disusun guna memenuhi tugas pada Program Studi Pendidikan Profesi Ners (PSP2N)
Stase Keperawatan bedah
oleh
Erik Verawati, S.Kep
NIM. 182311101157
Mahasiswa
1) Meningen otak
Jaringan otak dan medulla spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan
tulang belakang, serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen
(Muttaqin, 2008). Lapisan meningen terdiri dari piameter, lapisan
arakhnoid, dan durameter (Sloane, 2003). Masing-masing lapisan
merupakan suatu lapisan terpisah dan kontinyu. Antara lapisan piameter
dan arachnoid terdapat penghubung yang disebut travekula, pada
durameter disebut pakhimening, dan pada piameter dan arachnoid disebut
leptomening.
Gambar 9. (a) Diagram sistem limbik dengan gambaran melintang; (b) Rekonstruksi dari
gambaran tiga dimensi sistem limbik. Fungsi utamanya berhubungan
dengan bangkitan emosi. (Sumber: Simon dan Schuster, Fundamental of
Anantomy dan Physiology, edisi ke-4, New Jerdey: Prentice Hall, Inc.,
1998 dalam Muttaqin, 2008:16)
3. Medula spinalis
Medula spinalis merupakan bagian dari sistem susunan saraf pusat.
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramina
intervertebrales. Terdapat 8 pasag saraf servikal (dan hanya 7 vertebra servikalis),
12 pasang saraf torakalis, 5 pasang saraf lumbalis, 5 pasang saraf sakralis, dan
pasang saraf koksigeal. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament,
meningen spinal, dan CSF.
Struktur internal medulla spinalis terdapat substansi abu abu dan substansi
putih. Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian
luarnya oleh substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior
median fissure dan median septum yang disebut dengan posterior median septum.
Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari saraf spinal.
Substansi abu-abu mengandung badan sel, dendrit, neuron efferen, akson tak
bermyelin, saraf sensoris dan motoris, dan akson terminal dari neuron. Substansi
abu-abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior,
posterior dan comissura abu-abu. Bagian posterior sebagai input/afferent, anterior
sebagai output/efferent, comissura abu-abu untuk refleks silang dan substansi
putih merupakan kumpulan serat saraf bermyelin.
Gambar 10. Struktur medula spinalis
4. Sistem Saraf Tepi
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal.
a. Saraf kranial
Saraf kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan
tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina
(tunggal, foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan
dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah
olfaktorius (I), optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus
(V), abducens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII),
glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII).
Gambar 11. Gambaran 12 saraf kranial
2. Klasifikasi
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma
Data Bank berdasarkan Score Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah
cedera kepala ringan, sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter
dalam menetukan terapi dan perawatan.
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
a. Cedera Kepala Ringan
Nilai GCS 13 – 15 yang dapat terjadi kehilanga kesadaran atau amnesia akan
tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada
kontusio serebral dan hematoma.
b. Cedera Kepala Sedang
Nilai GCS 9 – 12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat
Nilai GCS 3 – 8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih
dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.
3. Pengertian Cedera Kepala Sedang (COS):
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu
cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila
GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada
penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia,
maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat
sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka
mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun
dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Cedera Kepala Sedang (COS):
- GCS 9 – 12
- Saturasi oksigen > 90 %
- Tekanan darah systale > 100 mm Hg
- Lama kejadian < 8 jam
3. Etiologi
Cedera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
a. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak missal
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
b. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacum.
c. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
d. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis cedera kepala secara umum adalah :
a. Penurunan kesadaran
b. Keabnormalan pada sistem pernafasan
c. Penurunan reflek pupil, reflek kornea
d. Penurunan fungsi neurologis secara cepat
e. Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah,
bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
f. Pusing, vertigo
g. Mual dan muntah
h. Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisikAmnesia
i. Kejang
Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
Tingkat Kesadaran
Berikut adalah tujuh tingkat kesadaran dan nilai GCS yang mewakilinya.
1. Kompos mentis, merupakan kondisi sadar sepenuhnya. Pada kondisi
ini, respon pasien terhadap diri sendiri dan lingkungan sangat baik.
Pasien juga dapa menjawab pertanyaan penanya dengan baik. Nilai
GCS untuk kompos mentis adalah 15-14.
2. Apastis, merupakan kondisi di mana seseorang tidak peduli atau
merasa segan terhadap lingkungan sekitarnya. Nilai GCS untuk apatis
adalah 13-12.
3. Delirium, merupakan kondisi menurunnya tingkat kesadaran yang
disertai dengan kekacauan motorik. Pada kondisi ini pasien mengalami
gangguan siklus tidur, merasa gelisah, mengalami disorientasi, merasa
kacau, hingga meronta-ronta. Nilai GCS adalah 11-10.
4. Somnolen, merupakan kondisi mengantuk yang cukup dalam namun
masih bisa dibangunkan dengan menggunakan rangsangan. Ketika
rangsangan tersebut berhenti, maka pasien akan langsung tertidur
kembali. Nilai GCS untuk somnolen adalah 9-7.
5. Sopor, merupakan kondisi mengantuk yang lebih dalam dan hanya
dapat dibangunkan melalui rangsangan yang kuat seperti rangsangan
nyeri. Meskipun begitu pasien tidak dapat bangun dengan sempurna
dan tidak mampu memberikan respons verbal dengan baik. Nilai GCS
adalah 6-5.
6. Semi-koma atau koma ringan, merupakan kondisi penurunan kesadaran
di mana pasien tidak dapat memberikan renspons pada rangsangan
verbal dan bahkan tidak dapat dibangunkan sama sekali. Tetapi jika
diperiksa melalui mata maka masih akan terlihat refleks kornea dan
pulpil yang baik. Pada kondisi ini respons terhadap rangsangan nyeri
tidak cukup terlihat atau hanya sedikit. Nilai GCS untuk semi-koma
adalah 4.
7. Koma, merupakan kondisi penurunan tingkat kesadaran yang sangat
dalam. Dalam kondisi ini tidak ditemukan adanya gerakan spondan dan
tidak muncul juga respons terhadap rangsangan nyeri. Nilai GCS untuk
koma adalah 3.
4. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang
berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible
untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi
pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari
lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun
telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab
utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan
pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita
cedera kepala traumatik berat.
a. Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik
pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan,
kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala.
Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera
intrakranial, robekan regangan serabut saraf dan kematian langsung pada
daerah yang terkena.
b. Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial.
Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan
gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak
sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan
kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal
bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-
gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang
lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala
kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar.
Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada
sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti
dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala
disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan
klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan
oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang
berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan
atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla,
karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi
unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi
pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas
deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai
kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada
siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.
Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai
pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil.
Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon
akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
Komplikasi
a. Kerusakan saraf cranial
Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut
hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita.
Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan
reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6
minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil
yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan
latihan ortoptik dini.
Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata,
mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara
koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat
pada salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan
pada organ lain.
b. Disfasia
Secara ringkas disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami
atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
c. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks,
subkorteks
atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah
perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
d. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan
kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera
kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung,
gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan
gangguan fungsi seksual.
e. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya disebabkan oleh cedera
pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah (bruit) yang
dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan
stetoskop, proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva,
diplopia dan penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
f. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu
pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yang muncul lebih
dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya
muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami
epilepsi setelah 4 tahun kemudian
5. Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei
primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga
homeostasis otak. Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang
harus diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita
yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila
denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar
50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya
dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera
sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan
keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang
baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari
leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan
tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan
penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks
okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain;
a. Fasilitas CT scan tidak ada,
b. Hasil CT scan abnormal,
c. Semua cedera tembus,
d. Riwayat hilangnya kesadaran,
e. Kesadaran menurun,
f. Sakit kepala sedang-berat,
g. Intoksikasi alkohol/obat-obatan,
h. Kebocoran liquor (rhinorea-otorea),
i. cedera penyerta yang bermakna,
j. GCS < 15.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom
intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur
tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.
Penatalaksanaan Khusus:
Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan kerumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila
memenuhi kriteria berikut:
1. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya
berjalan) dalam batas normal
2. Foto servikal jelas normal
3. Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:
1. Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
2. Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
3. Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
4. Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
5. Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah
b. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak),
dengan skala korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat.
Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat
nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbuInya lesi
intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
c. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital,
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi
bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus
segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan
cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
1) Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
2) Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw
trust.
3) Monitor tekanan darah
4) Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor
GCS < 8, bila memungkinkan.
5) Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan
Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena
air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air
(D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
6) Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan
katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
7) Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati
secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
8) Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian
300 mg/hari intravena. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus
dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah
hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan
risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya
dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut
(deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
9) Profilaksis trombosis vena dalam
10) Profilaksis ulkus peptic
11) Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat
mengurangi risiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea,
rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
12) CT Scan lanjutan
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi
(perdarahan atau ruptur atau fraktur).
b. CT Scan
Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
c. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal
aracknoid jika dicurigai.
d. MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
e. Thorax X rayUntuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting
diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan
(medulla oblongata).
g. Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.
B. Intracerebral hematom (ICH)
1. Definisi Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara
klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang
indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah
evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang
menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan
prognose perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999).
Intracerebral hemorargic adalah salah satu perdarahan otak bagian dari stroke
hemorargi akibat pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena
hipertensi yang mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk
masa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan edema otak. Peningkatan
TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi
otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh hipertensi sering dijumpai di
daerah putamen, thalamus, pons, dan serebelum (Muttaqin, 2008).
Intrasecerebral hemoragi adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri.
Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala
terbuka. Intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik
akibat melebarnya pembuluh nadi (Corwin, 2009).
3. Manifestasi Klinik
Menurut Batticaca (2008), gejala yang dapat muncul pada intraserebral
hemorargi (parenchymatous hemorrhage) adalah sebagai berikut.
1) Tidak jelas, kecuali nyeri kepala berat karena hipertensi
2) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi atau marah
3) Mual atau muntah pada permulaan serangan
4) Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan
5) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang
dari setengah jam sampai 2 jam; < 2% terjadi setelah 2 jam- 9 hari)
3) Pungsi lumbal
Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan
adanya proses inflamasi.
4) MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta
besar/luas terjadinya perdarahan otak.
Gambar 17. Hasil MRI pada Pasien dengan Stroke HemorargiSumber: Muttaqin (2008)
5) USG Doppler.
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6) EEG
Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga
menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
7) EKG
Pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan apakah terdapat disritmia,
yang dapat menyebabkan stroke. Perubahan EKG lainnya yang dapat
ditemukan adalah inversi gelombang T, depresi ST, dan kenaikan serta
perpanjangan QT.
B. Pat way
Cidera Kepala TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi Hypoxemia
Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder
Komotio
Kontutio
Lateratio Kerusakan Sel Otak
Gangguan Autoregulasi Rangsangan Simpatis Stress
Nyeri
Intracerebral
Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung
Lateratio Cerebri
Gangguan kesadaran /
Penurunan GCS Edema Cerebri
Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC dalam
http://samoke2012.wordpress.com/2012/11/10/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
cidera-kepala-nanda-noc-nic/
. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis: Mosby Year-Book dalam
http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-dan-askep-cidera.html
Marion Johnson, dkk. 2000. Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis:
Mosby Year-Book dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-
pendahuluan-dan-askep-cidera.html
Marjory Gordon, dkk. 2001. Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-
2002. NANDA dalam http://lutfyaini.blogspot.com/2014/05/laporan-pendahuluan-
dan-askep-cidera.html
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi Keempat, Buku Kedua. Jakarta: EGC dalam
http://ridwankupra.blogspot.com/2012/09/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher