Anda di halaman 1dari 40

BAB II

PEMBINAAN KEPRIBADIAN MUSLIM

A. Karakteristik Kepribadian Muslim Santri di Pondok Pesantren


Melakukan pembinaan tentu memiliki kekhasan masing-masing yang
dimana di sini dikenal dengan karakteristik pembinaan. Pembinaan dapat
dilakukan dimana pun sesuai dengan tujuan pembinaan yang hendak dicapai.
Pada kesempatan kali ini pembinaan yang akan hendak dicapai merupakan
pembinaan yang dilaksanakan di pesantren, setiap pesantren dalam melakukan
pembinaan memerulakan waktu yang tidak sebentar, tentu membutuhkan waktu
yang terus berkelanjutan. Pada bagian ini peneliti akan menguraikan beberapa
karakterstik pembinaan kepribadaian Muslim di pesantren melalui karakteristik
santri, gamabaran umum pondok pesantren dan peran pesantren dalam
melakukan pembinaan.
1. Karakteristik Santri
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3
dinyatakan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangka kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan ntuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” ( Sinar Grafika,
2011:7). Maka untuk pencapaian sebagaimana amanat undang-undang tersebut,
sebenarnya pesantren telah lama mendidik santrinya agar memiliki karakter yang
dapat diandalkan, seperti karakter bidang keilmuan, karakter bidang akhlak dan
karakter bidang sosial.

12
13

a. Karakter Santri Bidang Keilmuan


Karakter keilmuan yang dimiliki santri dengan sumber belajar kitab-kitab
kuning tersebut merupakan wujud dari sumber belajar utama yakni wahyu.
Secara hirarkis, santri memperoleh ilmu dari gurunya (kiai) di pesantren, kiai
dari ulama-ulama yang menjadi gurunya hingga sampai bersambung pada
sahabat Nabi SAW, dan sahabat langsung dari Nabi SAW. dan Nabi SAW dari
Jibril berupa wahyu dari Allah SWT (Riyadi, 2010: 11). Dengan sumber ilmu
yang berupa wahyu maka ciri utama santri dengan ilmu yang dimiliki adalah
semata-mata untuk tafaqquh-fiddin, dimana ilmu yang dimiliki semata-mata
untuk pengamalan agama sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT.
b. Karakter Santri Bidang Akhlak
Manusia sebagai khalifah filardli memiliki kesempurnaan melebihi
makhluk-makhluk lain yang diciptakan-Nya. Dengan keistimewaan tersebut,
santri menerima pendidikan akhlakul karimah kepada Allah SWT dengan
penekanan pada tauhid dan amal shaleh. Menurut Yusuf (2003: 179), untuk
memiliki akhlak mulia kepada Allah SWT melalui beberapa cara, antara lain :
(1). Tidak menyekutukan-Nya; (2). Bertakwa kepadaNya; (3). MencitaiNya; (4).
Ridla dan ikhlas terhadap segala keputsanNya; (5). Memohon dan berdoa serta
beribadah hanya kepadaNya; dan (6). Senantiasa mencar keridlaanNya. Dengan
keenam bentuk akhlak kepada Allah SWT tersebut terbangun karakter yang
agamis pada diri santri. Kedua, akhlak kepada sesama ditanamkan kepada santri
antara lain untuk mengenali diri sendiri dan orang lain guna beramal shaleh.
Dalam hal ini jika memimjam pemikiran Yusuf (2003: 180-190), dapat diringkas,
bahwa santri diarahkan kepada akhlak terhadap diri sendiri, seperti sabar,
tawakal, ridla, syukur, tawadlu‟ dan lain semacamnya. Selain itu santri
diupayakan berakhlak terpuji terhadap orangtua, baik ketika orangtua masih
hidup maupun sudah mati. Akhlak terhadap keluarga dengan kasih sayang yang
tulus, sebagaimana orangtua tulus membesarkannya, dan memberikan pendidikan
yang baik terutama beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Lebih luas lagi,
14

santri diupayakan berakhlak terpuji terhadap orang lain atau masyarakat dengan
mengedepankan pergaulan yang didasari sopan santun, tidak menyakiti hati
apalagi sampai melukai badan dan membunuh, serta suka meminta dan memberi
maaf. Ketiga,.akhlak kepada lingkungan ditanamkan kepada santri antara lain
untuk mengenali dan menyayangi serta memanfaatkannya untuk kemaslahatan.
Menurut Yusuf (2003: 189-190), bahwa akhlak terhadap lingkungan
mengandung arti tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungan, sebab
kerusakan lingkungan pada akhirnya akan berdampak pada kerusakan pada diri
manusia sendiri. Dalam hal ini berarti manusia harus memelihara segenap isi
alam, baik binatang, tumbuhan maupun benda-benda tak bernyawa lainnya. Pada
hakikatnya mereka sama dengan manusia yang diciptakan Allah SWT untuk
disayangi dan diperlakukan dengan sebaik baiknya.
c. Karakter Santri Bidang Sosial.
Pendidikan pesantren pun telah berhasil mendidik santri yang memiliki
karakter sosial cukup dibanggakan. Sebab, pendidikan karakter relevansinya
dengan karakter bidang sosial dapat dilihat
melalui secara siombolik dalam shalat berimplemntasikan sebagai pencegahan
terhadap dosa dan kemungkaran. Ibadah haji, Zakat dan ibadah-ibadah lainnya
yang memiliki makna sosio-ekonomi. Disisi lain dalam kaitannya dengan
karakter santri terkait dengan kehidupan sosial menurut Haedari (2004: 13)
sebagai berikut: 1) Tidak masuk rumah orang lain tanpa izin; 2) Mengucapkan
salam; 3) Berkata jujur dan benar; 4) Jangan memanggil orag dengan menyebut
bapaknya; 5) Pemaaf atas kesalahan atau dosa orang lain-lain.
2. Pondok Pesantren
Pondok secara etimologis berarti bangunan untuk sementara, rumah,
bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak yang berdinding bilik dan beratap
rumbia dan madrasah atau asrama (tempat mengaji atau belajar agama Islam).
Adapun term pesantren secara etimologis berasal dari pe-santri-an yang berarti
15

tempat santri, asrama tempat santri belajar agama atau pondok (Mugits, 2008:
120).
Pesantren menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan tradisional Islam
untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaraan Islam dengan menanamkan pentingnya modal keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian tradisional disini menunjuk bahwa
pesantren sebagai lembaga pendidikan agam Islam telah hidup sejak 300-500
tahun yang lalu menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sebagian umat
Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tradisional
bukan berarti tetap tanpa mengalami perubahan (Suteja, 2011: 136).
Pesantren berasal dari kata pe-santri-an. Santri ialah mereka yang
mempelajari Agama Islam. Istilah pesantren disebut dengan surau di daerah
Minang Kabau, penyantren di Madura, pondok di Jawa Barat, rangka di Aceh.
Sejarah mencatat posisi strategis lembaga pendidikan Islam ini. Menurut
Nurcholis Madjid, dari segi historis pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga keindonesiaan, sebab lembaga yang serupa sudah terdapat
pada masa Hindu Budha. Umat Islam hanya meneruskan dan mengislamkannya
(Khoiruddin Bashori, 2003: 76).
Dalam terminologi pesantren kiyai adalah pendiri, pemilik, pengasuh,
pimpinan, guru tertinggi dan komando tertinggi pesantren, pengayom santri dan
masyarakat sekitarnya serta konsultan agama. Bahkan lebih dari itu kiyai sering
diposisikan sebagai perantara keselamatan dunia dan akhirat. Kedudukan yang
keramat tersebut sudah barang tentu akan membangun pengultusan terhadap
kiyai. Salah satu sisi positifnya adalah memudahkan kiyai dalam menyampaikan
pesan-pesan agama kepada santri dan masyarakat luas, lebih-lebih dalam
mengambil kebijaksanaan yang berkaitan dengan kepentingan pesantren (Mugits,
2008: 140) .
Secara kulturl kiyai adalah agen budaya, sebagaimana Cliffort Geertz, yaitu
pada masa awalnya ia sebagai penghubung dan perantara budaya-budaya
16

animisme Hindu-Budha dengan ajaran Islam yang baru. Disamping itu kiyai
adalah kekuatan filter yang efektif bagi lingkungannya atau pengikutnya dari
infiltrasi budaya yang dinilai negatif dari luar, khususnya yang masuk ke
lingkungan pesantren dan pada umumnya dalam masyarakat Muslim tradisional
di Jawa (Mugits, 2008: 146).
Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pedidikan pesantren di Jawa dan Madura
lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok berasal dari pengertian
asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat
dari bambu, atau yang berasal dari bahasa Arab fundug, yang berarti hotel atau
asram (Nizar, 2013: 112). Di Inodnesia istilah pesantren lebih populer dengan
sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari
bahasa Arab “faunduk”, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal
sederhana.
Pengertian terminolgi pesantren di atas, mengindikasikan bahwa secara
kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia dari sinilah barangkali Nurchalis
Madjid berpendapat, secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia (Madjid, 2002: 62). Salah satu
definisi yang dipandang representatif untuk maksud di atas adalah definisi dari
departemen agama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
agama Islam yang pada umumnya kegiatan tersebut diberikan dengan cara
nonklasikal (sistem bandongan dan sorogan) dimana seorang kiyai mengajar
para santrinya berdasarkan kitab-kitabnya yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama besar sejak abad pertengahan sedangkan para santri biasanya tinggal di
dalam pondok atau asrama pesantren tersebut (Mugits, 2008: 146).
17

Setiap pesantren memiiki ciri khas sendiri-sendiri, meskipun demikian secara


umum dapat disebut beberapa ciri yang hampir dimiliki oleh setiap pesantren,
yaitu:
a. Pesantren dipimpin oleh seorang kiyai atau ajengan (sunda)
b. Kiyai dan santri hidup dalam satu kompleks pesantren sebagai sebuah
keluarga besar, dengan kyai sebagai orang yang tinggi.
c. Pesantren didirikan untuk mengembangkan syariat Islam dengan mencetak
ulama dan kader-kader da‟i.
d. Motivasi kyai sebagai pendidik dan santri sebagai si terdidik semata-mata
dilandasi niat beribadah.
e. Dalam sebuah pesantren kiyai merupakan pusat tauladan dan figur sentral
bagi santri-santrinya.
f. Tempat belajar dipusatkan diserambi masjid atau disebuah bangunan yang
sengaja disediakan secara khusus sebagai tempat belajar (Bashori, 2003: 77).
Meskipun demikian, dalam konteks tranformasi sosial, otoritas kiyai sebagai
seolah-olah “ pemilik ” pesantren menjadikan kiyai tetap berbeda dengan
tampilan guru di sekolah. Oleh karena itu, ada yang mengkhawatirkan, karakter
kiyai merupakan salah satu faktor penghambat pengembangan pesantren dalam
bidang teknologi dan kebudayaan atau nilai-nilai modern (paradigma modern).
Kenyataannya ini misalnya terlihat, terjadinya kesenjangan nilai antara dunia
pesantren dengan nilai-nilai baru yang berkembang akibat globalisasi. Dan
adanya anggapan masyarakat bahwa pesantren hanya mengurusi urusan agama.
Kegagalan dunia pesantren dalam membangun kebudayaan sering kali terjadi
kontradiksi antara nilai-nilai pesantren dengan masyarakatnya (Nizar, 2013:
201).
Disamping itu pesantren juga diterapkan sisitem hafalan untuk kitab-kitab
tertentu, terutama kitab-kitab ilmu alat (tata baha Arab). Metode ini yang banyak
membedakan dengan metode pendidikan di pesantren modern atau sekolah-
sekolah umum. Dan dengan metode hafalan ini, disamping juga dengan sistem
18

penerjemahan kitab dengan makna “gundul” pada umumnya pesantren salafi


berhasil dalam menciptakan kader-kader ilmu alat yang kapabel, disamping
pesantren modern, meskipun dalam cabang aspek lainnya pesantren modern
memiliki kelebihan dibanding pesantren salafi, seperti dalam penguasaan bahasa
Arab aktif (muhaddasah) (Mugits, 2008: 153).
Berbicara mengenai karakteristik pendidikan pesantren dan unsur – unsur
kelembagaannya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural, dan tidak pula dapat
diletakan pada semua pesantren secara uniformitas karena setiap pesantren
memiliki keunikan masing–masing. Oleh karena itu, pembahasan ini tidak
mengungkapkan ciri–ciri spesifik berbagai sistem pendidikan pesantren, namun
lebih pada pengungkapan karakteristik pesantren secara umum. Begitu pula
mengenai unur–unsur kelembagaannya, lebih menyorot pada elemen – elemen
pesantren, struktur organisasi, dan status kelembagaannya.
Pesantren bukanlah semacam sekolah atau madrasah walaupun dalam
lingkungan pesantren sekarang ini telah banyak pula didirikan unit – unit
pendidikan klasikal dan kursus–kursus. Berbeda dengan sekolah, pesantren
mempunyai kepemimpinan, ciri-ciri khusus semacam kepribadian yang diwarnai
oleh karaktristik pribadi kiyai, unsur-unsur pimpinan pesantren; bahkan juga
aliran keagamaan tertentu yang dianut (Nizar, 2013: 110).
3. Peran Pesantren dalam Membina Kepribadian Santri
Peran pesantren sejak awal kelahirannya telah menjadikan pendidikan sebagai
way of life. Pembentukan kepribadian muslim yang dilakukan oleh pesantren
tertentu justru hampir seluruhnya terjadi diluar ruang belajar. Hubungan
interaksi, dan pergaulan sehari-hari santri dengan kiyai atau santri dengan
sesamanya, bahkan santri dengan masyarakat di sekitar lingkungan pondok
pesantren adalah sumber pembelajaran utama dalam rangka pembentukan
kepribadian muslim yang dicita-citaakan pesantren (Suteja, 2011: 145).
Adapun ajaran etika santri terhadap ilmu atau kitab, di antaranya bahwa santri
harus menghormati kitab karena yang demikian itu sama halnya dengan
19

menghormati ilmu dan imam al-musannif-nya, memegang kitab harus dalam


keadaan bersih dan suci dari hadats, tidak menjulurkan kaki ke arah kiblat,
menaruh kitab di tempat yang tinggi, terutama al-qur‟an dan kitab-kitab
taafsirnya. Jadi ketawadu‟an (sikap rendah hati) dan penghormatan terhadap
kiyai (ulama) tidak semata-mata sebagi manusia yang secara sosial tehormat,
tetapi juga pada ilmu yang dimilikinya. Kiyai adalah tempat bersemayamnya
ilmu sebagai titipan Tuhan, yang mana ilmu itu tidak dapat dicapai kecuali harus
dengan izin penjaganya.
Sistem nilai tersebut merupakan roh bagi pesantren pada umumnya, meskipun
masing-masing pesantren terkadang memiliki hal-hal yang lebih spesifik. Hal ini
yang menjadi alasan bahwa pesantren bukanlah sekedar menjadi pusat
transformasi ilmu pengetahuan saja, sebagaimana disekolah umum, tetapi juga
sebagai tempat transformasi ajaran etika secara totalitas, baik terhadap santri
maupun masyarakat luas. Pesantren tidak sekedar menjadi tempat pengaderan
para cendekiawan tetapi juga sebagai pusat pembentukan keperibadian manusia
yang mulia (Mugits, 2003: 158).
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan memeperluas fungsi pesantren bukan
saja sebagai lembaga agama, melainkan juga sebagai lembaga sosial.
Konsekuensinya, tugas yang digarapnya bukan saja soal-soal agama, tetapi juga
menanggapi soal-soal kemasyarakatan pekerjaan sosial semula mungkin
merupakan pekerjaan sampingan atau “titipan” dari pihak luar pesantren. Tetapi
kemudian, pekerja sosial ini membuat pesantren dipercaya oleh banyak pihak
sebagai agen membawa perubahan sosial yang signifikan karena mereka
menganggap, hampir seluruh komponen pesantren mempunyai kaitan fungsional
dengan masyarakat mulai dari pengaruh kiyai, ustadz dan juga para santrinya
yang memberi warna dalam tengah-tengah masyarakat (Nizar, 2003: 197).
Bila dilihat dari sistem pengajaran yang diterapakan di dunia pesantren,
memang terdapat kemiripan, dengan tatalaksana pengajaran dalam ritual
keagamaan Hindu, dimana terdapat penghormatan yang besar oleh santri
20

(murid) kepada kiyainya. Sehubungan dengan ini Cak Nur menggambarkan kiyai
duduk di atas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya
dengan cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh para santri terhadap
kiyai seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan
kiyainya. Sehingga peran kiyai sangat fenomenal dan signifikan dalam
keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab kiyai adalah sebuah
elemen dari beberapa elemen dasar sebuah pesantren.
Pesantren itu terdiri dari lima elemen pokok yaitu, kyai, santri, masjid,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen tersebut
merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan
pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun
kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kiyai
memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren (Madjid, 2002:
63).
Pesantren dalam perkembangannya masih tetap disebut sebagai lembaga
keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan, dan mengajarkan ilmu agama
Islam. Pesantren dengan segala dinamikanya dipandang sebagai lembaga pusat
perubahan masyarakat melalui dakwah Islamiah, seperti tercermin dalam dari
berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan kepribadian
individu santri, sampai pada pengaruhnya terhadap politik di antara pengasuhnya
(kiyai) dan pemerintah.
Pesantren dari sudut pedagogis tetap dikenal sebagai lembaga pendidikan
agama Islam lembaga yang di dalamnya terdapat proses belajar mengajar.
Fungsi pesantren dengan demikian lebih banyak berbuat mendidik santri. Hal ini
mengundang makna sebagai usaha membangun dan membentuk pribadi,
masyarakat dan warga negara. Pribadi yang dibentuk adalah pribadi muslim yang
harmonis, mandiri, mampu mengatur kehidupannya sendiri, tidak bergantung
pada bantuan pihak luar, dapat mengatasi persoalan sendiri, serta mengendalikan
dan mengarahkan kehidupan dan masadepannya sendiri.
21

Pesantren dalam hal ini bertugas membentuk pribadi muslim yang harmonis
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama dan lingkungan yang dimulai dari
diri sendiri, keluarga dan tetangga dekat (Suteja, 2011: 144). Dalam pesantren
santri hidup dalam suatu komunitas yang khas, denga n kiyai, ustadz, santri, dan
pengurus pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai
agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaannya yang tersendiri,
yang tidak jarang berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.
Pesantren merupakkan suatu keluarga besar dibawah asuhan seorang kiyai atau
ulama, dibantu oleh beberapa ustadz.
Dalam dunia pesantren santri mempuyai dua orang tua, yaitu ibu bapak yang
melahirkan dan kiyai yang mengasuhnya. Ia juga mempunyai dua macam
saudara, yaitu saudara sesusuan dan saudara seperguruan, sesama santri. Dalam
tradisi pesantren, santri seniro juga dapat berperan sebagai ustadz/guru bantu.
Keadaan ini memungkikan sistem kurikulum pesantren dan sistem asrama
(pondok) yang menuntut pendidikan terus menerus sepanjang hari 24 jam dapat
berjalan dengan baik, dengan biaya yang relatif lebih murah.
Menurut Ziemek (1986), kehidupan yang akrab dan belajar bersama dapat
memberikan dorongan yang penting bagi sosialisasi dan pengembangan santri.
Cara hidup yang sederhana dan disiplin dalam kelompok santri tinggal bersama
dalam sebuah kamar tidur yang berukuran kecil, memecahkan permasalahan dan
mengaturnya bersama secara bersama, sembahyang berjamaah dan suasana khas
yang diciptakannya menguntungkan perkembangan suatu semangat korps
(Bashori 2003: 86).
Sebagaimana klaim pesantren salaf pada umumnya bahwa yang membedakan
pesantren salaf dan modern adalah ajaran etikanya, yakni jika pesantren salaf
sangan memperhatikan etika, sebaliknya pesantren modern kurang
memperhatikannya, sehingga santri lulusan modern ini kurang membawa ajaran
etika dalam berperilaku, meskipun penilaian ini juga masih tampak biasanya dan
terlalu mahal untuk digeneralisasikannya. Ajaran etika tersebut merupakan aspek
22

budaya yang menjadi ciri khas utamanya dan selalu dibanggakan yang mana
dalam kultur masyarakat Jawa khusunya, ajaran ini masih dianggap sebagai
unsur budaya yang sangat penting.
Oleh karena posisi pesantern salaf sebagaiman institusi yang mengajarkan
ajaran etika ini selalu dipandang penting dan kuat karena langsung mengakar
dalam kultru masyarakat. Tentang ajaran etika ini pada dasarnya ajaran tentang
bagaimana pola pergaulan atau hubungan yang baik antar unsur-unsur anggota
pesantren, seperti pola hubungan antara santri dan kiyai yang merupakan
hubungan ketaatan yang tak terbatas sebagaimana diuraikan di depan.
Jika sementara hipotesis mengatakan bahwa tradisi pengagungan tersebut
merupakan warisan tradisi lokal pra-Islam, hal itu bukan berarti sama sekali tidak
bersandar pada ajaran ulama terdahulu, seperti ajaran etika dalam kitab Ta‟lim
al-Muta‟alimin karya asy-Syaikh az-Zarnuji. (Mugits, 2008: 155). Dalam catatan
Nurchalis Madjid, setidaknya kitab-kitab klasik ini mencakup cabang ilmu fiqih,
tauhid, tasawuf, dan nahwu sharaf. Atau dapat juga dikatakan kosentrasi
keilmuan yang dikembang dipesantren pada umumnya mencakup tidak kurang
dari 12 macam disiplin keilmuan, nahwu, sharaf, balaghah, tauhuid, fiqih, ushul
fiqih, qawaid fiqhiyah, tafsir, hadits, muthalah al-haditsah, tasawuf dan mantiq
(Madjid, 2002: 68).
Pendidikan pesantren dalam corak tradisional dan otosentris yang berpusat
pada diri sendiri, kemudian menjadi adaptif dan emansipatif terhadap perubahan
sosial serta berusaha mempertahankan kebudayaan etnis dan identitas bangsa dan
mengusahakan lenyapnya dominasi politik asing di dalam negeri. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pesantren mempunyai pengaruh dalam proses
pelestarian budaya lokal atau pribumi dan telah berperan aktif dalam kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini sejalan dengan komentar Ziemek, pesantren
sebagai lembaga pergulatan spiritual, pendidikan dan sosialisasi yang kuno dan
sangat heterogen menyatakan sejarah pedagogik, kehadiran, dan tujuan
pembangunan sekaligus (Nizar, 2013: 110).
23

Santri tersebut selama dipesantren diajarkan kitab-kitab klasik, yang lebih


dikenal dengan kitab kuning. Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari
proses belajar-mengajar di pesantren sangat penting dalam membentuk
kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada diri
santri. (Madjid, 2002: 68). Kiyai juga dapat dikatakan tokoh nonformal yang
ucapan-ucapan dan seluruhnya perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di
sekitarnya. Kiyai berfungsi sebagai sosokmodel atau teladan baik (uswatun
hasanah) tidak saja bagi para santrinya, tetapi juga bagi seluruh komunitas
disekitar pesantren. Kewibawaan kiyai dan kedalaman ilmunya adalah modal
utama bagi berlangsungnya semua wewenang yang dijalankan.
Hal ini memudahkan semua berjalannya semua kebijakan pada masa itu,
karena semua santri bahkan orang-orang yang ada dilingkungan pondok taat pada
kiyai. Ia dikenal sebagai tokoh kunci, kata-kata dan keputusannya dipegang
teguh oleh mereka, terutama oleh para santri. Meskipun demikian kiyai lebih
banyak mengahabiskan waktunya untuk mendidik para santrinya ketimbang hal-
hal lain. Proses pembelajaran ini berlangsung di masjid yang merupakan elemen
pokok kedua pada pondok pesantren (Madjid, 2002: 64).
Sang kiyai telah mampu memobilisasi spiritual umat, sehingga kiyai sering
diidentikan dengan istilah kepemimpinan non formal (informal leader), dimana
legitimasi kepemimpinan berdasarkan atas pengakuan masyarakat yang
bersumber pada keahlian di bidang ilmu keagamaan, kewibawaan, kepribadian
serta keturunan yang yang dimilikinya. Atau dengan kata lain, kiyai tampil di
tengah-tengah umat dengan kualitas kharismanya. Ketika kiyai telah di anggap
memiliki kharisma maka masyarakat akan beranggapan bahwa kiyai dapat
memancarkan barakah.
Fenomena ini tampak di dunia pesantren, bahwa mereka yang datang
keharibaan kiyai bertujuan untuk memperoleh restu dan barakah kiyai, agar
segala sesuatu yang di inginkananya terkabulkan oleh Allah dan mendapat ridha-
Nya. Kiyai, dengan demkian dapat berperan sebagai wasilah (perantara) yang
24

dapat menghubungkan dunia manusia yang eksoteris dengan dunia supranatural


yang esotoris. Pandangan seperti ini, setidaknya di sebabkan oleh dua faktor:
a. Keyakinan mengenal konsep kepemimpinan bahwa para ulama adalah
pewaris para nabi, sehingga kiyai yang memiliki ilmu dan menyebarkannya
pada masyarakat luas pada dasarnya adalah pewaris para nabi yang perlu di
tempatkan pada kedudukan yang tinggi di masyarakat.
b. Sedikit atau banyak dipengaruhi oleh paham sufi bahwa kiyai adalah
petunjuk jalan untuk mencapai maqam, stage ( tahapan, tingkatan ) tertinggi,
ma‟rifat billah ( suatu penyaksian akan kekuasaan allah) (Nizar, 2013: 193).
Di Jawa, secara umum tingkah laku yang benar secara Islam tersebut
dinyatakan dalam contoh-contoh seperti yang dikerjakan oleh para kiyai yang
(melalui lembaga-lembaga pesantren dan amalan-amalan beragama yang lain,
seperti khotbah jumat) mengajarkan kepada anggota-anggota masyarakat tingkah
laku ideal, pola pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol, dan amalan-
amalan Islam.
Terutama dipedesaan Jawa, ketaatan kepada norma- norma tingkah laku
Islam merupakan refleksi daripada kecenderungan mereka untuk patuh kepada
tradisi keislaman daripada kiyai (Nizar, 2013: 112). Kegiatan dan partisipasi
pesantren yang ingin berkiprah dan membangun masyarakat memerlukan ide dan
pengetahuan baru. Oleh Karena itu, pesantren dengan potensi sumber daya
manusianya dan prasarana yang ada, bekerja keras untuk menjadi bagian
masyarakat yang aktif bukan saja memberikan pengetahuan agama tetapi juga
berkeinginan meningkatkan taraf hidup ekonomi serta berkeinginan menciptakan
kebudayaan yang selaras dan produktif bagi masyarakat. Dalam
perkembangannya, kiprahnya sangat ditentukan oleh kepemimpinan sang kiyai,
tokoh para santri, figur masyarakat dan memiliki kebiasaan berdikari. Dan ini
juga merupakan modal dasar kemampuan kiyai menggerakan masyarakat.
kemampuan inilah telah ditunjukkan oleh Hiroko horikoshi dalam suatu
penelitiannya di Cipari, Kabupaten Garut. Hiroko dalam penelitiannya itu
25

melihat posisi dan fungsi kiyai atau tepatnya pimpinan pesantren sebagai faktor
penggerak dan aktor perubahan sosial menurut cara yang dipahami kiyai dan
masyarakatnya (Nizar, 2013: 200).
Pesantren merupakan pusat perubahan di bidang pendidikan, politik, budaya,
sosial, dan keagamaan. Pesantren senantiasa mengalami penyesuaian diri dengan
situasi dan kondisi dimana pesantren itu berada. Nilai-nilai progresif dan inovatif
diadopsi sebagai suatu strategi antisipasif dari ketertingalan dengan model
pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus
bersanding dengan sistem pendidikan modern.
Dilihat dari sudut pandang ini, maka eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan tradisional, seperti sediakala, masih perlu dipertanyakan. Apakah
pesantren dengan bentuk yang telah termodifikasi itu layak disebut sebagai
pesantren? Atau untuk mengenal pesantren, seperti yang dipahami sebelum
pesantren mengalami transformasi, harus merujuk kepada pesantern yang belum
mengadopsi nila-nilai kemoderenan (Nizar, 2013: 111).
B. Kepribadian Muslim
1. Kepribadian Muslim Santri
a. Pengertian Kepribadian Muslim Santri
Sebelum lebih jauh pembahasan tentang pengertian kepribadian santri,
ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu kepribadian secara umum berikut
peneliti uraikan keperibadian secara umum. Banyaknya orang yang
mengatakan pribadi dan kepribadian itu merupakan sebuah kata yang merujuk
pada individu seseorang yang berdiri sendiri terlepas dari individu yang lain.
Biasanya dikaitkan dengan pola-pola tingkah laku manusia yang berhubungan
dengan norma-norma tentang baik dan buruk. Atau dengan kata lain “pribadi
dan kepribadian” itu dipakai untuk menunjukkan adanya ciri-ciri khas yang
ada pada diri seseorang. (Sobur, 2003: 299 ). Ucapan seperti ini adalah
pendapat “pribadi” saya. Contohnya Nabi kita Muhammad saw memang
memiliki “kepribadian” yang tangguh dan mempesona. Adik saya yang baru
26

berumur enam tahun memiliki “pribadi” yang lemah dan gampang menangis,
dan lain sebagainya (Purwanto 1990 :140). Sehingga dapat diperoleh
gambaran bahwa kepribadian menurut epistemologi dasar menunjukkan
bagaimana tampil dan menimbulkan kesan di depan orang.
Selanjutnya, Sebagaimana kita ketahui bahwasanya kepribadian berasal
dari kata “pribadi” yang berarti diri sendiri, atau perseorangan. Sedangkan
dalam bahasa inggris digunakan istilah personality, yang berarti kumpulan
kualitas jasmani, rohani, dan susila yang membedakan seseorang dengan
orang lain. Dari makna kata tersebut kemudian terumuskan pengertian
kepribadian menurut M.A.W. Brower berpendapat, bahwa kepribadian adalah
corak tingkahlaku sosial yang meliputi corak kekuatan, dorongan, keinginan,
opini dan sikap-sikap seseorang (Adang Hambali, Ujen Jaenudin, 2013:20).
Sedangkan Cuber mengatakan bahwa kepribadian adalah gabungan
keseluruhan sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat dari seseorang (Daniel
dan pervin A Lauren. 2008: 22).
Sigmund Freud (2005) menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu
struktur yang terdiri dari tiga sistem, yakni id, ego, dan super ego, sedangkan
tingkah laku tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga
unsur dalam sistem kepribadian tersebut.
Dalam hal ini, Id (das-es) merupakan sistem kepribadian yang paling
dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id adalah
sistem yang bertindak sebagai penyedia atau penyalur energi yang dibutuhkan
oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi atau kegiatan yang dilakukannya.
Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan
prinsip kenyataan. Super-ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai dan
aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Berdasarkan
teori ini pembentukan kepribadian melalui peningkatan pertimbangan moral
adalah upaya yang mengacu pada peningkatan kekuatan ego dalam
27

menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan yang dihadapi dengan


melengkapi cara berpikir moral yang memadai sehingga dapat menunjang
keputusan seseorang ke arah yang lebih bermoral.
Adapun Carl Gustav Jung mengatakan, bahwa kepribadian merupakan
wujud pernyataan kejiwaan yang ditampilkan seseorang dalam kehidupannya
(Jalaludin, 2001:41).
Pengertian ini hampir sama dengan pengertian Sigmund Freud. Bedanya
hanya pada bentuk-bentuk sistem psikis yang dicetuskan. Jung merupakan
“putra mahkota” Freud, tetapi kemudian ia memisahkan diri dan
mengembangkan psikoanalitik sendiri. Jung melihat bahwa penelitian
kepribadian tidak sekedar berdasarkan proses klinis-eksperimentatif belaka,
tetapi perlu juga memasukkan penelitian sejarah kepribadian dan kepribadian
spiritual. Jung merasa kesulitan menelaah arkhetip-arkhetip manusia yang
metafisik. Karenanya ia menerima konsep ketuhanan dan keagamaan dalam
teori kepribadiannya sebagai fakta psikis, bukan fakta fisik. Dengan demikian,
kepribadian merupakan integrasi struktur yang sangat kompleks, baik dari
aspek arkhetipnya maupun interaksi antar komponen psikis.
Uraian tentang pengertian di atas peneliti semakin jelas bahwa konsep
tentang kepribadian memiliki gambaran yang berbeda. Ada penyesuaian
pandangan dalam konteks dinamis yang berhubungan dengan tingkah laku
yang terintegrasikan dengan yang mengambarkan interaksi antara kemampuan
yang diwariskan dan adanya pengaruh lingkungan. Dalam konteks stabil,
kepribadian selalu berkembang dan mengalami perubahan. Namun, dalam
perubahan itu ada pola-pola tertentu yang tetap. Sehingga semakin dewasa,
semakin jelas pula polanya, semakin jelas pula keadaan stabilitasnya, dengan
demikian, tipe kepribadian adalah suatu pengelompokkan tingkah laku
seseorang, baik yang tampak atau masih dalam bentuk potensi yang
menunjukkan kekhasan seseorang sehingga diangap berbeda dengan yang
28

lainnya. Perbedaan tersebut berasal dari faktor keturunan dan lingkungan yang
sudah terintegrasikan.
Setelah kita ketahui kepribadian pada umumnya, sekarang kita mengkaji
tentang kepribadian santri yang identik dengan kepribadian Muslim. Kata
“muslim” dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) Muslim adalah
sebutan bagi orang penganut Agama Islam. . Adapun menurut Tasmara
(1995), muslim adalah orang yang konsekuen bersikap hidup sesuai dengan
ajaran Qur‟an dan sunnah. Jadi, muslim adalah orang yang menempuh jalan
yang lurus, yaitu jalan yang dikehendaki Allah Swt. Mereka yang menempuh
jalan lurus dan mengambil penerangan dari cahaya kebenaran Tuhan, itulah
orang-orang yang mencerminkan kemanusiaan yang benar dan lurus, yang
telah mewujudkan maksud dan tujuan hidupnya dan telah melaksanakan
tugasnya dalam hidup ini (Umar Sulaiman al-Asyqar, 2000:5). Hal ini sesuai
dengan firman Allah Swt:

‫السبُ َل فَ تَ َف َّر َق بِ ُك ْم َع ْن َسبِيلِ ِو‬


ُّ ‫يما فَاتَّبِعُوهُ َوالَتَ تَّبِعُوا‬ ِ ِ ِ َّ ‫َوأ‬
ً ‫َن َى َذا ص َراطي ُم ْستَق‬
„Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya‟” (Al An‟am
6: 153).
Dalam konteks ini, pengertian kepribadian muslim merupakan satu
komponen. Menurut Marimba (1989), kepribadian muslim adalah kepribadian
yang seluruh aspek-aspeknya yakni baik tingkah laku luarnya, kegiatan
jiwanya maupun filsafat hidup dan kepercayaannya mewujudkan kepribadian
kepada Tuhan dan menyerahkan diri kepada-Nya. Hal ini senada dengan
definisi Fadhil al-Jamaly yang dikutip oleh Ramayulis bahwa kepribadian
muslim menggambarkan muslim yang berbudaya, yang hidup bersama Allah
dalam tingkah laku hidupnya dan tanpa akhir ketinggiannya. Kepribadian
29

muslim ini mempunyai hubungan erat dengan Allah, alam dan manusia,
(Ramayulis, 1994: 192).
Berdasarkan uraian di atas peneliti simpulkan kepribadian muslim
merupakan keunikan bahwa keseluruhan sifat dan tingkah laku seseorang baik
yang di tampilkan secara bathiniyah maupun lahiriyah dalam kehidupan
sehari-hari mencerminkan nilai-nilai agama Islam (muslim).
b. Aspek-aspek Kepribadian Muslim
Gumiandari (2011) dalam jurnalnya Nilai-nilai fundamental Islam
tentang kepribadian lebih banyak merujuk pada substansi manusia yang terdiri
dari substansi Jasmani, substansi ruhani dan substansi nafsani. Ketiga
substansi ini secara tegas dapat dibedakan, namun secara pasti tidak dapat
dipisahkan.
Substansi jasmani adalah salah satu aspek dalam diri manusia yang
bersifat material. Bentuk dan keberadaannya dapat diindera oleh manusia,
seperti tubuh dan anggota-anggotanya seperti tangan, kaki, mata, telinga dan
lain-lain. Sedangkan substansi Ruhani adalah substansi psikis manusia yang
menjadi esensi kehidupan, dan terakhir, substansi Nafsani. Dalam kebanyakan
terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, nafs diartikan dengan jiwa atau diri.
Namun dalam konteks ini nafs yang dimaksud adalah substansi psikofisik
(jasadi-ruhani) manusia, dimana komponen yang bersifat jasadi (jismiyah)
bergabung dengan komponen ruh sehingga menciptakan potensi-potensi yang
potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakannya.
Beberapa subtansi di atas merupakan suatu gambaran umum aspek yang
terdapat pada diri manusia secara umum. Namun dalam diri manusia juga
terdapat unsur yang mendukung manusia tersebut, diantara unsur-unsur
tersebut antara lain, adalah Fitrah, ialah bawaan sejak lahir yakni potensi
beragam yang lurus, Nafs ialah merupakan wadah yang menampung gagasan
dan kemauan yang disadari manusia, maupun hal-hal yang sudah hilang dari
ingatan manusia dengan kata lain “dalam bawah sadar manusia”, Qalb adalah
30

kejadian sejak semula atau bawaan sejak lahir yakni potensi beragam yang
lurus, Ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang saling mengenal akan
bergabung dan yang tidak saling mengenal akan saling berselisih, dan Aql
ialah dorongan untuk memhami dan menggambarkan sesuatu. (Rahman Saleh,
2009: 61-63).
Senada dengan urain di atas mengenai aspek kepribadian muslim yang
terdapat pada diri manusia. Menurut Marimba (1989), membagi aspek
kepribadian dalam tiga hal, yaitu aspek-aspek kejasmaniahan, aspek-aspek
kejiwaan, dan aspek-aspek kerohaniahan yang luhur. Aspek kejasmaniahan
Aspek ini meliputi tingkah laku luar yang mudah nampak dan ketahuan dari
luar, misalnya cara-cara berbuat dan cara-cara berbicara, Aspek kejiwaan ini
meliputi aspek-aspek yang abstrak (tidak terlihat dan ketahuan dari luar),
misalnya cara berpikir, sikap dan minat, dan Aspek “roh” mempunyai unsur
tinggi di dalamnya terkandung kesiapan manusia untuk merealisasikan hal-hal
yang paling luhur dan sifat-sifat yang paling suci. Setelah aspek-aspeknya
dapat di telaah maka pembentukan kepribadian muslim akan berfungsi
Menurut Abdullah al-Darraz, pendidikan akhlak dalam pembentukan
kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman. Dengan
adanya cermin dari nilai yang dimaksud dalam sikap dan perilaku seseorang
maka tampillah kepribadiannya sebagai muslim. Muhammad Darraz menilai
materi akhlak merupakan bagian dari nilai-nilai yang harus dipelajari dan
dilaksanakan, hingga terbentuk kecendrungan sikap yang menjadi ciri
kepribadian Muslim. Usaha yang dimaksud menurut Al-Darraz dapat
dilakukan melalui cara memberi materi pendidikan akhlak berupa : a)
Pensucian jiwa, b) Kejujuran dan benar, c) Menguasai hawa nafsu, d) Sifat
lemah lembut dan rendah hati, e) Berhati-hati dalam mengambil keputusan, f)
Menjauhi buruk sangka, g) Mantap dan sabar, h) Menjadi teladan yang baik, i)
Beramal saleh, dan berlomba-lomba berbuat baik, j) Menjaga diri (iffah) k)
31

Ikhlas, l) Hidup sederhana, dan m) Pintar mendengar dan kemudian


mengikutinya (yang baik) (delsajoesafira: http://delsajoesafira.blogspot.co.id).
Peneliti dapat simpulkan terkait uraian di atas aspek kepribadian muslim.
tidak lepas dari subjek dan objek kepribadian itu sendiri yaitu manusia.
Manusia merupakan ciptaan Allah swt dengan sebaik-baiknya, melebihi
mahluk yang telah diciptakan sebelumnya. Dan manusia diberikan potensi
kepribadian yang beragam antara satu dengan yang lain. Hal ini lah
menjadikan manusia berbeda-beda dalam menampilkan kepribadiannya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian Muslim
Menurut Zuhairin (1995), Kepribadian muslim merupakan tujuan akhir
dari setiap usaha pendidikan Islam. Dalam mendapatkan gambaran yang jelas
tentang kepribadian muslim, mau tidak mau harus mengkaji faktor-faktor yang
terlibat di dalamnya, baik yang kelihatan (fisik) maupun non fisik (spiritual).
Dijelaskan dalam buku psikologi kepribadian lanjutan Manusia dalam
membentuk kepribadiannya (Adang Hambali dan Ujen Jaenudi, 2013: 26-27).
Dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang biasanya muncul dalam
pembentukan kepribadian diantaranya, yaitu ;
a. Faktor Genetik
Beberapa penelitian membuktikan bahwa bayi-bayi yang baru lahir
mempunyai tempramen yang berbeda. Perbedaan ini lebih jelas terlihat pada
usia tiga bulan. Perbedaan meliputi tingkat aktivitas, rentang atensi,
adaptasibilitas, pada perubahan lingkungan. Menurut hasil riset tahun 2007,
Kazuo Murakimi di Jepang menunjukan bahwa gen Dorman bisa distimulasi
dan diaktivitasi pada diri seseorang dalam bentuk potensi baik dan buruk.
Capsi dalam buku kepribadian teori dan penelitian (2008 : 19)
menjelaskan faktor-faktor genetis sangat berkontrubusi terhadap kepribadian
dan perbedaan antara individu. Hal ini memang menjadi sesuatu yang amat
penting pengaruhnya dalam membetuk kepribadian setiap individu. Salah satu
faktor untuk mencapai hal ini adalah mengidentifikasi suatu kualitas
32

kepribadian secara spisifik yang dipandang memiliki dasar biologis.


Terkadang hal ini sering mengacu pada aspek yang dimana sering disebut
denga tempramen.
Menurut Strelau tempramen merupakan suatu istilah yang merujuk pada
dasar kecenderungan emosional dan perilaku biologis terlihat nyata pada masa
kanak-kanak awal. Pernyataan yang dikemukakan oleh Strelau senada dengan
penelitian di atas bahwa bayi-bayi yang baru lahir mempunyai tempramen
yang berbeda.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwasanya,
faktor genetik memang menjadi salah satu faktor dari kepribadian seseorang,
yang dimana hal ini bisa di lihat pada masa awal kanak dengan menujukan
rasa takut.
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan
kepribadian. Namun demikian aliran konvergensi menyatakan tidak mutlak
lingkungan yang paling dominan dalam membentuk kepribadian. Berikut
penjabaran dari aspek lingkungan dirinci sebagai berikut:
1) Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan faktor yang pertama dikenal oleh anak.
Oleh karena itu “orang tua adalah Pembina pribadi yang pertama dalam
hidup anak menurut Zakiyah Derajat. Kemudian mengenai pentingnya
peranan orang tua dalam pendidikan agama bagi anak, nabi Muhammad
SAW, bersabda yang artinya, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan
fitrah (suci) maka kedua orangtuanya yang membuat anak itu menjadi
yahudi, nasrani, atau majusi. Dengan demikian peranan orang tua sangat
diperlukan dalam pembinaan kepribadian anaknya (Syamsul, 2005:33).
2) Lingkungan Pendidikan
Lingkungan sekolah atau pendidikan adalah lingkungan formal dan
nonformal. Sekolah atau pendidikan sebagai lingkunga sangat teratur
33

dalam membentuk kepribadian. Tidak jarang kepribadian yang


berkembang dengan baik karena pengaruh lingkungan sekolah dan
pendidikan ini. Maka lingkungan sekolah dan pendidikan yang baik sangat
diperlukan dalam membentuk kepribadian Islami. Menurut Hurlock
seperti yang dikutip oleh Syamsul Yusuf dalam bukunya yang berjudul
psikologi belajar agama mengatakan sekolah mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan
subtansi dari keluarga, dan guru subtansi dari orang tua (Syamsul,
2005:33).
3) Lingkungan Masyrakat
Masyarakat sebagai lingkungan yang penting dalam membentuk
kepribadian santri. Dalam masyarakat dapat diperoleh berbagai macam
norma yang berkembang. Norma-norma tersebut ada yang positif ada pula
yang negatif karena itu kita dituntut untuk sepandai-pandainya dapat
memilih yang positif. Lingkungan masyarakat adalah lingkungan yang
mutlak kita jalani, karena semua orang tidak bisa menghindari hal itu
(Syamsul, 2005:42).
c. Faktor Stimulun Gen dalam Cara Berpikir
Penelitian yang dilakukan Kazuo Murakami di Jepang dalam bukunya the
divine message of the DNA, pada akhir 2007, menyimpulkan bahwa
kepribadian sepenuhnya dikendalikan oleh gen yang ada pada diri manusia.
Gen tersebut ada yang bersifat dorman (tidur) atau tidak aktif dan bersifat
aktif. Apabila kita sering menyalakan gen yang tidur dengan cara positive
thinking, kepribadian dan nasib kita akan lebih baik. Jadi, genetika bukan
sesuatu yang kaku, permanen, dan tidak dapat diubah.
Perubahan dalam kepribadian tidak bisa terjadi secara spontan, tetapi
merupakan hasil pengamatan, pengalaman, tekanan dari lingkungan sosial
buadaya, rentang usia dan faktor-faktor individu, yang meliputi; Pengalaman
awal, Pengaruh budaya, Kondisi fisik, Daya Tarik, Inteligensi, Emosi, Nama,
34

Keberhasilan dan kegagalan, Penerimaan sosial, pengaruh keluarga,


Perubahan fisik, Makanan, Kondisi geografis (Adang Hambali dan Ujen
Jaenudi, 2013: 26-27).
Beberapa faktor kepribadian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa ada
satu faktor dominan yang kerap kali mempengaruhi kepribadian yaitu faktor
limgkumgan. Hal ini dikarenakan faktor lingkungan banyak sekali mencakup
aspek diantaranya adalah aspek lingkungan keluarga, budaya, kelas sosial, dan
teman sebaya. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwasanya faktor dari yang
lainnya juga memiliki pengaruh untuk kepribadian setiap individu.
C. Pembinaan Kepribadian Muslim
Unsur-unsur pembinaan kepribadian Muslim sama dengan unsur-unsur
yang ada pada unsur pendidikan yang dimana pembinaan memiliki makna yaitu
Pembinaan menurut KKBI (kamus besar bahasa Indonesia) merupakan proses,
cara, perbuatan membina, dalam hal ini membina watak manusia sebagai pribadi
dan makhluk sosial melalui pendidikan. Sedangkan pendidikan menurut
Marimba (1989), menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dari kalimat membina
watak dan membentuk kepribadian yang utama peneliti beranggapan hal ini suatu
kesamaan dalam hal tujuannya. Oleh karena itu peneliti dalam unsur-unsur
pembinaan ini menggunakan unsur-unsur pendidikan. Unsur-unsur pendidikan
menurut Tirtarahardja (2000), melibatkan banyak hal, hal tersebut adalah subjek
yang dibimbing (peserta didik), interaksi antara peserta didik dengan pendidik
(interaksi edukatif), ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan),
pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan), cara yang
digunakan dalam bimbingan (alat dan metode), dan tempat peristiwa bimbingan
berlangsung (lingkungan pendidikan).
35

1. Tujuan Pembinaan
Tujuan pembinaan sama hal nya tujuan pendidikan nasional dalam UUD
1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun
2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Tujuan pendidikan Islam menurut Yusuf (2013), yaitu membentuk peserta
didik menjadi insan yang shaleh dan bertakwa kepada Allah swt. Sebagimana
firman-Nya:
۟ ۟
ِ ِ
َ ِ‫ف َكا َن ََٰعقبَةُ ٱل ُْم َك ّذب‬
‫ي‬ ِ ‫ت ِمن قَ ْبلِ ُك ْم ُسنَ ٌن فَ ِسريُوا ِِف ْٱْل َْر‬
َ ‫ض فَٱنظُُروا َك ْي‬ ْ َ‫قَ ْد َخل‬
ِ ‫َّاس وى ًدى ومو ِعظَةٌ لِّل‬ ِ
‫ي‬
َ ‫ْمتَّق‬
ُ ْ َ َ ُ َ ِ ‫َىا َذا بَيَا ٌن لّلن‬
Sungguh telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu
berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang yang medustakan (rasul-rasul). Inilah (al-Qur‟an) suatu
keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk serta
pelajaran bagi orang-orang bertakwa (QS. Ali Imran, 3 : 137-138).
Tafsiran; (QS. Ali Imran, 3 : 137-138).

}‫ت ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ُسنَ ٌن‬


ْ َ‫{قَ ْد َخل‬
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kalian sunnah-sunnah Allah. (Ali
Imran: 137)
ِ ِ ِ
َ ِ‫ف َكا َن َعاقبَةُ ال ُْم َك ّذب‬
}‫ي‬ َ ‫ض فَانْظُروا َك ْي‬ ْ ‫ريوا ِِف‬
ِ ‫اْلر‬ ُ ‫{فَس‬
Karena itu, berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Ali Imran: 137)
yakni telah berlalu hal yang seperti ini di kalangan umat-umat sebelum
kalian, yaitu mereka yang mengikuti nabi-nabi. Tetapi pada akhirnya akibat yang
36

terpuji adalah bagi mereka, sedangkan kekalah-an dialami oleh orang-orang


kafir. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan:

ِ ‫{ى َذا بَيَا ٌن لِلن‬


}‫َّاس‬ َ
(Al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia. (Ali Imran: 138)

}ٌ‫{و ُى ًدى َوَم ْو ِعظَة‬


َ
dan petunjuk serta pelajaran. (Ali Imran: 138).

Artinya, di dalam Al-Qur'an terkandung berita umat-umat sebelum kalian,


petunjuk bagi hati kalian, serta peringatan bagi kalian agar kalian menghindari
hal-hal yang diharamkan dan semua perbuatan dosa. Kemudian Allah Swt.
Berfirman menghibur hati kaum mukmim (ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-
surat- Ali Imran: -ayat-137-138)
Kedua tujuan di atas peneliti dapat melihat bahwa tujuan dari pembinaan
yaitu menjadikan manusia yang di kehedaki oleh norma-norma yang berlaku di
msyrakat, adat,dan agama yang tertuang dalam perilaku manusia tersebut.
2. Guru
Muhibbin Syah Mengemukakan bahwa guru dalam bahasa Arab disebut
mu‟alim dalam bahasa inggris teacher, yakni seorang yang pekerjaannya
mengajar (Iqbal, 2015: 204-205 ). Menurut al-Ghazali dalam Iqbal (2015). Guru
dalam pengertian akademik ialah seorang yang menyampaikan sesuatu kepada
orang lain atau seseorang yang menyertai sesuatu intuisi untuk menyampaikan
Guru memiliki peran sangat penting dalam pendidikan menurut Ibnu Sina
dalam Iqbal (2015). Guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama,
mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan
tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak
bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci.
Menurut Mujib dan Mudzzakir dalam Iqbal (2015). Sosok guru ideal adalah
guru yang dapat diterima oleh setiap pihak terkait, hal ini dapat dilihat dari
beberapa sudut pandang diantranya ialah;
37

a. peserta didik
guru ideal adalah guru yang memiliki penampilan sedemikian rupa sebgai
sumber motivasi belajar yang menyenangkan. Pada umumnya siswa
mengidamkan gurunya memiliki sifat-sifat ideal sebagai sumber keteladanan,
bersikap ramah dan penuh kasih sayang.
b. Orang tua
Guru yang diharapkan adalah guru yang dapat menjadi mitra pendidikan bagi
anak yang dititipkan untuk didik.
c. Professional guru
Professional dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Professional tentu
berkaitan dengan kemampuan fungsional seorang guru untuk memahami,
bersikap, menilai, memutuskan, atau bertindak di dalam kaitan tugasnya
(Iqbal, 2015: 205).

Dari ke empat pandangan di atas tentang guru yang ideal tentu sosok seorang
guru tidak akan lepas dari tanggung jawab, berbagai tanggung jawab yang paling
menonjol dan diperhatikan menurut padangan Islam adalah tanggung jawab para
pendidik terhadap individu-individu yang berhak menerima pengarahan,
pengajaran, pendidikan dan mereka (Ulwan, 1981:143). Pada hahikatnya
tanggung jawab itu adalah tanggung jawab yang besar, dan sangat penting. Sebab
tanggung jawab itu dimulai dari masa kelahiran sampai berangsur-angsur anak
mencapai masa analisa, pubertas dan samapai anak menjadi dewasa yang wajib
memikul segala kewajiban. Tidak diragukan lagi, bahwa ketika pendidik, baik
pengajar, bapak, ibu maupun seorang pekerja sosial, melaksanakan tanggung
jawab serta sempurna menjalankan hak-hak dengan penuh amanat dan kemauan
sesuai dengan tuntutan Islam. Dengan demikianlah, jika disadari maupun tidak,
berarti dia telah ikut andil dalam membina masyrakat teladan yang nyata dengan
segala kekhususan dan keistimewaannya, di dalam rangka menciptakan individu
masyrakat dan keluarga yang saleh.
38

Tanggung jawab seorang pendidik merupakan tangung jawab yang besar


oleh karena itu memerintahkan kepada para pendidik untuk memikul tanggung
jawab dan memberikan peringatan jika meremekan kewajiban-kewajiban
mereka. Tentu kita akan mengetahui lebih banyak dari apa yang disebutkan di
sini semua itu dimaksudkan agar setiap pendidik menegtahui betapa besar
amanat dan tanggung jawabnya

Fungsi dan tugas pendidik dibagi menjadi tiga bagian;

a. Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program


pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun dan mengakhiri
dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
b. Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat
kedewasaan dan kepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah swt
menciptakan.
c. Sebagai pemimpin (managererial), yang terkait, terhadap berbagai masalah
yang menyakut upaya pengarah, pengawas, pengorganisasian, pengontrolan,
dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan (Iqbal, 2015: 207).
Guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, guru dituntut agar memiliki
sikap yang baik terhadap peserta didik. Guru harus menciptakan interaksi yang
menyenakan dan komunikasi yang baik dengan peserta didik hal ini sangat perlu
dimiliki seorang guru agar peserta didik dapat menerima pelajaran dengan rela
hati dan senang inilah sikap Rasullah dalam mendidik murid-muridnya.
Banyak ayat al-Qur‟an yang bebincang mengenai sikap dan perilaku Nabi
ketika berinteraksi dengan para sahabat dalam rangka mendidik mereka

ِ ٌ ‫ول ِمن أَنْ ُف ِس ُكم ع ِزيز علَي ِو ما عنِتُّم ح ِريص علَي ُكم ِِبلْم ْؤِمنِي رء‬
‫يم‬
ٌ ‫وف َرح‬َُ َ ُ ْ ْ َ ٌ َ ْ َ َ ْ َ ٌ َ ْ ْ ٌ ‫اء ُك ْم َر ُس‬
َ ‫لَ َق ْد َج‬
‫ش ال َْع ِظ ِيم‬
ِ ‫ب ال َْع ْر‬ ُ ‫اَّللُ َال إِلَوَ إَِّال ُى َو عَلَْي ِو تَ َوَّكل‬
ُّ ‫ْت َو ُى َو َر‬ َّ ‫ِب‬ ِ َّ ِ
َ ‫فَإ ْن تَ َول ْوا فَ ُق ْل َح ْس‬
39

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan ) bagimu penyantun dan penyayang terhadap orang-
orang yang beriman. Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka
katakanlah (Muhammad), “cukuplah Allah bagiku, tidak ada tuhan selain Allah.
hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan dia adalah Tuhan pemilik „Arsy
(singgahsana) yang agung” (Q.S at-Taubah, 6 : 128-129).
Tafsiran Q.S at-Taubah, 6 : 128-129
Ayat ini menjelaskan tiga macam sikap rasul dalam berinteraksi dengan para

sahabatnya. ketiga sikap ini adalah ‫ُّم‬ ِ ِ ‫َع ِزيز‬


ْ ‫َعلَْيو َما َعنت‬ berat terasa olehnya

ِ
penderitaan yang kamu alami,‫ك ْم‬ ٌ ‫َعنت ُّْم َح ِر‬
ُ ‫يص َعلَْي‬ (dia) sangat menginginkan

(keimanan dan keselamatan ), dan ‫وف َرِحيم‬


ٌ ُ‫ َرء‬penyantun dan penyayang.

Ketiga sikap yang digambarkan di atas menghiasi pribadi rasul di masa


hidupnya, terutama ketika berinteraksi dengan para sahabatnya. Ketiga sikap ini
seharusnya juga menjadi sikap para tenaga pendidik terhadap peserta didik
(Yusuf, 2013:69).
Soejono dalam Ahmad Tafsir (2014), menyatakan bahwa syarat guru adalah
sebagai berikut;
a. Umur harus lebih dewasa,
b. Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
c. Kemampuan mengajar, harus menguasai bidang yang diajarkannya dan
menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar)
d. Berkesusilaan dan berdedikasi tinggi.
3. Peserta Didik

Pada hakikatnya dalam melakukan proses pembelajaran merupakan interaksi


antara guru dan peserta didik. Guru sebagai penyampai materi pembelajaran dan
peserta sebagai pencari ilmu pengetahuan sekaligus sebagai penerimanya.
Menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 sistem pendidikan Islam pasal 1
ayat 4, yang dimaksud dengan peserta didik adalah anggota masyrakat yang
40

berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia


pada jalur, jenjang dan jenis pendidkan (Salahudin, 2000: 176).

Interaksi guru dan peserta didik tersebut tentu terdapat rambu-rambu yang
perlu dihargai dan dituruti oleh peserta didik. Untuk itu ada beberapa hal yang
mesti selalu mewarnai sikap peserta didik dalam berinteraksi dengan gurunya.
Syeikh Az-Zarnuji yang di terjemahkan oleh Aljufri (2009), dalam kitab talim
muta‟lim, menjelaskan peserta didik (santri) tidak akan memperoleh ilmu dan
tidak akan mengambil manfaatnya, tanpa mau menghormati ilmu dan guru.
Karena ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil, mereka
ketika menuntut ilmu sangat menghormati hal tersebut, maka sebaliknya orang-
orang yang tidak berhasil dalam menuntut ilmu, karena mereka tidak mau
menghormati atau memuliakan ilmu dan guru. Ada yang mengatakan bahwa
menghormati itu lebih baik dari pada mentaati. Karena manusia tidak di anggap
kufur karena maksiat. Tapi dia menjadi kufur karena dia tidak menghormati atau
memuliakan.
Termasuk menghormati gurunya ialah para santri menjaga tatakrama dalam
berprilaku, ucapan dan seorang santri harus mencari kerelaan hati guru, dengan
menjahui hal-hal yang membuat seorang guru marah.
4. Materi Pembelajaran
Ada lima unsur yang berkaitan antara satu dengan lainnya yang tidak boleh
diabaikan dalam penyelengaraan pembelajaran, yaitu tujuan sebagaimana di atas
telah dibahas, pendidik, peserta didik, materi, metode, dan lingkungan
pendidikan. Unsur pertama merupakan unsur target yang ingin dicapai setelah
41

peserta didik melewati proses pembelajaran. Target ini mesti harus mengacu
kepada tujuan pendidikan secara umum. Dari beberapa unsur lainnya merupakan
sarana atau elelmen yang dapat mengantarkan siswa kepada tujuan pendidikan
itu yang diuraikan dalam materi pembelajaran. Materi itulah yang mesti diolah
bersama elemen lainnya agar tujuan pembelajaran dapat diraih. Materi tersebut
adalah meliputi bidang-bidang ilmu yang di ajarkan kepada peserta didik.
Materi pengajaran bukan semata-mata berarti semua uraian yang tertera
dalam buku sumber atau sumber tercetak lainnya, melainkan memiliki klasifikasi
tertentu. Berdasarkan klasifikasi itulah, kemudian guru memilih bahan yang
mana yang akan disajikan dalam perencanaan untuk mencapai tujuan pengajaran
yang telah dirumuskan sebelumnya. Bahan pengajaran adalah bagian integral
dalam kurikulum sebagaimana yang telah ditentukan dalam garis-garis besar
program pengajaran. Itu sebabnya dapat dikatakan, bahwa bahan pengajaran atau
materi pembelajaran pada hakikatnya adalah isi kurikulum itu sendiri (Ibrahim
dan Nana Syaodih, 1996:101).
5. Metode Pembelajaran
Kegiatan keseharian santri sebagaimana di kemukakan Nurcholish Madjid
yaitu sebagai orang yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab
bertulisan dan berbahasa Arab. Pesantren biasanya memberikan sistem atau
metode pemebelajaran dalam bentuk sorogan, bandongan dan halaqah (Dhofier,
2011: 53). Sorogan, artinya ialah belajar secara individual di mana seorang santri
mendatangi seorang guru yang membacakan beberapa baris Qur‟an atau kitab-
kitab bahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa daerah masing-
masing di seluruh wilayah Indonesia. Pada gilirannya murid mengulangi dan
menerjemahkan kata demi kata persis seperti yang dilakukan oleh gurunya.
Bandongan, merupakan metode utama dalam pengajaran di lingkungan pondok
pesantren. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 Sampai 500 murid)
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan,
bahkan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Sedangkan
42

halaqah artinya diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk


mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa-apa yang diajarkan oleh
kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab (Dhofier,
2011:55 dan Masthuhu, 1994: 61).
Uraian tentang metode di atas pendapat peneliti metode-metode tersebut
hanya dapat dilaksanakan maupun digunakan untuk lingkup materi pembelajaran
saja. Pembinaan kepribadian Muslim santri merupakan pembinaan yang cukup
komplek yang tidak dibatasi pada lingkup penyampaian materi saja maka dalam
hal ini tentu memerlukan metode yang menyentuh hati yang berdampak pada
karakter maupun kepribadian santri (peserta didik) sehingga mejadikan individu
yang taat pada aturan agama dan masyrakat. Oleh karena itu dalam pembinaan
ini yang menjadikan sebuah acuannya adalah pengembangan kepribadian yang
mengacu kepada pendidikan akhlak. Dalam mendidik akhlak perlu sebuah sistem
ataupun metode tepat, agar proses internalisasi dapat berjalan dengan baik, lebih
penting adalah anak mampu menerima konsep akhlak dengan baik serta mampu
mewujudkan dalam kehidupan keseharian. Al-Nahlawi dalam buku Ahmad
Tafsir Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam (2014), mengemukakan tentang
metode pembinaan rasa beragama metode ini berfungsi untuk menanamkan rasa
iman. Metodenya diantaranya ialah sebagai berikut; metode hiwar (pecakapan)
Qurani dan Nabawi, metode kisah Qurani dan Nabawi, metode amtsal
(perumpamaan) Qurani dan Nabawi, metode keteladan, metode pembiasaan,
metode ibrah dan mau‟izah, metode targhib dan tarhib.
Metode yang dikenalkan oleh al-Nahlawi di atas, metode-metode itu agaknya
ada yang belum dikenal oleh buku-buku Barat. Akan tetapi personal kita, yaitu
bagaimana menanamkan rasa iman, rasa cinta kepada Allah swt, rasa nikmatnya
beribadah (salat, puasa dan lain-lain), rasa hormat kepada orang tua, dan
sebagianya. Hal ini agaknya sulit ditempuh dengan cara pendekatan empiris atau
logis. Disini kita mencoba mencari cara alternatif yang mungkin lebih baik, yaitu
mencobakan metode-metode yang menyetuh perasaan. disini kita mendidik
43

bukan melewati akal, melainkan lansung masuk keperasaan anak didik. Orang-
orang pesantren telah melakukan cara ini. Mereka mendidik atau menanamkan
rasa beragama dengan membiasakan membaca wiridan, membaca pujian, dengan
contoh tingkah laku, dan sebagainya. Dan kelihatanya mereka cukup berhasil
dalam melakukanya.
Peneliti rasanya sependapat dengan apa yang dikemukakan di atas.
Bahwasanya, di era moderenisasi ini rasanya sulit menemukan metode yang
menyentuh hati, alahhasil, yang sering kita temui pada metode-metode
sebelumnya terkadang logika sebagai alat ukur untuk mendapatkan suatu
kebenaran. Sulit rasanya jika hanya logika saja yang dipakai ketika dihadapkan
dengan ritual-ritual keagamaan yang sifatnya kepercayaan (keimanan). Tentu
dalam hal ini membutuhkan metode yang tidak sekedar melewati akal saja
melainkan harus menyetuh hati.
Berikut penjelasan metode-metode yang dianjurkan oleh al-Nahlawi;
a. Metode hiwar (pecakapan) Qurani dan Nabawi,
Khiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih
mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang
dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan
tidak dibatasi, dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan
lain-lain. Kadang-kadang pembicaraan itu sampai pada satu kesimpulan, kadang-
kadang tidak sampai kepada kesimpulan karena salah satu pihak tidak puas
terhadap pendapat pihak lain. Yang mana pun yang ditemukan, hasilnya dari segi
pendidikan tidak jauh berbeda, masing-masing mengambil pelajaran untuk
membentukan sikap bagi dirinya. Khiwar mempunyai dampak yang dalam bagi
pembicara dan juga bagi pendengar pembicara itu. Itu disebabkan oleh beberapa
hal sebagai berikut;
1) Dialog itu berlangsung secara dinamis karena dua pihak terlibat langsung
dalam pembicaraan, tidak membosankan. Kedua pihak saling
memperhatikan. Jika tidak memperhatikan, tentu tidak dapat mengikuti jalan
44

pikiran pihak lain. Kebenaran atau kesalahan masing-masing dapat diketahui


dan direspons saat itu juga, dan selanjutnya pembicaraan berjalan terus.
Topil-topik baru sering kali ditemukan dalam pembicaraan seperti itu. Cara
kerja metode ini sebenarnya sama dengan diskusi bebas, tetapi ada orang
(disini guru) yang dengan sengaja mengiring pembicaraan kearah tujuan
tertentu. Ini sama dengan dialog yang dialakukan oleh Socrates dengan
murid-muridnya.
2) Pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena ia ingin
tahu kesimpulannya. Ini biasanya diikuti dengan penuh perhatian,
tampaknya tidak bosan dan penuh semangat.
3) Metode ini dapat membakitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam
jiwa, yang membatu mengarahkan seseorang menemukan sendiri
kesimpulannya.
4) Bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan Islam, maka
cara berdialog, sikap orang yang terlibat, itu akan mempengaruhi peserta
sehingga meninggalkan pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam
berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebaginya.
b. Metode kisah Qurani dan Nabawi,
Pendidikan Islam, kisah sebagai metode pendidikan yang amt penting.
Dikatakan amat penting, alasanya sebagai berikut;
1) Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk
mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya, makna-
makna itu akan menimbulakan kesan dalam hati pembaca atau pendengar
tersebut.
2) Kisah Qur‟ani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu
menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluru. Karena tokoh cerita
ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, membaca atau mendengar
dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri
yang menjadi tokohnya. Kisah itu, sekalipun menyeluruh, terasa wajar, tidak
45

menjijikan pendengar atau pembaca. Bacalah kisah Yusuf, misalnya. Inilah


salah satu keistimewaan kisah Qurani, tidak sama dengan kisah-kisah
yab=ng ditulis orang-orang sekarang yang isinya banyak ikut mengotori hati
pembacanya.
3) Kisah Qurani mendidik perasaan keimanan dengan cara;
a) Membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, rida , dan cinta;
b) Mengarahkan seluruh persaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak,
yaitu kesimpulan kisah;
c) Melibatkan pembaca dan pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia
terlibat secara emosional.

Kisah Qurani bukan hanya semata kisah atau semata-mata karya seni yang
indah, ia juga cara Tuhan mendidik umat agar beriman kepada-Nya. Jika
diringkaskan, tujuan kisah Qurani adalah sebagai berikut;

1) Mengukapkan kemantapan wahyu dan risalah. Mewujudkan rasa mantap


dalam menerima wahyu dan risalah. Kisah-kisah itu menjadi bukti
kebenaran wahyu dan kebenaran Rasul saw.
2) Menjelaskan bahwa keseluruhan, al-din itu datangnya dari Allah.
3) Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mencintai Rasul-Nya, menjelaskan
bahwa kaum mukmin adalah umat yang satu, dan Allah adalah Rabb mereka.
4) Kisah-kisah itu bertujuan menguatkan keimanan kaum muslimin, menghibur
mereka dari kesedihan atas musibah yang menimpa.
5) Mengingatkan bahwa musuh orang mukmin adalah setan, menunjukan
permusuhan abadi itu lewat kisah akan tampak lebih hidup dan jelas.
c. Metode keteladan
Pribadi rasul itu adalah interprestasi al-Qur‟an secara nyata. Tidak hanya
cara beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan
contoh tentang cara berkehidupan Islami. Contoh-contoh dari Rasul itu
kadang-kadang amat asing bagi manusia ketika itu. Contohnya, Allah
46

menyuruh Rasul-Nya mengawini bekas istri Zaid, Zaid itu anak angkat Rasul.
Ini ganjil bagi orang Arab ketika itu. Dengan itu Allah memberikan teladan
secara praktis yang berisi ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung,
bekas istri angkat boleh dikawini (Ahmad Tafsir, 2014:143).
Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi mukmin untuk mengawini bekas
istri anak angkat mereka. (al-Ahzab:37)
Banyak contoh yang diberikan oleh nabi yang menjelaskan bahwa orang
(dalam hal ini terutama guru ) jangan hanya berbicara, tetapi juga harus
memberikan contoh secara langsung. Dalam peperangan, tidak hanya
memegang komando, dia juga ikut perang, menggali parit perlindungan. Dia
juga menjahit sepatunya, pergi belanja ke pasar, dan lain-lain.
d. Metode pembiasaan
Dalam pembinaan sikap, metode pembiasaan sebenarnya cukup efektif.
Lihatlah pembiasaan yang dilakukan oleh Rasullah, perhatikan orang tua kita
medidik anaknya. Anak-anak yang dibiasakan bangun pagi, akan bangun pagi
sebagai suatu kebiasaan itu (bangun pagi), ajaibnya, juga mempengaruhi jalan
hidupnya. Dalam mengerjakan pekerjaan lainnya pun ia cenderung pagi-pagi,
bahkan sepagi mungkin. Orang biasa bersih akan memiliki sikap bersih.
Ajaibnya, ia juga bersih hatinya, bersih juga pkirinnya. Karena melihat inilah
ahli-ahli pendidikan semuanya sepakat untuk membenarkan pembiasaan
sebagai salah satu upaya pendidikan yang baik dalam pembentukan manusia
yang dewasa.
e. Metode ibrah dan mau‟izah,
Dalam penelitian al-Nahlawi pada buku Ahmad Tafsir ilmu pendidikan
dalam prespektif Islam. Al-Nahlawi bependapat, menurutnya, „ibrah dan
I‟tibar kedua akta itu mempunyai perbedaan dari segi makna. ibrah dan
I‟tibar ialah suatu kondusi psikis yang menyampaikan manusia kepada inti
sari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang
47

menyebabkan hati mengakuinya (Al-Nahlawi 1989:390). Adapun mau‟idhah


ialah nasihat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan
pahala atau ancamannya (hal. 403).
f. Metode targhib dan tarhib
Targhib ialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai
bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan. Tarhib bertujuan
agar orang mematuhi aturan Allah swt. Targhib demikian juga. Akan tetapi,
tekanannya ialah targhib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib agar
menjauhi kejahata. Metode ini didasarkan atas fitrah (sifat kejiwaan) manusia,
yaitu sifat keinginan kepada kesenangan, keselamatan, dan tidak
menginginkan kepedihan, kesengsaraan.

Beberapa urain penjelasan dari ketujuh metode pembinaan rasa


beragama yang dijelaskan oleh al-Nahlawi di atas yang dikutip dari buku
Amad Tafsir dalam buku Ilmu Pendidikan dalam prespektif Islam. Ketujuh
metode tersebut layak diterapkan dilingkungan pesantren, sekolah, maupun
masyrakat. Dikarenakan metode tersebut sangat menyetuh hati dan akal dalam
proses penerapannya sehingga akan mudah dicerna oleh semua kalangan.
Disisi lain metode di atas secara rujukannya pun jelas kepada al-Qur‟an dan
hadis. Tentu akan menjadi sangat sedikit sekali kekurangannya dari ketujuh
medote tersebut tapi tidak menutupi kemungkinan adakalakanya metode ini
tidak berjalan disebabkan beberapa faktor yang mungkin membutuhkan
metode lainnya. Namun jika dikaitkan dengan kepribadian metode ini tentu
sangat berpengaruh besar pada kepribadian seseorang.

6. Lingkungan
Lingkungan pendidikan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap
peserta didik (santri) perbedaan pengaruh tersebut tergantung jenis lingkungan
pendidikan tempat peserta didik terlibat didalamnya. Hal ini karena msing-
masing jenis lingkungan pendidikan memiliki situasi sosial yang berbeda-beda.
48

Situasi sosial yang dimaksud meliputi faktor perencanaan, sarana dan sistem
pendidikan pada masing-masing jenis lingkungan. Intensitas pengaruh
lingkungan terhadap peserta didik tergantung sejauh mana lingkungan mampu
memahami dan memberikan fasilitas terhadap kebutuhan pendidikan peserta
didik.
Menurut Hasbullah (2003), lingkungan pendidikan mencakup:
a. Tempat (lingkungan fisik ), keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam
b. Kebudayaan (lingkungan budaya ) dengan warisan budaya tertentu seperti
bahasa seni ekonomi, ilmu pengetahuan, pedagang hidup dan pedagang
keagamaan; dan
c. Kelompok hidup bersama (lingkungan sosial atau masyarakat) keluarga,
kelompok bermain, desa perkumpulan dan lainnya.

Fungsi pertama lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik


dalam berinteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya baik lingkungan fisik,
sosil dan budaya terutama berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia agar
dapat dicapai tujuan pendidikan secara optimal. Penataan lingkungan pendidikan
ini terutama dimaksudkan agar proses pendidikan dapat berkembang efesiaen dan
efektif.

Perkembangan manusia dari interaksinya dengan lingkungan sekitar akan


berjalan secara alamiah, tetapi perkembangan tersebut tidak sepenuhnya sesuai
dengan tujuan pendidikan atau bahkan menyimpang darinya. Oleh karena itu
diperlukan usaha sadar untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan
sedemikian rupa agar mempunyai orentasi pada tujuan-tujuan pendidikan.

Fungsi kedua lingkungan pendidikan adalah mengajarkan tingkah laku


umum dan untuk menyeleksi serta mempersiapkan peranan-peranan tertentu
dalam masyarakat. Hal ini karena masyarakat akan berfungsi dengan baik jika
setiap individu belajar berbagai hal, baik pola tingkah laku umum maupun
49

peranan yang berbeda-beda. Menurut Tirtahardjha (2004), dalam menjalankan


kedua fungsinya, lingkungan pendidikan haruslah digambarkan sebagai kesatuan
yang utuh di antara berbagai ragam bentuknya. Untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan secara menyeluruh masing-masing lingkungan mempunyai andil
dalam mencapainya.

D. Sistem Penilaian Kepribadian Santri


Pentingnya pendidikan karakter ini menjadi suatu keharusan bagi
lembaga pendidikan untuk memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah. Hal ini
sebagai salah satu cara agar dapat mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu
mencetak generasi yang berkpribadian luhur dan sejalan dengan ini pemerintah
juga telah mengatur indikator pendidikan karakter ini yang tidak menyimpang
atau searah dengan tujuan pendidikan nasional UU No 20 tahun 2003 pasal 3
yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Pendidikan karakter pada sebuah lembaga pendidikan khususnya lembaga
pendidikan berbasis agama. Sebenarnya sudah terkandung dalam materi-materi
pelajaran agama yang diajarkan di sekolah tersebut. Akan tetapi pada
kenyataannya meskipun penanaman karakter sudah dilakukan dengan cara
memasukkannya ke dalam materi pelajaran, masih saja banyak siswa yang belum
dapat mencerminkan karakter tersebut. Menurut mawardi hal ini terjadi karena
proses pendidikan karakter masih pada taraf kognitif atau masih berupa teori saja
(lubis, 2008: 54).
50

Sudjana (1995), mengatakan: ”penilaian adalah proses memberikan atau


menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.”
Artinya penilaian merupakan penyesuaian suatu tingkah laku yang timbul dengan
patokan-patokan yang dijadikan standar penilaian. Penilaian dalam pembelajaran
biasanya dapat dilakukan dengan cara tes dan non tes. Sedangkan penilaian
karakter atau kepribadian santri yaitu dapat dilakukan dengan non tes, semisalnya
melihat cara mereka berkomunikasi atau observasi seperti kesantunan berbahasa
mereka, mimik dan sebagainya.
Selama ini banyak guru yang mengeluhkan kesulitan mereka untuk
melakukan penilaian kepribadian karena selain butuh ketlatenan juga
membutuhkan kesabaran untuk melakukannya. Hal ini karena kepribadian
seseorang tidak dapat dengan mudah dinilai dengan waktu yang singkat.
1. Metode self deskriptive seperti autobiografi, interview langsung, angket
langsung, dan inventori.
2. Metode biografi seperti interview tak langsung, angket tak langsung,
cumulative record dan case study.
3. Metode observasi (pengamatan)
ialah metode untuk mempelajari kejiwaan dengan sengaja mengamati secara
langsung, teliti, dan sistematis.
4. Metode proyektif
Merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan, dalam mekanisme
proyeksi indvidu secara tidak sengaja menempatkan isi batin sendiri pada
obyek diluar dirinya sendiri dan menghayatinya sebagai karakteristik obyek
yang diluar dirinya itu. Pelopor upaya ini, Herman Rorschach seorang
psikiater dari Swis dengan mencobakan sejumlah besar gambar-gambar tak
struktur untuk mengungkapkan isi batin tertekan pada pasien-pasiennya. Dari
sejumlah gambar-gambar, akhirnya dipilih 10 gambar yang dilakukan.
Kemudian dikenal dengan nama Tes Rorschach
(https://nadhairwall.wordpress.com/tag/penilaian-kepribadian).
51

Anda mungkin juga menyukai