Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA

“KECERDASAN EMOSIONAL MENURUT PERSPEKTIF AL-QURAN”

Dosen Pembimbing

Abdur Razaq, M.Pd.I

Disusun Oleh:

1. M. Danang (20171552024)

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

TAHUN AJARAN 2019


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kecerdasan emosional dapat diartikan kemampuan, merasakan, memahami,


dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Apabila berpikir itu bersifat objektif,
maka emosional itu bersifat subjektif karena lebih banyak dipengaruhi oleh
keadaan diri. Apa yang indah, baik, dan menarik bagi seseorang belum tentu
indah, baik, dan menarik bagi orang lain. Implementasi kecerdasaan emosional
dapat terlihat dalam sikap seseorang; pertama adalah istiqamah yaitu dengan cara
teguh pendirian terhadap jalan-jalan yang telah ditetapkan Allah Swt, serta tidak
mengurangi atau mengabaikan, dan melampaui batas terhadap ajaran-ajaran
tersebut. Kedua yaitu rendah hati yaitu mereka berjalan dengan tenang, penuh
dengan ketawadhu’an, tidak congkak dan sombong. Ketiga adalah tawakal, yakni
timbulnya ketulusan di dalam hati kepada Allah dalam menggapai keridhaan-Nya.
Terakhir adalah ikhlas, yakni suatu upaya memurnikan dan menyucikan hati
sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata..

B. Rumusan Masalah
1. Kecerdasan emosional Dalam Al-Qur'an?

C. Tujuan Penulisan

Untuk Mengetahui dan memahami kecerdasan emosional dalam prespektif Al-


Qur'an.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kecerdasan Emosional

Manusia mempunyai potensi dan kemampuan mencapai kedudukan tertinggi di


alam eksistensi (yaitu kedudukan malakuti dan Ilahi), akan tetapi dia juga memiliki
potensi untuk jatuh terjerumus pada posisi terendah yang bahkan lebih rendah dari
kedudukan yang dimiliki oleh binatang dan setan, yang kelak akan menjadi bagian
manusia dari dua titik ini hanya bergantung dari proses pembelajaran yang dilaluinya
di dunia ini, di mana proses tersebut yang akan melahirkan kecerdasan terhadap diri
seseorang.1
Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran
yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan,
memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa,
dan belajar. Cerdas dapat diartikan sebagai sikap manusia yang mampu mengambil
pelajaran dan hikmah dari setiap persoalan sekaligus upaya mereka untuk menjadi
lebih baik lagi di masa depan.
Menurut Howard Gardner kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan
masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang
budaya atau lebih. Dengan kata lain, kecerdasan dapat bervariasi menurut konteksnya.
Melalui keterangan di atas dapat dipahami bahwa, pengertian kecerdasan ialah
kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan ke arah yang lebih baik dan
bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Quran
yang artinya:

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu


melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)?
Maka tidaklah kamu berpikir?.(Q.S.al-Baqarah: 44)

Dalam tafsir Ma’alim al-Tanzȋl dijelaskan bahwa penggunaan akal pada ayat
tersebut adalah seseorang yang terhindar dari kebodohan sehingga dirinya dapat
melakukan kebaikan. Jadi, seseorang yang memiliki kecerdasan dapat diketahui salah
satunya dengan cara bagaimana ia menggunakan akalnya sebaik-baik mungkin.
1
M. Chadziq Charisma, Tiga Aspek Kemukjizatan Al-Quran, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991), h. 15
Menurut keterangan para pakar ilmu psikologi,8 ada 14 lebih jenis kecerdasan.
Dari jenis-jenis tersebut, yang akan penulis bahas hanyalah kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional dapat diartikan kemampuan, merasakan, memahami, dan
secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, koneksi dan pengaruh manusia. Apabila berpikir itu bersifat objektif, maka
emosional itu bersifat subjektif karena lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan diri.
Apa yang indah, baik, dan menarik bagi seseorang belum tentu indah, baik, dan
menarik bagi orang lain.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, kecerdasan emosional
dapat dipahami sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan
orang lain, kamampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
Dalam penafsiran kecerdasan emosional yang menjadi pokok masalah ini adalah
bagaimana menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang mengimplementasikan
kecerdasan emosional. Seperti implemenatsi sikap konsisten, rendah diri, berusaha
dan berserah diri serta bersifat tulus (ikhlas).

B. Implementasi Sikap Konsisten (Istiqomâh)

Istiqâmah berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata
Istiqâmah dari kata “qāma” yang berarti berdiri. Dengan kata lain, istiqâmah juga
berarti tegak lurus serta sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.
Jadi, muslim yang beristiqâmah adalah muslim yang selalu mempertahankan
keimanan dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Ia bak batu karang yang
tegar menghadapi gempuran ombak-ombak yang datang silih berganti. Ia tidak mudah
loyo dalam menjalankan perintah agama. Ia senantiasa sabar dalam menghadapi
seluruh godaan. Itulah manusia muslim yang sesungguhnya, selalu Istiqâmah dalam
sepanjang jalan. Dalam surah hud yang Artinya: Maka tetaplah kamu pada jalan yang
benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Huud:112).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw diperintahkan Allah SWT
untuk bersikap konsisten, yakni bersungguh-sungguh memelihara, mempercayai,
mengamalkan serta mengajarkan tuntunan-tuntunan-Nya, baik yang menyangkut
prinsip ajaran dan rinciannya, menyangkut dirimu secara pribadi maupun
penyampaiannya kepada masyarakat tanpa menghiraukan gangguan dan kecaman
orang lain.2

Setelah memerintahkan berbuat segala macam kebaikan yang sesuai tuntutan wahyu,
kini dilarangnya melakukan segala macam keburukan dengan menyatakan janganlah
kamu melampaui batas yang ditetapkan Allah dan yang digariskan oleh fitrah
kesucian kamu, antara lain dengan mempersekutukan dan mendurhakai Allah,
melakukan perusakan di bumi atau membebani diri melebihi kemampuan.

C. Implementasi Sikap Kerendahan Hati (Tawadhu’)

Tawadhu’ adalah sikap rendah hati yang dimiliki orang yang dapat mengendalikan
nafsunya tatkala mendapat nikmat yang lebih dari orang lain. Sikap ini akan
membuahkan prilaku baik, baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk-Nya.
Tawadhu’ adalah sikap tenang, sederhana, sungguh-sungguh dan menjauhi sikap
takabbur, beringas, maupun membangkang.

Fudail bin ‘Iyad pernah ditanya maksud dari tawadhu’. Ia menjawab, tunduk dan taat
melaksanakan yang hak (benar), serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun
yang mengatakannya.3 Pendapat lain mengatakan, “Tawadhu’ adalah merendahkan
sayap dan melembutkan sisinya.

Lawan dari sikap tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci
Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Saw mendefenisikan sombong dengan sabdanya,
Artinya: Kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang”. (HR.
Muslim)

Jadi, tawadhu’ merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia, sudah selayaknya

2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 6,
h. 359
3
Muhammad Musa asy-Syarif, Ibadah Qalbu, Pengaruhnya dalam Kehidupan Kaum Mukmin, (Jakarta:
Media Eka Sarana, 2005), h. 184
sebagai umat muslim untuk bersikap tawadhu’, karena tawadhu’ merupakan salah
satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat Islam.

D. Implementasi Sikap Berusaha dan Berserah Diri (Tawakkal)

Secara etimologi bahasa, tawakkal berarti menyerahkan suatu urusan. Misalnya,


menyerahkan suatu urusan kepada Fulan, artinya ia mengandalkan urusannya kepada
Fulan. Atau si Fulan menyerahkan urusannya kepada yang lain, jika ia percaya akan
kemampuan orang itu, atau karena ia tidak mampu melakukannya sendiri.4

Menurut pengertian syariat, orang yang bertawakal kepada Allah berarti ia telah
mengerti benar bahwa Allahlah yang menjamin rezeki dan urusannya, sehingga dia
hanya bergantung kepada-Nya semata, tanpa melibatkan pihak lain.

Oleh karenanya, hakikat tawakal adalah ketulusan dalam menggantungkan hatinya


kepada Allah dalam menggapai kepentingannya dan menghalau marabahaya, baik
dalam urusan dunia maupun akhirat. Segala sesuatunya diserahkan kepada-Nya,
sebagai realisasi keimanan bahwa hanya Dia semata sang pemberi dan hanya Dia
yang menolak, menghindarkan marabahaya dan yang mendatangkan manfaat, bukan
yang lain.

Sikap tawakal ini dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. yaitu ketika dilempar ke dalam
kobaran api, beliau mengucapkan “Hasbunallăh wanikmal wakȋl” Allah menjadikan
api yang panas menjadi dingin sehingga Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api yang
membara. Demikian juga ketika Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya
mendapatkan ancaman juga mengucapkan “Hasbunallăh wanikmal wakȋl” yang
membuatnya selamat dari marabahaya.

Tawakal yang sebenarnya kepada Allah SWT akan menumbuhkan dalam hati seorang
mukmin perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan
ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman.

E. Implementasi Sikap Ketulusan ( ikhlas)

Ikhlas adalah bentuk ibadah qalbu yang paling agung dan sensitif. Banyak sekali ayat-
ayat Al-Quran maupun hadis yang menguraikan keutamaannya dan memperingatkan

4
Muhammad Musa asy-Syarif, Ibadah Qalbu- Pengaruhnya dalam Kehidupan Kaum Mukmin, (Jakarta:
Media Eka Sarana, 2005), h. 131
akan sikap melalaikannya.

Pengertian ikhlas secara kebahasaan berasal dari kata khalasha - yakhlushu-


khulushan, mengacu pada pengertian terikat dan terbelenggu, lalu terbebas dan
selamat darinya. al-mukhlish adalah orang yang hanya mengesakan Allah dengan
setulus- tulusnya. Kata al-mukhlash, mengandung pengertian orang yang tulus kepada
Allah, yaitu orang pilihan yang terbebas dari kotoran.

Ikhlas terdiri dari tingkatan dan derajat yang berbeda satu dengan lainnya. Antara lain,
batin seseorang lebih besar dan agung dari yang tampak secara lahir. Sifat ikhlas akan
tercapai jika keseimbangan antara lahir dan batin, namun demikian, derajat tertinggi
dari sifat ikhlas adalah jika yang tampak lebih baik dan agung dari yang tampak.

Di dalam Al-Quran banyak disebutkan ayat-ayat tentang ikhlas, antara lain:

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah
agama yang lurus.” (Q.S. al-Bayyinah: 5)

Ayat di atas menjelaskan tentang sikap Ahl al-Kitab dan kaum musyrikin yang enggan
percaya serta berselisih satu sama lain, yakni beribadah dan tunduk kepada Allah Swt
dengan memurnikan secara bulat untuk-Nya semata-mata, serta ketaatan sehingga
tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, dan juga mereka diperintahkan
supaya melaksanakan shalat dan menunaikan zakat secara sempurna sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan, bukan seperti yang selama ini mereka lakukan.

ikhlas adalah upaya memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar hanya
terarah kepada Allah semata, sedang sebelum keberhasilan usaha itu, hati masih
diliputi atau dihinggapi oleh sesuatu selain Allah SWT, misalnya pamrih dan
semacamnya.32

Dengan demikian, sikap ikhlas ini dapat dipahami dengan sifat ikhlas yang dimilki
oleh Nabi Yusuf as yang tidak menghendaki dari amalnya tersebut, kecuali wajah
Allah dan keridhaan-Nya. Tidak terpengaruh dengan apa-apa yang berada dibalik
keridhaan dan pujian manusia, selalu berbuat kebajikan, menolong orang lain dan
memberi makan karena mengharap wajah Allah serta hanya mencari keridhaan Allah
SWT.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap kecerdasan emosional
menurut Al-Quran dapat disimpulkan bahwaAl-Quran menjelaskan kecerdasan yang
diberikan oleh Allah SWT kepada manusia dengan sangat rinci, di antaranya
kecerdasan emosional. Penafsiran Al-Quran tentang kecerdasan emosional yaitu hati
yang teguh dan kuat, hati yang tawadhu’, hati yang bertawakal, dan hati yang tulus.
Mengemplementasian sikap istiqamah yaitu dengan cara teguh pendirian
terhadap jalan-jalan yang telah ditetapkan Allah SWT, serta tidak mengurangi atau
mengabaikan, dan melampaui batas terhadap ajaran-ajaran tersebut. Bersikap
tawadhu’ dapat dilakukan dengan tunduk dan taat melaksanakan yang hak (benar),
serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengatakannya hingga
terhindar dari sikap menyombongkan diri. Bersikap tawakal yaitu timbulnya
ketulusan di dalam hati kepada Allah untuk menggapai kepentingannya dan
menghalau marabahaya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Segala sesuatunya
diserahkan kepada-Nya, setelah ia berusaha dengan sebaik-baiknya.
Bersikap ikhlas yaitu tidak menghendaki dari amalnya tersebut, kecuali wajah
Allah dan keridhaan-Nya serta tidak terpengaruh dengan apa-apa yang berada dibalik
keridhaan dan pujian manusia, selalu berbuat kebajikan dan menolong orang lain
hanya mencari keridhaan Allah SWT semata. Juga berupaya memurnikan dan
menyucikan hati sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata.

Anda mungkin juga menyukai