Anda di halaman 1dari 4

Lamunku terhenti ketika aku menyadari handphone ku berbunyi .

Aku terdiam, nomor


ini tak tersimpang didalam kontak hp ku. Aku langsung mengusap layar ke kanan. “Ya, Hallo
siapa ini” ujarku. “Nami? Ini dengan Namira” Tanya sang Penelepon. Aku terdiam, lalu
menjawab “ Iya, Siapa ini “. “Ini aku Elkana, aku baru dapat nomor mu dari Tika , Ra. Apa
kabar?” ucapnya dengan nada kesenangan ketika mengetahui bahwa nomor yang ditujunya
sesuai dengan keinginannya. Aku terdiam lagi, Elkana yang mana ya , gulatku dalam hati
mencoba menelusuri memoriku. Lalu sepintas memori tentang seseorang yang bernama
Elkana kutemukan, Elkana teman SMA ku rupanya. Aku terhening, dia menelponku dalam
rangka apa ya? tanya ku dalam hati. “Nami , nami , kamu masih disitu?” suara Elkana
membuyarkan lamunanku. “Oh iya, Kana. Kabarku baik , maaf aku sedang didalam Bis, aku
akan menelponmu kembali ya” tanyaku langsung. “Baiklah Nami, tak apa-apa, Kau harus
menghubungiku ketika Kamu sudah sampai ya, Nami” ucap Elkana lagi. “Baiklah Kana, maaf
ya” ucapku lagi. Handphone ku kini sudah senyap. Elkana, sudah dimana ya , anak itu.
Elkana dulu teman dekatku ketika SMA. Gadis rambut panjang itu, sering menemaniku ketika
di Sekolah Menengah dulu. Perawakannya tubuhnya yang hampir sempurna tak lantas
membuatnya menjadi pribadi yang sombong. Kuingat kala itu, dia sering menjadi partner in
crime ku. Seringkali dia menjadi temanku ketika bolos dulu. Kami dulu memang bersyukur
walaupun nakal, peringkat kami tak pernah turun dari sepuluh besar. Aneh memang, namun
aku jarang berkomunikasi kepadanya semenjak aku pindah Sekolah. Hal itu makin
diperparah ketika telepon genggamku hilang di Kereta Api. Aku tersenyum mengingat moment
ku bersama Elkana ketika di masa sekolah Menengah Atas dulu. Kerap kalli menjadi pasukan
penjaga Gerbang ketika Upacara, selalu menjadi orang yang pertama kali nongkrong di kantin.
Aku tersipu malu mengingat masaku dulu bersama Elkana. Kami memang nakal tapi masih
pada batasnya, nakal selayaknya. Aku terdiam , hatiku senang dan jujur kuakui aku sangat
merindukan Elkana.

“Hai , bisa aku duduk disamping mu?” tanya seseorang membuyarkan lamunanku lagi.
Aku menoleh melihat seorang laki-laki yang wajahnya familiar di mataku, laki-laki tampan ini
juga berkerja di tempat kerja ku yang baru. “ Ya,” ucapku singkat sembari menyingkir ke
kursi sebelah kanan. Aku melihat dirinya sedang membuka jaket hitamnya yang terkena
terpaan air Hujan. Rambut hitamnya terlihat sedikit basah akibat Air Hujan yang turun hari
ini. Kemeja biru nya pun bernasib sama. Sekarang memang musim Hujan. Aku kembali
menatap jendela bis ini. Mungkin bilamana kita bertanya kepada seseorang yang pekerja
keras bahkan sangat workaholic dia bisa jadi berpandangan kalau hujan menggangu
aktivitas tetapi bila kita bertanya kepada pemerhati lingkungan mungkin dia sangat
mencintai hujan yang turun untuk memberi kesegaran pada bumi yang kering ini. Memang
benar, tak ada sesuatu yang pasti benar dan tak ada sesuatu yang pasti salah semua
tergantung dari sudut pandang kau melihat. “Huft,” hela ku pelan. “ Hujan nya turun deras
sekali ya” kata lelaki yang duduk disampingku. Aku terusik dan menoleh kearahnya
sebentar, tak menjawab lalu kembali melihat jalan yang kini basah dan licin karena air hujan
yang dibatasi oleh jendela Bis ini. “Kamu pegawai baru ya?” ucap lelaki berwajah tampan ini ,
memulai percakapan lagi. Aku menatapnya lagi “Begitulah” ujarku singkat. “Kamu sangat
menyukai hujan ya?” tanya lagi. Aku hanya tersenyum lalu kembali menatap hujan melalui
jendela Bis ini. Melihat reaksi ku yang sepertinya cuek membuatnya tak lagi melontarkan
pertanyaan atau apapun itu hanya untuk basa-basi . baguslah pikirku dalam hati. Aku
memang bukan seseorang yang ramah kepada orang yang baru ditemui, juga bukan
seseorang yang mudah mempercayai seseorang. Tetapi , percaya lah ketika dirimu sudah
kuanggap teman, kau akan menemukan sosok yang berbeda. Sosok yang ramah dan hangat.
Jadi tolong don’t judge book by his cover.

Sebentar lagi , halte yang menjadi tempat tujuanku akan sampai. Aku memasukkan
handphone ku kedalam tas, sembari sedikit berbenah untuk memastikan tidak ada barang
yang tertinggal. “Kau akan turun?” tanya laki-laki tampan itu , “Iya” ucapku sembari
tersenyum menatapnya. “Aku juga” ucapnya dengan senyum yang manis, lesung pipi milik
lelaki bermata coklat ini makin menambah manis senyumnya. Dia melangkah , menuju pintu
keluar bis ini, aku mengikutinya. Setelah turun, aku lantas menuju ke tempat duduk yang
disediakan di halte. Mengeluarkan handphone ku hendak memesan Ojek Online. Tanpa
kusadari , lelaki itu juga duduk sembari mengamatiku. “Namira” , panggilnya. “Ah iya?”
jawabku heran. Aku tak menyangka lelaki ini mengenali ku. “Kamu sedang apa? Dimana
tempat tinggal mu?”, ia kembali bertanya dengan senyum manisnya melihat respon terkejut
ku. “Ah , aku tinggal dikontrakan di jalan Permai, Pak ” ucapku. Dia terdiam, menatapku
sambil bertanya , “Siapa yang menjemputmu?”. Wah , lelaki ini memang doyan sekali
bertanya, pikirku dalam hati. “Sebentar lagi, ojek online yang ku pesansampai, Pak.”
“Baiklah”, ujarnya. Tak lagi kudengar pertanyaan dari lelaki tampan ini.

Aku bersyukur Hujan telah reda, aku pun bersyukur pria tampan ini tetap duduk di
halte ini sembari aku menunggu Ojol yang kupesan sampai. Ya, walaupun dia sangat suka
bertanya. Hari ini hari kelima ku ditempat kerja. Aku juga bersyukur , bisa mendapatkan
pekerjaan. Ya, apapun itu sepelik apapun hidup. Kau harus mampu menemukan suatu hal
yang ada dalam hidupmu yang bisa kau syukurin. Supaya , Kau paham bahwa Kehidupan mu
lebih baik dan Kau jauh lebih beruntung dari orang diluar Sana.

“Namira” , aku mengenali suara ini. Aku mendongak melihat lelaki tampan tadi.
Tingginya mungkin lebih dari 175 senti. Aku memang belum mengenali lelaki ini. Yang ku
tahu, ia adalah seorang Asisten Manager. Rambut hitamnya sudah tak terlalu basah seperti
tadi, hidungnya sangat mancung, serta kulit putih dengan bibir yang tipis dihiasi lesung pipi ,
menambah Ketampanan Pria ini. “Ya Pak, ucapku. “Kenapa kamu suka sekali melamun, lihat
Ojol yang kamu pesansudah sampai”.ucapnya lagi. “Oh iya “ jawabku sambil memasukkan
Handphone ku kedalam tas. Aku berdiri dan menuju ke ojek online tersebut. Seorang lelaki
yang sudah berumur ini tersenyum hangat dan bertanya atas nama “Ibu Namira ?”. “Ya , Pak.”
Jawabku . Lelaki paruh baya itu memberikan helm kepadaku . Sebelum memakaikan helm ke
kepalaku, aku menatap lelaki tadi. “Saya duluan , Pak” ucapku. Ia tersenyum, sembari
memegang saku celananya, kulihat ia mengambil dompetnya. Aku terheran namun tetap
kuteruskan kegiatanku memasang helm dan hendak bergegas menaiki sepeda motor milik
sang Ojek Online. Aku memilih untuk duduk menyerong mengingat hari ini aku memakai rok
span dibawah lutut. Kulihat Asisten Manager ini memberi uang Seratus Ribu kepada
pengemudi sepeda motor. Melihat aksinya ini, aku heran dan berkata, “tak usah Pak , aku
bisa bayar sendiri”. “Tak apa,” jawabnya tersenyum. “Hati-hati” ucapnya lagi.

Aku terdiam lalu mengucap terima kasih. Sepeda motor ini pun melaju. Ah, besok aku
ganti saja uangnya, pikirku dalam hati. Aku merasa sungkan sekali padanya mengingat sedari
tadi selama diperjalanan, aku sangat bersikap acuh ketika dia bertanya. Tetapi bagaimana lagi,
beginilah aku. Mungkin semenjak kejadian , ya kejadian itu semuanya menjadi berubah. Aku
tersenyum miris. Melihat langit hitam, menghirup sebanyak-banyaknya udara malam dan
berkata dalam diriku. “Kamu kuat Namira”. Aku yang sudah kuat dihantam badai tak akan
goyah dibuat gelombang, itu janjiku.

Perut ku lapar, aku merenggut kesal . Ya, tadi pagi aku terlambat bangun sehingga tak
sempat sarapan pagi. Aku merasa sedikit pusing , mata ku berkunang-kunang, sementara jam
makan siang masih setengah jam lagi. Huft, desahku kesal. Mungkin secangkir teh bisa
menambah stamina, pikirku. Dengan sisa tenaga yang kupunyai , aku bergerak menuju
pantry. Aku memang bisa memanggil Office Boy hanya untuk membuat teh manis pada ku
tetapi aku sadar diri. Baru karyawan baru saja sudah berlagak seperti Bos. Dengan penuh
perjuangan , aku bergerak ke pantry. Namun , belum sampai setengah perjalanan aku merasa
dunia berputar , kesadaranku menipis dan kaki ku tak mampu menopang badanku. Samar-
samar aku melihat sebuah lengan kekar , itu seperti lengan laki-laki lalu mataku tertutup.

Jadi , dimana aku berada sekarang? Pikirku. Oh, ini klinik kantor. Dengan cepat , aku
teringat ketika aku hendak ke pantry dan akhirnya pingsan. Tapi siapa yang membawa aku
ya?. Aku bangkit dari tidurku untuk duduk dan melihat sekitaran ku. Aku terlonjak kaget
ketika pintu terbuka dan menampakan wajah asisten manager yang tadi malam kujumpai
sekarang kutemui lagi. Apa dia yang menolongku tadi,pikirku dalam hati. Menurut informasi
yang kudapat melalui Vivi, perempuan yang menjadi teman pertama ku di kantor baru ku ,
asisten manager itu bernama Pak Axel. “ Dia itu orangnya galak habis deh ,” perkataan Vivi
tadi pagi kembali muncul ke ingatan ku. Sedikit tidak sinkron mengingat lelaki yang sedang
berjalan menujuku sangat ramah , tak sedikitpun dia terlihat galak. Aneh, tapi ya sudahlah.
“Hai, bagaimana keadaanmu ?” tanya lembut. “Ha, sudah lumayan Pak . Sepertinya aku harus
kembali ke meja kerja ku” kataku pelan dan merasa tak enak hati mengingat aku baru lima
hari kerja. “ Sudahlah, aku sudah mengizinkan mu kepada Pengawasmu. Kamu sebaiknya
pulang saja. Akan kuantar pulang” katanya tegas tak mau dibantah. “Ha?” jawabku heran.
Aku memang merasa tidak enak badan sekali mengingat sekarang aku kedatangan tamu
bulanan ku.

Tok..tok , suara pintu diketok. “Masuk” kata Pak Axel. Itu Vivi , gadis dengan rambut
coklet sepinggang itu masuk dengan tangannya yang membawa tas yang kukenali adalah
milikku. “Maaf Pak Axel, saya ingin mengantar tas milik Namira” ujarnya segan. Kenapa ya
Vivi seperti takut kepada Pax Axel? pikirku dengan heran. Laki-laki pemilik mata hitam pekat
ini berbalik menuju Vivi yang belum bisa dikatakan masuk keruangan mengingat Ia masih
berdiri dibalik sisi pintu lalu berkata “kemarikan tasnya,” ujarnya. Vivi yang sepertinya yang
belum bisa dikatakan masuk ke ruangan mengingat Ia masih berdiri dibalik sisi pintu hanya
terdiam dan memberi tas milikku kepada Asisten Manager ini. Vivi tanpa basa-basi lalu
berkata “Saya permisi Pak,” . Aneh pikirku. Vivi bahkan tak menyapa ku.

Anda mungkin juga menyukai