BAB 1
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Situasi faal paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses
ventilasi, distribusi, perfusi, difusi, serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi
pada orang tersebut dalam keadaan santai menghasilkan tekanan parsial gas darah
arteri (PaO2 dan PaCO2) yang normal. Yang dimaksud keadaan santai adalah
keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban-kerja yang berat.
3
Tekanan parsial gas darah arteri yang normal adalah PaO 2 sekitar 96
mmhg (dibaca 96 mm merkuri atau 96 torricelli) dan PaCO 2 sekitar 40 mmHg.
Tekanan parsial ini diupayakn dipertahankan tanpa memandang kebutuhan
oksigen yang berbeda-beda, yaitu saat tidur kebutuhan oksigen 100mL/menit
dibandingkan dengan saat ada beban kerja (exercise), 2000-3000mL/menit.
- proses yang berkaitan dengan volume udara napas dan distribusi ventilasi.
- proses yang berkaitan dengan volume darah di paru dan distribusi aliran darah.
2.2 Definisi
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
- Faktor stimulus/pencetus
IgE melekat pada Fe reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada
rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi adma cepat
(immediate ashma reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-
mediator: histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan
A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan permeabilitas kapiler,
disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah
serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan asma
hilang) dengan pengobatan.8
Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya, disebut reaksi asma
lambat (late ashma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang
diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan
sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis
T-helper (Th), limfosit subtipe CD4 telah dineal profilnya dalam produksi sitokin.
Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF gamma
dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam
asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9,IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2
bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Masing-
masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil
memproduksi LTC4., Eosinophil Peroxide (EPX), Eosinophil Cathion Protein
(ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut erupakan
mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi
histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel
makrofag mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon
activation novel T cell expression and presumably secreted (RANTES). Semua
mediator diatas merupakan mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses peradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus
mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.
Secara klinik, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.8
7
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non
alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,
latihan, dingin, merokok, emosi polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokontriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Indivisu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.
Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan
timbul dispnea. Pasie merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan
berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Kesulitan utama terletak
pada saat sekpirasi. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama
inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit,
mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan
berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi.
2. edema mukosa
3. hipersekresi
hipoventilasi
hipoxemia
hiperkopnia
Derajat Gejala
Intermitten Episode gejala asma<6x/tahun/jarak
antara gejala ≥ 6minggu
Persisten ringan Episode gejala asma>1x/bulan, ,
1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma>1x/minggu,
namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi setiap hari
2. Klasifikasi serangan asma (PNAA 2015)
Asma serangan ringan- Asma serangan berat Serangan asma dengan
sedang ancaman henti napas
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk
Lebih senang duduk Duduk bertopang lengan Letargi
daripada berbaring
Tidak gelisah
Frekuensi napas Frekuensi napas
meningkat meningkat
Frekuensi nadi meningkat Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2 (udara kamar): 90- SpO2 (udara kamar):
95% <90%
PEF >50% prediksi atau PEF <50% prediksi atau
terbaik terbaik
c. tuberkulosis 11
a. Anamnesa
- pencetus/trigger (+)
b. Pemeriksaan Fisik
keadaan umum: penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk.
Inspeksi
pemeriksaan inpeksi dapat ditemukan pasien menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut, dan dada, napas cepat hingga sianosis, juga
kesulitan bernapas
Auskultasi
Ekspirasi memanjang dan mengi dapat ditemukan saat dilakukan
auskultasi pada pasien asma.
- pada serangan berat
tampak sianosis
nadi > 120 x/menit
“Silent Chest” : suara mengi melemah 12
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana
untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon
pengobatan menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum
dan sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta.
Dinyatakan asma bila didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa detik
pertama / VEP1 sebanyak ≥ 12% atau ( ≥ 200ml ). Bila respon yang
didapat ≤ 12% atau ( ≤ 200ml ) belum pasti menunjukkan bahwa pasien
tersebut tidak menderita asma, hal tersebut dapat dijumpai pada pasien
yang sudah dalam keadaan normal atau mendekati normal.12
Uji propokasi
Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus
dapat dilakukan jika pemeriksaan spirometri normal. Beberapa cara
melakukan uji provokasi ini diantaranya dengan histamin, metakolin,
kegiatan jasmani, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua
destilata. Dianggap bermakna bila didapat penurunan VEP1 sebesar 20%
atau lebih. Uji kegiatan jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari
cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari
maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus
Puncak Respirasi) paling sedikit 10%. APE dapat digunakan untuk
diagnosis penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan VEP1.
12
Foto Thorax
Foto thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses
patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. 12
2.11 Penatalaksanaan
Tatalaksana awal:
2.12. Komplikasi
1. keterlambatan penanganan
2. penanganan yang tidak adekuat
komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
a. akut
-dehidrasi
-gagal nafas
b. kronik
- kor pulmonale
- ppo kronik
- pneumotorak13
2.13. Pencegahan
pencegahan primer, ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko
asma (orangtua asma), dengan cara:
-penghindaran asap roko dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak.
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap roko, serta alergen dalam
rungan terutama tungau debu rumah.
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang
telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter
yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children)
14
mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan
dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau
debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa
pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma
(controller).13
2.14. Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.
- Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil
prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa.
- Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.
15
BAB III
3.1 Kesimpulan
3.2 saran