ASMA
ASMA
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang
ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di
mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang.
Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma
Faktor Lingkungan
>2
Persisten >2/mingg
3–4/bulan ≥80% 20–30% hari/mingg
ringan u
u
Persisten
Harian >1/minggu 60–80% >30% Harian
sedang
Seringnya
Persisten Secara ≥dua
(7×/minggu <60% >30%
berat kontinu kali/hari
)
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit
dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus.
Patofisiologi suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi
terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk
imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk
kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag
yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses
dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan
signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi
menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan
basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka
orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah
rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen
tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan
basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca ++ kedalam sel dan perubahan
didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi
sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi :
histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic
chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan
menyebabkan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik
saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan
bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya
edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas ,
peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga
reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak
merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli,
akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang
sangat lanjut.
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk
ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini
terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun kedua ditandai dengan batuk
disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas, berusaha untuk
bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ). Klien
lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita
tampak pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun
ketiga ditandai hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil,
tidak ada batuk,pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan
tinggi karena asfiksia.
1. Pengendalian lingkungan
Menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara hewan
berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban
kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
2. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
3. Menghindari makanan berpotensi alergen
4. Edukasi
2.10.2 Terapi Suportif
1. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi
oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal >
95%).
2. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung),
bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV,
secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan
peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat
memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen
lebih mudah mencapai alveoli.
3. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana
pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone
(ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura
negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya
edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan
rumatan.
2.10.3 Terapi farmaka
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast.
Mekanisme Kerja : Agonis β2 Merupakan bronkodilator yang paling
efektif, stimulasi reseptor β2 – Adrenergik mengaktivasi adenil siklase yang
meghasilkan peningkatan AMP siklik intraseluler. Hal ini menyebabkan
relaksasi otot polos, stabilisasi sel mast, dan stimulasi otot skelet.
Indikasi : Asma akut parah baik intermittan maupun asma kronik. Dalam
asma parah akut digunakan dosis yang lebih tinggi menggunakan nebulizer.
Contoh Obat :
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α
sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS.
Indikasi
Asma bronkial, emfisema, bronkhitis kronik
Kontraindikasi
Hipersensitivitas dan tirotoksitosis
Efek samping
Tremor dan palpitasi adalah karakteristik dari amin
simpatomimetik, kekakuan dan akan hilang setelah pengobatan
beberapa hari dan palpitasi akan reda jika dosis diturunkan
Perhatian
Hati –hati pada penderita hipertensi, gangguan kardiovaskular,
hipertiroid, daibetes melitus, dan riwayat kejang dan tidak
dianjurkan pemberian bersama dengan obat beta bloker yang non
selektif , wanita hamil trimester pertama wanita menyusui, anak
dibawah umur 12 tahun.
β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB),
interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat: MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek
samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
Indikasi
Asma bronkial, bronkhitis asmatis, dan emfisema pulmonum
Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Efek samping
Mual, sakit kepala, palpitasi, tremor, vasodilatasi periferal,
tarkikardia, dan hipokalemi yang kadang timbul setelah pemberian
dosis tinggi.
Perhatian
Hati – hati pemberian pada pasien tirotoksitosis, wanita hamil dan
menyusui, pemberian bersama derivat xantin, steroid, dan diuretik,
hindari pemberian pada penderita hipertensi, jantung iskemik dan
pasien usia lanjut, anak dibawah usia 6 tahun, hipertiroidism,
diabetes melitus
Interaksi obat
Β-bloker , seperti propanolol, menghambat efek salbutamol. Obat
adrenergik tambahan, inhibitor monoaminooksidase, atau
antidepresan trisiklik.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM
harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin
tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Indikasi : pencegahan dan pengobatan asmabronkial, asma
bronkhitis, asma kardial, empisema baru
Kontra indikasi: hipersensitivitas, tukak lambung, diabetes,
gastritis, gangguan hati dan ginjal.
Efek samping: mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia,
palpitasi, takikardia, aritmia ventikular, ruam kulit.
Perhatian : jangan menggunakan melebihi dosis yang dianjurkan;
bila dalam satu jam gejala tetap atau bertambah buruk, segera
hubungi dokter; jangan digunakan terus menerus.
2. Anticholinergics
Mekanisme kerja: sebagai muskarinik antagonis komparatif menginhibisi
efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Pada saluran pernafasan
asetilkolin dibebaskan dari ujung saraf vagus efferen, dan antagonis
muskarinik secara efektif memblok kontraksi otot polos pada saluran udara
dan meningkatkan sekresi mukus sebagai respon aktivitas vagal.
Indikasi : mengatasi bronkospastik pada asma akut parah pada bronkhitis
kronik. Terapi penunjang dalam pemeliharaan terapi asma bronkial asma
akut dan asma kronik.
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan
sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikoid
Glukokortikoid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif
dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam
pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikoid ini mampu mengontrol gejala-gejala
asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan
mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikoid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down
regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari
(respire anak). Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan
sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang
yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai
LTRA adalah sebagai berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat
dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu
pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan
Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
Perkiraaan keparahan
Penenuan PEF2 ; nilai < 50% kemampuan terbaik atau prediksi normal menandakan keparahan tinggi.
Catatan : gejala dan tanda : tingkat batuk, kesulitan bernafas, nafas terengah-engah dan sesak dada
berhubungan dengan bertambah beratnya keparahan. Penggunakan akseori otot dan penarikan
suprasternal.
Penanganan awal
Agonist beta bloker aksi pendek hirup : dengan MDI 2-4 hirup sampai 3 kali
penangan dengan interval 20 menit atau penangan sekali dengan nebulizer