Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernafasan akibat penyempitan


saluran napas yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan
sendirinya) yang ditandai oleh episode obstruksi pernapasan diantara dua interval
asimptomatik. Namun ada kalanya sifat reversibel ini berubah menjadi kurang
reversibel (penyempitan baru hilang setelah mendapat pengobatan) penyumbatan
saluran napas yang menimbulkan manifestasi klinis asma adalah akibat terjadinya
bronkokontriksi, pembengkakakn mukosa bronkus dan hipersekresi lendir karena
hiperaktivitas saluran pernapasan terhadap beberapa stimulus.1

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya yang ditandai dengan obstruksi aliran udara bersifat
reversible dengan atau tanpa pengobatan. Inflamasi kronik yang merupakan hasil
interaksi antara banyak sel, elemen seluler dan sitokin menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan bronkospasme dengan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama pada malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan biasanya terdapat atopi pada pasien
dan atau keluarganya.2

Asma merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia, dan total asma


didunia diperkirakan 7,2 % ( 6 % pada dewasa dan 10 % pada anak). 3 berbagai
faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu tempat, antara
lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma, berat
ringannya serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma.
Penatalaksanaan asma pada anak bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan
asma seminimal mungkin sehingga memungkinkan anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal sesuai dengan usianya. Serangan asma biasanya
mencerminkan kegagalan pencegahan asma, kegagalan tatalaksana asma jangka
panjang dan kegagalan penghindaran dari faktor pencetus.3
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan

Sistem pernapasan dibentk oleh beberapa struktur. Seluruh struktur


tersebut terlibat dalam proses respirasi eksternal yaitu proses pertukaran oksigen
(O2) antara atmosfer dan darah serta pertukaran karbondioksida (CO 2) antara
darah dan atmosfer. Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas antara darah
dan atmosfer sedangkan respirasi internal adalah proses pertukaran gas antara
darah sirkulasi dan sel jaringan. Respirasi internal (pernapasan selular) berlangsug
di seluruh sistem tubuh.

Yang termasuk struktur utama sistem pernapasan adalah saluran udara


pernapasan, terdiri dari jalan napas dan saluran napas, serta paru (parenkim paru).
Yang disebut sebagai jalan napas adalah nares, hidung bagian luar (external nose),
hidung bagian dalam (internal nose), sinus paranasal, faring, laring. Semuanya
termasuk dalam cakupan bidang Telinga Hidung Tenggorokan (THT) dan tidak
dibahas didalam pulmonologi tetapi dapat saja terkait jika membicarakan
respirologi, sedangkan saluran napas adalah trakea, bronki dan bronkioli
(keduanya dibahas dalam pulmonologi).

Saluran Udara Pernapasan


- Saluran Udara Pernapasan Bagian Atas (Jalan Napas)
Lubang hidung
Sinus
Faring
Laring
- Saluran Udara Pernapasan Bagian Bawah (Saluran Napas)
Trakea
Bronkus
Bronkiolus

Situasi faal paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses
ventilasi, distribusi, perfusi, difusi, serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi
pada orang tersebut dalam keadaan santai menghasilkan tekanan parsial gas darah
arteri (PaO2 dan PaCO2) yang normal. Yang dimaksud keadaan santai adalah
keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban-kerja yang berat.
3

Tekanan parsial gas darah arteri yang normal adalah PaO 2 sekitar 96
mmhg (dibaca 96 mm merkuri atau 96 torricelli) dan PaCO 2 sekitar 40 mmHg.
Tekanan parsial ini diupayakn dipertahankan tanpa memandang kebutuhan
oksigen yang berbeda-beda, yaitu saat tidur kebutuhan oksigen 100mL/menit
dibandingkan dengan saat ada beban kerja (exercise), 2000-3000mL/menit.

Respirasi adalah suatu proses pertukaran gas antara organisme dengan


lingkungan, yaitu pengambilan oksigen dan eliminasi karbondioksida. Respirasi
eksternal adalah proses pertukaran gas (O2 dan CO2) antara darah dan atmosfer
sedangkan respirasi internal adalah proses pertukaran gas (O2 dan CO2) antara
darah sirkulasi dan sel jaringan.

Pertukaran gas memerlukan empat proses yang mempunyai


ketergantungan satu sama lain:

- proses yang berkaitan dengan volume udara napas dan distribusi ventilasi.

- proses yang berkaitan dengan volume darah di paru dan distribusi aliran darah.

- proses yang berkaitan dengan difusi O2 dan CO2.

- proses yang berkaitan dengan regulasi pernapasan.1

2.2 Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya yang ditandai dengan obstruksi aliran udara bersifat
reversible dengan atau tanpa pengobatan. Inflamasi kronik yang merupakan hasil
interaksi antara banyak sel, elemen seluler dan sitokin menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan bronkospasme dengan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama pada malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan biasanya terdapat atopi pada pasien
dan atau keluarganya.2

Pedoman Nasional Asma Anak menggunakan batasan yang praktis dalam


bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang dan atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam
hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas
fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta
adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.2
4

2.2 Epidemiologi

Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dan total asma di


dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). 6 dilaporkan
bahwa sejak dan dekade terakhir prevalensi asma meningkat, baik pada anak-anak
maupun dewasa. Di negara-negara maju, peningkatan berkaitan dengan populasi
udara dari industri maupun otomotif, interior rumah, gaya hidup, kebiasaan
merokok, pola makanan, pengunaan susu botol dan paparan alergen dini. Asma
mempunyai dampak negatif pada kehidupan penderitanya termasuk untuk anak,
seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah.

Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di


beberapa pusat pendidikan, di Rumah Sakit Dr. Soetono Surabaya kunjungan
pnederita asma dibawah 5 tahun di Instalasi Rawat Darurat pada tahun 1997
adalah 239 anak dari 8994 anak (2,6%), pada tahun 2002 adalah 427 anak dari
14.926 anak (3,1%).8

Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu


tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungtan.
Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma,
berat-ringannya serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma.4

2.3 Etiologi

- Belum diketahui pasti.

- Reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hiperaktivitas bronkus).

- Diduga karena interaksi faktor genetik dan faktor stimulus

- Kebanyakan serangan karena terpajan oleh banyak stimulus (>1).

- Faktor stimulus/pencetus

-Exercise -Bulu binatang

-Infeksi virus -Makanan dan minuman

-Asap rokok -Cuaca

-Debu rumah/tungau -Emosi, obat-obatan 5


5

2.4 Gejala Klinis

Trias gejala asma terdiri atas:

a. Dispnea ( sesak nafas), terjadi karena pelepasan histamine dan


leukotrien yang menyebabkan kontraksi otot polos sehingga saluran
nafas menjadi sempit.
b. Batuk, adalah reaksi tubuh untuk mengeluarkan hasil dari inflamasi
atau benda asing yang masuk ke saluran nafas.
c. Mengi (bengek), suara nafas tambahan yang terjadi akibat
penyempitan bronkus.6

2.5 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko asma dapat dibagi menjadi faktor


yang menyebabkan berkembangnya asma dan faktor yang memicu gejala asma
atau keduanya. Faktor tersebut meliputi faktor pejamu dan lingkungan.
Bagaimanapun, mekanisme hal tersebut memperngaruhi perkembangan dan
ekspresi asma merupakan hal yang rumit dan menarik.7

Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi


untuk berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), hiperaktivitas
bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan
kecenderungan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala menetap. Yang
merupakan faktor lingkungan yaitu, alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap
rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status ekonomi dan besarnya
keluarga.7

2.6 Patogenesis Asma

Asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan


dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan
peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada
mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun
asma ringan atau tidak bergejala. Pada banyak kasus terutama pada anak dan
dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme
IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan ontribusi
pada 40% penderita asma anak dan dewasa.3

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada


awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya IgE spesifik oleh sel plasma.
6

IgE melekat pada Fe reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada
rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi adma cepat
(immediate ashma reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-
mediator: histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan
A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan permeabilitas kapiler,
disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah
serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali (serangan asma
hilang) dengan pengobatan.8

Setelah 6-8 jam maka terjadi proses selanjutnya, disebut reaksi asma
lambat (late ashma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang
diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan
sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis
T-helper (Th), limfosit subtipe CD4 telah dineal profilnya dalam produksi sitokin.
Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF gamma
dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam
asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9,IL-13, dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2
bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Masing-
masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil
memproduksi LTC4., Eosinophil Peroxide (EPX), Eosinophil Cathion Protein
(ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator-mediator tersebut erupakan
mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi
histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel
makrofag mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon
activation novel T cell expression and presumably secreted (RANTES). Semua
mediator diatas merupakan mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses peradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus
mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.
Secara klinik, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.8
7

2.7 Patofisiologi Asma

Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap


lingkungan. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast
dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)
seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat. Pelepasan mediataor ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot
polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme, pembengkakan membran mukosa
dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non
alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,
latihan, dingin, merokok, emosi polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokontriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Indivisu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.

Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera akan
timbul dispnea. Pasie merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan
berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Kesulitan utama terletak
pada saat sekpirasi. Percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama
inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar dari bronkiolus yang sempit,
mengalami edema dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan
berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi.

Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga


terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang yang
merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara keluar.
Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-putihan.9
8

Pencetus serangan (alergen, emosi/stress, obat-obatan, infeksi)

Reaksi antigen dan antibodi

Release vasoactive substance (histamin, bradikinin, anafilatoxin)

Kontriksi otot polos permeabilitas kapiler sekresi mukus

Bronkospasme 1. Kontraksi otot polos produksi mukus

2. edema mukosa

3. hipersekresi

obstruksi saluran napas

hipoventilasi

(Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru gangguan


difusi gas di alveoli)

hipoxemia

hiperkopnia

2.8 Klasifikasi Asma

Diagnosis asma harus mempertimbangkan umur, >5tahun dan <5thun (asma


balita), terutama karena infeksi virus. Kita harus melakukan 3 urutan langkah
untuk diagnosis dan penanganan asma: diagnosis kerja, klasifikasi awal, kondisi
saat ini, tingkat kontrol.

 Klasifikasi berdasarkan derajat asma : intermitten, persisten


ringan/sedang/berat
 Kondisi saat ini (serangan) : ringan-sedang, berat, ancaman henti napas
 Tingkat kontrol : terkendali, terkendali sebagian, tidak terkendali 10
9

1. Klasifikasi derajat asma (PNAA 2015)

Derajat Gejala
Intermitten Episode gejala asma<6x/tahun/jarak
antara gejala ≥ 6minggu
Persisten ringan Episode gejala asma>1x/bulan, ,
1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma>1x/minggu,
namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi setiap hari
2. Klasifikasi serangan asma (PNAA 2015)
Asma serangan ringan- Asma serangan berat Serangan asma dengan
sedang ancaman henti napas
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk
Lebih senang duduk Duduk bertopang lengan Letargi
daripada berbaring
Tidak gelisah
Frekuensi napas Frekuensi napas
meningkat meningkat
Frekuensi nadi meningkat Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2 (udara kamar): 90- SpO2 (udara kamar):
95% <90%
PEF >50% prediksi atau PEF <50% prediksi atau
terbaik terbaik

3. Klasifikasi serangan asma “balita”


Gejala Ringan Berat
Kesadaran terganggu Tidak Agitasi, bingung dan
mengantuk
Saturasi oksigen >95% <92%
Berbicara Perkalimat Perkata
Frekuensi nafas Meningkat sedikit Takipnue (kriteria WHO)
Frekuensi jantung <100x/menit >200x/menit (0-3tahun)
>180x/menit (4-5tahun)
Sianosis sentral intensitas Tidak ada Mungkin ada
Wheezing Ada Suara nafas mungkin
lemah

4. Klsifikasi tingkat kontrol asma


 Gejala siang hari
 Malam terbangun karena asma
 Penggunaan reliever
10

 Adanya keterbatasan saat aktivitas


 Faktor risiko untuk tingkat keparahan

5. Klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol


A. Peniliaian klinis (dalam 6-8minggu)
Manifestasi klinis Terkendali Terkendali Tidak terkendali
dengan/tanpa obat sebagian
pengendali (bila (minimal satu
semua kriteria kriteria terpenuhi)
terpenuhi)
Gejala siang hari Tidak pernah >kali/minggu Tiga atau lebih
(≤2kali/minggu) kriteria
Aktivitas terbatas Tidak ada Ada terkendali
Gejala malam hari Tidak ada Ada sebagian
Pemakaian pereda Tidak ada >2kali/minggu
(≤2x/minggu

B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan,


penurunan fungsi paru, efek samping)
Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma,
PEV yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis
tinggi

2.9 Diagnosa Banding


a. bronkiolitis

b. aspirasi benda asing

c. tuberkulosis 11

2.10 Kriteria Diagnosa

a. Anamnesa

- serangan bersifat episodik/berulang/kumat-kumatan, reversibel

- memburuk malam dan dini hari

- pencetus/trigger (+)

- respon terhadap bronkodilator (+)

- riwayat asma dalam keluarga

- riwayat alergi, sinusitis


11

b. Pemeriksaan Fisik

 keadaan umum: penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk.
 Inspeksi
pemeriksaan inpeksi dapat ditemukan pasien menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut, dan dada, napas cepat hingga sianosis, juga
kesulitan bernapas
 Auskultasi
Ekspirasi memanjang dan mengi dapat ditemukan saat dilakukan
auskultasi pada pasien asma.
- pada serangan berat
 tampak sianosis
 nadi > 120 x/menit
 “Silent Chest” : suara mengi melemah 12

c. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan spirometri
Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana
untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon
pengobatan menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum
dan sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta.
Dinyatakan asma bila didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa detik
pertama / VEP1 sebanyak ≥ 12% atau ( ≥ 200ml ). Bila respon yang
didapat ≤ 12% atau ( ≤ 200ml ) belum pasti menunjukkan bahwa pasien
tersebut tidak menderita asma, hal tersebut dapat dijumpai pada pasien
yang sudah dalam keadaan normal atau mendekati normal.12
 Uji propokasi
Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus
dapat dilakukan jika pemeriksaan spirometri normal. Beberapa cara
melakukan uji provokasi ini diantaranya dengan histamin, metakolin,
kegiatan jasmani, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua
destilata. Dianggap bermakna bila didapat penurunan VEP1 sebesar 20%
atau lebih. Uji kegiatan jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari
cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari
maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus
Puncak Respirasi) paling sedikit 10%. APE dapat digunakan untuk
diagnosis penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan VEP1.
12

 Foto Thorax
Foto thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi
saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses
patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. 12

2.11 Penatalaksanaan

Nilai derajat serangan asma

Tatalaksana awal:

 nebulisasi b-agonis 1-3 x selang 20 menit


 nebulisasi ketiga + antikolinergik
 jika serangan berat, nebulisasi 1x +
antikolinergik

Serangan ringan : Serangan sedang Serangan berat ( bila telah


(nebulisasi 1-3 x, respon baik (nebulisasi 1-3 x respon parsial) nebulisasi 3x, respon buruk)
gejala hilang)
-Berikan O2 -Sejak awal berikan O2
-Observasi 2 jam
-Nilai kembali derajat serangan -Pasang jalur parenteral
-Jika efek bertahan boleh pulang jika sesuai dengan serangan
sedang, observasi di ruang rawat -Nilai ulang keadaan klinis, jika
-Jika gejala timbul lagi sehari. sesuai dengan serangan berat,
perlakukan sebagai serangan rawat di ruang rawat inap.
sedang -Pasang jalur parenteral
-Foto rontgen thorax

Boleh pulang Ruang rawat sehari Ruang rawat inap:

-Berkali dengan obat b-agonis -Teruskan pemberian o2 -teruskan o2


hirup /oral
-Berikan steroid oral -atasi dehidrasi & asidosis jika
-Jika sudah ada obat pengendali, ada
teruskan -Nebulasi tiap 2 jam
-steroid IV tiap 6-8 jam
-Jika pencetusnya adalah infeksi -Bila dalam 12 jam perbaikan
virus, dapat diberikan steroid klinis stabil, boleh pulang tetapi Nebulasi tiap 1-2 jam
oral jika klinis tetap belum membaik
atau memburuk, alih awal ke Aminofilin IV awal, lanjutkan
-Dalam 24-48 jam kontrol ke ruang rawat inap rumatan
klinik rawat jalan untuk
reevaluasi. -jika membaik dalam 4-6 x
nebulasi, interval jadi 4-6 jam

-jika dalam 24 jam perbaikan


klinis stabil, boleh pulang

- jika dengan steroid &


aminofilin parenteral tidak
membaik, bahkan timbul
ancaman henti napas, alih
rawat ke ruang rawat
intensif
13

Gambar 2.1 alur penatalaksanaan13

2.12. Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat:

1. keterlambatan penanganan
2. penanganan yang tidak adekuat
komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
a. akut

-dehidrasi

-gagal nafas

-infeksi saluran nafas

b. kronik

- kor pulmonale

- ppo kronik

- pneumotorak13

2.13. Pencegahan

pencegahan primer, ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko
asma (orangtua asma), dengan cara:

-penghindaran asap roko dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak.

-diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan/dengan syarat diet tersebut tidak


menganggu asupan janin.

-pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan

-diet hipoalergenik ibu menyusui

Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap roko, serta alergen dalam
rungan terutama tungau debu rumah.

Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang
telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter
yang dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children)
14

mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan
dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau
debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa
pemberian setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma
(controller).13

2.14. Prognosis

Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.
- Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil
prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa.
- Angka kematian meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai.
15

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

a. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya yang ditandai dengan obstruksi aliran udara
bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan. Inflamasi kronik yang
merupakan hasil interaksi antara banyak sel, elemen seluler dan sitokin
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan
bronkospasme dengan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam atau dini
hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang
luas, bervariasi dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau
keluarganya

b. prevalensi asma meningkat diseluruh dunia, hal ini di sebabkan terutama


oleh pengetahuan yang rendah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan
pengelolaan asma yang tidak lengkap atau sistimatis, serta sangat
kurangnya data dan perencanaan lanjutan.

3.2 saran

Saran bagi pasien dan keluarga


- Bagi pasien hendaknya menghindari faktor penyebab yang dapat
menimbulkan serangan Asma, selalu menjaga kebersihan baik itu
kebersihan diri maupun kebersihan lingkungan.
- Bagi keluarga hendaknya mengetahui tentang penyakit asma Bronkhial
serta mengetahui penyebab yang memungkinkan terjadinya serangan
Asma yang berulang, keluarga juga harus siap siaga dalam menjaga
dan merawat pasien dengan Asma Bronkhia

Anda mungkin juga menyukai