PENDAHULUAN
1
penyakit yang berat, infeksi nosokomial meningkatkan angka kematian
menjadi 2 kali lipat.
Infeksi nosokomial dapat berasal dari dalam tubuh pasien maupun luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah
ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self
atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan
oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke
pasien lainnya (Harry, 2006).
Selama 10-20 tahun belakangan ini telah banyak perkembangan yang telah
dibuat untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian
infeksi nosokomial di banyak negara, dan di beberapa negara kondisinya justru
sangat memprihatinkan. Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan dan
perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta penggunaan jasa diluar
Rumah Sakit. Karena itulah, dinegara-negara miskin dan berkembang,
pencegahan infeksi nosokomial lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan
kualitas pelayanan pasien di Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Oleh
karena itu, mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial yang paling penting karena tangan merupakan salah satu
2
wahana yang paling efisien untuk penularan infeksi nosokomial (Schaffer,
2000).
Mencuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis
dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun atau air. Tujuan cuci
tangan adalah untuk menghilangkan kotoran dan debu secara mekanis dari
permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikroorganisme (Tietjen, 2003).
Salah satu tenaga kesehatan yang paling rentan terhadap penyakit infeksi
tersebut adalah perawat karena yang bertugas selama 24 jam di Rumah Sakit
dan yang sering berinteraksi dengan pasien adalah perawat.
Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan
tindakan perawatan meskipun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain
untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan
sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari
infeksi. Indikasi cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan
terjadi perpindahan kuman melalui tangan, yaitu sebelum melakukan tindakan
yang dimungkinkan terjadi pencemaran dan setelah melakukan tindakan yang
dimungkinkan terjadi pencemaran (Depkes, 2003). Mencuci tangan merupakan
tehnik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi
(Potter & Perry, 2005).
3
sebelum melakukan tindakan ke pasien, dan hanya melakukan cuci tangan
setelah melakukan tindakan ke pasien. Peneliti juga melakukan wawancara
dengan beberapa perawat di RS EMC Tangerang, dan didapat informasi bahwa
lebih dari 20% perawat yang bertugas di ruangan hanya melakukan cuci tangan
setelah melakukan tindakan ke pasien dan tidak melakukan cuci tangan
sebelum kontak dengan pasien. Alasannya perawat menganggap bahwa
tangannya sudah bersih dan pada kondisi tertentu misalnya pada pasien yang
memerlukan pertolongan cepat, ini tidak memungkinkan perawat untuk
melakukan cuci tangan. Padahal perawat merupakan tenaga profesional yang
perannya tidak dapat dikesampingkan dari lini terdepan pelayanan rumah sakit,
karena tugasnya mengharuskan perawat kontak paling lama dengan pasien.
maka diasumsikan ikut mengambil peran yang cukup besar dalam memberikan
kontribusi kejadian Infeksi Nosokomial.
B. Rumusan Masalah
Memahami proses infeksi adalah sangat penting untuk melindungi pasien dan
menyediakan pelayanan kesehatan dari infeksi nosokomial dan penyakit
menular (Schaffer.dkk, 2000). Proses penularan infeksi nosokomial, bisa
berlangsung dalam berbagai cara. Misalnya melalui interaksi langsung maupun
tidak langsung antara petugas medis kepada pasien, pasien satu kepada pasien
lainnya, atau pasien kepada orang yang berkunjung (Anis, 2013). Memutus
cara penularan salah satunya dilakukan dengan cara cuci tangan.
4
untuk terbentuknya tindakan seseorang. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Notoatmajdo (2003) yang menyatakan bahwa penerimaan perilaku atau adopsi
perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka
perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting).
Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran
maka tidak akan berlangsung lama.
Data studi pendahuluan, peneliti memperoleh data bahwa lebih dari 20%
perawat yang bertugas di ruangan hanya melakukan cuci tangan setelah
melakukan tindakan ke pasien dan tidak melakukan cuci tangan sebelum
kontak dengan pasien. Alasannya perawat menganggap bahwa tangannya
sudah bersih dan pada kondisi tertentu misalnya pada pasien yang memerlukan
pertolongan cepat, ini tidak memungkinkan perawat untuk melakukan cuci
tangan. Hal ini berdampak terhadap upaya pengendalian infeksi nosokomial.
Maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut “Apakah ada
hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat dengan perilaku
mencuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat
dengan perilaku cuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, pendidikan, masa
kerja) di ruang rawat inap RS. EMC Tangerang
b. Mengidentifikasi pengetahuan infeksi nosokomial perawat rawat inap
RS. EMC Tangerang.
c. Mengidentifikasi pengetahuan cuci tangan perawat rawat inap RS.
EMC Tangerang
d. Mengidentifikasi perilaku cuci tangan perawat rawat inap RS. EMC
Tangerang.
5
e. Menganalisa hubungan pengetahuan infeksi nosokomial perawat
dengan perilaku cuci tangan di ruang rawat inap RS. EMC Tangerang.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya dengan
variabel yang berbeda. Penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan
mengenai infeksi nosokomial dan perilaku menruci tangan yang
seharusnya diberikan pada pasien rawat inap, sehingga pasien terhindar
dari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Penelitian ini dapat menjadi masukkan dalam memberikan asuhan
keperawatan, khususnya dalam pengendalian infeksi nosokomial dengan
mencuci tangan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Nosokomial
Kata nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya
penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat
untuk merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan
sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit dengan ketentuan
sebagai berikut (Darmadi, 2008).
a. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapat tanda-
tanda klinik dari infeksi tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut.
e. Bila saat mulai dirawat diRumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit
yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai
infeksi nosokomial (Siregar, 2004).
7
2. Etiologi infeksi nosokomial
4) Makanan/minuman
Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita.
5) Penderita lain
Keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan perawatan dapat
merupakan sumber penularan.
6) Pengunjung
Keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan.
8
3) Faktor patogen seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat
kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan (lenght of
exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.
Dari kedua faktor tersebut diatas dapat diuraikan tiga unsur yang saling
mendukung terjadinya penyakit yaitu agen penyebab penyakit, penjamu,
serta lingkungan.
Khusus untuk penyakit infeksi yang terjadi di Rumah Sakit ketiga unsur
tersebut adalah sebagai berikut :
9
Kebanyakan orang menganggap bahwa infeksi silang inilah yang
dimaksud dengan infeksi nosokomial. Infeksi ditularkan dari penderita
atau aggota staf Rumah Sakit kependerita lainya.
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman,
dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun
10
jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intra vena,
obat-obatan, dan sebagainya.
11
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi harus disesuaikan
dengan rantai terjadinya infeksi nosokomial sebagai berikut menurut
(Patricia, 2005) yaitu :
12
d. Pengendalian penularan
2) Isolasi precaution
13
dan jenis kelamin, sehingga penderita yang rentan dapat perhatian
lebih .
5) Edukasi
6) Antibiotik
14
meningkatnya kejadian efek samping obat, dan biaya pelayanan
kesehatan menjadi tinggi yang dapat merugikan pasien.
7) Survelians
15
g. Perlindungan bagi Perawat
B. CUCI TANGAN
2. Tujuan
16
3. Indikasi Cuci Tangan
Indikasi cuci tangan atau lebih dikenal dengan five moments (lima waktu)
yaitu:
a) Tuang cairan handrub pada telapak tangan kemudian usap dan gosok
kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar.
17
4. Cuci Tangan 6 Langkah dengan Hand wash dan Hand rub
18
j) Bilas tangan dengan air yang mengalir.
l) Menutup kran air menggunakan siku atau siku, bukan dengan jari
karena jari yang telah selesai kita cuci pada prinsipnya bersih.
Lakukan semua prosedur diatas selama 40 – 60 detik.
19
20
C. Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan dapat diperoleh dari informasi baik secara lisan ataupun tulisan,
dari pengalaman seseorang dan dari fakta atau kenyataan dengan mendengar
radio, melihat dan sebagainya serta dapat diperoleh melalui pengalaman dan
berdasarkan pemikiran kritis (Paramita, 2010).
2. Tingkat Pengetahuan
a. Tahu (Know)
Tahu adalah proses mengingat kembali (recall) akan suatu materi yang telah
dipelajari. Tahu merupakan pengetahuan yang tingkatannya paling rendah
dan alat ukur yang dipake yaitu kata kerja seperti menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.
b. Memahami (Comprehesion)
21
c. Aplikasi (Application)
d. Analisis (analysis)
e. Sintesis (syntesis)
f. Evaluasi (evaluation)
a. Pendidikan
22
maka seseorang akan cendurung untuk mendapatkan informasi, baik dari
orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang
masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan,
pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan
dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula
pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula,
peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal.
b. Massa media/informasi
23
diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan
mempengaruhi pengetahuan sesorang.
d. Lingkungan
e. Pengalaman
f. Usia
24
1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang di
jumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah
pengetahuannya.
2) Tidak dapat mengerjakan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua
karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat
diperkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya
usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya
kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat ternyata
IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya
usia.
25
Dalam kehidupan keseharian, banyak sekali kebiasaan dan tradisi yang
dilakukan oleh setiap orang, tanpa melalui penalaran apakah yang akan
dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan ini biasanya diwariskan
turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan tersebut
diperoleh berdasarkan pada pemegang otoritas, yakni orang yang
mempunyai wibawa atau kekuasaan, tradisi, otoritas pemerintah, otoritas
pemimpin agama maupun ahli ilmu pengetahuan atau ilmuan.
4) Berdasarkan Pengetahuan Pribadi
Pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini
mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber
pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.
5) Cara Akal Sehat (Common Sense)
Akal sehat atau Common Sense kadang dapat menemukan teori
kebenaran. Ilmu pendidiakn ini berkembang, para orang tua zaman
dahulu agar anaknya mau menuruti nasehat orang tuanya atau agar anak
disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila anak berbuat salah. Cara
menghukum anak ini sampai sekarang berkembang menjadi teori atau
kebenaran, bahwa hukum adalah merupakan metode (meskipun yang
paling baik) bagi pendidikan anak.
6) Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir
manusia pun ikut berkembang. Manusia telah mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Manusia memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan menggunakan jalan pikiran baik melalui
induksi maupun dedukasi.
7) Induksi
Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan
khusus kepernyataan yang bersifat umum. Induksi berarti berpikir dalam
26
pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman
empiris yang ditangkap oleh indera.
8) Dedukasi
Dedukasi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan
umum ke khusus. Proses berpikir dedukasi berlaku bahwa sesuatu yang
dianggap benar secara umum pada kelas tertentu, berlaku juga kebenaran
pada semua peristiwa yang terjadi dan termasuk dalam kelas itu. Proses
berpikir berdasarkan pada pengetahuan yang umum mencapai
pengetahuan yang khusus.
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada orang dewasa
ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian
ilmiah atau lebih populer disebut metodelogi penelitian (Research
Methodology).
5. Pengukuran Pengetahuan
27
a. Kategori baik yaitu menjawab benar 76%-100% dari yang diharapkan.
D. Perilaku Perawat
1. Pengertian Perilaku
Salah satu ciri manusia adalah berperilaku atau bertingkah laku namun tidak
mudah untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perilaku. Menurut
Azwar (1995) Psikologi memandang perilaku manusia (Human behavior)
sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks.
Menurut Walgito, (2005) Perilaku atau aktivitas-aktivitas disini adalah dalam
pengertian yang luas, yaitu meliputi perilaku yang nampak (overt behavior) dan
juga perilaku yang tidak nampak (inert behavior).
Menurut ahli dari aliran behavioris B.F. Skinner (dalam Damin, 2010) bahwa
semua perilaku dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lingkungan bukan oleh
kekuatan internal. Menurut Skinner (dalam Walgito, 2005) perilaku dibedakan
atas;
a. Perilaku yang dialami (innate behavior), yang kemudian disebut juga
sebagai respondet behavior yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang jelas, perilaku yang bersifat refleksif.
28
Dari pengertian perilaku diatas dapat disimpulkan, perilaku dapat disebut juga
bertingkah laku seorang individu yang melakukan aktifitas- aktifitas. Perilaku
meliputi perilaku yang nampak dan juga perilaku yang tidak nampak.
2. Teori Perilaku
Menurut Walgito (2010), Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan
individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Dalam hal ini
ada beberapa teori perilaku, yang dapat dikemukakan:
a. Teori Insting
Perilaku disebabkan karena insting. Insting merupakan perilaku yang innate,
perilaku yang bawaan, dan insting akan mengalami perubahan karena
pengalaman.
b. Teori Dorongan (Drive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu mempunyai
dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongan-dorongan ini berkaitan-
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong
organisme berprilaku.
c. Teori Insentif (Incentive Theory)
Dengan insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku.
Insentif juga disebut reinforcementada yang positif dan ada yang negative.
d. Teori Atribusi
Teori ini menjelaskan sebab-sebab perilaku manusia, pada dasarnya perilaku
manusia itu dapat atribusi internal, tetapi juga dapat atribusi eksternal.
e. Teori Kognitif
Dalam berperilaku seseorang harus memilih mana yang perlu dilakukan.
Dengan kemampuan berpikir seseorang akan dapat melihat apa yang telah
terjadi sebagai bahan pertimbangannya disamping melihat apa yang dihadapi
29
pada waktu sekarang dan juga dapat melihat kedepan apa yang akan terjadi
dalam seseorang bertindak.
1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rita Rahmawati, Mey Susanti tahun 2013
yang berjudul “ Pengetahuan Dan Sikap Perawat Pencegahan Infeksi
Nosokomial Dalam Pelaksanaan Cuci Tangan”. Penelitian ini menggunakan
desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di ruang
Flamboyan, Gardena, dan Wijaya Kusuma di RSUD Ibnu Sina Gresik, dengan
menggunakan purposive sampling, diambil 36 responden berdasarkan kriteria
inklusi. Data penelitian ini diambil dengan menggunakan kuesioner dan
observasi. Setelah data yang ada ditabulasi kemudian dianalisis dengan
menggunakan uji korelasi rank spearman dengan nilai signifikan α< 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat
tentang pencegahan infeksi nosokomial dengan mencuci tangan, dengan
tingkat signifikan 0,246 (α)> 0,05. Sikap menunjukkan tidak ada hubungan
antara sikap perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial dengan mencuci
tangan, tingkat signifikan 0,285 (α)> 0,05. Pengetahuan dan sikap positif
perawat tentang pencegahan infeksi nosokomial diperlukan untuk
meningkatkan pelaksanaan mencuci tangan di ruangan. Jika tujuan itu tercapai,
diharapkan bisa mengurangi infeksi nosokomial di rumah sakit.
30
2. Kadek Herna Rikayanti, Sang Ketut Arta tahun 2014 dalam penelitiannya yang
berjudul Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Mencuci Tangan
Petugas “Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Tahun 2013”.
Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dengan dengan metode
penelitian cross sectional. Jumlah sample dalam penelitian ini sebanyak 74
responden tenaga kesehatan di RSUD Badung yang terdiri dari dokter
spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, fisioterapis,
laboratorium/analis, dan radiografer. Data dikumpulkan melalui wawancara
dengan kuesioner dan pengukuran kemudian dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan uji bivariat (Chi-square) dan univariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tenaga kesehatan yang memiliki disiplin
baik sebanyak 58,1% memiliki pengetahuan yang baik dan 41,9% yang
memiliki pengetahuan buruk. Hasil uji statistik menunjukkan Nilai p = 0,39 (p
> 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan proporsi perilaku mencuci tangan
pada tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan baik dan yang memiliki
pengetahuan kurang. RSUD Badung harus melakukan evaluasi kembali
tentang keefektifan program pencegahan infeksi nosokomial rumah sakit
khususnya tentang kepatuhan tenaga kesehatan melakukan cuci tangan untuk
meningkatkan tingkat pengetahuan dan perilaku mencuci tangan tenaga
kesehatan.
31
Spearman Rho. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
pengetahuan, sikap dengan praktik perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial diruang rawat inap Rumah Sakit Islam Kendal dengan nilai p
value 0,002 dan 0,017. Diharapkan perawat untuk dapat mencari informasi
tentang pencegahan infeksi nosokomial, bersikap positif dan diharapkan
melakukan evaluasi diri dan menyadari pentingnya pencegahan infeksi
nosokomial sehingga dapat meningkatkan pelayanan pada pasien.
32
F. Kerangka Teori
Tingkat pengetahuan:
1. Tahu (know) Pengetahuan Infeksi Perilaku
2. Memahami (comprehesion) Nosokomial Perawat
Aplikasi (application)
4. Analisis (Analysis)
5. Sintesis (syntesis) Definisi Infeksi nosokomial :
6. Evaluasi (Evaluation) infeksi nosokomial dapat
Menurut; Efendi dan Makhfudli,2009 diartikan sebagai infeksi yang
diperoleh atau terjadi di rumah
sakit.
Menurut : Dharmadi (2008)
Faktor yang mempengaruhi
pengetahuan:
1. Pendidikan
Etiologi Infeksi
2. Massa media/Informasi
Nosokomial:
3. Sosia budaya dan ekonomi
4. Lingkungan 1. Faktor Ektrinsik:
5. Pengalaman - Petugas Medis
6. Usia - Peralatan Medis Cuci tangan:
- Lingkungan
- Makaan/ Minuman 1. Cuci tangan
- Penderita lain Hand wash
- Pengunjung 2. Cuci tangan
2. Faktor Intrinsik hand- rub
- Faktor penderita
- Faktor keperawatan
- Faktor patogen
Menurut: Dharmadi (2008)
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep satu dengan konsep lainnya, atau antara variabel yang lain
dari masalah yang diteliti (Notoatmodjo,2011).
Berdasarkan landasan teori yang diuraikan, maka pada BAB ini peneliti
menentukan kerangka konsep penelitian yaitu variabel independen, variabel
dependen dan variabel confounding. Penyusunan kerangka konsep akan
membantu kita untuk membuat hipotesis, menguji hubungan tertentu dan
membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang
dapat diamati atau diukur melalui konstruk atau variabel (Nursalam, 2008).
Kerangka Konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau
kaitan antara konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan
variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Masing-masing variabel yang disusun definisi operasionalnya yang merupakan
sebuah konsep atau variabel dengan prosedur spesifik yang dengan
menggunakan alat ukur (Polit & Beck, 2008).
34
Konsep Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Remaja
Terhadap Kejadian Fluor Albus.
Tingkat Pengetahuan
infeksi nosokomial Perilaku cuci tangan
1. Baik 1. Baik
2. Cukup 2. buruk
3. Kurang
Karakteristik Perawat
1. Umur
2. Pendidikan
3. Lama kerja
Variabel Cofounding
Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
35
dengan faktor resiko dan faktor akibat outcome (Notoatmodjo, 2010).
Variabel confounding penelitian ini adalah karakteristik Perawat.
B. Hipotesis
Hipotesis berasal dari kata hupo dan thesis. Hupo artinya sementara/lemah
kebenarannya dan thesis artinya pernyataan atau teori. Dengan demikian,
hipotesis berarti pernyataan sementara yang perlu di uji kebenarannya (Luknis,
2010).
C. Definisi Operasional
36
Hubungan tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat dengan perilaku
mencuci tangan di ruang rawat inap RS EMC Tangerang.
Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala ukur
penelitia operasional
Variabel Independent
Tingkat Pengetahuan Diukur dengan Responden Hasil ukur Ordinal
Pengetahuan perawat kuisoner skala mengisi dikatagorikan:
infeksi terhadap Guttman yang kuisioner Baik : 76-
nosokomial pengertian terdiri dari 15 100%
infeksi pertanyaan: Cukup : 56-
nosokomial dan Benar : 1 75%
cara Salah : 0 Kurang: <56%
mengendalikan
infeksi
nosokomial
Variabel Dependent
Perilaku cuci Tindakan yang Diukur dengan Responden Hasil ukur Ordinal
tangan dilakukan oleh kuisioner skala mengisi dikatagorikan
perawat dalam Likert kuisioner berdasarkan
mengendalikan - Sangat Setuju cut of point by
infeksi :4 mean:
nosokomial. - Setuju : 3 1. Perilaku
- Tidak setuju : baik bila skor ≥
2 28, 74.
- Sangat tidak 2. Perilaku
setuju:1 buruk bila skor
< 28,74.
37
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Deskriptif Analitik,
rancangan ini digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel yaitu
tingkat pengetahuan infeksi nosokomial perawat sebagai variabel independen
dan perilaku cuci tangan sebagai variabel dependen. Pendekatan waktu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Cross Sectional, yaitu desain penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel dimana variabel
independen dan dependen diidentifikasi pada satu waktu (Dharma, 2013).
1. Populasi
2. Sampel
38
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Semua yang dipelajari dari sampel, kesimpulannya akan berlaku
untuk populasi, setiap sampel harus diambil secara representatif (Hastono &
Sabri, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah perawat ruang rawat inap
RS. EMC Tangerang.
Menurut Setiadi (2007) rumus sampel yang digunakan jika jumlah populasi
lebih kecil dari 10.000 adalah
N
n=
1+ N ( d 2)
Keterangan :
N : Populasi
n : Sampel ]]
d : Tingkat Kepercayaan/Ketepatan yang diinginkan 5%-10%
(0,05-0,1) : Populasi
n
n1 =
1−f
Keterangan:
n1 = Besar sampel setelah dikoreksi
n = Jumlah sampel berdasarkan estimasi sebelumnya
f = Prodiksi presentase sampai drop out
39
Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan Proportionate
startified random sampling. Proportionate startified random sampling yaitu
Pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara
proporsional dilakukan sampling ini apabila anggota populasinya heterogen.
Sampel yang diambil adalah perwakilan perawat dari ruang Amabilis, ruang
Orchis, ruang Cattleya, ruang Cendrawasih A, dan ruang Cendrawasih B.
C. Tempat Penelitian
D. Waktu Penelitian
40
E. Etika Penelitian
Ketika melakukan penelitian, peneliti perlu mendapatkan rekomendasi dari
institusinya dan dari pihak lain dengan mengajukan izin kepada institusi tempat
peneliti. Setelah mendapatkan persetujuan, maka peneliti dapat melakukan
penelitian dengan menekankan etika penelitian yang mengacu pada: (Alimul,
2009).
1. Informed Consent
a. Pada awal pertemuan peneliti menjelaskan tentang penelitian yang
dilakukan berikut dengan tujuan, manfaat dan kerugian penelitian
kepada responden.
b. Setelah responden di berikan penjelasan, peneliti memberikan lembar
persetujuan kepada responden untuk bersedia menandatangani lembar
tersebut.
2. Anomity (Tanpa Nama)
Pada data yang diinput kedalam SPSS peneliti tidak mencantumkan nama
responden, tetapi data tersebut peneliti berikan kode.
3. Confidentiality
Peneliti menjaga kerahasiaan data responden dan peneliti tidak memasukan
data apapun yang bersifat rahasia pada laporan akhir.
4. Kejujuran
Pada penelitian ini peneliti jujur dalam pengumpulan bahan pustaka,
pengumpulan data, pelaksanaan metode dan prosedur penelitian
5. Tidak melakukan diskriminasi
Pada penelitian ini, peneliti menghindari perbedaan perlakuan karena alasan
jenis, ras, suku, dan faktor-faktor lain.
41
dapat memperkuat hasil penelitian. Alat pengumpulan data merupakan cara
peneliti untuk mengumpulkan data dalam penelitian (Hidayat, 2014).
1. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan
data. Instrumen penelitian dapat berupa: kuisioner (daftar pertanyaan),
formulir observasi, formulir-formulir lain yang berkaitan dengan
pencatatan data dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Intstrumen yang
digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data berupa kuisioner, untuk
kuisioner tingkat pengetahuan menggunakan skala ukur guttman dan untuk
pernyataan perilaku cuci tangan menggunakan skala ukur likert.
Pernyataan dalam kuisioner berupa pernyataan tertutup (closed ended
item) dimana responden tinggal memilih jawaban yang tersedia.
2. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2010) suatu alat ukur harus memiliki kriteria
validitas dan reabilitas. Kuisioner dapat digunakan sebagai alat ukur
penelitian, jika sudah dilakukan uji validitas dan reabilitas terlebih dahulu
dengan uji coba dilapangan.
a. Uji Validitas
Menurut Nursalam (2013) uji validitas adalah suatu pengukuran dan
pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam
mengumpulkan data.
Uji validitas adalah indeks yang menunjukan alat ukur yang digunakan
untuk mengukur ketetapan alat ukur. Tujuannya untuk mengetahui
sejauh mana ketepatan alat ukur tersebut dalam mengukur hasil
(Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini menggunakan uji validitas dengan rumus teknik korelasi
yang dipakai adalah Pearson Product Moment.
n ( Ʃxy )−( Ʃx . Ʃy )
R=
√¿¿¿
42
Keterangan:
R = Koefisien Kolerasi
n = Jumlah subjek/sampel
Keputusan Uji:
Bila rhitung lebih besar dari rtabel artinya variabel valid, Bila rhitung lebih
kecil dari rtabel artinya variabel tidak valid (Riwidikdo, 2013).
Rumus :
k 1− Ʃơ b2
[
r 11 =
][
( k−1) ơ t2 ]
43
Keterangan :
k = Banyaknya pertanyaan
44
c. Surat penelitian dikeluarkan oleh Direktur RS. EMC Tangerang, setelah
itu peneliti melakukan pengambilan data untuk penelitian.
2. Prosedur Teknis
a. Penelitian ini mengajukan izin kepada Direktur RS. EMC Tangerang,
secara lisan dan tertulis.
b. Pada saat penelitian, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta menjamin kerahasiaan identitas responden dan
hasil kuisoner.
c. Setelah mendapatkan calon responden, calon responden yang bersedia
diberikan lembar persetujuan (Informed Consent).
d. Sebelum dilakukan penyebaran kuisioner siswa laki-laki diperintahkan
untuk keluar aula karena semua responden hanya siswi perempuan.
f. Peneliti menyebarkan kuisioner kepada responden dan menjelaskan cara
pengisian kuisoner, diusahakan baik peneliti maupun responden tidak
saling mempengaruhi dalam pengisian kuisoner.
g. Peneliti memberikan waktu kepada responden untuk menjawab
pertanyaan dalam kuisioner dan mendampingi serta membantu responden
jika terdapat hal-hal yang tidak diinginkan.
h. Memberikan kesempatan kepada responden untuk memeriksa kembali
jawaban dan mengecek apakah kuisoner sudah terisi penuh atau belum.
Mengumpulkan kuisioner yang telah diisi oleh responden, memeriksa
kelengkapan jawaban dan menghitung kembali jumlah kuisioner yang
telah dibagikan.
i. Instrumen penelitian yang sudah diisi oleh responden di varifikasi,
dilakukan seleksi dan menggolongkan untuk persiapan pengolahan dan
analisa data.
45
Setelah melakukan pengumpulan data, peneliti kemudian mengolah data
dengan menggunakan computer melaluli beberapa tahap, yaitu:
a. Editing
Peneliti melakukan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau
kuisioner agar data yang telah dikumpulkan dapat diolah sehingga dapat
menghasilkan informasi yang benar. Pemasukan data dengan
memeriksa kelengkapan jawaban pertanyaan pada kuisioner secara
keseluruhan, kejelasan tulisan jawaban atau kelogisan jawaban.
b. Coding
Peneliti memberi tanda (kode) pada masing-masing jawaban dengan
angka untuk lebih mudah data menganalisa, memasukkan data.
c. Data Entry (Memasukan Data) atau Processing
Peneliti memasukan data ke dalam komputer dan mengolahnya dengan
menggunakan statistik. Sebelum entry data terlebih dahulu peneliti
melakukan pembuatan template berisi variable penelitian yang
dibutuhkan.
d. Cleaning data (Pemberhihan Data)
Peneliti melakukan koreksi atau pengecekan kembali data-data yang
sudah di entry apakah ada kesalahan atau tidak.
2. Analisis Data
a. Uji Normalitas
Uji normalitas berguna untuk menentukan apakah data yang telah
dikumpulkan merupakan distribusi normal atau tidak. Uji normalitas
dengan skewness dan kurtosis mempunyai kelebihan yang tidak dapat
diperoleh dari uji normalitas yang lain. Dimana dengan uji skewness
dan kutosis akan dapat diketahui grafik normalitas menceng ke kanan
atau ke kiri, terlalu datar atau mengumpul ditengah. Oleh karena itu, uji
normalitas dengan skewness dan kurtosis juga sering disebut dengan
ukuran kemencengan data. Cara dalam menguji normalitas dari nilai
skewness dan kurtosis yang diperoleh dengan membandingkan antara
46
nilai statistic skewness dibagi dengan Standar Error Skewness atau nilai
statistik kurtosis dibagi dengan Standar error kurtosis (Priyanto, 2014).
Sk = X - Mo
s
Keterangan :
Sk = Koefisien Skewness
X = Rata-rata
Mo = Modus
s = Simpangan baku
b. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat
tergantung dari jenis datanya. Data numeric digunakan nilai mean atau
rata-rata, median dan standar deviasi. Analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo,
2010).
Menurut Hastono & Sabri (2010) rumus yang digunakan pada analisis
univariat adalah:
Rumus Mean
Ʃx
x=
n
47
Rumus Median
n+1
median= n+1
2 median=
2
f f
P= x 100 % P= x 100 %
N N
c. Analisa Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan. Analisis biavariat menghasilkan hubungan antara satu
variable independen dan satu variable dependen, analisis bivariat
dilakukan melalui beberapa tahap yaitu membandingkan distribusi
silang antara dua variable tersebut, melihat hasil uji statistik yang dapat
disimpulkan adanya hubungan yang bermakna atau tidak bermakna
antara variabel independen dan dependendan menganalisis keeratan
hubungan dua variabel yang diuji. Uji statistik yang digunakan adalah
Chi Square yang bertujuan untuk mengetahui arah hubungan variabel
independen kategorik dan variabel dependen kategorik (Dharma, 2013).
Rumus :
(O−E 2)
X 2 =Ʃ
E
Keterangan :
X2 = Statistik chi square
O = Frekuensi hasil observarsi
48
E = Frekuensi yang diharapkan
49
DAFTAR PUSTAKA
50