahaan dapat memperoleh legitimasi sosial dan


27

memaksimalkan kekuatan keuangan dalam jangka panjang (Umawan and Asri,

2017).

Implementasi CSR dalam Pedoman GRI dikelompokan dalam 3 kategori

yaitu kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan kinerja sosial. Tema-tema yang

diungkapkan dalam wacana akuntansi tanggung jawab sosial adalah:

1) Kemasyarakatan, mencakup aktivitas kemasyarakatan yang diikuti

perusahaan, seperti aktivitas terkait dengan kesehatan, pendidikan dan seni,

serta pengungkapan aktivitas kemasyarakatan lainnya.

2) Ketenagakerjaan, meliputi dampak aktivitas perusahaan pada orang-orang

dalam perusahaan tersebut. Aktivitas tersebut meliputi rekruitmen, program

pelatihan, gaji dan tunjangan, mutasi dan promosi, dan lainnya.

3) Produk dan konsumen, melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa,

antara lain kegunaan, pelayanan, kepuasan pelanggan, kejujuran dalam iklan,

kejelasan atau kelengkapan isi pada kemasan.

4) Lingkungan hidup, yaitu aspek lingkungan dari proses produksi, yang meliputi

pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan

perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan

konversi sumber daya alam. Gray (1994) mengatakan bahwa sifat dan volume

pelaporan mengenai pertanggungjawaban sosial perusahaan bervariasi antar

waktu dan antar negara. Hal ini disebabkan isu-isu yang dipandang penting

oleh satu negara mungkin akan menjadi kurang penting bagi negara lain.
28

2.3.6 Global Reporting Initiative (GRI)

Global Reporting Initiative atau Inisiatif Pelaporan Global adalah jejaring

mandiri besar yang terdiri dari beragam pemangku kepentingan yang diluncurkan

pada tahun 1997 (Sustainability Reporting Guidelines Version 3.1 tahun 2011).

GRI merupakan proyek bersama antara sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM) Amerika, yaitu Coalition for Environmentaly Responsible Economics

(CERES) dan sebuah badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), United nation

Environmment Program (UNEP). GRI menjadi lembaga mandiri pada tahun 2002.

Global Reporting Initiative memberikan kerangka kerja pelaporan

keberlanjutan yang saat ini telah digunakan oleh berbagai perusahaan di dunia.

GRI secara de facto telah menjadi standar dunia untuk pelaporan. GRI guidelines

mengajukan prinsip dan indikator untuk mengukur kinerja ekonomi, lingkungan

dan sosial perusahaan, juga standar isi laporan keberlanjutan perusahaan.

Misi Global Reporting Initiative sesuai Pedoman yang diterbitkan GRI

adalah mengembangkan dan menyebarkan pedoman pelaporan keberlanjutan ke

seluruh dunia. Perusahaan dapat menggunakan pedoman ini secara sukarela untuk

melaporkan dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial dari semua kegiatan

perusahaan juga produk dan layanan mereka.

Tahun 2000, GRI meluncurkan versi pertama pedoman yang mewakili

kerangka global pertama untuk pelaporan keberlanjutan komprehensif. Tahun

2006 pedoman pelaporan keberlanjutan GRI melakukan revisi atas pedomannya

dengan meluncurkan pedoman generasi ketiga, yaitu G3. Para ahli, pebisnis,

masyarakat sipil dan gerakan buruh turut berpartisipasi dalam pengembangan G3


29

ini, dengan menyoroti pendekatan multi-stakeholder yang benar pada kegiatan

GRI. Setelah peluncuran G3 pada konferensi global, GRI mulai memperluas

strategi dan kerangka pelaporan dan membangun aliansi yang kuat. Kemitraan

formal masuk ke dalam United Nations Global Compact, pada Organisasi untuk

Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan.GRI membuka titik poin kelima di

Amerika Serikat pada tahun 2011 serta dirilisnya pedoman G3.1 yang merupakan

penyelesaian dan pembaharuan dari G3 dengan bimbingan yang diperluas pada

pelaporan jenis kelamin, masyarakat dan hak asasi manusia terkait kinerja. Tiga

pedoman Sektor baru juga dirilis oleh GRI yaitu pertambangan dan logam,

operator bandara, konstruksi dan real estate (Wijayanti, 2011).

Sejak tahun 2013, GRI mulai menerapkan pedoman edisi terbaru yakni

G4. Walau demikian organisasi pelapor masih dibolehkan menggunakan pedoman

G3.1 dan dapat memutuskan sendiri kapan beralih ke pedoman G4. GRI akan

tetap mengakui laporan yang berdasarkan pedoman G3.1 sampai dua kali siklus

lengkap pelaporan. Namun, laporan yang diterbitkan setelah 31 Desember 2015

harus disusun sesuai dengan pedoman G4. GRI merekomendasikan agar

organisasi yang melaporkan untuk kali pertama menggunakan pedoman G4. G4

menyediakan rerangka kerja yang relevan secara global untuk mendukung

pendekatan yang terstandarisasi dalam pelaporan yang mendorong tingkat

tranparansi dan konsistensi yang diperlukan untuk membuat informasi yang

disampaikan menjadi berguna dan dapat dipercaya oleh pasar dan masyarakat.

Menurut Sustainability Reporting Guidelines(Version 3.1 tahun 2011) GRI

G3.1 terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah prinsip–prinsip pelaporan
30

yang mencakup prinsip pelaporan terkait materialitas, pelibatan pemangku

kepentingan, konteks keberlanjutan dan kelengkapan laporan, beserta seperangkat

alat penguji singkat untuk setiap prinsip. Bagian kedua yaitu berisikan standar

pengungkapan yang harus dimasukkan dalam laporan keberlanjutan. Panduan

mengidentifikasikan informasi yang relevan dan material serta kepentingan dari

kebanyakan pemangku kepentingan dalam melaporkan tiga tipe standar

pengungkapan yaitu: strategi dan profil, pendekatan manajemen, indikator kinerja.

Mengacu pada Pedoman Pelaporan Keberlanjutan G4 tahun 2013,

pelaporan yang menggunakan G4 wajib menyajikan laporan keberlanjutannya

dalam dua bagian. Bagian pertama memuat prinsip-prinsip pelaporan dan

pengungkapan standar yang berisi prinsip-prinsip pelaporan, pengungkapan

standar kriteria yang akan diterapkan oleh organisasi untuk menyiapkan laporan

keberlanjutanya ‘sesuai' dengan pedoman. Bagian kedua berisi penjelasan tentang

cara menerapkan prinsip-prinsip pelaporan, cara menyiapkan informasi yang akan

diungkapkan dan cara menginterpretasikan berbagai konsep dan pedoman.

Adapun prinsip-prinsip GRI dan pengungkapan standar adalah sebagai berikut:

a) Prinsip-prinsip GRI

Prinsip-prinsip GRI G3.1 pada bagian pertama memuat prinsip pelaporan

untuk menetapkan isi. Setiap pelaporan mengandung definisi penjelasan dan

seperangkat alat penguji untuk memandu dalam penggunaan prinsip. Prinsip-

prinsip pelaporan untuk menetapkan isi yaitu: materialitas, pelibatan pemangku

kepentingan, konteks keberlanjutan dan kelengkapan. Bagian kedua yaitu

prinsip pelaporan untuk menetapkan kualitas. Prinsip ini mengandung prinsip-


31

prinsip yang mengarahkan dalam menjamin kualitas dari informasi yang

dilaporkan termasuk penyajianya yang memadai. Prinsip untuk menetapkan

kualitas antara lain: keseimbangan, dapat diperbandingkan, kecermatan,

ketepatan waktu, kejelasan, keterandalan. Bagian ketiga memuat prinsip

pelaporan untuk menetapkan batas yaitu batasan pelaporan yang harus

memasukkan entitas dimana organisasi memiliki pengendalian yang memadai

atau pengaruh yang signifikan baik entitas hulu (rantai pasokan) maupun hilir

(distribusi dan konsumen).

Prinsip GRI G4 terbagi menjadi dua kelompok yaitu pertama prinsip-

prinsip untuk menentukan konten laporan yang menjelaskan proses yang harus

diterapkan untuk mengidentifikasi konten laporan apa yang dibahas dengan

mempertimbangkan aktivitas, dampak dan harapan serta kepentingan yang

substantif dari para pemangku kepentingannya. Prinsip kedua yaitu prinsip-

prinsip yang menentukan kualitas laporan dalam memberikan arahan berupa

pilihan-pilihan untuk memastikan kualitas informasi dalam laporan

keberlanjutan, termasuk penyajian yang tepat. Kualitas informasi adalah hal

yang penting untuk memungkinkan para pemangku kepentingan dapat

membuat asesmen kinerja yang masuk akal serta mengambil tindakan yang

tepat.

b) Standar Pengungkapan

Standar pengungkapan pedoman G3.1 memuat tiga jenis pengungkapan.

Bagian pertama memuat strategi dan profil yaitu pengungkapan yang

menentukan konteks keseluruhan dalam memahami kinerja organisasi, seperti


32

strategi, profil dan tata kelola. Kedua, pendekatan manajemen yaitu

pengungkapan yang mencakup bagaimana sebuah organisasi mengarahkan

seperangkat topik dalam menyediakan konteks untuk memahami kinerja pada

wilayah tertentu. Ketiga, indikator kinerja adalah indikator yang menghasilkan

perbandingan informasi mengenai kinerja organisasi dalam hal ekonomi,

lingkungan dan sosial.

Standar pengungkapan pedoman G4 memuat dua jenis pengungkapan

yang berbeda yaitu pengungkapan standar umum dan pengungkapan standar

khusus. Pengungkapan standar umum berlaku untuk semua organisasi yang

menyiapkan laporan keberlanjutan. Pengungkapan standar umum dibagi

menjadi tujuh bagian yaitu strategi dan analisis, profil organisasi, aspek

material, boundary teridentifikasi, hubungan dengan pemangku kepentingan,

profil laporan, tata kelola, serta etika dan integritas. Pengungkapan standar

khusus mengatur standar pengungkapan ke dalam tiga katagori: ekonomi,

lingkungan dan sosial. Katagori sosial dibagi ke dalam empat sub-kategori,

yaitu: praktik ketenagakerjaan dan kenyamanan bekerja, hak asasi manusia,

masyarakat dan tanggung jawab atas produk (www.globalreporting.org).

Sustainability Reporting Guidelines selanjutnya menawarkan dua opsi

bagi suatu organisasi untuk menyusun laporan keberlanjutan agar sesuai dengan

Pedoman baik itu G3.1 maupun G4. Dua opsi tersebut adalah Inti (Core) dan

Komprehensif (Comprehensive). Kedua opsi tersebut dapat diterapkan untuk

organisasi dari berbagai ukuran, jenis, sektor, atau lokasi. Fokus utama dari kedua

opsi tersebut berada pada proses identifikasi aspek material. Aspek material yang
33

dimaksud adalah aspek-aspek yang mencerminkan dampak ekonomi, lingkungan,

dan sosial yang signifikan dari organisasi atau dapat mempengaruhi secara

substantif asesmen dan keputusan pemangku kepentingan.

Opsi Inti (Core) berisi elemen esensial dari laporan keberlanjutan yakni

latar belakang yang melandasi pengungkapan organisasi mengenai dampak

ekonomi, lingkungan, serta sosial dan kinerja tata kelola. Organisasi diminta

untuk menyampaikan kinerjanya setidaknya satu indikator yang terkait dengan

aspek material yang teridentifikasi. Opsi Komprehensif (Comprehensive)

didasarkan pada opsi inti dengan mewajibkan pengungkapan standar tambahan

mengenai strategi dan analisis, tata kelola, serta etika dan integritas organisasi.

Organisasi diminta menyampaikan kinerjanya lebih luas dengan melaporkan

semua indikator yang terkait dengan aspek material yang teridentifikasi. Setiap

perusahaan, baik merupakan pelapor baru atau berpengalaman, memilih opsi yang

paling sesuai dengan kebutuhan pelaporannya dan pada akhirnya memungkinkan

organisasi tersebut untuk memenuhi kebutuhan informasi para pemangku

kepentingan.

2.4 Kinerja Keuangan

2.4.1 Pengertian Kinerja Keuangan

Menurut Sucipto (2003) kinerja keuangan adalah penentuan ukuran-

ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu organisasi atau

perusahaan dalam menghasilkan laba. Mulyadi (2007), melihat penilaian kinerja

keuangan adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu


34

organisasi, bagian organisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan

kriteria yang ditetapkan sebelumnya.

Kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dari laporan keuangan yang

dikeluarkan secara periodik yang memberikan suatu gambaran tentang posisi

keuangan perusahaan. Informasi yang terdapat dalam laporan keuangan digunakan

oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, seperti investor untuk

memperoleh perkiraan tentang laba dan dividen di masa mendatang dan risiko atas

penilaian tersebut. Kinerja perusahaan sangat penting untuk dinilai atau diukur

dengan tujuan memotivasi karyawan untuk mencapai sasaran organisasi dan

mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar menghasilkan

tindakan dan hasil yang diinginkan. Keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang

sudah ditetapkan merupakan suatu prestasi bagi perusahaan khususnya

manajemen (Setyaningsih dan Asyik, 2016).

Evaluasi kinerja keuangan dapat dilakukan menggunakan analisis laporan

keuangan, di mana data pokok sebagai input dalam analisis ini adalah neraca dan

laporan laba rugi. Analisis laporan keuangan dapat dilakukan menggunakan rasio

keuangan. Analisis rasio keuangan memungkinkan manajer keuangan dan pihak

yang berkepentingan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dengan cepat, karena

penyajian rasio-rasio keuangan akan menunjukkan kondisi sehat tidaknya suatu

perusahaan, keuangan dan hasil operasi suatu perusahaan dapat diinterpretasikan.

2.4.2 Rasio Keuangan

Menurut Karagiorgos (2010), informasi dan gambaran perkembangan

keuangan perusahaan bisa diperoleh dengan mengadakan interpretasi dari laporan


35

keuangan, yakni dengan menghubungkan elemen-elemen yang ada pada laporan

keuangan seperti elemen-elemen dari berbagai aktiva satu dengan lainnya,

elemen-elemen pasiva yang satu dengan lainnya, elemen aktiva dengan pasiva.

Oleh karena itu menurut Gantino (2016), laporan keuangan harus disajikan secara

full (penuh), fair (wajar), dan adequate (memadai). Full disclosure principle ini

mengakui bahwa sifat dan jumlah informasi yang dimasukkan dalam laporan

keuangan mencerminkan serangkaian trade off penilaian.

Menurut Abul Hassan (2010), rasio keuangan adalah angka yang diperoleh

dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang

mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (berarti). Rasio keuangan

sangat besar peranannya dalam melakukan analisis terhadap laporan keuangan,

dimana rasio keuangan dapat menyederhanakan informasi yang menggambarkan

hubungan antara pos satu dengan yang lainnya sehingga dapat dengan cepat

memberikan informasi untuk lebih mudah dalam menilai dan mengambil

keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Rasio keuangan adalah suatu

metode analisis untuk mengetahui hubungan dari pos-pos tertentu dalam neraca

atau laporan laba rugi secara individu atau kombinasi dari kedua laporan tersebut.

Lianto (2013), mengatakan bahwa rasio keuangan sangat berguna bagi

pihak dalam dan luar perusahaan untuk mengetahui dan menilai keadaan

keuangan perusahaan di masa lalu, saat ini dan kemungkinannya di masa yang

akan datang. Para pemegang saham dan calon pemegang saham menaruh

perhatian utama pada tingkat keuntungan, baik yang sekarang maupun

kemungkinan di masa yang akan datang. Rasio keuangan yang terpenting bagi
36

kreditur adalah rasio profitabilitas. Hal ini karena rasio profitabilitas menunjukkan

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Keuntungan akan

menjamin pengembalian dana pinjaman dari kreditur. Betapapun besarnya

likuiditas perusahaan kalau tidak mampu menggunakan modalnya secara efisien,

maka perusahaan tersebut pada akhirnya akan mengalami kesulitan keuangan dan

juga dalam pengembalian utang-utang perusahaan. Atas dasar tersebut, maka

perlu adanya analisis keuangan dengan pengukur profitabilitas pada perusahaan.

Profitabilitas merupakan salah satu pengukuran bagi kinerja suatu

perusahaan. Profitabilitas suatu perusahaan menunjukan kemampuan suatu

perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu pada tingkat

penjualan, asset dan modal saham tertentu. Profitabilitas suatu perusahaan dapat

dinilai melalui berbagai cara tergantung pada laba dan aktiva atau modal yang

akan diperbandingkan satu dengan lainnya (Dipraja, 2014). Kinerja keuangan

perusahaan sebagian besar diukur oleh investor dengan tingkat pengembalian

investasi, harga saham atau nilai pasar dengan mengevaluasi tindakan akuntansi

berdasarkan Return On Equity (ROE). Return On Equity merupakan indikator

keuangan internal berbasis pasar yang digunakan untuk pengambilan keputusan

kebijakan perusahaan. Menurut Murhadi (2013:63), rasio keuntungan atau

profitability ratio digunakan untuk menggambarkan kemampuan perusahaan

untuk menghasilkan keuntungan dengan mengukur efektivitas perusahaan dalam

mendapatkan keuntungan. Rasio keuntungan dapat diukur dengan indikator ROE

(Angelia and Suryaningsih, 2015).


37

2.4.3 Return On Equity

Gantino (2016), menyatakan rasio profitabilitas yang paling penting adalah

ROE di mana merupakan laba bersih dibagi dengan total equity pemegang saham.

Pemegang saham pastinya ingin mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi

atas modal yang mereka investasikan dan ROE menunjukan tingkat yang mereka

peroleh. Jika ROE tinggi, maka harga saham juga cenderung akan tinggi. Tinjauan

literatur dari Karagiorgos (2010), memberikan daftar dengan semua langkah

kinerja keuangan perusahaan yang digunakan dalam studi mereka. Hasil kajian

menyimpulkan bahwa langkah yang paling populer adalah ROE.

Menurut Murhadi (2013:64)ROE mencerminkan seberapa besar return

yang dihasilkan bagi pemegang saham atas setiap rupiah yang ditanamkan yaitu

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri

yang dimiliki, sehingga ROE disebut sebagai “profitabilitas modal sendiri.” Rasio

ini menunjukkan kemampuan modal pemilik yang ditanamkan oleh pemilik atau

investor untuk menghasilkan laba bersih yang menjadi bagian dari pemilik.

Semakin tinggi rasio ROE semakin tinggi keuntungan investor karena semakin

efisien modal yang ditanamkannya. Rasio ini sangat mendapat perhatian para

investor karena digunakan untuk mengukur kemampuan modal sendiri untuk

menghasilkan keuntungan bagi seluruh pemegang saham, baik saham biasa

maupun saham preferen.

Rasio ROE menunjukkan tingkat keuntungan dari investasi yang

ditanamkan pemegang saham. Return on Equity merupakan ukuran profitabilitas

dari sudut pandang pemegang saham. Menurut Candrayanthi dan Saputra (2013),
38

ROE menjadi pusat perhatian para pemegang saham (stakeholders) karena

berkaitan dengan modal saham yang diinvestasikan untuk dikelola pihak

manajemen. Return on Equity memiliki arti penting untuk menilai kinerja

keuangan perusahaan dalam memenuhi harapan pemegang saham. Return on

Equity menunjukan kemampuan manajemen dalam memaksimalkan tingkat

pengembalian kepada pemegang saham. Menurut Candrayanthi & Saputra (2013),

indikator daya tarik bisnis dapat diukur dari profitabilitas usaha, yaitu melalui

ROE. Rumus untuk menghitung ROE (Murhadi, 2013:64) adalah sebagai berikut:

Laba bersih setelah pajak


ROE = –––––––––––––––––––––– x 100%
Modal sendiri

2.5 Penelitian Terdahulu

Nor et al. (2016), meneliti tentang pemanasan global dan perubahan iklim

yang telah menjadi masalah lingkungan yang paling menantang dunia yang

sedang dihadapi masyarakat dunia. Masalah ini akan mempengaruhi masa depan

planet ini yang dapat dilihat dari sikap yang berbeda. Perhatian publik atas

masalah yang disebabkan oleh perubahan iklim telah menyebabkan munculnya

peraturan lingkungan baru. Analisis menunjukkan hasil yang beragam antara

keberadaan praktik pengungkapan lingkungan di Malaysia dan kinerja keuangan.

Temuan penelitian ini signifikan di manaterdapat hubungan positif antara jumlah

pengungkapan lingkungan dan profit margin.

Angelia dan Suryaningsih (2015), menguji pengaruh kinerja lingkungan

dan pengungkapan CSR terhadap kinerja keuangan. Objek dalam penelitian ini

adalah perusahaan yang mengambil bagian dalam PROPER dan dicatatkan di


39

Bursa Efek Indonesia (BEI). Secara total ada 17 perusahaan yang memenuhi

persyaratan. Hasil penelitiannya adalah kinerja lingkungan memiliki pengaruh

yang signifikan pada ROE untuk peringkat emas. Pengungkapan CSR juga

signifikan berpengaruh positif terhadap ROE. Kinerja lingkungan dan

pengungkapan CSR secara simultan signifikan berpengaruh positif terhadap ROE.

Penelitian yang dilakukan oleh Kamatra dan Kartikaningdyah (2015),

menyatakan bahwa perusahaan harus mampu menjaga hubungan yang seimbang

dengan pihak luar perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial perusahaan

(CSR). Pelaksanaan CSR oleh perusahaan perlu untuk diungkapkan dan

disebarluaskan kepada publik dalam laporan tahunan (annual report). Penelitian

ini dilakukan untuk menguji pengaruh CSR terhadap kinerja keuangan yang

diukur dengan rasio profitabilitas yakni ROE. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa CSR secara parsial berpengaruh terhadap ROE.

Fachrurrozie dan Prasetyaning (2014), melakukan penelitian yang

bertujuan untuk menguji pengaruh environmental performance, environmental

cost terhadap financial performance dengan CSR disclosure sebagai variabel

intervening. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil 105 perusahaan yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebagai sampel. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa environmental performance memiliki pengaruh positif terhadap financial

performance dan CSR disclosure. CSR disclosure tidak memiliki pengaruh

terhadap financial performance, dan environmental cost tidak memiliki pengaruh

terhadap CSR disclosure. CSR disclosure sebagai variabel intervening dapat

memberikan dukungan positif untuk pengaruh secara tidak langsung antara


40

environmental cost terhadap financial performance, akan tetapi tidak untuk

pengaruh environmental performance terhadap financial performance.

Rasoulzadeh, et. al. (2013), menyatakan bahwa pemegang saham dan

investor saat ini semakin mempertimbangkan kinerja sosial dan lingkungan

perusahaan bersama keuntungan finansial. Organisasi dapat mencapai

keberhasilan yang tinggi oleh peningkatan profitabilitas, semangat kerja

karyawan, kepuasan pelanggan, kepatuhan hukum dan sosial serta legitimasi atas

keberadaannya bergantung pada penerapan tanggung jawab sosial perusahaan.

Hubungan antara perusahaan dan masyarakat melalui tanggung jawab sosial

perusahaan merupakan suatu bentuk self-regulation perusahaan yang

diintegrasikan ke dalam model bisnis. Idealnya, kebijakan CSR akan berfungsi

sebagai built-in, mekanisme pengaturan diri dimana bisnis akan memantau dan

memastikan kepatuhan terhadap hukum, standar etika dan norma-norma

internasional. Akibatnya, bisnis akan menerima tanggung jawab untuk dampak

kegiatan di lingkungan, konsumen, karyawan, masyarakat, stakeholder dan semua

anggota lain dari ruang publik.

Djuitaningsih dan Ristiawati (2011), melakukan penelitian yang bertujuan

untuk melakukan analisis mengenai pengaruh kinerja lingkungan dan kepemilikan

asing terhadap kinerja finansial, dimana variabel CSRdisclosure menjadi variabel

pemoderasi antara hubungan tersebut. Djuitaningsih berkeyakinan bahwa

perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatan

usahanya berdasarkan nilai-nilai justice dan bagaimana perusahaan menanggapi

berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Jika


41

perusahaan ingin bertahan maka perlu memperhatikan 3P, yakni bukan hanya

profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada

masyarakat (people) dan aktif menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Karagiorgos (2010), melakukan penelitian atas perusahaan yang terdaftar

di Bursa Efek Yunani yang aktivitasnya rentan terhadap perusakan lingkungan.

Hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan positif antara pengungkapan

lingkungan dengan kinerja keuangan perusahaan. Melalui pengungkapan

lingkungan perusahaan mampu memenuhi ekspektasi masyarakat yang dalam

jangka panjang mendatangkan keuntungan bagi perusahaan dalam mendapatkan

keberpihakan konsumen terhadap produk perusahaan yang memiliki reputasi

positif dalam pemeliharaan lingkungan.

Beragam penelitian yang telah dilakukan menunjukan beberapa persamaan

dan perbedaan dengan peneliti. Angelia dan Suryaningsih menggunakan variabel

yang sama dengan yang diteliti oleh peneliti dan menggunakan ukuran ROA dan

ROE dalam mengukur kinerja keuangan. Namun terdapat perbedaan pada fokus

kinerja keuangan penelitian di mana Angelia dan Suryaningsih melihat pengaruh

pada kinerja pasar dan tahun penelitian yang berbeda yakni tahun 2012-2013

sedangkan peneliti membahas kinerja finansial fundamental dengan tahun

penelitian tahun 2013-2016. Beberapa penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh

Djuitaningsih dan Ristiawati, Nor et. al., Kamatra dan Kartikaningdiah,

Rasoulzadeh, Fachrurozi serta Toeh, et. al., masing-masing hanya mengambil

sebagian dari variabel yang diteliti oleh peneliti dengan tahun penelitian yang

berbeda serta ukuran kinerja keuangan yang bervariasi.


63
82

Anda mungkin juga menyukai