Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK

SEDANG (COS) DAN INTRA CEREBRAL HEMORARGIC (ICH)


DI ISTALASI RAWAT INAP RUANG GARDENA
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

disusun guna memenuhi tugas pada Program Studi Pendidikan Profesi Ners (PSP2N)
Stase Keperawatan bedah

oleh
Erik Verawati, S.Kep
NIM. 182311101157

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan Askep pada pasien dengan Hipospadia (Chordae


Urebed Penis ) di Instalasi Bedah Sentral RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui
dan di sahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Instalasi Bedah Sentral di RSD dr. Soebandi Jember

Jember, Mei 2019

Mahasiswa

Erik Verawati, S.Kep.


NIM 182311101157

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan IBS
Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

Ns.Mulia Hakam,M.Kep.,Sp.Kep.MB Ns. Muhammad Syafari, S.Kep


NIP.19810319201404 1 001 NIP. 19780212 200501 1 010
A. Anatomi dan Fisiologi Otak
1. Bagian-bagian otak
Otak merupakan organ yang paling mengagumkan dari seluruh organ.
Otak merupakan organ utama dalam mengendalikan seluruh aktivitas tubuh yaitu
seperti angan-angan, keinginan dan nafsu, perencanaan dan ingatan. Otak manusia
berisi hampir 98% jaringan saraf tubuh atau sekitar 10 miliar neuron yang menjadi
kompleks secara kesatuan fungsional. Berat otak manusia kira-kira 2% dari berat
badan orang dewasa. Berat otak pada laki-laki lebih besar 10% dibandingkan
dengan perempuan, tidak ada korelasi antara besar otak dengan intelegensi
seseorang. Otak menerima 15% curah jantung, memerlukan sekitar 20%
pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori setiap harinya (Muttaqin,
2008).

Gambar 1. Bagian-bagian Otak manusia

1) Meningen otak
Jaringan otak dan medulla spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan
tulang belakang, serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen
(Muttaqin, 2008). Lapisan meningen terdiri dari piameter, lapisan
arakhnoid, dan durameter (Sloane, 2003). Masing-masing lapisan
merupakan suatu lapisan terpisah dan kontinyu. Antara lapisan piameter
dan arachnoid terdapat penghubung yang disebut travekula, pada
durameter disebut pakhimening, dan pada piameter dan arachnoid disebut
leptomening.

Gambar 2. Bagian Pelindung Otak


Sumber: Muttaqin (2008)
a) Durameter
Lapisan terluar adalah lapisan yang tebal dan terdiri dari dua lapisan.
Lapisan ini biasanya terus bersambungan, tapi terputus pada beberapa
sisi spesifik. Lapisan durameter terdiri dari sebagai berikut (Sloane,
2003).
(1) Lapisan periosteal luar. Lapisan ini melekat di permukaan dalam
kraniu dan berperan sebagai periostium dalam pada tulang
tengkorak.
(2) Lapisan meningeal dalam. Lapisan ini tertanam sampai ked lam
fisura otak dan terlipat kembali ke arahnya untuk membentuk
bagian-bagian seperti falks serebrum, falks serebulum, tentorium
serebulum, dan sela diafragma.
(3) Ruang subdural, memisahkan durameter dan arachnoid pada region
kranial dan medulla spinalis.
(4) Ruang epidural adalah ruangan potensial antara periosteal luar dan
lapisan meningeal dalam pada durameter di regia medulla spinalis.
b) Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membaran yang terletak diantara piameter
dan durameter yang mengandung sedikit pembuluh darah. Membran ini
dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale,
dan dari piameter oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal
fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu
rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid di bagian luar dan
piameter pada bagian dalam. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol
kedalam sinus venosus membentuk villi arachnoidales. Villi
arachnoidales ini berfungsi sebagai tempat penyerapan cerebrospinal
fluid ke dalam aliran darah.
c) Piameter
Lapisan piameter adalah lapisan yang terdalam dan tipis, serta melekat
erat pada otak. Piameter ini merupakan lapisan dengan banyak pembuluh
darah untuk memberi nutrisi pada jaringan saraf.
2) Cairan serebrospinal
Dalam setiap ventrikel terdapat struktur sekresi khusus yang disebut
pleksus koroideus, menyekresi cairan serebrospinal (cerebrospinal
fluid─CSF) yang jernih dan tidak berwarna, yang merupakan bantal cairan
pelindung di sekitar SSP. CSF terdiri atas air, elektrolit, gas oksigen dan
karbondioksida yang terlarut, glukosa, beberapa leukosit (terutama
limfosit), dan sedikit protein. Cairan ini berbeda dari cairan ekstraseluler
lainnya karena cairan ini mengandung kadar natrium dan klorida yang lebih
tinggi, sedangkan kadar glukosa dan kaliumnya lebih rendah.
Gambar 3. Aliran Cairan Cerebrospinal
Sumber: Muttaqin (2008)
3) Ventrikel
Ventrikel merupakan rangkaian dari empat rongga dalam otak yang saling
berhubungan dan dibatasi oleh ependima (semacam sel epitel yang
membatasi semua rongga otak dan medula spinalis serta mengandung
CSF). Pada setiap hemisfer serebri terdapat satu ventrikel lateral. Ventrikel
ketiga terdapat dalam diensefalon. Ventrikel keempat dalam pons dan
medula oblongata. Ventrikel lateral mempunyai hubungan dengan ventrikel
ketiga melalui sepasang foramen-interventrikularis (foramen monro).
Ventrikel ketiga dan keempat dihubungkan melalui suatu saluran sempit di
dalam otak tengah yang disebut akueduktus sylvius. Pada ventrikel
keempat terdapat tiga lubang sepasang foramen luschka di lateral dan satu
foramen magendie di medial, yang berlanjut hingga ke ruang subaraknoid
otak dan medula spinalis.
4) Serebrum (otak besar)
Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Serebrum memiliki
dua belahan (hemisfer) besar yaitu substansia grasia terdapat pada bagian
luar dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum
bagian dalam (Smeltzer & Bare, 2001). Fisura longitudinal membagi
serebrum menjadi dua yaitu hemisfer kanan dan kiri. Kedua hemisfer
tersebut memiki peranan masing-masing dalam sistem tubuh. Hemisfer
kanan mengendalikan sistem tubuh bagian kiri dan hemisfer kiri
mengendalikan sistem tubuh bagian kanan.

Gambar 4. Hemisfer otak kanan dan kiri


Keempat lobus serebrum adalah sebagai berikut (Muttaqin, 2008).
a) Lobus frontal merupakan bagian dari korteks serebrum bagian depan
yaitu dari sulkus sentralis (suatu fisura atau alur) dan di dasar sulkus
lateralis. Bagian ini memiliki area motorik dan paramotorik. Area
broca terletak di lobus ini dan mengontrol ekspresi bicara. Area
asosiasi menerima informasi dari seluruh otak dan menggabungkan
informasi-informasi tersebut menjadi pikiran, rencana, dan perilaku.
Lobus ini bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan, penentuan
keputusan moral, dan pemikiran yang kompleks. Lobus ini
memodifikasi dorongan-dorongan emosional yang dihasilkan oleh
sistem limbik dan refleks vegetatif dari batang otak.
b) Lobus parietal berada di tengah, daerah korteks yang terletak di
belakang sulkus sentralis di atas fisura lateralis, dan meluas ke
belakang ke fisura prieto-oksipitalis. Lobus ini merupakan area
sensorik primer otak untuk sensasi raba dan pendengaran. Lobus ini
menyampaikan infromasi sesnsorik ke banyak daerah lain di otak,
termasuk area sosiasi motorik dan visual di sebelahnya.
c) Lobus oksipital, ada di bagian paling belakang, terletak di sebelah
posterior dari lobus parietal dan di atas fisura parieto-oksipitalis, yang
memisahkan serebelum. Lobus ini adalah pusat asosiasi visual utama.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata.
d) Lobus temporal berada di bagian bawah, mencakup bagian korteks
serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura lateralis dan ke sebelah
posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini adalah area asosisasi
primer untuk informasi auditorik dan mencakup area Wernicke tempat
interpretasi bahasa. Lobus ini juga terlibat dalam interpretasi bau dan
penyimpanan memori.

Gambar 5. Bagian dan fungsi lobus pada serebrum


1) Serebelum (otak kecil)
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh
duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang
memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah
sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot,
serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan sikap tubuh (Muttaqin, 2008).

Gambar 6. Bagian otak serebelum


5) Batang otak
Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata,
pons dan mesensefalon (otak tengah) (Muttaqin, 2008).

Gambar 7. Bagian-bagian Batang Otak


Sumber: Muttaqin (2008)
a) Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk
jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan,
pengeluaran air liur dan muntah.
b) Pons merupakan serabut yang menghubungkan kedua hemisfer
serebelum serta menghubungkan mesensefalon di sebelah atas dengan
medula oblongata di bawah (Gambar 6). Pons merupakan mata rantai
penghubung yang penting pada jaras kortikoserebelaris yang
menyatukan hemisfer serebri dan serebelum. Bagian bawah pons
berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V
(trigeminus), VI (abdusen), dan VII (fasialis) terdapat di sini.
c) Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi
aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan
desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.
6) Diensefalon
Diensefalon dibagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus, epitalamus
dan hipotalamus (Muttaqin, 2008).
a) Talamus terdiri atas dua struktur ovoid yang besar (Gambar 7),
masing-masing mempunyai kompleks nukleus yang saling
berhubungan dengan korteks serebri ipsilateral, serebelum, dan dengan
berbagai kompleks nuklear subkortikal seperti yang ada dalam
hipotalamus, formasio retikularis batang otak, ganglia basalis, dan
mungkin juga subtansia nigra. Semua jaras sensorik utama (kecuali
sistem olfaktorius) membentuk sinaps dengan nukleus talamus dalam
perjalanannya menuju korteks serebri. Bukti-bukti menunjukkan
bahwa talamus bertindak sebagai pusat sensasi primitif yang tidak
kritis, yaitu individu dapat samar-samar merasakan nyeri, tekanan,
raba, getar, dan suhu yang ekstrem.
Gambar 8. Hubungan anatomis diensefalon dengan batang otak. (a) Dari sisi lateral; (b)
Dari sisi posterior. (Sumber: Simon dan Schuster, Fundamental of
Anantomy dan Physiology, edisi ke-4, New Jerdey: Prentice Hall, Inc.,
1998 dalam Muttaqin, 2008:14)
a) Subtalamus fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi
pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus yang ditandai
dengan gerakan kaki atau tangan yang kuat pada satu sisi tubuh.
b) Epitalamus berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar
seseorang.
c) Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem
susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan
emosi yaitu pengendalian secara tidak sadar dari kontraksi otot-otot
skeletal, pengendalian fungsi otonom, koordinasi aktivitas system
persarafan dan endokrin, sekresi hormone, menghasilkan dorongan
emosi dan perilaku, koordinasi antara fungsi otonom dan volunter, dan
mengatur suhu tubuh.
2. Sistem Limbik
Bagian yang termasuk dari sistem limbik adalah nukleus dan terusan batas
traktus antara serebri serta diensefalon yang mengelilingi korpus kalosum.
Sistem ini merupakan suatu pengelompokan fungsional bukan anatomis serta
mencakup komponen serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Struktur
kortikal utama adalah girus singuili (kingulata), girus hipokampus, dan
hipokampus. Bagian subkortikal mencakup amigdala, traktus olfaktorius, dan
septum (Muttaqin, 2008).

Gambar 9. (a) Diagram sistem limbik dengan gambaran melintang; (b) Rekonstruksi dari
gambaran tiga dimensi sistem limbik. Fungsi utamanya berhubungan
dengan bangkitan emosi. (Sumber: Simon dan Schuster, Fundamental of
Anantomy dan Physiology, edisi ke-4, New Jerdey: Prentice Hall, Inc.,
1998 dalam Muttaqin, 2008:16)

Secara fungsional sistem limbik berkaitan dengan hal-hal di bawah ini.


1) Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah
laku individu.
2) Suatu respons sadar terhadap lingkungan.
3) Memberdayakan fungsi intelektual korteks serebri ssecara tidak sadar dan
mengfungsikan secara otomatis batang otak untuk merespons keadaan.
4) Memfasilitasi penyimpanan memori dan menggali kembali simpanan
memori yang diperlukan.
5) Merespons suatu pengalaman dan ekspresi alam perasaan, terutama reaksi
takut, marah, dan emosi yang berhubungan dengan perilaku seksual.

3. Medula spinalis
Medula spinalis merupakan bagian dari sistem susunan saraf pusat.
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramina
intervertebrales. Terdapat 8 pasag saraf servikal (dan hanya 7 vertebra servikalis),
12 pasang saraf torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan
pasang saraf koksigeal. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament,
meningen spinal, dan CSF.

Struktur internal medulla spinalis terdapat substansi abu abu dan substansi
putih. Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian
luarnya oleh substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior
median fissure dan median septum yang disebut dengan posterior median septum.
Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal.
Substansi abu-abu mengandung badan sel, dendrit, neuron efferen, akson tak
bermyelin, saraf sensoris dan motoris, dan akson terminal dari neuron. Substansi
abu-abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior,
posterior dan comissura abu-abu. Bagian posterior sebagai input/afferent, anterior
sebagai output/efferent, comissura abu-abu untuk refleks silang dan substansi
putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
Gambar 10. Struktur medula spinalis
4. Sistem Saraf Tepi
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal.
a. Saraf kranial
Saraf kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan
tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina
(tunggal, foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan
dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah
olfaktorius (I), optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus
(V), abducens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII),
glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII).
Gambar 11. Gambaran 12 saraf kranial

Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial


SARAF KRANIAL KOMPONE FUNGSI
N
I Olfaktorius Sensorik Penciuman

II Optikus Sensorik Penglihatan

III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas,


konstriksi pupil, sebagian besar
gerakan ekstraokular
IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke
dalam
V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter
(menutup rahang dan
mengunyah) gerakan rahang ke
lateral
Sensorik - Kulit wajah, 2/3 depan kulit
kepala, mukosa mata, mukosa
hidung dan rongga mulut,
lidah dan gigi
- Refleks kornea atau refleks
mengedip, komponen
sensorik dibawa oleh saraf
kranial V, respons motorik
melalui saraf kranial VI
VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral

VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah


termasuk otot dahi, sekeliling
mata serta mulut, lakrimasi dan
salivasi
Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa,
manis, asam, dan asin)
VIII Cabang Sensorik Keseimbangan
Vestibularis
vestibulokoklearis

Cabang koklearis Sensorik Pendengaran


IX Glossofaringeus Motorik Faring: menelan, refleks muntah
Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk
rasa pahit
X Vagus Motorik Faring: menelan, refleks muntah,
fonasi; visera abdomen
Sensorik Faring, laring: refleks muntah,
visera leher, thoraks dan
abdomen
XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan
bagian atas dari otot trapezius:
pergerakan kepala dan bahu
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah

Sumber: Muttaqin, 2008:17


b. Saraf spinal
Saraf-saraf spinal pada manusia dewasa berukuran panjang sekitar 45 cm
dan lebar 14 mm. medulla spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf
dan masing-masing memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari
kanalis vertebralis melalui foramina intervertebralis. Pada saraf spinal
terdapat 8 pasang saraf servikal (dan hanya 7 vertebra servikalis), 12
pasang saraf torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan
1 pasang saraf koksigeal (Muttaqin, 2008).
Gambar 12. Bagian-bagian saraf spinal
Sumber: Muttaqin (2008)

5. Sirkulasi darah ke otak (Muttaqin, 2008)


Otak menerima 17% curah jantung dan menggunakan 20% konsumsi
oksigen total tubuh manusia untuk metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi oleh
dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Dalam rongga
kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk sistem
anastomosis, yaitu sirkulus willisi.

Gambar 13. Sirkulasi Darah Otak


Aliran darah vena otak tidak sellau parallel dengan suplai darah arteri.
Pembuluh darah vena meninggalkan otak melalui sinus durameter yang besar dan
kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. Arteri medulla spinalis
dan sistem vena paralel satu sama lain dan mempunyai hubungan percabangan
yang luas untuk mencukupi suplai darah ke jaringan.
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis
kira-kira setinggi rawan tiroidea. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak
dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum, menjadi arteri serebri
anteriordan media. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-
struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, kapsula interna,
korpus kolosum dan bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis dan
parietalis serebri,termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Arteri serebri
media mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalisdan frontalis korteks
serebri.
Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklaviasisi yang sama.
Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi
perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri
basilaris, terus berjalan sampai setinggi otak tengah, dan disini bercabang menjadi
dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang-cabang sistem
vertebrobasilaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, otak
tengah dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya
memperdarahi sebagian diensefalon,sebagian lobus oksipitalis dan temporalis,
aparatus koklearis dan organ-organ vestibular.
Darah di dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui venula-venula
(yang tidak mempunyai nama) ke vena serta didrainase ke sinus duramatris. Dari
sinus, melalui vena emisaria akan dialirkan ke vena-vena ekstrakranial.

2. Definisi Cedera kepala


Cedera kepala (Head injury) adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat
adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek
sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia Anderson Price, 1995).
Cedera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembbengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial (Smeltzer, 2000)
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah
trauma kepala,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a.       Cedera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b.      Cedera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma

2.      Klasifikasi
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma
Data Bank berdasarkan Score Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah
cedera kepala ringan, sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter
dalam menetukan terapi dan perawatan.
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
a.       Cedera Kepala Ringan
Nilai GCS 13 – 15 yang dapat terjadi kehilanga kesadaran atau amnesia akan
tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada
kontusio serebral dan hematoma.
b.      Cedera Kepala Sedang
Nilai GCS 9 – 12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.    
c. Cedera Kepala Berat
Nilai GCS 3 – 8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih
dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.
3. Pengertian Cedera Kepala Sedang (COS):
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu
cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila
GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada
penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia,
maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat
sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka
mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun
dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Cedera Kepala Sedang (COS):
- GCS 9 – 12
- Saturasi oksigen > 90 %
- Tekanan darah systale > 100 mm Hg
- Lama kejadian < 8 jam
3. Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
a. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak missal
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
b.      Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacum.
c.       Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
d.       Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
4.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis cedera kepala secara umum adalah :
a. Penurunan kesadaran
b. Keabnormalan pada sistem pernafasan
c. Penurunan reflek pupil, reflek kornea
d. Penurunan fungsi neurologis secara cepat
e. Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah,
bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
f. Pusing, vertigo
g. Mual dan muntah
h. Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisikAmnesia
i. Kejang
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)

1).     Cedera kepala Ringan (CKR)


a) GCS 13-15
b) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
c) Tidak ada fraktur tengkorak
d) Tidak ada kontusio celebral, hematoma
2).    Cedera Kepala Sedang (CKS)
a) GCS 9-12
b) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari
24 jam
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak
3).       Cedera Kepala Berat (CKB)
a) GCS 3-8
b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
c) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma
intracranial
(Hudak dan Gallo, 1996)

Tingkat Kesadaran
Berikut adalah tujuh tingkat kesadaran dan nilai GCS yang mewakilinya.
1. Kompos mentis, merupakan kondisi sadar sepenuhnya. Pada kondisi
ini, respon pasien terhadap diri sendiri dan lingkungan sangat baik.
Pasien juga dapa menjawab pertanyaan penanya dengan baik. Nilai
GCS untuk kompos mentis adalah 15-14.
2. Apastis, merupakan kondisi di mana seseorang tidak peduli atau
merasa segan terhadap lingkungan sekitarnya. Nilai GCS untuk apatis
adalah 13-12.
3. Delirium, merupakan kondisi menurunnya tingkat kesadaran yang 
disertai dengan kekacauan motorik. Pada kondisi ini pasien mengalami
gangguan siklus tidur, merasa gelisah, mengalami disorientasi, merasa
kacau, hingga meronta-ronta. Nilai GCS adalah 11-10.
4. Somnolen, merupakan kondisi mengantuk yang cukup dalam namun
masih bisa dibangunkan dengan menggunakan rangsangan. Ketika
rangsangan tersebut berhenti, maka pasien akan langsung tertidur
kembali. Nilai GCS untuk somnolen adalah 9-7.
5. Sopor, merupakan kondisi mengantuk yang lebih dalam dan hanya
dapat dibangunkan melalui rangsangan yang kuat seperti rangsangan
nyeri. Meskipun begitu pasien tidak dapat bangun dengan sempurna
dan tidak mampu memberikan respons verbal dengan baik. Nilai GCS
adalah 6-5.
6. Semi-koma atau koma ringan, merupakan kondisi penurunan kesadaran
di mana pasien tidak dapat memberikan renspons pada rangsangan
verbal dan bahkan tidak dapat dibangunkan sama sekali. Tetapi jika
diperiksa melalui mata maka masih akan terlihat refleks kornea dan
pulpil yang baik. Pada kondisi ini respons terhadap rangsangan nyeri
tidak cukup terlihat atau hanya sedikit. Nilai GCS untuk semi-koma
adalah 4.
7. Koma, merupakan kondisi penurunan tingkat kesadaran yang sangat
dalam. Dalam kondisi ini tidak ditemukan adanya gerakan spondan dan
tidak muncul juga respons terhadap rangsangan nyeri. Nilai GCS untuk
koma adalah 3.
4. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible
untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi
pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari
lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun
telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab
utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan
pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita
cedera kepala traumatik berat.

a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial.
Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan
gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan
kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal
bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-
gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang
lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala
kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar.
Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada
sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti
dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan
oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang
berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan
atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla,
karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi
pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas
deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai
kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada
siku  terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.
Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai
pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil.
Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon
akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Komplikasi
a.       Kerusakan saraf cranial
 Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut
hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
     Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita.
Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan
reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6
minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil
yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.

     Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan
latihan ortoptik dini.
     Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata,
mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
    Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara
koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat
pada salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan
pada organ lain.
b.      Disfasia
Secara ringkas disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami
atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
c.       Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks,
subkorteks
atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah
perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
d.      Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan
kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera
kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung,
gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan
gangguan fungsi seksual.
e.       Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera
pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang
dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan
stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, 
diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
f.       Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu
pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih
dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya
muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami
epilepsi setelah 4 tahun kemudian
5. Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga
homeostasis otak. Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang
harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita
yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila
denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar
50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya
dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera
sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan
keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang
baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari
leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan
tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan
penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks
okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain;
a. Fasilitas CT scan tidak ada,
b. Hasil CT scan abnormal,
c. Semua cedera tembus,
d. Riwayat hilangnya kesadaran,
e. Kesadaran menurun,
f. Sakit kepala sedang-berat,
g. Intoksikasi alkohol/obat-obatan,
h. Kebocoran liquor (rhinorea-otorea),
i. cedera penyerta yang bermakna,
j. GCS < 15.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom
intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur
tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.
Penatalaksanaan Khusus:
Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
1. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal
2. Foto servikal jelas normal
3. Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
1. Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
2. Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
3. Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
4. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
5. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
b.    Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),
dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat.
Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat
nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi
intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
c.    Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi
bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus
segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan
cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
1) Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
2) Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw
trust.
3) Monitor tekanan darah
4) Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan.
5) Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena
air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air
(D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
6) Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
7) Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
8) Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian
300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus
dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah
hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan
risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya
dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
9) Profilaksis trombosis vena dalam
10) Profilaksis ulkus peptic
11) Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea,
rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
12) CT Scan lanjutan
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi
(perdarahan atau ruptur atau fraktur).
b. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
c. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
d. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
e. Thorax X rayUntuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
g. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
B. Intracerebral hematom (ICH)
1. Definisi Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara
klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah
evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang
menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan
prognose perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999).
Intracerebral hemorargic adalah salah satu perdarahan otak bagian dari stroke
hemorargi akibat pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena
hipertensi yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk
masa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan
TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi
otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh hipertensi sering dijumpai di
daerah putamen, thalamus, pons, dan serebelum (Muttaqin, 2008).
Intrasecerebral hemoragi adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri.
Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala
terbuka. Intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik
akibat melebarnya pembuluh nadi (Corwin, 2009).

Gambar 14. Intracerbral Hemarargi


2. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2001) intraserebral hemorargi merupakan
perdarahan di substansi dalam otak yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu sebagai berikut.
1) Hipertensi
2) Aterosklerosis serebral
3) Malformasi arteri-vena
4) Hemangioblastoma
5) Trauma
6) Akibat dari penyakit tertentu seperti tumor otak
7) Pemakaian medikasi (antikoagulan oral, amfetamin, dan berbagai obat
aditif).

3. Manifestasi Klinik
Menurut Batticaca (2008), gejala yang dapat muncul pada intraserebral
hemorargi (parenchymatous hemorrhage) adalah sebagai berikut.
1) Tidak jelas, kecuali nyeri kepala berat karena hipertensi
2) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau marah
3) Mual atau muntah pada permulaan serangan
4) Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan
5) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang
dari setengah jam sampai 2 jam; < 2% terjadi setelah 2 jam- 9 hari)

4. Patofisiologi (Muttaqin, 2008)


Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral akan lebih sering
meyebabkan kematian karena perdarahan yang luas mengakibatkan destruksi
massa otak, peningkatan intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan
herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat
disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak
sekunder atau ekstensi perdarahan k ebatang otak. Perembesan darah ke ventrikel
otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus,
dan pons. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat menjadi anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan anoksia serebral dapat reversible untuk waktu 4-6
menit. Perubahan irreversible jika anoksia lebih dari 10 menit.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat perdarahan yang relative banyak akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial dan penurunan perfusi otak serta
gangguan drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan iskemik
akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan
prognosis. Jika volem darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93%
pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan jika
perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75%, namun volume darah 5cc dan terdapat di pons sudah
berakibat fatal.
5. Perdarahan yang sering ditemukan:
 Epidural Hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang
paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil
ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan
nadi, peningkatan suhu.
 Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut
terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2
minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan
edema pupil.
 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi
kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
 Perdarahan Subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral
dan kaku kuduk.
6. Pemeriksaan khusus dan penunjang
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien stroke hemoragi
menurut Muttaqin (2008) adalah sebagai berikut.
1) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.

Gambar 15. Hasil Angiografi pada Pasien dengan Stroke Hemorargi


Sumber: Muttaqin (2008)
2) CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi henatoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
Gambar 16. The dynamic evolution of a CT Perfusion Spot Sign. A 86-year old
female patient presenting within 105 min of symptom onset. Individual
frames extracted from a dynamic CT perfusion study are presented.
(A,B) No contrast enhancement is seen within the first 9 s. (C,D)  At
18 s early contrast is seen within a CT Spot Sign, peaking at 36 s (E).
Dissipation of contrast material is seen on delayed image at 36 s (F).

3) Pungsi lumbal
Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan
adanya proses inflamasi.
4) MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/luas terjadinya perdarahan otak.

Gambar 17. Hasil MRI pada Pasien dengan Stroke HemorargiSumber: Muttaqin (2008)
5) USG Doppler.
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6) EEG
Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
7) EKG
Pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan apakah terdapat disritmia,
yang dapat menyebabkan stroke. Perubahan EKG lainnya yang dapat
ditemukan adalah inversi gelombang T, depresi ST, dan kenaikan serta
perpanjangan QT.
B. Pat way
Cidera Kepala TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi Hypoxemia

Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder
Komotio
Kontutio
Lateratio Kerusakan Sel Otak 
Gangguan Autoregulasi  Rangsangan Simpatis Stress

Aliran Darah Keotak   Tahanan Vaskuler  Katekolamin


Sistemik & TD   Sekresi Asam Lambung

O2   Ggan Metabolisme  Tek. Pemb.Darah Mual, Muntah


Pulmonal

Asam Laktat   Tek. Hidrostatik Asupan Nutrisi Kurang

Oedem Otak Kebocoran Cairan Kapiler

Ggan Perfusi Jaringan Oedema Paru  Cardiac Out Put 


Cerebral
Difusi O2 Terhambat Ggan Perfusi Jaringan

Gangguan Pola Napas  Hipoksemia, Hiperkapnea

Hubungan Cedera Kepala Terhadap Munculnya Masalah Keperawatan

Cedera Kepala Primer Cedera Kepala Sekunder


-Komotio, Kontutio, -Hipotensi, Infeksi General, Syok,
Laserasi Cerebral Hipertermi, Hipotermi,
Hipoglikemi

Gangguan vaskuler serebral dan produksi prostaglanding


dan peningkatan TIK

Nyeri
Intracerebral
Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung

Kerusakan / Penurunan ADO2, VO2, CO2,


Penekanan Sel Otak Komotio Cerebri Peningkatan Katekolamin,
Local / Difus
Kontutio Cerebri Peningkatan Asam Laktat

Lateratio Cerebri

Gangguan kesadaran /
Penurunan GCS Edema Cerebri

Gangguan Seluruh Gangguan Sel Glia / Kejang


Kebutuhan Dasar Gangguan Polarisasi
(Oksigenasi, Makan,
Minum, Kebersihan
Diri, Rasa Aman, Resiko Trauma
Gerak, Aktivitas Dll

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
Pengkajian keperawatan meliputi:
i. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
ii. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
iii. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
iv. Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
v. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
vi. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada
spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
vii. Tingkat Kesadaran
1. Kualitatif dengan :
a. CMC
Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik
terhadap orang tempat dan waktu.
b. APATIS
Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap
lingkungannya.
c. CONFUSE
Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
d. SAMNOLEN
Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang,
klien tidur lagi.
e. SOPOROUS COMA
Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya
inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna.
f. KOMA
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan. 
2) Kuantitas dengan GCS
a.  Mata (Eye)
Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri              1
Membuka mata dengan rangsangan nyeri                      2
Membuka mata dengan perintah                                   3
Membuka mata spontan                                               4
b. Motorik (Motoric)
Tidak berespon dengan rangsangan nyeri                       1
Eksistensi dengan rangsangan nyeri                              2
Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri                   3         
Fleksi siku dengan rangsangan nyeri                             4
Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri                        5
Bergerak sesuai perintah                                                6
c. Verbal (V)
Tidak ada suara                                                             1
Merintih                                                                       2
Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti                          3
Dapat diajak bicara tapi kacau                                       4
Dapat berbicara, orientasi baik                                       5
h) Exposure
Suhu, lokasi luka.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab
nyeri/cedera: Peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ?
Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/
tidak. Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan
pernapasan. Apakah klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah
mengalami gangguan sensorik atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah
kecelakaan bagimana penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi. 
c.  Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis
seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
d.  Pengkajian Head To Toe
1) Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien.
2. Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan leher. Kaji
kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada indera. Pada penderita stroke
biasanya terjadi gangguan pada penglihatan maupun pembicaraan.
3. Pemeriksaan dada
Paru-paru
Inspeksi     : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi       : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi       : suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor, timpani)
Jantung
Inspeksi      : amati iktus cordis
Palpalsi      : raba letak iktus cordis
Perkusi       : batas normal jantung yaitu:
                    Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas: SIC II LSB, kanan bawah: SIC IV
RSB, kiri bawah: SIC V medial 2 MCS
4. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi       : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan
Palpasi        : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
Perkusi       : suara peristaltic usus
Auskultasi   : frekuensi bising usus
5. Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat bantu.

11. Diagnosa Keperawatan


a.      Nyeri akut berhubungan dengan agencidera biologis kontraktur
b.      Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
persepsi/kognitif, terapi pembatasan/kewaspadaan keamanan, mis: tirah baring,
immobilisasi.
c.       Kerusakan memori berhubungan dengan hipoksia, gangguan neurologis
d.     Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas ditandai dengan dyspnoe
e.      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perubahan kadar
elektrolit serum (muntah)
f. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan trauma
jaringanotak
g. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma, riwayat jatuh.
h. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
penurunan ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral.
i. Resiko infeksi
j. Resiko cidera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran, gelisah,
agitasi, gerakan involunter dan kejang
k. Ansietas
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
Kerusakan perfusi jaringan serebral NIC 1. Mengetahui adanya resiko peningkatan TIK
NOC Outcome :
1. Circulatory care 2. Peningkatan aliran vena dari kepala
1. Perfusi jaringan cerebral
2. Monitor vital sign menyebabkan penurunan TIK
2. Balance cairan
3. Monitor status neurologi 3. Mengurangi edema cerebri
Client Outcome :
4. Monitor status hemodinamik
1. Vital sign membaik
5. Posisikan kepela klien head Up 30o
2. Fungsi motorik sensorik membaik
6. Kolaborasi pemberian manitol sesuai order
Ketidakefektifan jalan nafas NOC Outcome : NIC :
1. Status respirasi : pertukaran gas Manajemen jalan napas Mengetahui kepastian dan kepatenan kebersihan
2. Status respirasi : kepatenan jalan nafas 1. Monitor status respirasi dan oksigenasi jalan nafas
3. Status respirasi : ventilasi 2. Bersihkan jalan napas
4. Kontrol aspirasi 3. Auskultasi suara pernapasan
4. Berikan oksigen sesuai program
Client Outcome : NIC :
1. Jalan napas paten Suctioning air way Membebaskan jalan napas terhadap akumulasi
2. Sekret dapat dikeluarkan 1. Observasi sekret yang keluar sekret guna terpenuhinya kebutuhan oksigenasi
3. Suara napas bersih 2. Auskultasi sebelum dan sesudah melakukan suction klien
3. Gunakan peralatan steril pada saat melakukan
suction
4. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
tindakan suction
Kerusakan integritas kulit NOC Outcome : NIC :
     Integritas jaringan 1. Perawatan luka dan pertahanan kulit Mengetahui seberapa luas kerusakan integritas
2. Observasi lokasi terjadinya kerusakan integritas kulit kuliMencegah terjadinya penekanan pada area
Client Outcome : 3. Kaji faktor resiko kerusakan integritas kulit dekubibus
    Integritas kulit utuh 4. Lakukan perawatan luka
5. Monitor status nutrisi
6. Atur posisi klien tiap 1 jam sekali
7. Pertahankan kebersihan alat tenun
Intolerasi aktivitas NOC Outcome : NIC :
1. Pergerakan sendi aktif Terapi latihan (pergerakan sendi) Dengan latihan pergerakan akan mencegah
2. Tingkat mobilisasi 1. Observasi KU klien terjadinya kontraktur otot
3. Perawatan ADLs 2. Tentukan ketebatasan gerak klien
3. Lakukan ROM sesuai kemampuan
Client Outcome : 4. Kolaborasi dengan terapis dalam melaksanakan
1. Peningkatan kemampuan latihan
dan kekuatan otot dalam
bergerak NIC :
2. Peningkatan aktivitas fisik Terapi latihan (kontrol otot) Meminimalkan terjadinya kerusakan mobilitas fisik
1. Evaluasi fungsi sensori
2. Tingkatkan aktivitas motorik sesuai kemampuan
3. Gunakan sentuhan guna meminimalkan spasme otot
Resiko terjadi infeksi NOC Outcome : NIC : Kontrol infeksi
1. Status imunologi 1. Pertahankan kebersihan lingkungan Meminimalkan invasi mikroorganisme penyebab
2. Kontrol infeksi 2. Batasi pengunjung infeksi kedalam tubuh
3. Kontrol resiko 3. Anjurkan dan ajarkan pada keluarga untuk cuci
tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
4. Gunakan teknik septik dan aseptik dalam perawatan
Client Outcome : klien
1. Bebas dari tanda-tanda infeksi 5. Pertahankan intake nutrisi yang adekuat
2. Angka leukosit dalam batas normal 6. Kaji adanya tanda-tanda infeksi
3. Vital sign dalam batas normal 7. Monitor vital sign
8. Kelola terapi antibiotika

NIC : Pencegahan infeksi Mencegah terjadinya infeksi lanjutan


1. Monitor vital sign Memberikan perlindungan pada klien tehadap
2. Monitor tanda-tanda infeksi paparan mikroorganisme penyebab infeksi
3. Monitor hasil laboratorium Memastikan pengobatan yang diberikan sesuai
4. Manajemen lingkungan program
5. Manajemen pengobatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut NOC NIC
Definisi: pengalaman sensori danemosional yang tidak Pain Level Pain Management
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang Pain control 1. Lakukanlah pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan Comfort Level lokasi, karakteristik, durasi, frekwensi, kualitas dan faktor
sedemikian rupa (International Association for the study of Pain), Criteria nyeri: presipitasi
awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri), 2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan mampu menggunakan teknik nonfarmakologi 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
berlangsung kurang dari 6 bulan untuk menguranginyeri pengalaman nyeri pasien
Batasan karakteristik: 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
1. Perubahan selera makan menggunakan menejemen nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
2. Perubahan tekanan darah 3. Mampu mengenali nyeri(skala, intensitas, 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
3. Perubahan frekwensi jantung frekuensi, dan tanda nyeri) ketidakefektifan control nyeri masa lampau
4. Perubahan frekwensi pernapasan 4. Menyatakan rasa aman setelah nyeri berkurang 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
5. Laporan isyarat dukungan
6. Diaphoresis 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
7. Perilaku distraksi ruangan, pencahayaan dan kebisingan
8. Mengekpresikan perilaku 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
9. Masker wajah 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
10. Sikap melindungi area nyeri farmakologi, dan interpersonal)
11. Indikasi nyeri yang dapat diamati 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
12. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri 12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
13. Sikap tubuh melindungi 13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
14. Dilatasi pupil 14. Tingkatkan istirahat
15. Melaporkan nyeri secara verbal 15. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri
16. Gangguan tidur tidak berhasil
Faktor yang berhubungan 16. Monitor penerimaan pasien tentang menejemen nyeri
Agen cidera (mis: biologis, sat kimia, fisik, psikologis)

2. Hambatan mobilitas fisik NOC NIC


Definisi : Keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau Join Movement : Active Exercise theraphy : ambulation
lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah Mobility Level 1. Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon
Batasan karakteristik : Self care : ADLs pasien saat latihan
1. Penurunan waktu reaksi Transfer Performance 2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai
2. Kesulitan membolak balik posisi Kriteria Hasil kebutuhan
3. Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat dan cegah terhadap cedera
4. Dispnea setelah beraktivitas 2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 4. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
5. Perubahan cara berjalan 3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan 5. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
6. Gerakan bergetar kekuatan dan kemampuan berpindah 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri
7. Keterbatasan kemampuan melakukan ketrampilan motorik 4. Memperagakan penggunaan alat sesuai kemampuan
halus 5. Bantu untuk mobilisasi 7. Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi
8. Keterbatasan kemampuan melakukan ketrampilan motorik kebutuhan ADLs pasien
kasar 8. Berikan alat bantu jika pasien memerlukan
9. Keterbatasan rentang pergerakan sendi 9. Ajarkann pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan
10. Tremor akibat pergerakan jika diperlukan
11. Ketidakstabilan postur
12. Pergerakan lambat
13. Pergerakan tidak terkoordinasi
Faktor yang berhubungan
1. Gangguan kognitif
2. Gangguan neuromuscular
3. Gangguan sensori perceptual

3. Kerusakan memori NOC NIC


Definisi : Ketidakmampuan mengingat beberapa informasi atau Tissue perfusion Cerebral 1. Memantau ukuran pupil, bentuk, simetridan reaktivitas
ketrampilan perilaku Acute Confusion Level 2. Memantau tingkat kesadaran
Batasan karakteristik Environment interpretation syndrome impaired 3. Memantau tingkat orientasi
1. Lupa melakukan perilaku pada waktu yang telah dijadwalkan Kriteria Hasil : 4. Memantau tren Glascow Coma Scale
2. Ketidakmampuan mempelajari informasi baru 1. Mampu untuk melakukan proses mental yang 5. Memonitor memori baru, rentang perhatian, memori masa lalu,
3. Ketidakmampuan melakukan ketrampilan yang telah kompleks suasana hati, mempengaruhi dan perilaku
dipelajari sebelumnya 2. Orientasi kognitif : mampu untuk mengidentifikasi 6. Memonitor tanda-tanda vital
4. Ketidakmampuan mengingat peristiwa orang, tempat dan waktu secara akurat 7. Memonitor status pernafasan : ABG tingkat, oksimetri pulse,
5. Ketidakmampuan mengingat informasi actual 3. Konsentrasi : mampu fokus pada stimulus tertentu kedalaman, pola, tingkat dan usaha
6. Ketidakmampuan mengingat perilaku tertentu yang pernah 4. Ingatan(memori) : mampuuntuk mendapatkan 8. Memantau ICP dan CCP
dilakukan kembali secara kognitif dan menyampaikan 9. Memantau reflex kornea
7. Ketidakmampuan menyimpan informasi baru kembali informasi yang disimpan sebelumnya 10. Memantau reflex batuk dan muntah
8. Ketidakmampuan menetrasi ketrampilan baru 5. Kondisi neurologis : kemampuan sistem syaraf 11. Memantau kekuatan otot, gerakan motorik
9. Menegeluh mengalami lupa perifer dan sistem syaraf pusat untuk menerim, 12. Memantau simetri wajah
memproses, dan memberi respon terhadap stimuli
Faktor yang berhubungan internal dan eksternal 13. Memantau tonjolan lidah
Hipoksia 6. Kondisi neurologis : kesadaran 14. Memantau untuk gangguan visual
Gangguan neurologis 7. Menyatakan mampu mengingat lebih baik 15. Catatan keluhan sakit kepala
16. Memantau karakteristik berbicara
17. Pantau respon terhadap rangsangan verbal, taktil dan berbahaya
18. Memantau diskriminasi tajam/ tumpul, panas/ dingin
19. Memantau untuk parasthesia : kesemutan dan mati rasa
20. Memantau indera penciuman
21. Memantau respon Babinski
22. Memantau respon Chusing
23. Memantau kraniotomi/ laminektomi pembalut untuk drainase
24. Pantau respon terhadap obat
25. Meningkatkan frekuennsi pemantauan neurologis
26. Hindari tindakan yang meningkatkan tekanan intracranial
27. Beritahu dokter dari perubahan dalam kondisi pasien
28. Melakukan protocol darurat sesuai kebutuhan

4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas NOC NIC


Definisi : Ketidakmampuan untuk memberisihkan sekresi atau Respiratory status : Ventilation Airway suction
obstruksi dari saluran pernafasan untuk mempertahankan Respiratory status : Airway 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning
kebersihan jalan nafas. 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
Batasan karakteristik Kriteria Hasil 3. Informasikan pada klien atau keluarga tentang suctioning
1. Tidak ada batuk 1. Mendemostrasikan batuk efektif dan suara 4. Minta klien nafas dalam sebelum suctioning
2. Suara nafas tambahan patencynafas yang bersih, tidak ada cyanosis dan 5. Berikan o2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction
3. Perubahan frekwensi nafas dyspneu nasotracheal
4. Perubahan irama nafas 2. Menunjukkan jalan nafas yang paten 6. Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
5. Cyanosis 3. Mampu mengidentifiksi dan mencegah faktor yang 7. Anjurkan klien untuk istrihata dan nafasdalam setelah caterer
6. Kesulitan berbicara atau mengeluarkan suara dapat menghambat jalan nafas dikeluarkan dari nasotracheal
7. Penurunan bunyi nafas 8. Monitor status oksigen klien
8. Dyspneu 9. Hentikan suction dan berikan oksigen apabila klien menunjukkan
9. Sputum dalam jumlah yang berlebihan bradikardia dan penurunan saturasi
10. Batuk yang tidak efektif Airway Management
11. Orthopneu 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik head tilt chin lift, jaw thrust bila
12. Gelisah perlu
13. Mata terbuka lebar 2. Posisikan klien untuk memaksimalkanventilasi
Faktor yang berhubungann 3. Identifikasi klien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
Lingkungan 4. Pasang OPA bila perlu
Obstruksi jalan nafas 5. Lakukakn fisioterapi dada bila perlu
1. Spasme jalan nafas 6. Keluarkan secret dengan batuk atau suction
2. Mokus dalam jumlah berlebihan 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
3. Eksudat dalam jalan alveoli 8. Lakukan suction pada OPA
4. Materi asing dalam jalan nafas 9. Berikan bronkodilator bila perlu
5. Adanya jalan nafas buatan 10. Berikan pelembab udara kassa basah, NaCl lembab
6. Sekresi 11. Monitor respirasi dan status o2
Fisiologis
5. Resiko kekurangan volume cairan NOC NIC
Definisi : Beresiko mengalami dehidrasi vascular, selular dan 1. Fluid balance Fluid Management
intraselular 2. Hydration 1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan
Faktor resiko : 3. Nutritronal Status : Food and Fluid Intake 2. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
1. Kehilangan volume cairan aktif Kriteria Hasil : 3. Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, nadi
2. Kurang pengetahuan 1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan
3. Penyimpangan yang mempengaruhi absorbs cairan dan BB, BJ urine normal, HT normal. 4. Monitor vital sign
4. Penyimpangan yang mempengaruhi akses cairan 2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas 5. Monitor masukan cairan/makanan dan hitung intake kalori harian
5. Penyimpangan yang mempengaruhi asupan cairan normal. 6. Kolaborasikan pemberian cairan IV
6. Kehilangan berlebihan melalui rute normal (misal: diare) 3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor 7. Monitor status nutrisi
7. Usia lanjut kulit baik, membrane mukosa lembab, tidak ada 8. Berikan cairan IV pada suhu ruangan
8. Berat badan ekstrem rasa haus yang belebihan. 9. Dorong masukan oral
9. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan (misal: status 10. Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
hipermetabolik) 11. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
10. Kegagalan fungsi regulator 12. Tawarkan snack (jus, buah)
11. Kehilangan cairan melalui rute abnormal (misal: siang 13. Kolaborasi dengan dokter
menetap) 14. Atur kemungkinan transfuse
12. Agens fermasutikal (misal: diuretik) 15. Persiapan untuk transfuse
Hypovolemia Management
16. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan
17. Pelihara IV line
18. Monitor tingkat Hb dan hematokrit
19. Monitor tanda vital
20. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan
21. Monitor berat badan
22. Dorong pasien untuk menambah intake oral
23. Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan
volume cairan
24. Monitor adanya tanda gagal ginjal

6. Resiko Ketidakseimbangan suhu tubuh NOC NIC


Definisi: Berisiko mengalami kegagalan mempertahankan suhu 1. Termoregulasi Newnorn Care
tubuh dalam kisaran normal. 2. Termoregulasi: Newborn 1. Pengaturan suhu: mencapai dan atau mempertahankan suhu
Faktor Risiko: Kriteria Hasil: tubuh dalam range normal
1. Perubahan laju metabolism 1. Suhu kulit normal 2. Pantau suhu bayi baru lahir sampai stabil
2. Dehidrasi 2. Suhu badan 360-370C 3. Pantau tekanan darah, nadi, dan pernafasan dengan tepat
3. Pemajanan suhu lingkungan yang ekstrem 3. TTV dalam batas normal 4. Pantau warna dan suhu kulit
4. Usia ekstrem 4. Hidrasi aekuat 5. Pantau dan laporkan tanda dan gejala hipotermi dan hipertermi
5. Berat badan ekstrem 5. Tidak hanya menggigil 6. Tingkatkan keadekuatan masukan cairan dan nutrisi
6. Penyakit yang mempengaruhi regulasi suhu 6. Gula darah DBN 7. Tempatkan bayi baru lahir pada ruangan isolasi atau bawah
7. Tidak beraktivitas 7. Keseimbangan asam basa DBN pemanas
8. Pakaian yang tidak sesuai untuk suhu lingkungan 8. Bilirubin DBN 8. Pertahankan panas tubuh bayi
9. Obat yang menyebabkan vasokontriksi 9. Gunakan matras panas dan selimut hangat yang disesuaikan
10. Obat yang menyebabkan vasodilatasi dengan kebutuhan
11. Sedasi 10. Berikan pengobatan dengan tepat untuk mencegah atau control
12. Trauma yang mempengaruhi pengaturan suhu menggigil
13. Aktivitas yang berlebihan 11. Gunakan matras sejuk dan mandi dengan air hangat untuk
menyesuaikan dengan suhu tubuh dengan tepat
Temperature Regulation (pengaturan suhu)
1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
2. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu
3. Monitor TD, nadi, dan RR
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan
efek negative dari kedinginan
10. Beritahu tentang indikasi terjadinya keletihan dsan penanganan
emergency yang diperlukan
11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan
12. Berikan anti piretik jika perlu
Temperature regulation: intraoperative
1. Mempertahankan suhu tubuh interaoperatif yang diharapkan

7. Resiko perdarahan NOC NIC


Definisi: Beresiko mengalami penurunan volume darah yang 1. Blood lose severity Bleeding precautions
dapat mengganggu kesehatan 2. Blood koagulation 1. Monitor ketattanda-tanda perdarahan
Faktor Resiko: Kriteria Hasil: 2. Catat nilai Hb dan HT sebelum dan sesudah terjadinya
1. Aneurisme 1. Tidak ada hematuria dan hematemesis perdarahan
2. Sirkumsisi 2. Kehilangan darah yang terlihat 3. Monitor nilai lab (koagulasi) yang meliputi PT, PTT, trombosit
3. Defisiensi pengetahuan 3. Tekanan darah dalam batas normal sistol dan 4. Monitor TTV ortostatik
4. Koagulopati intravaskuler diseminata diastole 5. Pertahankan bed rest selama perdarahan aktif
5. Riwayat jatuh 4. Tidak ada perdarahan pervagina 6. Kolaborasi dalam pemberian produk darah (platelet atau fresh
6. Gangguan gastrointestinal (misal: penyakit ulkus lambung, 5. Tidak ada distensi abdominal frozen plasma)
polip, varises) 6. Hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal 7. Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan
7. Gangguan fungui hati (misal: sirosis, hepatitis) 7. Plasma, PT, PTT, dalam batas normal 8. Hindari mengukur suhu lewat rectal
8. Koagulopati inheren (misal: trombositopenia) 9. Hindari pemberian aspirin dan anticoagulant
9. Komplikasi pascapartum (misal: atoni uteri, retensi 10. Anjurkan pasien untuk meingkatkan intake makanan yang
plasenta) banyak mengandung vitamin K
10. Komplikasi terkait kehamilan (misal: plasenta previa, 11. Hindari terjadinya konstipasi dengan menganjurkan untuk
kehamilan mola, solusio plasenta) mempertahankan intake cairan yang adekuat dan pelembut feses
11. Trauma Bleeding reduction
12. Efek samping terkait terapi (misal: pembedahan, pemberian 1. Indentifikasi penyebab perdarahan
obat, pemberian produk darah defisiensi trombosit, 2. Monitor trend tekanan darah dan parameter hemodinamik (CVP,
kemoterapi) pulmonary capillary/artery wedge pressure)
3. Monitor status cairan yang meliputi intake dan output
4. Monitor penentu pengiriman oksigen ke jaringan (PaO 2. SaO2 dan
level Hb dan cardiac output)
5. Pertahankan patensi IV line
Bleeding reduction: wound/luka
1. Lakukan manual pressure (tekanan) pada area perdarahan
2. Gunakan ice pack pada area perdarahan
3. Lakukan pressure dressing (perban yang menekan) pada area luka
4. Tinggikan ekstremitas yang perdarahan
5. Monitor ukuran dan karakteristik hematoma
6. Monitor nadi distal dari area yang luka atau perdarahan
7. Intruksikan pasien untuk menekan area luka pada saat bersin atau
batuk
8. Intruksikan pasien untuk membatasi aktivitas
Bleeding reduction: gastrointestinal
1. Observasi adanya darah dalam sekresi cairan tubuh: emesis,
feces, urine, residu lambung, dan drainase luka
2. Monitor complete blood count dan leukosit
3. Kolaborasi dalam pemberian terapi: lactulose atau vasopressin
4. Lakukan pemasangan NGT untuk memonitor sekresi dan
perdarahan lambung
5. Lakukan bilas lambung dengan NaCl digin
6. Dokumentasikan warna, jumlah, dan karakteristik feses
7. Hindari pH lambung yang ekstrem dengan kolaborasi pemberian
antacids atau histamine blocking agent
8. Kurangi faktor stress
9. Pertahankan jalan nafas
10. Hindari penggunaan anticoagulant
11. Monitor status nutrisi pasien
12. Berikan cairan IV
13. Hindari penggunaan aspirin dan ibuprofen

8. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak NOC NIC


Definisi: Beresiko mengalami penurunan sirkulasi jaringan otak 1. Circulation status Peripheral Sensation Management (Management sensasi perifer)
yang dapat menggangguu kesehatan 2. Tissue Prefusion: cerebral 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
Batasan karakteristik: panas/dingin/tajam/tumpul
1. Massa tromboplastin parsial abnormal Kriteria Hasil: 2. Monitor adanya paretese
2. Massa protombin abnormal 3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada isi atau
3. Sekmen ventrikel kiri akinetik Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai laserasi
4. Ateroklerosis aerotik dengan: 4. Gunakan sarung tangan untuk proteksi
5. Diseksi arteri 1. Tekanan sistol dan diastole dalam rentang yang 5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Fibrilasi atrium diharpakan 6. Monitor kemampuan BAB
7. Miksoma atrium 2. Tidak ada ortostatikhipertensi 7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Tumor otak 3. Tidak ada tanda-tanda peningkatan intracranial 8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Stenosis carotid (tidak lebih dari 15 mmHg) 9. Diskusikan mengenai penyebab perubahan sensasi
10. Aneurisme serebri
11. Koagulopati (mis: anemia sel sabit) Mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang
12. Kardiomiopati dilatasi ditandai dengan:
13. Koagulasi intravascular diseminata 1. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan
14. Embolime kemampuan
15. Trauma kepala 2. Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
16. Hiperkolesterolemia 3. Memproses informasi
17. Hipertensi 4. Membuat keputusan dengan benar
18. Endokarditis infeksi 5. Menunjukkan fungsi sesnsori motori cranial yang
19. Katup prostetik mekanis utuh: tingkat kesadaran membaik, tidak ada
20. Stenosis mitral gerakan-gerakan involunter
21. Neoplasma otak
22. Baru terjadiinfak miokardium
23. Sindrom sick sinus
24. Penyalahgunaan zat
25. Terapi trobolitik
26. Efek samping terkait terapi (bypass kardiopulmonal, obat)

9. Resiko Infeksi NOC NIC


Definisi: Mengalami peningkatan resiko terserag organism 1. Immune Status Infection Control (Kontrol Infeksi)
patogenik. 2. Knowledge: Infection control 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
Faktor-faktor resiko: 3. Risk control 2. Pertahankan teknik isolasi
1. Penyakit kronis 3. Batasi pengunjung bila perlu
a. Diabetes Melitus Kriteria Hasil: 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat
b. Obesitas 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi berkunjung meninggalkan pasien
2. Pengetahuan yang tidak cukup untuk menghindari 2. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
pemanjanan pathogen yang mempengaruhi penularan serta 6. Cuci tangan setiap sebelumdan sesudah tindakan perawatan
3. Pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat: penatalaksanaannya 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
a. Gangguan peristalsis 3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah 8. Pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat
b. Kerusakan intergritas kulit (pemasangan kateter timbulnya infeksi 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan
intravena prosedur invasif) 4. Jumlah leukosit dalam batas normal petunjuk umum
c. Perubahan sekresi pH 5. Menunjukkan perilaku hidup sehat 10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
d. Penurunan kerja siliaris kencing
e. Pecah ketuban dini 11. Tingkatkan intake nutrisi
f. Pecah ketuban lama 12. Berikan terapi antibiotic bila perlu Infection Protection (proteksi
g. Merokok terhadap infeksi)
h. Stasis cairan tubuh 13. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
i. Trauma jaringan (mis: trauma destruksi jaringan) 14. Monitor hitung granulosit, WBC
4. Ketidak adekuatan pertahanan sekunder 15. Monitor kerentanan terhadap infeksi
a. Penurunan hemoglobin 16. Batasi pengunjung
b. Imunosupresi (mis: imunitas didapat tidak adekuat, 17. Sering pengunjung terhadap penyakit menular
agen farmaseutikal termasuk imunosupresan, steroid, 18. Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang beresiko
antibody monoclonal, imunomodulator) 19. Pertahankan teknik isolasi k/p
c. Supresi respon inflamasi 20. Berikan perawatan kulit pada area epidema
d. Vaksinasi tidak adekuat 21. Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan, panas,
e. Pemajanan terhadap pathogen lingkungan meningkat drainase
(wabah) 22. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
f. Prosedur invasive 23. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
g. Malnutrisi 24. Dorong masukkan cairan
25. Dorong istirahat
26. Instruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai resep
27. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
28. Ajarkan cara menghindari infeksi
29. Laporkan kecurigaan infeksi
30. Laporkan kultur positif

10. Resiko cidera NOC NIC


Definisi: Beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi 1. Risk Kontrol Environment Management (Manajemen lingkungan)
lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber Kriteria Hasil: 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
defensive individu 1. Klien terbebas dari cedera 2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi
Faktor resiko: 2. Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk fisik dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu
a. Eksternal mencegah injury/cedera pasien
1. Biologis (mis: tingkat imunisasi komunitas, 3. Klien mampu menjelaskan faktor resiko dari 3. Menghindari lingkungan yang berbahaya (misalnya
mikroorganisme) lingkungan/perilaku personal memindahkan perabotan)
2. Zat kimia (mis: racun, polutan, obat, agenens farmasi, 4. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk 4. Memasang side rail tempat tidur
alcohol, nikotin, pengawet, kosmetik, pewarna) mencegah injury 5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
3. Manusia (mis: agens nosokomial, pola ketegangan, 5. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada 6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau
atau faktor kognitif, afektif, dan psikomotor) 6. Mampu mengenali perubahan status kesehatan pasien
4. Cara pemindahan/transport 7. Membatasi pengunjung
5. Nutrisi (mis: desain, struktur, dan pengaturan 8. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
komunitas, bangunan, dan atau peralatan) 9. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
b. Internal 10. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
1. Profil darah yang abnormal (mis: 11. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung
leukositosis/leucopenia, gangguan faktor koagulasi, adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit
trombositopenia, sel sabit, talasemia, penurunan
hemoglobin)
2. Disfungsi biokimia
3. Usia perkembangan (fisiologis, psikososial)
4. Disfungsi efektor
5. Disfungsi imun-autoimun
6. Disfungsi integrative
7. Malnutrisi
8. Fisik (mis: integritas kulit tidak utuh, gangguan
mobilitas)
9. Psikologis (orientasi afektif)
10. Disfungsi sensorik
11. Hipoksia jaringan

11. Ansietas NOC NIC


Definisi: Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar 1. Anxiety self-control Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau 2. Anxiety level 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
tidak diketahui oleh individu), perasaan takut yang disebabkan 3. Coping 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku pasien
olh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat Kriteria Hasil: 3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya 1. Klien mampu mengidentifikasi dan 4. Pahami prespektif pasien terhadap situasi stress
dan kemampuan individu untuk bertindak menghadapi ancaman mengungkapkan gejala cemas 5. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi
Batasan karakteristik 2. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan takut
1. Perilaku menunjukkan teknik untuk mengontrol cemas 6. Dorong keluarga untuk menemani anak
a. Penurunan produktivitas 3. Vital sign dalam batas normal 7. Lakukan back/ neck rub
b. Gerakan yang ireleven 4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan 8. Dengarkan dengan penuh perhatian
c. Gelisah tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya 9. Identifikasi tingkat kecemasan
d. Melihat sepintas kecemasan 10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
e. Insomnia 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
f. Kontak mata yang buruk persepsi
g. Mengekspresikan kekhawatiran karena perubahan 12. instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
dalam peristiwa hidup 13. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
h. Agitasi
i. Mengintai
j. Tampak waspada
2. Afektif
a. Gelisah, Distres
b. Kesedihan yang mendalam
c. Ketakutan
d. Perasaan tidak adekuat
e. Berfokus pada diri sendiri
f. Peningkatan kewaspadaan
g. Iritabilitas
h. Gugup senang berlebihan
i. Rasa nyeri yang meningkatkan ketidak berdayaan
j. Peningkatan rasa ketidak berdayaan yang persisten
k. Bingung, menyesal
l. Ragu/ tidak percaya diri
m. Khawatir
3. Fisiologis
a. Wajah tegang, tremor tangan
b. Peningkatan keringat
c. Peningkatan ketegangan
d. Gemetar, tremor
e. Suara bergetar
4. Simpatik
a. Anoreksia
b. Eksitasi kardiovaskular
c. Diare, mulut kering
d. Wajah merah
e. Jantung berdebar-debar
f. Peningkatan tekanan darah
g. Peningkatan denyut nadi
h. Peningkatan reflek
i. Peningkatan frekuensi pernafasan, pupil melebar
j. Kesulitan bernafas
k. Vasokontriksi superficial
l. Lemah, Kedutan pada otot
5. Parasimpatik
a. Nyeri abdomen
b. Penurunan tekanan darah
c. Penurunan denyut nadi
d. Diare, mual, vertigo
e. Letih, Gangguan tidur
f. Kesemutan pada ekstremitas
g. Sering berkemih
h. Anyang-anyangan
i. Dorongan segera berkemih
6. Kognitif
a. Menyadari gejala fisiologis
b. Bloking fikiran, konfusi
c. Penurunan lapang persepsi
d. Kesulitan berkonsentrasi
e. Penurunan kemampuan belajar
f. Penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah
g. Ketakutan terhadap konsekuensi yang tidak spesifik
h. Lupa, gangguan perhatian
i. Khawatir, melamun
j. Cenderung menyalahkan orang lain
Faktor yang berhubungan:
1. Perubahan dalam (status ekonmoni, limgkungan, status
kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran)
2. Pemanjanan toksin
3. Terkait keluarga
4. Herediter
5. Infeksi/kontaminan interpersonal
6. Penularan penyakit interpersonal
7. Krisis maturasi, krisis situsional
8. Stres, ancaman kematian
9. Penyalahgunaan zat
10. Ancaman pada (status ekonomi, lingkungan, status
kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran, konsep
diri)
11. Konflik tidak disadari mengenai tujuan penting hidup
12. Konflik tidak disadari mengenai nilai yang esensial/penting
13. Kebutuhan yang tidak dipenuhi
DAFTAR PUSTAKA

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC dalam
http://samoke2012.wordpress.com/2012/11/10/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
cidera-kepala-nanda-noc-nic/
. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis: Mosby Year-Book dalam
http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html
Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcome Classifications (NOC).  St. Louis:
Mosby Year-Book dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-
pendahuluan-dan-askep-cidera.html
Marjory Gordon, dkk. 2001. Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-
2002.  NANDA dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-
dan-askep-cidera.html
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi Keempat, Buku Kedua. Jakarta: EGC dalam
http://ridwankupra.blogspot.com/2012/09/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher

Anda mungkin juga menyukai