Anda di halaman 1dari 4

BAB 3

DISKUSI

Telah dirawat pasien perempuan 43 tahun dengan efusi pleura kanan keganasan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pasien mengeluhkan sesak napas meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Sesak tidak menciut dan meningkat dengan aktivitas dan batuk. Sesak sudah
dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Pasien dirawat 4 hari di Yos Sudarso karena sesak napas
dan dilakukan rontgen toraks, dilakukan pengeluaran cairan dari dinding dada, berwarna
kemerahan, jumlah 350 cc. Kemudian pasien dirujuk ke RSUP Dr. M Djamil untuk
tatalaksana lebih lanjut. Pasien juga mengeluhkan batuk hilang timbul sejak 1 bulan yang
lalu, berdahak berwarna putih. Riwayat batuk darah 3 minggu yang lalu, nyeri dada sejak 1
bulan yang lalu tidak menjalar dan hilang timbul. Demam dan keringat malam tidak ada,
nyeri ulu hati, mual, muntah tidak ada. Penurunan nafsu makan ada, penurunan berat badan
sekitar 10 kg dalam 2 bulan. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Riwayat penyakit keganasan
diorgan lain tidak ada, riwayat TB Paru tidak ada, riwayat DM dan hipertensi tidak ada. Ibu
pasien menderita mioma uteri. Riwayat keluarga dengan TB paru tidak ada, riwayat keluarga
dengan DM dan hipertensi tidak ada. Pasien merokok sejak umur 12 tahun jumlah 20
batang/hari, sudah berhenti 2 bulan yang lalu.

Berdasarkan pemeriksaan fisik paru, pada inspeksi ditemukan dada kanan lebih
cembung daripada dada kiri, pergerakan dinding dada kanan tertinggal dari dinding dada kiri.
Pada palpasi ditemukan fremitus kanan lemah dari kiri. Pada perkusi dinding dada kiri
ditemukan sonor dan dinding dada kanan ditemukan redup. Pada auskultasi suara napas paru
kiri bronkovesikuler, tidak ada rhonki dan tidak ada wheezing. Pada paru kanan ditemukan
suara napas melemah sampai menghilang. Dari hasil laboratorium didapatkan kesan anemia
(Hb 11,0 gr/dl), leukositosis ( leukosit 10.260 sel/mm3), hiponatremia ( Na=134),
hipokalemia (K=4,4). Pada rontgen toraks ditemukan adanya perselubungan homogen di
lapangan paru kanan. Pada tanggal 12 Desember 2019 telah dilakukan pungsi pleura pada
pasien di linea aksilaris posterior RIC VIII dekstra, keluar cairan 900 cc hemoragik.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien diatas, dapat dicurigai pasien mengalami


gangguan pada ruang interpleura akibat adanya cairan sehingga membuat pengembangan
paru tidak maksimal dan muncul gejala sesak. Gangguan tersebut disebut efusi pleura. Efusi
pleura didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana terdapatnya cairan yang berlebih
jumlahnya di dalam cavum pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
pembentukan dan reabsorbsi (penyerapan) cairan pleura ataupun adanya cairan di cavum
pleura yang volumenya melebihi normal. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam
rongga pleura sekitar 5-15 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma,
kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu< 1,5 gr/dl. Cairan
dalam jumlah yang berlebih dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan
paru selama inhalasi. Dalam keadaan normal, rongga pleura berisi sedikit cairan untuk
sekedar melicinkan permukaan pleura parietalis dan visceralis, yang saling bergerak karena
pernapasan. Cairan masuk ke dalam rongga melalui pleura parieatalis yang bertekanan tinggi
dan diserap oleh sirkulasi di pleura visceralis yang bertekanan rendah dan diserap juga oleh
kelenjar limfe dalam pleura parietalis dan pleura visceralis.9,10
Efusi cairan pleura dapat berbentuk transudat dan eksudat. Efusi transudat terjadi
karena penyakit lain bukan primer paru seperti pada gagal jantung kongestif, sirosis hati,
sindroma nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis
konstriktiva, keganasan, atelektasis paru, dan pneumotoraks. Sedangkan pada efusi eksudat,
terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudatif yang paling sering
adalah akibat M. tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudatif tuberkulosa. Sebab lain
seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis, ekinokokus), jamur, pneumonia
atipik (virus, mikoplasma, legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis
lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis,
pleuritis uremia, dan akibat radiasi.8

Keganasan dapat menyebabkan efusi pleura dengan beberapa mekanisme, namun


secara umum cairan yang terbentuk merupakan cairan eksudat. Cairan eksudat merupakan
cairan yang memenuhi satu atau lebih kriteria Light, seperti rasio protein cairan pleura
terhadap protein serum >0,5, rasio lactate dehydrogenase (LDH) cairan pleura terhadap LDH
serum>0,6, dan level LDH cairan pleura lebih besar dari 2/3 batas atas level normal LDH
serum.8,10 Pada pasien diperoleh hasil analisis cairan pleura yaitu, jumlah sel 1475, PMN 10,
protein 6,8 g/dL, glukosa 19,7 g/dL. Berdasarkan dari hasil pemeriksaan tersebut, jenis cairan
adalah eksudat.

Mekanisme yang bertanggung jawab dalam pembentukan efusi pleura pada keganasan
adalah peningkatan permeabilitas membran atau dinding kapiler dengan atau tanpa kerusakan
vaskular dan obstruksi parsial atau lengkap saluran limfa pada rongga pleura.11,12

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disebabkan karena reaksi inflamasi yang


ditimbulkan oleh infiltrasi sel kanker pada pleura parietal dan atau viseral. Teori lain
menyebutkan peningkatan permeabilitas terjadi karena gangguan fungsi beberapa sitokin,
antara lain tumor necrosing factor-a (TNF-a), tumor growth factor-ß (TGF-ß) dan vascular
endothelial growth factor (VEGF).11 Peningkatan permeabilitas permukaan pleura
menyebabkan protein dan cairan lebih mudah memasuki rongga pleura sehingga cairan yang
terakumulasi memiliki kandungan protein yang relatif tinggi.13

Cairan pleura juga dapat terakumulasi ketika produksi lebih besar dibanding
pembersihan yang terutama terjadi melalui saluran limfe. Aliran limfe dihambat oleh tumor
sehingga dapat merusak mekanisme pembersihan normal protein dan cairan dari rongga
pleura. Absorpsi akan berkurang ketika tumor menginvasi sistem drainase dari pleura parietal
ke hilus dan nodus limfa mediastinum.13,14

Gejala yang ditimbulkan tergantung besar efusi dan penyakit yang mendasari. Gejala
tersering pada pasien efusi pleura adalah nyeri dada dan sesak napas. Sesak napas terjadi
karena refleks neurogenik paru dan dinding dada yang disebabkan penurunan keteregangan
(compliance) paru, penurunan volume paru ipsilateral, pendorongan mediastinum ke arah
kontralateral, dan penekanan diafragma ipsilateral. 10,11 Gejala lain adalah akumulasi cairannya
kembali dengan cepat walaupun dilakukan torakosentesis berkali-kali. Efusi pleura karena
keganasan biasanya unilateral, tetapi bisa juga bilateral karena obstruksi saluran getah
bening, adanya metastasis dapat mengakibatkan pengaliran cairan dari rongga pleura melalui
diafragma. Keadaan efusi pleura dapat bersifat maligna.8

Pemeriksaan fisik pada toraks menunjukkan hemitoraks yang terlibat efusi tampak
lebih cembung. Fremitus taktil pada palpasi bisa menurun atau tidak teraba akibat gangguan
hantaran getaran suara oleh cairan pleura. Pemeriksaan perkusi di bagian toraks yang terkena
efusi sebagian besar adalah pekak. Suara napas bisa menurun atau hilang saat pemeriksaan
auskultasi pada bagian yang terkena efusi karena gangguan transmisi suara napas dari paru ke
dinding dada.13,15

Pemeriksaan penunjang foto polos toraks merupakan pemeriksaan awal yang paling
penting dalam diagnosis pasien yang dicurigai efusi pleura. CT-Scan toraks juga dapat
dilakukan dan hasil lebih sensitif dibandingkan foto polos dalam mendeteksi pleura.
Diagnosis radiologi lain dapat dilakukan melalui USG dan MRI terutama untuk mendeteksi
efusi pleura yang kecil.13,16

Penatalaksanaan efusi pleura pada keganasan tergantung dari beberapa faktor, antara
lain penyakit dasar, jenis sel stadium, luas penyakit, tampilan dan angka harapan hidup.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan efusi pleura adalah memperbaiki keluhan dan
mengurangi cairan dalam rongga pleura dan menangani penyakit yang mendasari. Banyak
penderita yang memerlukan penatalaksaan invasif untuk menghilangkan gejala seperti
torakosentesis, pleurodesis, bedah pintas pleuroperitonial, dan pleurektomi. Terapi dengan
torakosentesis dan aspirasi cairan menjadi prosedur pertama dalam penatalaksanaan yang
berguna dalam menangani gejala sesak napas. Torakosentesis mempunyai efek terbatas.
Lebih dari 98% kasus efusi pleura ganas yang berhubungan dengan kanker paru akan kambuh
dalam 30 hari pasca torakosentesis pertama.13,16

Pada pasien ini telah dilakukan torakosintesis untuk mengurangi gejala sesak nafas
sekaligus evakuasi cairan pleura. Sebagai terapi terapeutik evakuasi ini bertujuan
mengeluarkan sebanyak mungkin cairan patologis yang tertimbun dalam rongga pleura,
sehingga diharapkan paru pada sisi yang sakit dapat mengembang lagi dengan baik, serta
jantung dan mediastinum tidak lagi terdesak kesisi yang sehat, dan penderita dapat bernapas
dengan lega kembali. Pengeluaran cairan pleura dianjurkan tidak sekaligus (maksimal 1500
mL) karena akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan edema
paru re-ekspansif. Komplikasi lain adalah hemotoraks, pneumotoraks, emfisema sub-kutis,
reflex vasovagal, hipotensi, gagal jantung, dan infeksi sekunder.17
9. Davies HE, Lee YCG. 2008. Pleural effusion, empyema, and pneumothorax. Di
dalam : Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editor. Clinical Respiratory Medicine.
Philadelphia (US) : Mosby Inc.Hlm 853-62.
10. Yataco JC, Dweik RA. 2005. Pleural effusions : evaluation and management.
Cleveland clinic journal of medicine, vol 72, No 10.
11. Ahmad Z, Krishnadas R, Froeschle P. 2009. Pleural effusion: Diagnosis and
management. Journal of Perioperative Practice; 19(8):242-247.
12. Kastelik J. 2013. Current management of pleural disorders. American Medical
Journal; 4(1):110-121
13. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. 2014. Principles of pulmonary medicine,
sixth edition. Philadelphia: Saunders.
14. Stathopoulos GT and Kalomenidis L. 2012. Malignant pleural effusion, tumor– host
interactions unleashed. Am J Respir Crit Care Med; 186:487–492.
15. Light RW. 2013. Pleural diseases sixth edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
16. Zarogoulidis K, Zarogoulidis P, Darwiche K, Tsakiridis K, Machairiotis N,
Kougioumtzi I, Courcoutsakis N, et al. 2013. Malignant pleural effusion and
algorithm management. J Thorac Dis; 5(S4):S413-S419.
17. Burrows CM, Mathews WC. Predicting Survival in Patients With Recurrent
Symptomatic Malignant Pleural Effusions. CHEST. 2000;117(1):73–8.
18.

Anda mungkin juga menyukai