12
13
santri diupayakan berakhlak terpuji terhadap orang lain atau masyarakat dengan
mengedepankan pergaulan yang didasari sopan santun, tidak menyakiti hati
apalagi sampai melukai badan dan membunuh, serta suka meminta dan memberi
maaf. Ketiga,.akhlak kepada lingkungan ditanamkan kepada santri antara lain
untuk mengenali dan menyayangi serta memanfaatkannya untuk kemaslahatan.
Menurut Yusuf (2003: 189-190), bahwa akhlak terhadap lingkungan
mengandung arti tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungan, sebab
kerusakan lingkungan pada akhirnya akan berdampak pada kerusakan pada diri
manusia sendiri. Dalam hal ini berarti manusia harus memelihara segenap isi
alam, baik binatang, tumbuhan maupun benda-benda tak bernyawa lainnya. Pada
hakikatnya mereka sama dengan manusia yang diciptakan Allah SWT untuk
disayangi dan diperlakukan dengan sebaik baiknya.
c. Karakter Santri Bidang Sosial.
Pendidikan pesantren pun telah berhasil mendidik santri yang memiliki
karakter sosial cukup dibanggakan. Sebab, pendidikan karakter relevansinya
dengan karakter bidang sosial dapat dilihat
melalui secara siombolik dalam shalat berimplemntasikan sebagai pencegahan
terhadap dosa dan kemungkaran. Ibadah haji, Zakat dan ibadah-ibadah lainnya
yang memiliki makna sosio-ekonomi. Disisi lain dalam kaitannya dengan
karakter santri terkait dengan kehidupan sosial menurut Haedari (2004: 13)
sebagai berikut: 1) Tidak masuk rumah orang lain tanpa izin; 2) Mengucapkan
salam; 3) Berkata jujur dan benar; 4) Jangan memanggil orag dengan menyebut
bapaknya; 5) Pemaaf atas kesalahan atau dosa orang lain-lain.
2. Pondok Pesantren
Pondok secara etimologis berarti bangunan untuk sementara, rumah,
bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik dan beratap
rumbia dan madrasah atau asrama (tempat mengaji atau belajar agama Islam).
Adapun term pesantren secara etimologis berasal dari pe-santri-an yang berarti
15
tempat santri, asrama tempat santri belajar agama atau pondok (Mugits, 2008:
120).
Pesantren menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaraan Islam dengan menanamkan pentingnya modal keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian tradisional disini menunjuk bahwa
pesantren sebagai lembaga pendidikan agam Islam telah hidup sejak 300-500
tahun yang lalu menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sebagian umat
Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tradisional
bukan berarti tetap tanpa mengalami perubahan (Suteja, 2011: 136).
Pesantren berasal dari kata pe-santri-an. Santri ialah mereka yang
mempelajari Agama Islam. Istilah pesantren disebut dengan surau di daerah
Minang Kabau, penyantren di Madura, pondok di Jawa Barat, rangka di Aceh.
Sejarah mencatat posisi strategis lembaga pendidikan Islam ini. Menurut
Nurcholis Madjid, dari segi historis pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga keindonesiaan, sebab lembaga yang serupa sudah terdapat
pada masa Hindu Budha. Umat Islam hanya meneruskan dan mengislamkannya
(Khoiruddin Bashori, 2003: 76).
Dalam terminologi pesantren kiyai adalah pendiri, pemilik, pengasuh,
pimpinan, guru tertinggi dan komando tertinggi pesantren, pengayom santri dan
masyarakat sekitarnya serta konsultan agama. Bahkan lebih dari itu kiyai sering
diposisikan sebagai perantara keselamatan dunia dan akhirat. Kedudukan yang
keramat tersebut sudah barang tentu akan membangun pengultusan terhadap
kiyai. Salah satu sisi positifnya adalah memudahkan kiyai dalam menyampaikan
pesan-pesan agama kepada santri dan masyarakat luas, lebih-lebih dalam
mengambil kebijaksanaan yang berkaitan dengan kepentingan pesantren (Mugits,
2008: 140) .
Secara kulturl kiyai adalah agen budaya, sebagaimana Cliffort Geertz, yaitu
pada masa awalnya ia sebagai penghubung dan perantara budaya-budaya
16
animisme Hindu-Budha dengan ajaran Islam yang baru. Disamping itu kiyai
adalah kekuatan filter yang efektif bagi lingkungannya atau pengikutnya dari
infiltrasi budaya yang dinilai negatif dari luar, khususnya yang masuk ke
lingkungan pesantren dan pada umumnya dalam masyarakat Muslim tradisional
di Jawa (Mugits, 2008: 146).
Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pedidikan pesantren di Jawa dan Madura
lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok berasal dari pengertian
asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat
dari bambu, atau yang berasal dari bahasa Arab fundug, yang berarti hotel atau
asram (Nizar, 2013: 112). Di Inodnesia istilah pesantren lebih populer dengan
sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari
bahasa Arab “faunduk”, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal
sederhana.
Pengertian terminolgi pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara
kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia dari sinilah barangkali Nurchalis
Madjid berpendapat, secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia (Madjid, 2002: 62). Salah satu
definisi yang dipandang representatif untuk maksud di atas adalah definisi dari
departemen agama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama Islam yang pada umumnya kegiatan tersebut diberikan dengan cara
nonklasikal (sistem bandongan dan sorogan) dimana seorang kiyai mengajar
para santrinya berdasarkan kitab-kitabnya yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama besar sejak abad pertengahan sedangkan para santri biasanya tinggal di
dalam pondok atau asrama pesantren tersebut (Mugits, 2008: 146).
17
(murid) kepada kiyainya. Sehubungan dengan ini Cak Nur menggambarkan kiyai
duduk di atas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya
dengan cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh para santri terhadap
kiyai seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan
kiyainya. Sehingga peran kiyai sangat fenomenal dan signifikan dalam
keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab kiyai adalah sebuah
elemen dari beberapa elemen dasar sebuah pesantren.
Pesantren itu terdiri dari lima elemen pokok yaitu, kyai, santri, masjid,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen tersebut
merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan
pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun
kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kiyai
memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren (Madjid, 2002:
63).
Pesantren dalam perkembangannya masih tetap disebut sebagai lembaga
keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan, dan mengajarkan ilmu agama
Islam. Pesantren dengan segala dinamikanya dipandang sebagai lembaga pusat
perubahan masyarakat melalui dakwah Islamiah, seperti tercermin dalam dari
berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan kepribadian
individu santri, sampai pada pengaruhnya terhadap politik di antara pengasuhnya
(kiyai) dan pemerintah.
Pesantren dari sudut pedagogis tetap dikenal sebagai lembaga pendidikan
agama Islam lembaga yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar.
Fungsi pesantren dengan demikian lebih banyak berbuat mendidik santri. Hal ini
mengundang makna sebagai usaha membangun dan membentuk pribadi,
masyarakat dan warga negara. Pribadi yang dibentuk adalah pribadi muslim yang
harmonis, mandiri, mampu mengatur kehidupannya sendiri, tidak bergantung
pada bantuan pihak luar, dapat mengatasi persoalan sendiri, serta mengendalikan
dan mengarahkan kehidupan dan masadepannya sendiri.
21
Pesantren dalam hal ini bertugas membentuk pribadi muslim yang harmonis
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama dan lingkungan yang dimulai dari
diri sendiri, keluarga dan tetangga dekat (Suteja, 2011: 144). Dalam pesantren
santri hidup dalam suatu komunitas yang khas, denga n kiyai, ustadz, santri, dan
pengurus pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai
agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaannya yang tersendiri,
yang tidak jarang berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.
Pesantren merupakkan suatu keluarga besar dibawah asuhan seorang kiyai atau
ulama, dibantu oleh beberapa ustadz.
Dalam dunia pesantren santri mempuyai dua orang tua, yaitu ibu bapak yang
melahirkan dan kiyai yang mengasuhnya. Ia juga mempunyai dua macam
saudara, yaitu saudara sesusuan dan saudara seperguruan, sesama santri. Dalam
tradisi pesantren, santri seniro juga dapat berperan sebagai ustadz/guru bantu.
Keadaan ini memungkikan sistem kurikulum pesantren dan sistem asrama
(pondok) yang menuntut pendidikan terus menerus sepanjang hari 24 jam dapat
berjalan dengan baik, dengan biaya yang relatif lebih murah.
Menurut Ziemek (1986), kehidupan yang akrab dan belajar bersama dapat
memberikan dorongan yang penting bagi sosialisasi dan pengembangan santri.
Cara hidup yang sederhana dan disiplin dalam kelompok santri tinggal bersama
dalam sebuah kamar tidur yang berukuran kecil, memecahkan permasalahan dan
mengaturnya bersama secara bersama, sembahyang berjamaah dan suasana khas
yang diciptakannya menguntungkan perkembangan suatu semangat korps
(Bashori 2003: 86).
Sebagaimana klaim pesantren salaf pada umumnya bahwa yang membedakan
pesantren salaf dan modern adalah ajaran etikanya, yakni jika pesantren salaf
sangan memperhatikan etika, sebaliknya pesantren modern kurang
memperhatikannya, sehingga santri lulusan modern ini kurang membawa ajaran
etika dalam berperilaku, meskipun penilaian ini juga masih tampak biasanya dan
terlalu mahal untuk digeneralisasikannya. Ajaran etika tersebut merupakan aspek
22
budaya yang menjadi ciri khas utamanya dan selalu dibanggakan yang mana
dalam kultur masyarakat Jawa khusunya, ajaran ini masih dianggap sebagai
unsur budaya yang sangat penting.
Oleh karena posisi pesantern salaf sebagaiman institusi yang mengajarkan
ajaran etika ini selalu dipandang penting dan kuat karena langsung mengakar
dalam kultru masyarakat. Tentang ajaran etika ini pada dasarnya ajaran tentang
bagaimana pola pergaulan atau hubungan yang baik antar unsur-unsur anggota
pesantren, seperti pola hubungan antara santri dan kiyai yang merupakan
hubungan ketaatan yang tak terbatas sebagaimana diuraikan di depan.
Jika sementara hipotesis mengatakan bahwa tradisi pengagungan tersebut
merupakan warisan tradisi lokal pra-Islam, hal itu bukan berarti sama sekali tidak
bersandar pada ajaran ulama terdahulu, seperti ajaran etika dalam kitab Ta‟lim
al-Muta‟alimin karya asy-Syaikh az-Zarnuji. (Mugits, 2008: 155). Dalam catatan
Nurchalis Madjid, setidaknya kitab-kitab klasik ini mencakup cabang ilmu fiqih,
tauhid, tasawuf, dan nahwu sharaf. Atau dapat juga dikatakan kosentrasi
keilmuan yang dikembang dipesantren pada umumnya mencakup tidak kurang
dari 12 macam disiplin keilmuan, nahwu, sharaf, balaghah, tauhuid, fiqih, ushul
fiqih, qawaid fiqhiyah, tafsir, hadits, muthalah al-haditsah, tasawuf dan mantiq
(Madjid, 2002: 68).
Pendidikan pesantren dalam corak tradisional dan otosentris yang berpusat
pada diri sendiri, kemudian menjadi adaptif dan emansipatif terhadap perubahan
sosial serta berusaha mempertahankan kebudayaan etnis dan identitas bangsa dan
mengusahakan lenyapnya dominasi politik asing di dalam negeri. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pesantren mempunyai pengaruh dalam proses
pelestarian budaya lokal atau pribumi dan telah berperan aktif dalam kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini sejalan dengan komentar Ziemek, pesantren
sebagai lembaga pergulatan spiritual, pendidikan dan sosialisasi yang kuno dan
sangat heterogen menyatakan sejarah pedagogik, kehadiran, dan tujuan
pembangunan sekaligus (Nizar, 2013: 110).
23
melihat posisi dan fungsi kiyai atau tepatnya pimpinan pesantren sebagai faktor
penggerak dan aktor perubahan sosial menurut cara yang dipahami kiyai dan
masyarakatnya (Nizar, 2013: 200).
Pesantren merupakan pusat perubahan di bidang pendidikan, politik, budaya,
sosial, dan keagamaan. Pesantren senantiasa mengalami penyesuaian diri dengan
situasi dan kondisi dimana pesantren itu berada. Nilai-nilai progresif dan inovatif
diadopsi sebagai suatu strategi antisipasif dari ketertingalan dengan model
pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus
bersanding dengan sistem pendidikan modern.
Dilihat dari sudut pandang ini, maka eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan tradisional, seperti sediakala, masih perlu dipertanyakan. Apakah
pesantren dengan bentuk yang telah termodifikasi itu layak disebut sebagai
pesantren? Atau untuk mengenal pesantren, seperti yang dipahami sebelum
pesantren mengalami transformasi, harus merujuk kepada pesantern yang belum
mengadopsi nila-nilai kemoderenan (Nizar, 2013: 111).
B. Kepribadian Muslim
1. Kepribadian Muslim Santri
a. Pengertian Kepribadian Muslim Santri
Sebelum lebih jauh pembahasan tentang pengertian kepribadian santri,
ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu kepribadian secara umum berikut
peneliti uraikan keperibadian secara umum. Banyaknya orang yang
mengatakan pribadi dan kepribadian itu merupakan sebuah kata yang merujuk
pada individu seseorang yang berdiri sendiri terlepas dari individu yang lain.
Biasanya dikaitkan dengan pola-pola tingkah laku manusia yang berhubungan
dengan norma-norma tentang baik dan buruk. Atau dengan kata lain “pribadi
dan kepribadian” itu dipakai untuk menunjukkan adanya ciri-ciri khas yang
ada pada diri seseorang. (Sobur, 2003: 299 ). Ucapan seperti ini adalah
pendapat “pribadi” saya. Contohnya Nabi kita Muhammad saw memang
memiliki “kepribadian” yang tangguh dan mempesona. Adik saya yang baru
26
berumur enam tahun memiliki “pribadi” yang lemah dan gampang menangis,
dan lain sebagainya (Purwanto 1990 :140). Sehingga dapat diperoleh
gambaran bahwa kepribadian menurut epistemologi dasar menunjukkan
bagaimana tampil dan menimbulkan kesan di depan orang.
Selanjutnya, Sebagaimana kita ketahui bahwasanya kepribadian berasal
dari kata “pribadi” yang berarti diri sendiri, atau perseorangan. Sedangkan
dalam bahasa inggris digunakan istilah personality, yang berarti kumpulan
kualitas jasmani, rohani, dan susila yang membedakan seseorang dengan
orang lain. Dari makna kata tersebut kemudian terumuskan pengertian
kepribadian menurut M.A.W. Brower berpendapat, bahwa kepribadian adalah
corak tingkahlaku sosial yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan,
opini dan sikap-sikap seseorang (Adang Hambali, Ujen Jaenudin, 2013:20).
Sedangkan Cuber mengatakan bahwa kepribadian adalah gabungan
keseluruhan sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat dari seseorang (Daniel
dan pervin A Lauren. 2008: 22).
Sigmund Freud (2005) menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu
struktur yang terdiri dari tiga sistem, yakni id, ego, dan super ego, sedangkan
tingkah laku tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga
unsur dalam sistem kepribadian tersebut.
Dalam hal ini, Id (das-es) merupakan sistem kepribadian yang paling
dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id adalah
sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang dibutuhkan
oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi atau kegiatan yang dilakukannya.
Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan
prinsip kenyataan. Super-ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai dan
aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Berdasarkan
teori ini pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral
adalah upaya yang mengacu pada peningkatan kekuatan ego dalam
27
lainnya. Perbedaan tersebut berasal dari faktor keturunan dan lingkungan yang
sudah terintegrasikan.
Setelah kita ketahui kepribadian pada umumnya, sekarang kita mengkaji
tentang kepribadian santri yang identik dengan kepribadian Muslim. Kata
“muslim” dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) Muslim adalah
sebutan bagi orang penganut Agama Islam. . Adapun menurut Tasmara
(1995), muslim adalah orang yang konsekuen bersikap hidup sesuai dengan
ajaran Qur‟an dan sunnah. Jadi, muslim adalah orang yang menempuh jalan
yang lurus, yaitu jalan yang dikehendaki Allah Swt. Mereka yang menempuh
jalan lurus dan mengambil penerangan dari cahaya kebenaran Tuhan, itulah
orang-orang yang mencerminkan kemanusiaan yang benar dan lurus, yang
telah mewujudkan maksud dan tujuan hidupnya dan telah melaksanakan
tugasnya dalam hidup ini (Umar Sulaiman al-Asyqar, 2000:5). Hal ini sesuai
dengan firman Allah Swt:
muslim ini mempunyai hubungan erat dengan Allah, alam dan manusia,
(Ramayulis, 1994: 192).
Berdasarkan uraian di atas peneliti simpulkan kepribadian muslim
merupakan keunikan bahwa keseluruhan sifat dan tingkah laku seseorang baik
yang di tampilkan secara bathiniyah maupun lahiriyah dalam kehidupan
sehari-hari mencerminkan nilai-nilai agama Islam (muslim).
b. Aspek-aspek Kepribadian Muslim
Gumiandari (2011) dalam jurnalnya Nilai-nilai fundamental Islam
tentang kepribadian lebih banyak merujuk pada substansi manusia yang terdiri
dari substansi Jasmani, substansi ruhani dan substansi nafsani. Ketiga
substansi ini secara tegas dapat dibedakan, namun secara pasti tidak dapat
dipisahkan.
Substansi jasmani adalah salah satu aspek dalam diri manusia yang
bersifat material. Bentuk dan keberadaannya dapat diindera oleh manusia,
seperti tubuh dan anggota-anggotanya seperti tangan, kaki, mata, telinga dan
lain-lain. Sedangkan substansi Ruhani adalah substansi psikis manusia yang
menjadi esensi kehidupan, dan terakhir, substansi Nafsani. Dalam kebanyakan
terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, nafs diartikan dengan jiwa atau diri.
Namun dalam konteks ini nafs yang dimaksud adalah substansi psikofisik
(jasadi-ruhani) manusia, dimana komponen yang bersifat jasadi (jismiyah)
bergabung dengan komponen ruh sehingga menciptakan potensi-potensi yang
potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakannya.
Beberapa subtansi di atas merupakan suatu gambaran umum aspek yang
terdapat pada diri manusia secara umum. Namun dalam diri manusia juga
terdapat unsur yang mendukung manusia tersebut, diantara unsur-unsur
tersebut antara lain, adalah Fitrah, ialah bawaan sejak lahir yakni potensi
beragam yang lurus, Nafs ialah merupakan wadah yang menampung gagasan
dan kemauan yang disadari manusia, maupun hal-hal yang sudah hilang dari
ingatan manusia dengan kata lain “dalam bawah sadar manusia”, Qalb adalah
30
kejadian sejak semula atau bawaan sejak lahir yakni potensi beragam yang
lurus, Ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang saling mengenal akan
bergabung dan yang tidak saling mengenal akan saling berselisih, dan Aql
ialah dorongan untuk memhami dan menggambarkan sesuatu. (Rahman Saleh,
2009: 61-63).
Senada dengan urain di atas mengenai aspek kepribadian muslim yang
terdapat pada diri manusia. Menurut Marimba (1989), membagi aspek
kepribadian dalam tiga hal, yaitu aspek-aspek kejasmaniahan, aspek-aspek
kejiwaan, dan aspek-aspek kerohaniahan yang luhur. Aspek kejasmaniahan
Aspek ini meliputi tingkah laku luar yang mudah nampak dan ketahuan dari
luar, misalnya cara-cara berbuat dan cara-cara berbicara, Aspek kejiwaan ini
meliputi aspek-aspek yang abstrak (tidak terlihat dan ketahuan dari luar),
misalnya cara berpikir, sikap dan minat, dan Aspek “roh” mempunyai unsur
tinggi di dalamnya terkandung kesiapan manusia untuk merealisasikan hal-hal
yang paling luhur dan sifat-sifat yang paling suci. Setelah aspek-aspeknya
dapat di telaah maka pembentukan kepribadian muslim akan berfungsi
Menurut Abdullah al-Darraz, pendidikan akhlak dalam pembentukan
kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman. Dengan
adanya cermin dari nilai yang dimaksud dalam sikap dan perilaku seseorang
maka tampillah kepribadiannya sebagai muslim. Muhammad Darraz menilai
materi akhlak merupakan bagian dari nilai-nilai yang harus dipelajari dan
dilaksanakan, hingga terbentuk kecendrungan sikap yang menjadi ciri
kepribadian Muslim. Usaha yang dimaksud menurut Al-Darraz dapat
dilakukan melalui cara memberi materi pendidikan akhlak berupa : a)
Pensucian jiwa, b) Kejujuran dan benar, c) Menguasai hawa nafsu, d) Sifat
lemah lembut dan rendah hati, e) Berhati-hati dalam mengambil keputusan, f)
Menjauhi buruk sangka, g) Mantap dan sabar, h) Menjadi teladan yang baik, i)
Beramal saleh, dan berlomba-lomba berbuat baik, j) Menjaga diri (iffah) k)
31
1. Tujuan Pembinaan
Tujuan pembinaan sama hal nya tujuan pendidikan nasional dalam UUD
1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun
2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan pendidikan Islam menurut Yusuf (2013), yaitu membentuk peserta
didik menjadi insan yang shaleh dan bertakwa kepada Allah swt. Sebagimana
firman-Nya:
۟ ۟
ِ ِ
َ ِف َكا َن ََٰعقبَةُ ٱل ُْم َك ّذب
ي ِ ت ِمن قَ ْبلِ ُك ْم ُسنَ ٌن فَ ِسريُوا ِِف ْٱْل َْر
َ ض فَٱنظُُروا َك ْي ْ َقَ ْد َخل
ِ َّاس وى ًدى ومو ِعظَةٌ لِّل ِ
ي
َ ْمتَّق
ُ ْ َ َ ُ َ ِ َىا َذا بَيَا ٌن لّلن
Sungguh telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu
berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang yang medustakan (rasul-rasul). Inilah (al-Qur‟an) suatu
keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang bertakwa (QS. Ali Imran, 3 : 137-138).
Tafsiran; (QS. Ali Imran, 3 : 137-138).
a. peserta didik
guru ideal adalah guru yang memiliki penampilan sedemikian rupa sebgai
sumber motivasi belajar yang menyenangkan. Pada umumnya siswa
mengidamkan gurunya memiliki sifat-sifat ideal sebagai sumber keteladanan,
bersikap ramah dan penuh kasih sayang.
b. Orang tua
Guru yang diharapkan adalah guru yang dapat menjadi mitra pendidikan bagi
anak yang dititipkan untuk didik.
c. Professional guru
Professional dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Professional tentu
berkaitan dengan kemampuan fungsional seorang guru untuk memahami,
bersikap, menilai, memutuskan, atau bertindak di dalam kaitan tugasnya
(Iqbal, 2015: 205).
Dari ke empat pandangan di atas tentang guru yang ideal tentu sosok seorang
guru tidak akan lepas dari tanggung jawab, berbagai tanggung jawab yang paling
menonjol dan diperhatikan menurut padangan Islam adalah tanggung jawab para
pendidik terhadap individu-individu yang berhak menerima pengarahan,
pengajaran, pendidikan dan mereka (Ulwan, 1981:143). Pada hahikatnya
tanggung jawab itu adalah tanggung jawab yang besar, dan sangat penting. Sebab
tanggung jawab itu dimulai dari masa kelahiran sampai berangsur-angsur anak
mencapai masa analisa, pubertas dan samapai anak menjadi dewasa yang wajib
memikul segala kewajiban. Tidak diragukan lagi, bahwa ketika pendidik, baik
pengajar, bapak, ibu maupun seorang pekerja sosial, melaksanakan tanggung
jawab serta sempurna menjalankan hak-hak dengan penuh amanat dan kemauan
sesuai dengan tuntutan Islam. Dengan demikianlah, jika disadari maupun tidak,
berarti dia telah ikut andil dalam membina masyrakat teladan yang nyata dengan
segala kekhususan dan keistimewaannya, di dalam rangka menciptakan individu
masyrakat dan keluarga yang saleh.
38
ِ ٌ ول ِمن أَنْ ُف ِس ُكم ع ِزيز علَي ِو ما عنِتُّم ح ِريص علَي ُكم ِِبلْم ْؤِمنِي رء
يم
ٌ وف َرحَُ َ ُ ْ ْ َ ٌ َ ْ َ َ ْ َ ٌ َ ْ ْ ٌ اء ُك ْم َر ُس
َ لَ َق ْد َج
ش ال َْع ِظ ِيم
ِ ب ال َْع ْر ُ اَّللُ َال إِلَوَ إَِّال ُى َو عَلَْي ِو تَ َوَّكل
ُّ ْت َو ُى َو َر َّ ِب ِ َّ ِ
َ فَإ ْن تَ َول ْوا فَ ُق ْل َح ْس
39
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan ) bagimu penyantun dan penyayang terhadap orang-
orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka
katakanlah (Muhammad), “cukuplah Allah bagiku, tidak ada tuhan selain Allah.
hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan dia adalah Tuhan pemilik „Arsy
(singgahsana) yang agung” (Q.S at-Taubah, 6 : 128-129).
Tafsiran Q.S at-Taubah, 6 : 128-129
Ayat ini menjelaskan tiga macam sikap rasul dalam berinteraksi dengan para
ِ
penderitaan yang kamu alami,ك ْم ٌ َعنت ُّْم َح ِر
ُ يص َعلَْي (dia) sangat menginginkan
Interaksi guru dan peserta didik tersebut tentu terdapat rambu-rambu yang
perlu dihargai dan dituruti oleh peserta didik. Untuk itu ada beberapa hal yang
mesti selalu mewarnai sikap peserta didik dalam berinteraksi dengan gurunya.
Syeikh Az-Zarnuji yang di terjemahkan oleh Aljufri (2009), dalam kitab talim
muta‟lim, menjelaskan peserta didik (santri) tidak akan memperoleh ilmu dan
tidak akan mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru.
Karena ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil, mereka
ketika menuntut ilmu sangat menghormati hal tersebut, maka sebaliknya orang-
orang yang tidak berhasil dalam menuntut ilmu, karena mereka tidak mau
menghormati atau memuliakan ilmu dan guru. Ada yang mengatakan bahwa
menghormati itu lebih baik dari pada mentaati. Karena manusia tidak di anggap
kufur karena maksiat. Tapi dia menjadi kufur karena dia tidak menghormati atau
memuliakan.
Termasuk menghormati gurunya ialah para santri menjaga tatakrama dalam
berprilaku, ucapan dan seorang santri harus mencari kerelaan hati guru, dengan
menjahui hal-hal yang membuat seorang guru marah.
4. Materi Pembelajaran
Ada lima unsur yang berkaitan antara satu dengan lainnya yang tidak boleh
diabaikan dalam penyelengaraan pembelajaran, yaitu tujuan sebagaimana di atas
telah dibahas, pendidik, peserta didik, materi, metode, dan lingkungan
pendidikan. Unsur pertama merupakan unsur target yang ingin dicapai setelah
41
peserta didik melewati proses pembelajaran. Target ini mesti harus mengacu
kepada tujuan pendidikan secara umum. Dari beberapa unsur lainnya merupakan
sarana atau elelmen yang dapat mengantarkan siswa kepada tujuan pendidikan
itu yang diuraikan dalam materi pembelajaran. Materi itulah yang mesti diolah
bersama elemen lainnya agar tujuan pembelajaran dapat diraih. Materi tersebut
adalah meliputi bidang-bidang ilmu yang di ajarkan kepada peserta didik.
Materi pengajaran bukan semata-mata berarti semua uraian yang tertera
dalam buku sumber atau sumber tercetak lainnya, melainkan memiliki klasifikasi
tertentu. Berdasarkan klasifikasi itulah, kemudian guru memilih bahan yang
mana yang akan disajikan dalam perencanaan untuk mencapai tujuan pengajaran
yang telah dirumuskan sebelumnya. Bahan pengajaran adalah bagian integral
dalam kurikulum sebagaimana yang telah ditentukan dalam garis-garis besar
program pengajaran. Itu sebabnya dapat dikatakan, bahwa bahan pengajaran atau
materi pembelajaran pada hakikatnya adalah isi kurikulum itu sendiri (Ibrahim
dan Nana Syaodih, 1996:101).
5. Metode Pembelajaran
Kegiatan keseharian santri sebagaimana di kemukakan Nurcholish Madjid
yaitu sebagai orang yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab
bertulisan dan berbahasa Arab. Pesantren biasanya memberikan sistem atau
metode pemebelajaran dalam bentuk sorogan, bandongan dan halaqah (Dhofier,
2011: 53). Sorogan, artinya ialah belajar secara individual di mana seorang santri
mendatangi seorang guru yang membacakan beberapa baris Qur‟an atau kitab-
kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah masing-
masing di seluruh wilayah Indonesia. Pada gilirannya murid mengulangi dan
menerjemahkan kata demi kata persis seperti yang dilakukan oleh gurunya.
Bandongan, merupakan metode utama dalam pengajaran di lingkungan pondok
pesantren. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 Sampai 500 murid)
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan,
bahkan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Sedangkan
42
bukan melewati akal, melainkan lansung masuk keperasaan anak didik. Orang-
orang pesantren telah melakukan cara ini. Mereka mendidik atau menanamkan
rasa beragama dengan membiasakan membaca wiridan, membaca pujian, dengan
contoh tingkah laku, dan sebagainya. Dan kelihatanya mereka cukup berhasil
dalam melakukanya.
Peneliti rasanya sependapat dengan apa yang dikemukakan di atas.
Bahwasanya, di era moderenisasi ini rasanya sulit menemukan metode yang
menyentuh hati, alahhasil, yang sering kita temui pada metode-metode
sebelumnya terkadang logika sebagai alat ukur untuk mendapatkan suatu
kebenaran. Sulit rasanya jika hanya logika saja yang dipakai ketika dihadapkan
dengan ritual-ritual keagamaan yang sifatnya kepercayaan (keimanan). Tentu
dalam hal ini membutuhkan metode yang tidak sekedar melewati akal saja
melainkan harus menyetuh hati.
Berikut penjelasan metode-metode yang dianjurkan oleh al-Nahlawi;
a. Metode hiwar (pecakapan) Qurani dan Nabawi,
Khiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang
dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan
tidak dibatasi, dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan
lain-lain. Kadang-kadang pembicaraan itu sampai pada satu kesimpulan, kadang-
kadang tidak sampai kepada kesimpulan karena salah satu pihak tidak puas
terhadap pendapat pihak lain. Yang mana pun yang ditemukan, hasilnya dari segi
pendidikan tidak jauh berbeda, masing-masing mengambil pelajaran untuk
membentukan sikap bagi dirinya. Khiwar mempunyai dampak yang dalam bagi
pembicara dan juga bagi pendengar pembicara itu. Itu disebabkan oleh beberapa
hal sebagai berikut;
1) Dialog itu berlangsung secara dinamis karena dua pihak terlibat langsung
dalam pembicaraan, tidak membosankan. Kedua pihak saling
memperhatikan. Jika tidak memperhatikan, tentu tidak dapat mengikuti jalan
44
Kisah Qurani bukan hanya semata kisah atau semata-mata karya seni yang
indah, ia juga cara Tuhan mendidik umat agar beriman kepada-Nya. Jika
diringkaskan, tujuan kisah Qurani adalah sebagai berikut;
menyuruh Rasul-Nya mengawini bekas istri Zaid, Zaid itu anak angkat Rasul.
Ini ganjil bagi orang Arab ketika itu. Dengan itu Allah memberikan teladan
secara praktis yang berisi ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung,
bekas istri angkat boleh dikawini (Ahmad Tafsir, 2014:143).
Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi mukmin untuk mengawini bekas
istri anak angkat mereka. (al-Ahzab:37)
Banyak contoh yang diberikan oleh nabi yang menjelaskan bahwa orang
(dalam hal ini terutama guru ) jangan hanya berbicara, tetapi juga harus
memberikan contoh secara langsung. Dalam peperangan, tidak hanya
memegang komando, dia juga ikut perang, menggali parit perlindungan. Dia
juga menjahit sepatunya, pergi belanja ke pasar, dan lain-lain.
d. Metode pembiasaan
Dalam pembinaan sikap, metode pembiasaan sebenarnya cukup efektif.
Lihatlah pembiasaan yang dilakukan oleh Rasullah, perhatikan orang tua kita
medidik anaknya. Anak-anak yang dibiasakan bangun pagi, akan bangun pagi
sebagai suatu kebiasaan itu (bangun pagi), ajaibnya, juga mempengaruhi jalan
hidupnya. Dalam mengerjakan pekerjaan lainnya pun ia cenderung pagi-pagi,
bahkan sepagi mungkin. Orang biasa bersih akan memiliki sikap bersih.
Ajaibnya, ia juga bersih hatinya, bersih juga pkirinnya. Karena melihat inilah
ahli-ahli pendidikan semuanya sepakat untuk membenarkan pembiasaan
sebagai salah satu upaya pendidikan yang baik dalam pembentukan manusia
yang dewasa.
e. Metode ibrah dan mau‟izah,
Dalam penelitian al-Nahlawi pada buku Ahmad Tafsir ilmu pendidikan
dalam prespektif Islam. Al-Nahlawi bependapat, menurutnya, „ibrah dan
I‟tibar kedua akta itu mempunyai perbedaan dari segi makna. ibrah dan
I‟tibar ialah suatu kondusi psikis yang menyampaikan manusia kepada inti
sari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang
47
6. Lingkungan
Lingkungan pendidikan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap
peserta didik (santri) perbedaan pengaruh tersebut tergantung jenis lingkungan
pendidikan tempat peserta didik terlibat didalamnya. Hal ini karena msing-
masing jenis lingkungan pendidikan memiliki situasi sosial yang berbeda-beda.
48
Situasi sosial yang dimaksud meliputi faktor perencanaan, sarana dan sistem
pendidikan pada masing-masing jenis lingkungan. Intensitas pengaruh
lingkungan terhadap peserta didik tergantung sejauh mana lingkungan mampu
memahami dan memberikan fasilitas terhadap kebutuhan pendidikan peserta
didik.
Menurut Hasbullah (2003), lingkungan pendidikan mencakup:
a. Tempat (lingkungan fisik ), keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam
b. Kebudayaan (lingkungan budaya ) dengan warisan budaya tertentu seperti
bahasa seni ekonomi, ilmu pengetahuan, pedagang hidup dan pedagang
keagamaan; dan
c. Kelompok hidup bersama (lingkungan sosial atau masyarakat) keluarga,
kelompok bermain, desa perkumpulan dan lainnya.