2. Etiologi
a. Virus dengue
Deman dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga
flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 mm
terdiri dari asam aribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x
106.Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-
4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue dan demam
berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan
DEN-3 merupakan serotip terbanyak (Suhendro, 2009 : 1709).
Virus Dengue merupakan keluarga flaviviridae dengan empat
serotip (DEN 1, 2, 3, 4). Terdiri dari genom RNA stranded yang
dikelilingi oleh nukleokapsid. Virus Dengue memerlukan asam
nukleat untuk bereplikasi, sehingga mengganggu sintesis protein sel
pejamu.Kapasitas virus untuk mengakibatkan penyakit pada pejamu
disebut virulensi. Virulensi virus berperan melalui kemampuan virus
untuk :
1) Menginfeksi lebih banyak sel,
2) Membentuk virus progenik,
3) Menyebabkan reaksi inflamasi hebat,
4) Menghindari respon imun mekanisme efektor
b. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui
vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes
polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang
kurang berperan berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya
(Arief Mansjoer &Suprohaita; 2010).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan
vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya
melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting
di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural)
kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes
berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana –
bejana yang terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang
terdapat di luar rumah di lubang – lubang pohon di dalam potongan
bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya ( Aedes
Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah
korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja
hari. (Soedarto, 2012).
c. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya
maka ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak
sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue
yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue
Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah
mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi
ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi
yang mendapat infeksi virus dengue huntuk pertama kalinya jika ia
telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui
plasenta. (Soedarto, 2012).
3. Patofisiologi
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes
aegypti dan kemudian bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah
kompleks virus-antibody, dalam asirkulasi akan mengaktivasi sistem
komplemen (Suriadi & Yuliani, 2010).
Penyakit DBD ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat
virus dengue. Orang ini bisa menunjukkan gejala sakit, tetapi bisa juga
tidak sakit, yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus
dengue.Jika orang digigit nyamuk Aedes Aegypti maka virus dengue
masuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus
dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar
di seluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam
kelenjar liur nyamuk.Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur
nyamuk. Dalam tempo 1 minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau
bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk dituarkan/dipindahkan kepada
orang lain. Selanjutnya pada waktu nyamuk itu menggigit orang lain,
maka setelah alat tusuk nyamuk (probosis) menemukan kapiler darah,
sebelum darah itu dihisap, terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari
kelenjar liurnya agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama dengan
liur nyamuk inilah, virus dengue dipindahkan kepada orang lain.
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali menyebabkan demam dengue.Reaksi tubuh
merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang
amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang
dengan tipe virus dengue yang berlainan. Dan DHF dapat terjadi bila
seseorang setelah terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi berulang virus
dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi
anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks
antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) yang tinggi.
Virus yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes
aegypty, pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan
penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal
diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie),
hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti
pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan
pembesaran limpa (Splenomegali). Ruam pada DHF disebabkan karena
kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah
kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system
komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua
peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan
mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya perembesaran plasma ke
ruang ekstra seluler.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding
kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta
aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan
intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya
hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan
berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan
hipoproteinemia serta efusi, dan renjatan (syok), adanya penekanan pada
abdomen yang menyebabkan terjadinya asites, yang menimbulkan rasa
mual dan muntah. Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %)
menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan)
plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan
pemberian cairan intravena. Terjadinya trobositopenia, menurunnya
fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan
fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat ,
terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan
dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu
rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan
intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma
telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi
kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan
gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup,
penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan
kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau
hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik
asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan
hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler,
trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,
bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolic
dan kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat.
Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan
fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran
darah. Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan
hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktifasi system
koagulasi.Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada
pasien dengan perdarahan hebat.
4. Pathway
(terlampir)
5. Klasifikasi
Berdasarkan standar WHO, DHF dibagi menjadi empat derajat
sebagai berikut:
a. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan uji
torniquet (+), trombositopenia dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II
Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau di tempat lain
ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie,
ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
c. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
darah rendah (hipotensi), gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung dan
ujung jari (tanda-tanda dini renjatan).
d. Derajat IV
Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak
dapat diukur.
6. Gejala Klinis
8. Pemeriksaan Diagnostic
Ada beberapa pemeriksaan pada pasien DBD, diantaranya :
a. Tes Tourniquet yang positif
b. Pemeriksaan Hematologi, beberapa diantaranya :
1) Hematokrit
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga
dari perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan
proses perjalanan penyakit DBD.
2) Hemoglobin
Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal
atau sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan naik
mengikuti peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan
hematologi paling awal yang dapat ditemukan pada DBD.
3) Jumlah leukosit dan hitung jenis
Pada penderita DBD dapat terjadi leukopenia ringan sampai
leukositosis sedang.Leukopenia dapat dijumpai antara hari pertama
dan ketiga dengan hitung jenis yang masih dalam batas
normal.Jumlah granulosit menurun pada hari ketiga sampai
kedelapan.
4) Trombosit
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana
yang diajukan oleh WHO sebagai diagnosis klinis peyakit
DBD.Jumlah trombosit biasanya masih normal selama 3 hari
pertama.Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah
panas, dan mencapai titik terendah pada fase syok.
c. Diagnosis Laboratorium Infeksi Virus Dengue, uji laboratorium
meliputi:
1) Isolasi Virus Dengue
Isolasi virus merupakan cara yang paling baik dala arti sangat
menentukan, tetapi diperlukan peralatan dan teknik yang canggih,
sehingga tidak dipakai secara rutin.
2) Pemeriksaan Serologi
Uji serologi dengan mendeteksi kenaikan antibodi jauh lebih
sederhana dan lebih cepat, tetapi kros reaksi antibodi antara virus
dengue dan virus dari kelompok flavirus dapat memberikan hasil
positif palsu.
Ditemukannya anti bodi IgG ataupun AgM yang
meningkatkan tinggi titernya mencapai empat kali lipat terhadap
satu atau lebih antigen dengue dalam spesimen serta berpandangan.
Dibuktikan adanya virus dengue dari jaringan otopsi dengan cara
immunokimiawi atau dengan cara immuno-flouresens, ataupun di
dalam spesimen serum dengan uji ELISA.
d. Pemeriksaan Radiologi dan USG
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat
beberapa kelainan yang dapat dideteksi, yaitu : dilatasi pembuluh
paru, efusi pleura, kardiomegali, efusi perikard, hepatomegali, cairan
dalam rongga peritoneum.
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
1) DHF tanpa Renjatan
a) Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )
b) Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga
dilakukan kompres
c) Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk
anak <1th>1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi ,
beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th>1th
diberikan 5 mg/ kg BB.
d) Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat
2) DHF dengan Renjatan
a) Pasang infus RL
b) Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma
expander ( 20 - 30 ml/ kg BB )
c) Tranfusi jika Hb dan Ht turun
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pengawasan tanda - tanda vital secara kontinue tiap jam
a) Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
b) Observasi intik output
c) Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan,
observasi tanda vital tiap 3 jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit
tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter - 2 liter per hari, beri kompres
d) Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital,
pemeriksaan Hb, Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti
nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah menurun, anuria
dan sakit perut, beri infus.
e) Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler,
beri O2pengawasan tanda - tanda vital tiap 15 menit, pasang
cateter, obsrvasi productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan
thrombocyt.
2) Resiko Perdarahan
a) Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan
melena
b) Catat banyak, warna dari perdarahan
c) Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro
Intestinal
3) Peningkatan suhu tubuh
a) Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodic
b) Beri minum banyak
c) Berikan kompres
10. Komplikasi
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Pada pasien DHF biasanya didapatkan terjadinya peningkatan suhu
tubuh. Berdasarkan tingkatan DHF, keadaan anak adalah sebagai
berikut :
4. Rencana Tindakan
5. Implementasi
(terlampir pada asuhan keperawatan)
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi dilakukan berdasarkan respon pasien terhadap tindakan yang
diberikan (Doenges M. E, Moorhous M.F, Geissler A.C, (2012))
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue ditantai
dengan peningkatan suhu tubuh yang mendadak yang disertai
menggigil dan saat demam kesadaran composmetis. Turunnya panas
terjadi antara hari ke-3 dan ke-7 dan anak semakin lemah, kulit
terlihat kemerahan, adanya bintik – bintik merah (Ptchiae) , turgor
kulit kering, mukosa bibir kering, pasien lemah, pasien pucat, kulit
teraba hangat, timbulnya keringat dingin , Trombosit menurun, ttv
lemah. Evaluasi :
1) Suhu tubuh pasien kembali normal (36,5°C – 37,5°C)
2) Turgor kulit elastic
3) Mukosa bibir lembab
4) Tidak terjadi kemerahan pada kulit pasien.
5) Tubuh pasien tidak teraba panas
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat ditantai dengan pasien
tampak lemah, mukosa bibir kering, pasien mengalami penurunan
berat badan, mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan
selama sakit, nyeri saat menelan sehingga dapat mempengaruhi status
nutrisi. Evaluasi :
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Tidak ada tanda- tanda malnutrisi
3) Tidak ada mual dan muntah
4) Mampu mengidentifikasikan kebutuhan nutrisi
5) Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari penelanan
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis ditantai dengan
pembesaran hati (hepatomegali), nyeri ulu hati, adanya nyeri otot,
sendi dan tulang. Evaluasi :
1) TTV dalam batas normal
2) Strategi untuk menontrol nyeri dengan skala 4
3) Pasien tidak berkeringat berlebih
4) Pasien tidak kehilangan nafsu makan
5) Tidak ada anoreksia
d. Hipovolemik berhubungan dengan kekurangan intake cairan ditantai
dengan pasien tampak lemah, turgor kulit tidak elastis, mukosa bibir
kering, adanya sianosis, akral dingin, biasanya terjadi perdarahan
pada gusi dan rongga mulut, telinga, hidung. Evaluasi :
1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB normal
2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
3) Kadar hematokrit dalam batas normal.
4) Tidak ada tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit elastis, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
e. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan yang
berlebih. Evalusai :
1) Pasien tidak lemah
2) Pasien tidak pucat
3) TTV dalam batas normal
4) Tidak ada sianosis
5) Tidak terjadi keringat dingin
6) Akral teraba hangat
7) Respon pupil tidak melambat
f. Resiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor – faktor
pembekuan darah (trombositopenia). Evaluasi :
1) Tidak ada tanda – tanda perdarahan
2) Trombosit dalam batas normal (150.000/uL).
3) Membrane mukosa lembab.
4) Turgor kulit elastis.
5) TTV dalam batas normal