Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Infeksi nosokomial (Hospital Acquired Infection/ Nosokomial Infection)


adalah infeksi yang didapat ketika penderita itu dirawat di rumah sakit.

Infeksi nosokomial merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab


langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Infeksi ini bisa ditularkan
dari pasien ke petugas maupun sebaliknya, pasien ke pengunjung atau
sebaliknya, serta antar orang yang berada di lingkungan Rumah Sakit.
Penyebab infeksi nosokomial akan menjadi kuman yang berada di lingkungan
Rumah Sakit atau oleh kuman yang sudah dibawa oleh pasien itu sendiri, yaitu
kuman endogen. Bahaya dari terjadinya infeksi nosokomial adalah
meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality)
serta dapat memperlama perawatan pasien di Rumah Sakit dan dapat
mempengaruhi mutu pelayanan Rumah Sakit. Dari batasan ini dapat
disimpulkan bahwa kejadian infeksi nosokomial adalah infeksi yang secara
potensial dapat dicegah. Cara penularan infeksi nosokomial yaitu kontak
langsung antara pasien dengan personel yang merawat atau menjaga pasien,
kontak tidak langsung ketika obyek didalam lingkungan yang terkontaminasi
dan tidak didesinfeksi atau disterilkan (Amdani, 2009).

Weinstein RA (1998) menyatakan bahwa infeksi nosokomial juga merupakan


masalah penting di seluruh belahan dunia, oleh karena selain meningkatkan
angka kesakitan dan kematian, juga menyedot dana yang cukup besar. Pada
penelitian yang dilakukan National Nosokomial Infections Surveillance
(NNIS) dan Centers of Disease Co\ntrol and Prevention’s (CDC’s) didapatkan
5 sampai 6 kasus infeksi nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit.
Diperkirakan 2 juta kasus infeksi nosokomial terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat dengan menghabiskan dana sebesar 2 milyar dolar. Pada beberapa

1
penyakit yang berat, infeksi nosokomial meningkatkan angka kematian
menjadi 2 kali lipat.

Di Indonesia masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang cukup


serius. Apalagi di rumah sakit yang jumlah penderita yang dirawatnya banyak
dengan tenaga perawatnya masih terbatas. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Wardana dan Acang pada tahun 1989 mendapatkan hasil observasi infeksi
nosokomial insidensi infeksi nosokomial 18,46% pada pasien yang dirawat di
ruang rawat penyakit dalam RSUP M. Jamil, Padang. Pada penelitian lain pada
tahun yang sama di RS. Hasan Sadikin Bandung didapatkan
insidensi/prevalensi infeksi nosokomial 17,24% sedangkan di RSUD Dr.
Sutomo adalah sebesar 9,85% (Ginting Y., 2001). Beberapa kejadian infeksi
nosokomial mungkin tidak menyebabkan kematian pada pasien, akan tetapi ini
menjadi penyebab penting pasien.

Infeksi nosokomial dapat berasal dari dalam tubuh pasien maupun luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah
ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self
atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan
oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke
pasien lainnya (Harry, 2006).

Selama 10-20 tahun belakangan ini telah banyak perkembangan yang telah
dibuat untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian
infeksi nosokomial di banyak negara, dan di beberapa negara kondisinya justru
sangat memprihatinkan. Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan dan
perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta penggunaan jasa diluar
Rumah Sakit. Karena itulah, dinegara-negara miskin dan berkembang,
pencegahan infeksi nosokomial lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan
kualitas pelayanan pasien di Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Oleh
karena itu, mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial yang paling penting karena tangan merupakan salah satu

2
wahana yang paling efisien untuk penularan infeksi nosokomial (Schaffer,
2000).

Mencuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis
dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun atau air. Tujuan cuci
tangan adalah untuk menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari
permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme (Tietjen, 2003).
Salah satu tenaga kesehatan yang paling rentan terhadap penyakit infeksi
tersebut adalah perawat karena yang bertugas selama 24 jam di Rumah Sakit
dan yang sering berinteraksi dengan pasien adalah perawat.

Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan
tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain
untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan
sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari
infeksi. Indikasi cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan
terjadi perpindahan kuman melalui tangan, yaitu sebelum melakukan tindakan
yang dimungkinkan terjadi pencemaran dan setelah melakukan tindakan yang
dimungkinkan terjadi pencemaran (Depkes, 2003). Mencuci tangan merupakan
tehnik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi
(Potter & Perry, 2005).

RS EMC Tangerang merupakan rumah sakit type B dengan fasilitas lengkap


dan tergolong canggih, diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan
yang optimal kepada masyarakat luas. Seiring dengan pesatnya peningkatan
kesadaran masyarakat akan arti kesehatan menuntut profesionalisme tinggi
dalam suatu pelayanan rumahsakit. Berdasarkan data dari petugas PPI RS.
EMC Tangerang kejadian infeksi nosokomial belum diketahui secara pasti,
untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit perlu adanya
pencegahan serta pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit, salah satu
caranya adalah dengan melakukan cuci tangan. Namun berdasarkan survey dan
observasi di beberapa ruangan peneliti masih melihat adanya kesenjangan
antara lain: peneliti menemukan tiga perawat tidak melakukan cuci tangan

3
sebelum melakukan tindakan ke pasien, dan hanya melakukan cuci tangan
setelah melakukan tindakan ke pasien. Peneliti juga melakukan wawancara
dengan beberapa perawat di RS EMC Tangerang, dan didapat informasi bahwa
lebih dari 20% perawat yang bertugas di ruangan hanya melakukan cuci tangan
setelah melakukan tindakan ke pasien dan tidak melakukan cuci tangan
sebelum kontak dengan pasien. Alasannya perawat menganggap bahwa
tangannya sudah bersih dan pada kondisi tertentu misalnya pada pasien yang
memerlukan pertolongan cepat, ini tidak memungkinkan perawat untuk
melakukan cuci tangan. Padahal perawat merupakan tenaga profesional yang
perannya tidak dapat dikesampingkan dari lini terdepan pelayanan rumah sakit,
karena tugasnya mengharuskan perawat kontak paling lama dengan pasien.
maka diasumsikan ikut mengambil peran yang cukup besar dalam memberikan
kontribusi kejadian Infeksi Nosokomial.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk menyusun Penelitian


tentang “Hubungan pengetahuan infeksi nosokomial perawat dengan perilaku
mencuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang.

B. Rumusan Masalah

Memahami proses infeksi adalah sangat penting untuk melindungi pasien dan
menyediakan pelayanan kesehatan dari infeksi nosokomial dan penyakit
menular (Schaffer.dkk, 2000). Proses penularan infeksi nosokomial, bisa
berlangsung dalam berbagai cara. Misalnya melalui interaksi langsung maupun
tidak langsung antara petugas medis kepada pasien, pasien satu kepada pasien
lainnya, atau pasien kepada orang yang berkunjung (Anis, 2013). Memutus
cara penularan salah satunya dilakukan dengan cara cuci tangan.

Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku dipengaruhi beberapa faktor yaitu


pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang
berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Selain itu, menurut Azwar
(2003) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

4
untuk terbentuknya tindakan seseorang. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Notoatmajdo (2003) yang menyatakan bahwa penerimaan perilaku atau adopsi
perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka
perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting).
Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran
maka tidak akan berlangsung lama.

Data studi pendahuluan, peneliti memperoleh data bahwa lebih dari 20%
perawat yang bertugas di ruangan hanya melakukan cuci tangan setelah
melakukan tindakan ke pasien dan tidak melakukan cuci tangan sebelum
kontak dengan pasien. Alasannya perawat menganggap bahwa tangannya
sudah bersih dan pada kondisi tertentu misalnya pada pasien yang memerlukan
pertolongan cepat, ini tidak memungkinkan perawat untuk melakukan cuci
tangan. Hal ini berdampak terhadap upaya pengendalian infeksi nosokomial.
Maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut “Apakah ada
hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat dengan perilaku
mencuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat
dengan perilaku cuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, pendidikan, masa
kerja) di ruang rawat inap RS. EMC Tangerang
b. Mengidentifikasi pengetahuan infeksi nosokomial perawat rawat inap
RS. EMC Tangerang.
c. Mengidentifikasi pengetahuan cuci tangan perawat rawat inap RS.
EMC Tangerang
d. Mengidentifikasi perilaku cuci tangan perawat rawat inap RS. EMC
Tangerang.

5
e. Menganalisa hubungan pengetahuan infeksi nosokomial perawat
dengan perilaku cuci tangan di ruang rawat inap RS. EMC Tangerang.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya dengan
variabel yang berbeda. Penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan
mengenai infeksi nosokomial dan perilaku menruci tangan yang
seharusnya diberikan pada pasien rawat inap, sehingga pasien terhindar
dari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini dapat menjadi masukkan dalam memberikan asuhan
keperawatan, khususnya dalam pengendalian infeksi nosokomial dengan
mencuci tangan.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Nosokomial

1. Pengertian Infeksi Noskomial

Kata nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya
penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat
untuk merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan
sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit dengan ketentuan
sebagai berikut (Darmadi, 2008).

a. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapat tanda-
tanda klinik dari infeksi tersebut.

b. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut.

c. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah


3x24 jam sejak mulai perawatan.

d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

e. Bila saat mulai dirawat diRumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit
yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai
infeksi nosokomial (Siregar, 2004).

Infeksi Nosokomial disebut juga infeksi Rumah Sakit (hospital infection


atau associated infection) adalah infeksi yang terjadi pada seseorang
penderita yang sedang dirawat atau berobat jalan dirumah sakit dan waktu
tidak sedang dalam masa tunas suatu penyakit menular (Chairuddin, 2001).

7
2. Etiologi infeksi nosokomial

Menurut (Darmadi, 2008) proses terjadinya infeksi nosokomial dapat


dipengaruhi 2 faktor :

a. Faktor yang datang dari luar (extrinsic factors)


1) Petugas pelayanan medis
Dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium.
2) Peralatan dan material medis
Jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa .
3) Lingkungan
Berupa lingkungan internal seperti ruangan/bangsal perawatan, kamar
bersalin, dan kamar bejdah, sedangkan lingkungan eksternal adalah
halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengolahan
limbah.

4) Makanan/minuman
Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita.
5) Penderita lain
Keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan perawatan dapat
merupakan sumber penularan.

6) Pengunjung
Keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan.

b. Faktor dari dalam (instrinsic factors)

1) Faktor-faktor yang ada dari penderita (instrinsic factors) seperti umur,


jenis kelamin, kondisi umum penderita, resiko terapi, atau adanya
penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi) beserta
komplikasinya.

2) Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),


menurunkan standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita
dalam satu ruangan.

8
3) Faktor patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat
kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan (lenght of
exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.

Dari kedua faktor tersebut diatas dapat diuraikan tiga unsur yang saling
mendukung terjadinya penyakit yaitu agen penyebab penyakit, penjamu,
serta lingkungan.

Khusus untuk penyakit infeksi yang terjadi di Rumah Sakit ketiga unsur
tersebut adalah sebagai berikut :

1) Agen penyebab penyakit (mikroba patogen), dapat berasal/bersumber


dari penderita lain, petugas, limbah medis (ekskreta/sekreta), limbah
rumah tangga.

2) Penjamu adalah penderita - penderita yang sedang dirawat, yang rentan


atau dalam posisi lemah fisiknya.

3) Lingkungan yang kurang terjaga sanitasinya, mobilitas yang tinggi dari


petugas, keluarga/pengunjung, yang semua mempermudah terjadinya
transmisi.

3. Klasifikasi Infeksi nosokomial

Menurut (David, 2003) ada beberapa klasifikasi infeksi nosokomial


berdasarkan tempatnya adalah sebagai berikut

a. Community Acquared Infection

Setiap Rumah Sakit telah mempunyai policy untuk menempatkan dan


perawatan dari penderita dengan menular. Problem timbul bila diagnosa
tidak segera ditegakkan sesaat penderita masuk rumah sakit, sehingga
penderita bisa menularkan penyakitnya pada penderita lain.

b. Infeksi silang (Cross Infection)

9
Kebanyakan orang menganggap bahwa infeksi silang inilah yang
dimaksud dengan infeksi nosokomial. Infeksi ditularkan dari penderita
atau aggota staf Rumah Sakit kependerita lainya.

c. Infection Acquired from the Environment

Keadaan lingkungan ini selalu dituduh penyebab infeksi nosokomial


seperti lingkungan yang kotor dalam Rumah Sakit, alat-alat untuk
pemeriksaan atau pengobatan. Infeksi atau keracunan dari makanan yang
disediakan di Rumah Sakit.

d. Infeksi diri sendiri (Self Infection)

Ini adalah penyebab infeksi nosokomial yang tersering. Disini kuman-


kuman jaringan tubuhnya dan menimbulkan penyakit. Misalnya pada
pemberian antibiotik flora usus.

4. Cara Penularan Infeksi Nosokomial

Transmisi mikroorganisme dirumah sakit dapat terjadi dengan berbagai


cara, bisa lebih dari satu cara menurut (Septiari, 2012) ada empat cara yaitu

a. Penularan secara kontak (Contact transmision)

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, dan droplet.kontak


langsung terjadi apabila sumber infeksi berhubungan langsung dengan
penjamu, misalnya person to person pada penularan infeksi virus
hepatitis A secara fecal oral. Kontak tidak langsung terjadi penularan
apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati).
Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontminasi oleh,
misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.

b. Penularan melalui common vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman,
dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun

10
jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intra vena,
obat-obatan, dan sebagainya.

c. Penularan melalui udara dan inhalasi

Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang


sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup
jauh, dan melalui saluran pernafasan. misalnya mikroorganisme yang
terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus).

d. Penularan dengan perantara vektor

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut


penularan secara eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara
mekanis dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector,
misalnya shigella, dan salmonella oleh lalat.

5. Pencegahan Infeksi nosokomial

Pada tahun (1995) Centre of Disease Control and Prevention menetapkan


dua bentuk pencegahan yaitu: tindakan pencegahan standart, didesain untuk
semua perawatan pasien dirumah sakit tanpa memperhatikan diagnosis
mereka atau status infeksi sebelumnya.

Tindakan pencegahan berdasarkan transmisi dirancang untuk pasien yang


telah didokomentasikan mengalami atau dicurigai terinfeksi yang dapat
ditransmisikan melalui udara atau droplet, organisme yang penting secara
epidemiologi, termasuk isolasi penyakit menular (Swearing, 2001).

Sebagai suatu rantai penularan dengan enam elemen yaitu organisme


penyebab, reservoir, portal atau jalan keluar dari reservoir, bentuk penularan
dari reservoir ke pejamu, pejamu yang cocok dan cara masuk ke pejamu.

11
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi harus disesuaikan
dengan rantai terjadinya infeksi nosokomial sebagai berikut menurut
(Patricia, 2005) yaitu :

a. Mengontrol atau mengeliminasi agen infeksius

Pembersihan desinfeksi dan strerilisasi terhadap obyek yang


terkontaminasi secara efektif dan signifikan dapat mengurangi,
memusnahkan mikroorganisme. Desinfeksi menggambarkan proses yang
memusnahkan semua mikroba patogen (bentuk vegetatif, bukan
endospora) biasanya menggunakan desinfektan kimia.

Sterilisasi adalah pemusnahan seluruh mikroorganisme termasuk spora.

b. Mengontrol atau mengeliminasi resevoir

Untuk mengeliminasi resevoir, perawat harus membersihkan cairan yang


keluar dari tubuh pasien, drainase atau larutan yang dapat sebagai tempat
mikroorgansme serta membuang sampah dan alat-alat yang
terkontaminasi material infeksius dengan hati-hati. Institusi kesehatan
harus mempunyai pedoman untuk membuang materi sampah infeksius
menurut kebijakan lokal dan negara.

c. Mengontrol terhadap portal keluar

Setaiap perawat harus mempunyai kemampuan untuk meminimalkan


atau mencegah organisme berpindah salah satunya melalui udara.
Perawat harus selalu menerapkan universal precaution dalam setiap
melekukan asuhan keperawatan. Cara lain mengontrol keluarnya
mikroorganisme adalah penanganan yang hati-hati terhadap eksudat.
Cairan yang terkontaminasi dapat dengan mudah terpercik saat dibuang
di sampah.

12
d. Pengendalian penularan

Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat harus tetap


waspada tentang jenis penularan dan cara pengontrolannya. Bersihkan
dan sterilkan semua peralatan yang reversibel. Tehnik yang paling
penting adalah cuci tangan dengan aseptik. Untuk mencegah penularan
mikroorganisme melalui kontak tidak langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu penting adanya penerapan pedoman standar atau kebijakan
pengendalian infeksi nosokomial, meliputi:

1) Penerapan standar precaution (cuci tangan dan penggunaan alat


pelindung).

Kewaspadaan universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh


Centers for Disease Control (CDC) untuk mencegah penyebaran dari
berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan
Rumah Sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainya. Oleh
karena itu tenaga kesehatan harus selalu cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan. Adapun konsep yang dianut adalah
semua darah, dan cairan yang keluar dari tubuh harus dikelola
sebagai sumber penyakit yang ditularkan melalui darah (Septiari,
2012).

Perlengkapan pelindung diri harus senantiasa di pakai oleh petugas


yang terdiri dari tutup kepala, masker, sampai dengan alas kaki tetapi
perlengkapan ini tidak harus digunakan semuanya secara bersamaan,
tergantung dari tingkat resiko saat mengerjakan prosedur dan
tindakan medis serta perawatan.

2) Isolasi precaution

Pembagian dan pengelompokan kamar/ruangan /bangsal perawatan


di Rumah Sakit dapat disubkelompokkan lagi menjadi ruangan
bangsal perawatan berdasarkan spesifikasi jenis penyakit/kelainan

13
dan jenis kelamin, sehingga penderita yang rentan dapat perhatian
lebih .

3) Antiseptik dan aseptic

Upaya pencegahan infeksi melalui pemanfaatan bahan kimia untuk


membunuh mikroba patogen. Hal ini merupakan bagian dari upaya
memutuskan rantai penularan penyakit infeksi untuk melindungi
penderita dari transmisi mikroba patogen.

4) Desinfeksi dan sterilisasi

Merupakan proses pengolahan suatu alat atau bahan untuk disinfeksi


pada benda mati yang mempunyai fungsi menghambat pertumbuhan
atau mematikan mikroba, namun dengan aplikasi, dan efektifitas
yang berbeda-beda.

5) Edukasi

Tanggung jawab dan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi


nosokomial berada di tangan tim medis, perawat merupakan
pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial bersama panitia medik pengendalian infeksi
diharapkan kemudahan berkomunikasi dan berkonsultasi langsung
dengan petugas pelaksana dalam memberikan edukasi dan
monitoring unsur- unsur penyebab timbulnya infeksi nosokomial di
Rumah Sakit.

6) Antibiotik

Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai


saat ini, oleh karena itu antibiotik masih tetap diperlukan. Untuk
mencegah pemakaian anti biotik yang tidak tepat sasaran maka perlu
dibuat pedoman pemakaian antibiotik karena pemakaian antibiotik
yang tidak rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negatif
seperti terjadinya kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotik,

14
meningkatnya kejadian efek samping obat, dan biaya pelayanan
kesehatan menjadi tinggi yang dapat merugikan pasien.

7) Survelians

Pengamatan yang sistemis aktif, dan terus menerus terhadap suatu


populasi serta peristiwa yang menyebabkan meningkat atau
menurunya risiko untuk terjadinya penyebaran penyakit. Analisa
data, dan penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting
dalam proses itu.

e. Mengontrol terhadap portal masuk

Tenaga kesehatan harus berhati-hati terhadap resiko jarum suntik.


Perawat harus menjaga kesterilan alat dan tindakan invasif. Klien, tenaga
kesehatan dan tenaga kebersihan beresiko mendapat infeksi dari tusukan
jarum secara tidak sengaja. Pada saat pembersihan luka perawat harus
menggunakan prinsip steril.

f. Perlindungan terhadap penjamu yang rentan

Tindakan isolasi atau barier termasuk penggunaan linen, alat medis,


sarung tangan, kacamata, dan masker serta alat pelindung diri lainya
perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan khususnya perawat yang
potensial terinfeksi oleh pasien. Perawat harus mengikuti prinsip dasar
yaitu harus mencuci tangan sebelum masuk dan meninggalkan ruang
isolasi. Benda yang terkontaminasi harus dibuang untuk mencegah
penyebaran mikroorganisme, pengetahuan tentang proses penyakit dan
jenis penularan infeksi harus diaplikasikan pada saat menggunakan barier
pelindung. Semua orang yang kemungkinan terpapar selama perpindahan
pasien kamar isolasi harus dilindungi, adanya ruangan untuk isolasi dapat
mencegah partikel infeksius mengalir keluar dari ruangan .

15
g. Perlindungan bagi Perawat

Perlindungan barier harus sudah tersedia bagi pekerja yang memasuki


kamar isolasi, dengan penerapan standar universal precaution yang ketat
akan melindungi perawat dari resiko tertular penyakit infeksi.

B. CUCI TANGAN

1. Pengertian Cuci Tangan

Menurut WHO (2009) cuci tangan adalah suatu prosedur/ tindakan


membersihkan tangan dengan menggunakan sabun dan air yang mengalir
atau Hand rub dengan antiseptik (berbasis alkohol). Sedangkan menurut
James (2008), mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting
dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi.

Tangan tenaga pemberi layanan kesehatan seperti perawat merupakan


sarana yang paling lazim dalam penularan infeksi nosokomial, untuk itu
salah satu tujuan primer cuci tangan adalah mencegah terjadinya infeksi
nosokomial (Pruss, 2005) serta mengurangi transmisi mikroorganisme
(Suratun, 2008).

2. Tujuan

Menurut Susiati (2008), tujuan dilakukan cuci tangan yaitu untuk:

a) Menghilangkan mikroorganisme yang ada di tangan,

b) Mencegah infeksi silang (cross infection),

c) Menjaga kondisi steril,

d) Melindungi diri dan pasien dari infeksi,

e) Memberikan perasaan segar dan bersih.

16
3. Indikasi Cuci Tangan

Indikasi cuci tangan atau lebih dikenal dengan five moments (lima waktu)
yaitu:

a) Sebelum kontak dengan pasien

b) Sebelum tindakan aseptic

c) Setelah terkena cairan tubuh pasien

d) Setelah kontak dengan pasien

e) Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien

Enam langkah cuci tangan

a) Tuang cairan handrub pada telapak tangan kemudian usap dan gosok
kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar.

b) Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian

c) Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih

d) Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling mengunci

e) Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian

f) Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan

Prinsip dari 6 langkah cuci tangan antara lain :

a) Dilakukan dengan menggosokkan tangan menggunakan cairan


antiseptik (handrub) atau air mengalir dan sabun anti septik (handwash).
b) Handrub dilakukan selama 20-30 detik sedangkan handwash 40-60
detik.
c) Lima (5) kali menglakukan handrub sebaiknya diselingi 1 kali
handwash.

17
4. Cuci Tangan 6 Langkah dengan Hand wash dan Hand rub

a. Cuci Tangan Hand-Wash

Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun


dan air bersih yang mengalir. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci
tangan biasa adalah setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci
tangan sesuai sesuai standar rumah sakit (misalnya kran air bertangkai
panjang untuk mengalirkan air bersih, tempat sampah injak tertutup yang
dilapisi kantung sampah medis atau kantung plastik berwarna kuning
untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi, alat pengering seperti
tisu, lap tangan (hand towel), sabun cair atau cairan pembersih tangan
yang berfungsi sebagai antiseptik, lotion tangan, serta dibawah wastafel
terdapat alas kaki dari bahan handuk. Oleh karena itu sarana serta
prasarana juga harus memadai untuk mendukung cuci tangan supaya
dapat dilakukan dengan maksimal.

Prosedur Hand-wash sebagai berikut:

a) Melepaskan semua benda yang melekat pada daerah tangan, seperti


cincin atau jam tangan.

b) Membuka kran air dan membasahi tangan.

c) Menuangkan sabun cair ke telapak tangan secukupnya.

d) Melakukan gerakan tangan, mulai dari meratakan sabun dengan kedua


telapak tangan.

e) Kedua punggung telapak tangan saling menumpuk secara bergantian.

f) Bersihkan telapak tangan dan sela-sela jari seperti gerakan menyilang.


g) Membersihkan ujung-ujung kuku bergantian pada telapak tangan.

h) Membersihkan ibu jari secara bergantian.

i) Posisikan jari-jari tangan mengerucut dan putar kedalam beralaskan


telapak tangan secara bergantian.

18
j) Bilas tangan dengan air yang mengalir.

k) Keringkan tangan dengan tisu sekali pakai.

l) Menutup kran air menggunakan siku atau siku, bukan dengan jari
karena jari yang telah selesai kita cuci pada prinsipnya bersih.
Lakukan semua prosedur diatas selama 40 – 60 detik.

b. Cuci Tangan Hand-Rub

Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan cairan


berbasis alkohol, dilakukan sesuai lima waktu. Peralatan yang
dibutuhkan untuk mencuci tangan Hand-rub hanya cairan berbasis
alkohol sebanyak 2 – 3 cc. Prosedur cuci tangan Hand-rub sebagai
berikut:

a) Melepaskan semua benda yang melekat pada daerah tangan, seperti


cincin atau jam tangan.

b) Cairan berbasis alkohol ke telapak tangan 2 – 3 cc.


c) Melakukan gerakan tangan, mulai dari meratakan sabun dengan kedua
telapak tangan.

d) Kedua punggung telapak tangan saling menumpuk secara bergantian.


e) Bersihkan telapak tangan dan sela-sela jari seperti gerakan menyilang.
f) Membersihkan ujung-ujung kuku bergantian pada telapak tangan.
g) Membersihkan ibu jari secara bergantian.
h) Posisikan jari-jari tangan mengerucut dan putar kedalam beralaskan
telapak tangan secara bergantian. Lakukan semua prosedur diatas
selama 20 – 30 detik.

19
20
C. Pengetahuan

1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan respon mental seseorang dalam hubungan


objek tertentu yang disadari sebagai “ada” atau terjadi. Pengetahuan dapat salah
atau keliru, karena bila sesuatu pengetahuan ternyata salah atau keliru tidak
dapat dianggap sebagai pengetahuan, sehingga apa yang dianggap pengetahuan
tersebut berubah stastusnya menjadi keyakinan saja (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan dapat diperoleh dari informasi baik secara lisan ataupun tulisan,
dari pengalaman seseorang dan dari fakta atau kenyataan dengan mendengar
radio, melihat dan sebagainya serta dapat diperoleh melalui pengalaman dan
berdasarkan pemikiran kritis (Paramita, 2010).

2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Efendi dan Makhfudli (2009), pengetahuan tercakup dalam enam


tingkatan yaitu:

a. Tahu (Know)

Tahu adalah proses mengingat kembali (recall) akan suatu materi yang telah
dipelajari. Tahu merupakan pengetahuan yang tingkatannya paling rendah
dan alat ukur yang dipake yaitu kata kerja seperti menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.

b. Memahami (Comprehesion)

Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara tepat dan


benar tentang suatu objek yang telah diketahui dan dapat
menginterprestasikan dengan menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan terhadap suatu objek yang telat dipelajari.

21
c. Aplikasi (Application)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi


atau kondisi yang nyata.

d. Analisis (analysis)

Suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek kedalam komponen-


komponen tetapi masih didalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya
satu sama lainnya yang dapat dinilai dan diukur dengan menggunakan kata
kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan dan mengelompokan.

e. Sintesis (syntesis)

Merupakan suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan


bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Suatu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu


objek yang didasari pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Notoatmodjo (2007), berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang


mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu:

a. Pendidikan

Suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam


dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan
mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah orang tersebut untuk menerima informasi, dengan pendidikan tinggi

22
maka seseorang akan cendurung untuk mendapatkan informasi, baik dari
orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang
masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan,
pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan
dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula,
peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal.

b. Massa media/informasi

Informasi yang diperoleh dalam pendidikan formal maupun non formal


dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga
menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya
teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat
mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai
sarana sarana, komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah, penyuluhan dan lain-lain mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa
pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan
landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal ini.

c. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran


apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan
bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukannya. Status ekonomi
seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang

23
diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan
mempengaruhi pengetahuan sesorang.

d. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik


lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh
terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berbeda
dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal
balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap
individu.

e. Pengalaman

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman baik dari pengalaman


pribadi maupun pengalaman orang lain. Pengetahuan ini merupakan salah
satu cara untuk memperoleh kebenaran suatu cara untuk memperoleh
kebenaran suatu pengetahuan.

f. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.


Semakin bertambah usia akan semakin bertambah pula daya tangkap dan
pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.
Pada usia tengah (41-60 tahun) seseorang tinggal mempertahankan prestasi
yang telah dicapai pada usia dewasa. Sedangkan pada usia tua (>60 tahun)
adalah usia tidak produktif lagi dan hanya menikmati hasil prestasinya.
Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai
dan sehingga menambah pengetahuan (Cuwin,2009).

Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan hidup:

24
1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang di
jumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah
pengetahuannya.

2) Tidak dapat mengerjakan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua
karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat
diperkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya
usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya
kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat ternyata
IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya
usia.

4. Cara Memperoleh Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010) ada beberapa cara untuk memperoleh


pengetahuan, yaitu:

a. Cara Memperoleh Kebenaran Non Ilmiah

1) Cara Coba Salah (Trial and Eror).


Cara coba ini dilakukan dengan menggunakan beberapa kemungkinan
dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak
berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini
gagal pula, maka dicoba lagi dengan kemungkinan yang ketiga dan
kemungkinan ketiga gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya,
sampai masalah tersebut dapat terpecahkan. Cara ini disebut metode trial
(coba) and eror (gagal atau salah) atau metode coba salah (coba-coba).
2) Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh
orang yang bersangkutan.
3) Cara Kekuasaan Otoritas

25
Dalam kehidupan keseharian, banyak sekali kebiasaan dan tradisi yang
dilakukan oleh setiap orang, tanpa melalui penalaran apakah yang akan
dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan ini biasanya diwariskan
turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan tersebut
diperoleh berdasarkan pada pemegang otoritas, yakni orang yang
mempunyai wibawa atau kekuasaan, tradisi, otoritas pemerintah, otoritas
pemimpin agama maupun ahli ilmu pengetahuan atau ilmuan.
4) Berdasarkan Pengetahuan Pribadi
Pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini
mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber
pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.
5) Cara Akal Sehat (Common Sense)
Akal sehat atau Common Sense kadang dapat menemukan teori
kebenaran. Ilmu pendidiakn ini berkembang, para orang tua zaman
dahulu agar anaknya mau menuruti nasehat orang tuanya atau agar anak
disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila anak berbuat salah. Cara
menghukum anak ini sampai sekarang berkembang menjadi teori atau
kebenaran, bahwa hukum adalah merupakan metode (meskipun yang
paling baik) bagi pendidikan anak.
6) Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir
manusia pun ikut berkembang. Manusia telah mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Manusia memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan menggunakan jalan pikiran baik melalui
induksi maupun dedukasi.
7) Induksi
Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan
khusus kepernyataan yang bersifat umum. Induksi berarti berpikir dalam

26
pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman
empiris yang ditangkap oleh indera.
8) Dedukasi
Dedukasi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan
umum ke khusus. Proses berpikir dedukasi berlaku bahwa sesuatu yang
dianggap benar secara umum pada kelas tertentu, berlaku juga kebenaran
pada semua peristiwa yang terjadi dan termasuk dalam kelas itu. Proses
berpikir berdasarkan pada pengetahuan yang umum mencapai
pengetahuan yang khusus.

b. Cara Ilmiah Dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada orang dewasa
ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian
ilmiah atau lebih populer disebut metodelogi penelitian (Research
Methodology).

5. Pengukuran Pengetahuan

Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh


pengetahuan, sikap, perilaku, kepercayaan dan tradisi sebagai faktor
predisposisi disamping faktor pendukung seperti lingkungan fisik, prasarana
atau faktor pendorong yaitu sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas
lainnya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dengan objek
penelitian atau responden.

Data yang bersifat kualitatf digambarkan dengan kata-kata, sedangkan data


yang bersifat kuantitatif terwujud angka-angka, hasil perhitungan atau
pengukuran dapat diproses dengan cara dijumlahkan, dibandingkan dengan
jumlah yang diharapkan dan diperoleh presentase, setelah di presentasekan lalu
ditafsirkan kedalam kalimat yang bersifat kualitatif.

27
a. Kategori baik yaitu menjawab benar 76%-100% dari yang diharapkan.

b. Kategori cukup yaitu menjawab benar 56%-75% dari yang diharapkan.

c. Kategori kurang yaitu menjawab benar <56% dari yang diharapkan


(Notoatmodjo, 2012).

D. Perilaku Perawat

1. Pengertian Perilaku

Salah satu ciri manusia adalah berperilaku atau bertingkah laku namun tidak
mudah untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perilaku. Menurut
Azwar (1995) Psikologi memandang perilaku manusia (Human behavior)
sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks.
Menurut Walgito, (2005) Perilaku atau aktivitas-aktivitas disini adalah dalam
pengertian yang luas, yaitu meliputi perilaku yang nampak (overt behavior) dan
juga perilaku yang tidak nampak (inert behavior).

Menurut ahli dari aliran behavioris B.F. Skinner (dalam Damin, 2010) bahwa
semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan bukan oleh
kekuatan internal. Menurut Skinner (dalam Walgito, 2005) perilaku dibedakan
atas;
a. Perilaku yang dialami (innate behavior), yang kemudian disebut juga
sebagai respondet behavior yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang jelas, perilaku yang bersifat refleksif.

b. Perilaku operan (operant behavior), yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh


stimulus yang tidak diketahui, tetapi semat-semata ditimbulkan oleh
organisme itu sendiri. Perilaku operan belum tentu didahului oleh stimulus
dari luar.

28
Dari pengertian perilaku diatas dapat disimpulkan, perilaku dapat disebut juga
bertingkah laku seorang individu yang melakukan aktifitas- aktifitas. Perilaku
meliputi perilaku yang nampak dan juga perilaku yang tidak nampak.

2. Teori Perilaku

Menurut Walgito (2010), Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan
individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Dalam hal ini
ada beberapa teori perilaku, yang dapat dikemukakan:

a. Teori Insting
Perilaku disebabkan karena insting. Insting merupakan perilaku yang innate,
perilaku yang bawaan, dan insting akan mengalami perubahan karena
pengalaman.
b. Teori Dorongan (Drive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu mempunyai
dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongan-dorongan ini berkaitan-
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong
organisme berprilaku.
c. Teori Insentif (Incentive Theory)
Dengan insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku.
Insentif juga disebut reinforcementada yang positif dan ada yang negative.

d. Teori Atribusi
Teori ini menjelaskan sebab-sebab perilaku manusia, pada dasarnya perilaku
manusia itu dapat atribusi internal, tetapi juga dapat atribusi eksternal.
e. Teori Kognitif
Dalam berperilaku seseorang harus memilih mana yang perlu dilakukan.
Dengan kemampuan berpikir seseorang akan dapat melihat apa yang telah
terjadi sebagai bahan pertimbangannya disamping melihat apa yang dihadapi

29
pada waktu sekarang dan juga dapat melihat kedepan apa yang akan terjadi
dalam seseorang bertindak.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan perilaku atau tingkahlaku sebagai


aktifitas-aktifitas seseorang yang tampak atau tidak tampak. Adapun teori
perilaku yang terdiri dari lima teori: Teori Insting,. Teori Dorongan (Drive
Theory), Teori Insentif (Incentive Theory), Teori Atribusi, dan Teori Kognitif’.

E. Hasil Penelitian Terkait

1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rita Rahmawati, Mey Susanti tahun 2013
yang berjudul “ Pengetahuan Dan Sikap Perawat Pencegahan Infeksi
Nosokomial Dalam Pelaksanaan Cuci Tangan”. Penelitian ini menggunakan
desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di ruang
Flamboyan, Gardena, dan Wijaya Kusuma di RSUD Ibnu Sina Gresik, dengan
menggunakan purposive sampling, diambil 36 responden berdasarkan kriteria
inklusi. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan kuesioner dan
observasi. Setelah data yang ada ditabulasi kemudian dianalisis dengan
menggunakan uji korelasi rank spearman dengan nilai signifikan α< 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat
tentang pencegahan infeksi nosokomial dengan mencuci tangan, dengan
tingkat signifikan 0,246 (α)> 0,05. Sikap menunjukkan tidak ada hubungan
antara sikap perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial dengan mencuci
tangan, tingkat signifikan 0,285 (α)> 0,05. Pengetahuan dan sikap positif
perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial diperlukan untuk
meningkatkan pelaksanaan mencuci tangan di ruangan. Jika tujuan itu tercapai,
diharapkan bisa mengurangi infeksi nosokomial di rumah sakit.

30
2. Kadek Herna Rikayanti, Sang Ketut Arta tahun 2014 dalam penelitiannya yang
berjudul Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Mencuci Tangan
Petugas “Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Tahun 2013”.
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dengan dengan metode
penelitian cross sectional. Jumlah sample dalam penelitian ini sebanyak 74
responden tenaga kesehatan di RSUD Badung yang terdiri dari dokter
spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, fisioterapis,
laboratorium/analis, dan radiografer. Data dikumpulkan melalui wawancara
dengan kuesioner dan pengukuran kemudian dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan uji bivariat (Chi-square) dan univariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kesehatan yang memiliki disiplin
baik sebanyak 58,1% memiliki pengetahuan yang baik dan 41,9% yang
memiliki pengetahuan buruk. Hasil uji statistik menunjukkan Nilai p = 0,39 (p
> 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan proporsi perilaku mencuci tangan
pada tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan baik dan yang memiliki
pengetahuan kurang. RSUD Badung harus melakukan evaluasi kembali
tentang keefektifan program pencegahan infeksi nosokomial rumah sakit
khususnya tentang kepatuhan tenaga kesehatan melakukan cuci tangan untuk
meningkatkan tingkat pengetahuan dan perilaku mencuci tangan tenaga
kesehatan.

3. Hasil penelitian Yunita Puspasari tahun 2015 yang berjudul “ Hubungan


Pengetahuan, Sikap Dengan Praktik Perawat Dalam Pencegahan Infeksi
Nosokomial Diruang Rawat Inap Rumah Sakit Islam Kendal. Jenis penelitian
deskripitif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam
penelitian ini adalah perawat yang bertugas diruang rawat inap : Ruang
Hamzah, Ruang Usman, Ruang Alfat, Ruang Roudhoh, Ruang Lukman, Ruang
Umar Rumah Sakit Islam Kendal yaitu sebanyak 55 perawat. Sampel
penelitian menggunakan total sampling. Analisis data dengan menggunakan

31
Spearman Rho. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
pengetahuan, sikap dengan praktik perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial diruang rawat inap Rumah Sakit Islam Kendal dengan nilai p
value 0,002 dan 0,017. Diharapkan perawat untuk dapat mencari informasi
tentang pencegahan infeksi nosokomial, bersikap positif dan diharapkan
melakukan evaluasi diri dan menyadari pentingnya pencegahan infeksi
nosokomial sehingga dapat meningkatkan pelayanan pada pasien.

4. Hasil penelitian Zilpianus Alvadri tahun 2015 yang berjudul “ Hubungan


Pelaksanaan Tindakan Cuci Tangan Perawat Dengan Kejadian Infeksi Rumah
Sakit Di Rumah Sakit Sumber Waras Grogol”. Jenis penelitian mengguankan
metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan
sampel dengan teknik total sampling, jumlah responden 34 orang. Variabel
independen yaitu Pelaksanaan Tindakan Cuci Tangan Perawat, variabel
dependen yaitu Kejadian Infeksi Rumah Sakit. Hasil dianalisis menggunakan
chi-square test dengan taraf signifikan (α=0,05). Hasil penelitian responden
yang memiliki rentang usia 20-40 tahun 25 orang (73.5%), berjenis kelamin
perempuan 34 orang (100%), 20 orang memiliki lama kerja 1-10 tahun
(58.8%), 22 orang pendidikan D3 (64.7%), 27 orang sesuai prosedur
melakukan pelaksanaan 5 momen mencuci tangan (79.4%),29 orang (85.3%)
pelaksanaan 6 langkah cuci tangan-nya sesuai prosedur, 25 orang (73.5%)
pelaksanaan cuci tangan-nya sesuai prosedur, 25 orang (73.5%) tidak
terjadiinfeksi. Kesimpulan dalam penelitian ini terdapat hubungan bermakna
antara 5 moment pelaksanaan cuci tangan dengan Kejadian Infeksi dengan
nilai Pvalue= 0.007nilai odds ratio =14.375, terdapat hubungan bermakna
antara 6 langkah pelaksanaan cuci tangan dengan kejadian infeksi dengan nilai
Pvalue=0.012, dan nilai odds ratio =19.200, terdapat hubungan bermakna
antara pelaksanaan cuci tangan dengan kejadian infeksidengan nilai Pvalue=
0.004, dan nilai odds ratio =14.667.

32
F. Kerangka Teori

Skema Kerangka Teori

Tingkat pengetahuan:
1. Tahu (know) Pengetahuan Infeksi Perilaku
2. Memahami (comprehesion) Nosokomial Perawat
Aplikasi (application)
4. Analisis (Analysis)
5. Sintesis (syntesis) Definisi Infeksi nosokomial :
6. Evaluasi (Evaluation) infeksi nosokomial dapat
Menurut; Efendi dan Makhfudli,2009 diartikan sebagai infeksi yang
diperoleh atau terjadi di rumah
sakit.
Menurut : Dharmadi (2008)
Faktor yang mempengaruhi
pengetahuan:

1. Pendidikan
Etiologi Infeksi
2. Massa media/Informasi
Nosokomial:
3. Sosia budaya dan ekonomi
4. Lingkungan 1. Faktor Ektrinsik:
5. Pengalaman - Petugas Medis
6. Usia - Peralatan Medis Cuci tangan:
- Lingkungan
- Makaan/ Minuman 1. Cuci tangan
- Penderita lain Hand wash
- Pengunjung 2. Cuci tangan
2. Faktor Intrinsik hand- rub
- Faktor penderita
- Faktor keperawatan
- Faktor patogen
Menurut: Dharmadi (2008)

Cara penularan Infeksi Nosokomial:


1. Secara kontak
2. Melalui common vehile
3. Udara dan inhalasi
4. Perantara vektor
Menurut : Septiari (2012)

Pencegahan Infeksi Nosokomial:


Mengontrol
BAB III Agen infeksius,
reservoir, portal keluar, dan
pengendalian penularan.
Menurut: Patricia (2005)
33
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara


konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang diteliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang
dan lebar tentang suatu topik yang akan dibahas, kerangka ini didapatkan dari
konsep ilmu atau teori yang dipakai sebagai landasan penelitian dan
dihubungkan dengan garis sesuai variabel yang diteliti (Setiadi, 2007).

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep satu dengan konsep lainnya, atau antara variabel yang lain
dari masalah yang diteliti (Notoatmodjo,2011).

Berdasarkan landasan teori yang diuraikan, maka pada BAB ini peneliti
menentukan kerangka konsep penelitian yaitu variabel independen, variabel
dependen dan variabel confounding. Penyusunan kerangka konsep akan
membantu kita untuk membuat hipotesis, menguji hubungan tertentu dan
membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang
dapat diamati atau diukur melalui konstruk atau variabel (Nursalam, 2008).

Kerangka Konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan
variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Masing-masing variabel yang disusun definisi operasionalnya yang merupakan
sebuah konsep atau variabel dengan prosedur spesifik yang dengan
menggunakan alat ukur (Polit & Beck, 2008).

Skema 3.1 Kerangka

34
Konsep Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Remaja
Terhadap Kejadian Fluor Albus.

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Pengetahuan
infeksi nosokomial Perilaku cuci tangan

1. Baik 1. Baik
2. Cukup 2. buruk
3. Kurang

Karakteristik Perawat
1. Umur
2. Pendidikan
3. Lama kerja

Variabel Cofounding

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

Penjelasan kerangka konseptual:

1. Variabel bebas atau variabel independen menurut Sugiyono (2011) variabel


bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel bebas
pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan.

2. Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel yang


dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono,
2011). Variabel terikat pada penelitian ini adalah perilaku cuci tangan

3. Variabel cofounding (variabel yang mengganggu terhadap hubungan antara


varibel independent dengan variabel dependent). Variabel penganggu ada
apabila terdapat faktor atau variabel ketiga pengganggu yang berkaitan

35
dengan faktor resiko dan faktor akibat outcome (Notoatmodjo, 2010).
Variabel confounding penelitian ini adalah karakteristik Perawat.

B. Hipotesis

Hipotesis berasal dari kata hupo dan thesis. Hupo artinya sementara/lemah
kebenarannya dan thesis artinya pernyataan atau teori. Dengan demikian,
hipotesis berarti pernyataan sementara yang perlu di uji kebenarannya (Luknis,
2010).

Dalam penelitian ini di ajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara


terhadap permasalahan yang telah ditemukan. Adapun hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah:

1. Hipotesis Alternatif (Ha)


Ada hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat dengan
perilaku mencuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang.

2. Hipotesis Operasional (Ho)


Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat
dengan perilaku mencuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional


bertujuan untuk membuat variabel menjadi lebih konkrit dan dapat diukur.
Dalam mendefinisikan suatu variabel, peneliti menjelaskan tentang apa yang
harus diukur, bagaimana mengukurnya, apa saja kriteria pengukurnya,
instrumen yang digunakan untuk mengukurnya dan skala pengukurannya
(Dharma, 2013).

Tabel 3.1 Definisi Operasional

36
Hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat dengan perilaku
mencuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang.
Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala ukur
penelitia operasional
Variabel Independent
Tingkat Pengetahuan Diukur dengan Responden Hasil ukur Ordinal
Pengetahuan perawat kuisoner skala mengisi dikatagorikan:
infeksi terhadap Guttman yang kuisioner Baik : 76-
nosokomial pengertian terdiri dari 15 100%
infeksi pertanyaan: Cukup : 56-
nosokomial dan Benar : 1 75%
cara Salah : 0 Kurang: <56%
mengendalikan
infeksi
nosokomial
Variabel Dependent
Perilaku cuci Tindakan yang Diukur dengan Responden Hasil ukur Ordinal
tangan dilakukan oleh kuisioner skala mengisi dikatagorikan
perawat dalam Likert kuisioner berdasarkan
mengendalikan - Sangat Setuju cut of point by
infeksi :4 mean:
nosokomial. - Setuju : 3 1. Perilaku
- Tidak setuju : baik bila skor ≥
2 28, 74.
- Sangat tidak 2. Perilaku
setuju:1 buruk bila skor
< 28,74.

37
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan untuk menjawab


pertanyaan penelitian dan mengantisipasi beberapa kesulitan yang mungkin
timbul selama proses penelitian, hal ini penting karena desain penelitian
merupakan strategi untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk keperluan
pengujian hipotesis atau untuk menjawab pertanyaan penelitian dan sebagai
alat untuk mengontrol variabel yang berpengaruh dalam penelitian (Sugiyono,
2014).

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Deskriptif Analitik,
rancangan ini digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel yaitu
tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat sebagai variabel independen
dan perilaku cuci tangan sebagai variabel dependen. Pendekatan waktu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional, yaitu desain penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel dimana variabel
independen dan dependen diidentifikasi pada satu waktu (Dharma, 2013).

B. Populasi, Sample dan Teknik pengambilan sample

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang


mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013).
Populasi dalam penelitian ini adalah perawat RS. EMC Tangerang.

2. Sampel

38
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Semua yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan berlaku
untuk populasi, setiap sampel harus diambil secara representatif (Hastono &
Sabri, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah perawat ruang rawat inap
RS. EMC Tangerang.

Menurut Setiadi (2007) rumus sampel yang digunakan jika jumlah populasi
lebih kecil dari 10.000 adalah

N
n=
1+ N ( d 2)

Keterangan :
N : Populasi
n : Sampel ]]
d : Tingkat Kepercayaan/Ketepatan yang diinginkan 5%-10%
(0,05-0,1) : Populasi

Untuk mengantisipasi adanya sampel yang drop out, peneliti memprediksi


10% sampel yang terpilih tidak dapat mengikuti penelitian sampai dengan
selesai atau data dari responden kurang lengkap. Sehingga jumlah sampel
harus dikoreksi untuk mengantisipasi jumlah sampel yang tidak mengikuti
penelitian sampai selesai atau ada data yang kurang lengkap, besar sampel
setelah dikoreksi adalah sebagai berikut:

n
n1 =
1−f

Keterangan:
n1 = Besar sampel setelah dikoreksi
n = Jumlah sampel berdasarkan estimasi sebelumnya
f = Prodiksi presentase sampai drop out

39
Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan Proportionate
startified random sampling. Proportionate startified random sampling yaitu
Pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara
proporsional dilakukan sampling ini apabila anggota populasinya heterogen.
Sampel yang diambil adalah perwakilan perawat dari ruang Amabilis, ruang
Orchis, ruang Cattleya, ruang Cendrawasih A, dan ruang Cendrawasih B.

Penelitian ini juga menggunakan kriteria sampel yang meliputi kriteria


inklusi dan eklusi. Kriteria inklusi yaitu kriteria atau ciri-ciri yang perlu
dipenuhi oleh setiap anggota populasinya yang dapat diambil sebagi sampel,
sedangkan kriteria eklusi yaitu ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).
a. Kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi
target dan terjangkau yang akan diteliti.
1). Perawat yang bersedia menjadi responden
2). Perawat ruang rawat inap RS. EMC Tangerang
b. Kriteria Eklusi
Kriteria eklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dan studi karena berbagai sebab.
1). Perawat dalam keadaan sakit
2). Perawat sedang berdinas

C. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap RS. EMC Tangerang.

D. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dari persiapan, pelaksanaan sampai


menyusun laporan mulai bulan Juli sampai dengan Agustus.

40
E. Etika Penelitian
Ketika melakukan penelitian, peneliti perlu mendapatkan rekomendasi dari
institusinya dan dari pihak lain dengan mengajukan izin kepada institusi tempat
peneliti. Setelah mendapatkan persetujuan, maka peneliti dapat melakukan
penelitian dengan menekankan etika penelitian yang mengacu pada: (Alimul,
2009).
1. Informed Consent
a. Pada awal pertemuan peneliti menjelaskan tentang penelitian yang
dilakukan berikut dengan tujuan, manfaat dan kerugian penelitian
kepada responden.
b. Setelah responden di berikan penjelasan, peneliti memberikan lembar
persetujuan kepada responden untuk bersedia menandatangani lembar
tersebut.
2. Anomity (Tanpa Nama)
Pada data yang diinput kedalam SPSS peneliti tidak mencantumkan nama
responden, tetapi data tersebut peneliti berikan kode.
3. Confidentiality
Peneliti menjaga kerahasiaan data responden dan peneliti tidak memasukan
data apapun yang bersifat rahasia pada laporan akhir.
4. Kejujuran
Pada penelitian ini peneliti jujur dalam pengumpulan bahan pustaka,
pengumpulan data, pelaksanaan metode dan prosedur penelitian
5. Tidak melakukan diskriminasi
Pada penelitian ini, peneliti menghindari perbedaan perlakuan karena alasan
jenis, ras, suku, dan faktor-faktor lain.

F. Alat Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data sangat ditentukan oleh jenis penelitian. Sebelum
melakukan pengumpulan data perlu dilihat alat ukur pengumpulan data agar

41
dapat memperkuat hasil penelitian. Alat pengumpulan data merupakan cara
peneliti untuk mengumpulkan data dalam penelitian (Hidayat, 2014).
1. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan
data. Instrumen penelitian dapat berupa: kuisioner (daftar pertanyaan),
formulir observasi, formulir-formulir lain yang berkaitan dengan
pencatatan data dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Intstrumen yang
digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data berupa kuisioner, untuk
kuisioner tingkat pengetahuan menggunakan skala ukur guttman dan untuk
pernyataan perilaku cuci tangan menggunakan skala ukur likert.
Pernyataan dalam kuisioner berupa pernyataan tertutup (closed ended
item) dimana responden tinggal memilih jawaban yang tersedia.
2. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2010) suatu alat ukur harus memiliki kriteria
validitas dan reabilitas. Kuisioner dapat digunakan sebagai alat ukur
penelitian, jika sudah dilakukan uji validitas dan reabilitas terlebih dahulu
dengan uji coba dilapangan.
a. Uji Validitas
Menurut Nursalam (2013) uji validitas adalah suatu pengukuran dan
pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam
mengumpulkan data.
Uji validitas adalah indeks yang menunjukan alat ukur yang digunakan
untuk mengukur ketetapan alat ukur. Tujuannya untuk mengetahui
sejauh mana ketepatan alat ukur tersebut dalam mengukur hasil
(Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini menggunakan uji validitas dengan rumus teknik korelasi
yang dipakai adalah Pearson Product Moment.

Rumus Pearson Product Moment:

n ( Ʃxy )−( Ʃx . Ʃy )
R=
√¿¿¿

42
Keterangan:

R = Koefisien Kolerasi

∑x = Jumlah skor item

∑y = Jumlah skor seluruh pertanyaan

n = Jumlah subjek/sampel

Keputusan Uji:

Bila rhitung lebih besar dari rtabel artinya variabel valid, Bila rhitung lebih
kecil dari rtabel artinya variabel tidak valid (Riwidikdo, 2013).

Hasil uji validitas instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan


rumus product moment yang diketahui sebagai berikut:
1. Pernyataan konsep tingkat pengetahuan terdiri dari 15 pertanyaan, 14
pernyataan dikatakan valid karena memiliki nilai corrected item-total
correlation lebih besar dari rtabel yaitu 0,361 (p-value), sedangkan 1
pernyataan dikatakan tidak valid yaitu pada pernyatan pengetahuan
no 1, sehingga pernyataan itu dikeluarkan.
2. Pernyataan konsep perilaku cuci tangan terdiri dari 10 pernyataan
dan dikatakan valid semua karena memiliki nilai corrected item-total
correlation lebih besar dari tabel yaitu 0,361 (p-value).
b. Uji Reliabilitas
Menguji reabilitas dengan menggunakan metode alpha cronbach.
Tingkat reabilitas dengan metode alpha cronbach diukur berdasarkan
skala Alpha 0-1.

Rumus :

k 1− Ʃơ b2
[
r 11 =
][
( k−1) ơ t2 ]
43
Keterangan :

r11 = Reabilitas instrumen

k = Banyaknya pertanyaan

∑ơb2 = Jumlah Varians Butir

Ơt2 = Varians total

Teknik uji reabilitas yang digunakan dengan koefisien reabilitas alpha


cronbach dengan nilai reliabilitas sebagai berikut,
Interprestasi harga r menurut Sugiyono (2010) :
a. 0,80 – 1,00 Sangat Reliable
b. 0,60 – 0,80 Reliable
c. 0,40 - 0,60 Cukup Reliable
d. 0,20 – 0,40 Agak Reliable
e. 0,00 – 0,20 Kurang Reliable
Kriteria suatu instrumen penelitian dikatakan reliable menggunakan
teknik ini, bila koefisien reabilitas (r11) > 0,6.

G. Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur penggumpulan data terdiri dari prosedur administratif dan prosedur
teknis. Prosedur tersebut adalah:
1. Prosedur administratif
a. Peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
b. Setelah permohonan izin penelitian dikeluarkan oleh ketua Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA, surat tersebut disampaikan ke
kepada Direktur RS. EMC Tangerang.

44
c. Surat penelitian dikeluarkan oleh Direktur RS. EMC Tangerang, setelah
itu peneliti melakukan pengambilan data untuk penelitian.

2. Prosedur Teknis
a. Penelitian ini mengajukan izin kepada Direktur RS. EMC Tangerang,
secara lisan dan tertulis.
b. Pada saat penelitian, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta menjamin kerahasiaan identitas responden dan
hasil kuisoner.
c. Setelah mendapatkan calon responden, calon responden yang bersedia
diberikan lembar persetujuan (Informed Consent).
d. Sebelum dilakukan penyebaran kuisioner siswa laki-laki diperintahkan
untuk keluar aula karena semua responden hanya siswi perempuan.
f. Peneliti menyebarkan kuisioner kepada responden dan menjelaskan cara
pengisian kuisoner, diusahakan baik peneliti maupun responden tidak
saling mempengaruhi dalam pengisian kuisoner.
g. Peneliti memberikan waktu kepada responden untuk menjawab
pertanyaan dalam kuisioner dan mendampingi serta membantu responden
jika terdapat hal-hal yang tidak diinginkan.
h. Memberikan kesempatan kepada responden untuk memeriksa kembali
jawaban dan mengecek apakah kuisoner sudah terisi penuh atau belum.
Mengumpulkan kuisioner yang telah diisi oleh responden, memeriksa
kelengkapan jawaban dan menghitung kembali jumlah kuisioner yang
telah dibagikan.
i. Instrumen penelitian yang sudah diisi oleh responden di varifikasi,
dilakukan seleksi dan menggolongkan untuk persiapan pengolahan dan
analisa data.

H. Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data


1. Pengolahan Data

45
Setelah melakukan pengumpulan data, peneliti kemudian mengolah data
dengan menggunakan computer melaluli beberapa tahap, yaitu:
a. Editing
Peneliti melakukan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau
kuisioner agar data yang telah dikumpulkan dapat diolah sehingga dapat
menghasilkan informasi yang benar. Pemasukan data dengan
memeriksa kelengkapan jawaban pertanyaan pada kuisioner secara
keseluruhan, kejelasan tulisan jawaban atau kelogisan jawaban.
b. Coding
Peneliti memberi tanda (kode) pada masing-masing jawaban dengan
angka untuk lebih mudah data menganalisa, memasukkan data.
c. Data Entry (Memasukan Data) atau Processing
Peneliti memasukan data ke dalam komputer dan mengolahnya dengan
menggunakan statistik. Sebelum entry data terlebih dahulu peneliti
melakukan pembuatan template berisi variable penelitian yang
dibutuhkan.
d. Cleaning data (Pemberhihan Data)
Peneliti melakukan koreksi atau pengecekan kembali data-data yang
sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak.

2. Analisis Data
a. Uji Normalitas
Uji normalitas berguna untuk menentukan apakah data yang telah
dikumpulkan merupakan distribusi normal atau tidak. Uji normalitas
dengan skewness dan kurtosis mempunyai kelebihan yang tidak dapat
diperoleh dari uji normalitas yang lain. Dimana dengan uji skewness
dan kutosis akan dapat diketahui grafik normalitas menceng ke kanan
atau ke kiri, terlalu datar atau mengumpul ditengah. Oleh karena itu, uji
normalitas dengan skewness dan kurtosis juga sering disebut dengan
ukuran kemencengan data. Cara dalam menguji normalitas dari nilai
skewness dan kurtosis yang diperoleh dengan membandingkan antara

46
nilai statistic skewness dibagi dengan Standar Error Skewness atau nilai
statistik kurtosis dibagi dengan Standar error kurtosis (Priyanto, 2014).

Menurut Ghozali (2013), dengan uji skewness dapat mengetahui


kemencengan data. Dimana data yang normal akan meyerupai bentuk
lonceng. Kemungkinan yang ada adalah menceng ke kiri jika nilai
Zskew positif dan diatas 1,96 atau menceng ke kanan jika Zskew
bernilai negative dan dibawah 1,96. Nilai berdistribusi normal berada
diantara nilai -2 (1,96) sampai dengan +2 (1,96)
Rumus Skewness:

Sk = X - Mo

s
Keterangan :
Sk = Koefisien Skewness
X = Rata-rata
Mo = Modus
s = Simpangan baku

b. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat
tergantung dari jenis datanya. Data numeric digunakan nilai mean atau
rata-rata, median dan standar deviasi. Analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo,
2010).

Menurut Hastono & Sabri (2010) rumus yang digunakan pada analisis
univariat adalah:
Rumus Mean
Ʃx
x=
n

47
Rumus Median
n+1
median= n+1
2 median=
2

Rumus Distribusi Frekuensi

f f
P= x 100 % P= x 100 %
N N

c. Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan. Analisis biavariat menghasilkan hubungan antara satu
variable independen dan satu variable dependen, analisis bivariat
dilakukan melalui beberapa tahap yaitu membandingkan distribusi
silang antara dua variable tersebut, melihat hasil uji statistik yang dapat
disimpulkan adanya hubungan yang bermakna atau tidak bermakna
antara variabel independen dan dependendan menganalisis keeratan
hubungan dua variabel yang diuji. Uji statistik yang digunakan adalah
Chi Square yang bertujuan untuk mengetahui arah hubungan variabel
independen kategorik dan variabel dependen kategorik (Dharma, 2013).
Rumus :

(O−E 2)
X 2 =Ʃ
E

Keterangan :
X2 = Statistik chi square
O = Frekuensi hasil observarsi

48
E = Frekuensi yang diharapkan

Keputusan untuk menguji kemaknaan digunakan batas kemaknaan 5%


(α= 0,05) adalah :
a. Bila P value ≤ α maka Ho ditolak artinya data sampel mendukung
adanya hubungan bermakna (signifikan).
b. Bila P value > α maka Ho diterima artinya data sampel tidak
mendukung adanya hubungan bermakna.

49
DAFTAR PUSTAKA

Fitriani, S. (2011). Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Nursalam. (2013). Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Alimul, Aziz. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Rita Rahmawati., Mey Susanti. (2013) Pengetahuan Dan Sikap Perawat
Pencegahan Infeksi Nosokomial Dalam Pelaksanaan Cuci Tangan. Jurnal Ilmiah
Keshatan Keperawatan.
Kadek Herna Rikayanti., Sang Ketut Arta. (2014) Hubungan Tingkat
Pengetahuan Dengan Perilaku Mencuci Tangan Petugas Kesehatan Di
Rumah Sakit Umum Daerah Badung Tahun 2013. Jurnal Ilmiah Keshatan
Keperawatan
Yunita Puspasari. (2015). Hubungan Pengetahuan, Sikap Dengan Praktik
Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Diruang Rawat Inap
Rumah Sakit Islam Kendal. Jurnal Ilmiah Keshatan Keperawatan.
Zilpianus Alvadri.(2015). Hubungan Pelaksanaan Tindakan Cuci Tangan
Perawat Dengan Kejadian Infeksi Rumah Sakit Di Rumah Sakit Sumber
Waras Grogol. Jurnal Ilmiah Keshatan Keperawatan.

50

Anda mungkin juga menyukai