Bab Ii Food Ideology
Bab Ii Food Ideology
PEMBAHASAN
1.
2.1 Defenisi Food Ideology
Ideologi secara etimologis berasal dari kata idea yang berarti gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita, pemikiran dan kata logos yang berarti ilmu.
Makanan diartikan sebagai bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi atau
ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, berguna bila
dimasukkan ke dalam tubuh.
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa food ideoly atau ideology
makanan merupakan gabungan dari sikap, kepercayaan dan kebiasaan serta tabu
yang mempengaruhi diet kelompok tertentu.
1
lambat laun menjadi kebiasaan (adat) terlebih dalam suatu
masyarakat yang masih sederhana.
Macam-macam tabu makanan menurut Simons yang dikutip Suharjo (1989)
telah melakukan penelitian mengenai asal tabu makanan :
Menurut waktu
o Tabu yang bersifat permanen
o Tabu yang bersifat sementara
Menurut besarnya kelompok
o Tabu berdasarkan kelas sosial
o Tabu menurut jenis kelamin
Menurut periode-periode di dalam lingkaran hidup
o Tabu pada saat puber
o Tabu pada saat hamil
2. Food Fad
Bertentangan dengan pendapat umum, food beliefs dan prakteknya
tidak lagi aneh bagi masyarakat petani atau budaya dari negara
berkembang. Food Fad berkaitan dengan Food movements yaitu
pertumbuhan pangan organik, vegetarian, atau diet tinggi protein pada
kelompok masyarakat menengah ke atas dan berpendidikan.
2
Faktor Penyebab Food Fad :
Konsekuensi dari food fad oleh Schafer dan Yetley yaitu jiwa
menjadi lebih stabil dan sebagai acuan kerangka utuh untuk perilaku
makanan bagi individu yang terlibat dalam food fad tersebut. Hal ini
adalah penting bagi pengikut food fad untuk menjaga rasa aman dalam
makanan sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Implikasi
3
3. Food Habit (Kebiasaan Makan)
Pangan merupakan persoalan yang biocultural. Bio berkaitan
dengan zat gizi yang terdapat dalam pangan yang akan mengalami proses
biologi setelah masuk ke dalam tubuh manusia dan mempunyai pengaruh
terhadap fungsi organ tubuh. Cultural merupakan faktor budaya yang
menyangkut aspek sosial, ekonomi, politik dan proses budaya
mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan (jenisnya, cara
pengolahan dan cara konsumsi). Menurut Ritenbaugh (1982) makanan
adalah contoh sempurna (a perfect example) dari ‘batas’ (boundary) antara
faktor biologi manusia dengan budaya.
Kebiasaan (habit) adalah pola perilaku yang diperoleh dari praktik yang
terjadi berulang-ulang. Jadi Food Habit (kebiasaan makan) adalah suatu
pola perilaku konsumsi pangan yang diperoleh karena terjadinya berulang-
ulang. Tindakan manusia (what people do, practice) terhadap makan dan
makanan dipengaruhi oleh pengetahuan (what people think) tentang
pangan / makanan, perasaan (what people feel) tentang pangan / makanan
dan persepsi (what people perceive) tentang pangan / makanan.
1. Model Multidimensional
Diva Sanjur dan Scoma (1977) menyarankan penggunaan suatu
pendekatan multidimensional untuk menerangkan dan mencatat pola
pangan penduduk. Pendekatan ini mencakup deskripsi atau penjelasan
tentang kebiasaan makan dari empat komponen : konsumsi pangan,
4
preferensi terhadap makanan, ideology (pengetahuan) terhadap makanan
dan social budaya pangan.
a. Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan baik keluarga, individu, maupun golongan tertentu
dapat diamati dengan cara “recall”. Metode ini umum digunakan untuk
mengetahui konsumsi pangan yang telah lalu (1 – 3 hari terakhir) baik
dari segi kuantitas maupun kualitas dan contoh yang cukup besar.
Dalam metode ini enumerator minta agar responden mengingat – ingat
secara rinci apa yang telah dikonsumsi dalam 1 – 3 hari terakhir.
Untuk keperluan ini digunakan alat bantu misalnya ukuran rumah
tangga, food model, dsb untuk menentukan perkiraan – perkiraan
konsumsi pangan yang lebih mendekati. Cara ini relative cepat dan
murah, tetapi mengandung subyektivitas tinggi dan menimbulkan
kesalahan sistematik. Selain metode “recall” seperti diuraikan di atas,
konsumsi pangan dapat pula diukur dengan cara penimbangan
(Weighing Method). Pada cara ini semua bahan makanan diitmbang
baik sebelum maupun sesudah dimasak. Demikian pula bagian pangan
yang tidak dapat dimakan dan sisa – sisa setelah makan semuanya
harus ditimbang. Cara ini dapat dilakukan untuk mengukur konsumsi
pangan keluarga ataupun individual seperti halnya pada metode
“recall”.
b. Preferensi Pangan
Diasumsikan bahwa sikap seseorang terhadap makanan, suka atau
tidak suka, akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Oleh karena
itu merupakan hal penting mempelajari pangan yang disukai ataupun
yang tidak disukai tersebut, dan makanan yang belum pernah dirasakan
serta menelusuri sebab – sebab yang melatarbelakanginya. Selain itu
perlu melihat hubungan antara preferensi anak – anak dengan
preferensi orang tua.
c. Ideology Pangan
Pengetahuan tentang pangan dan gizi yang berkaitan pula dengan
kepercayaan, taboo dan “prejudice” akan berpengaruh terhadap
5
kebiasaan makan. Oleh karena itu dalam model multidimensional hal
tersebut perlu dipertimbangkan sebagai variabel penting.
d. Social Budaya
Banyak para ahli melaporkan bahwa kebiasaan makan mempunyai
hubungan erat dengan segi social budaya. Ada tidaknya atau tingkat
keeratan hubungan tersebut dapat ditelusuri dan ditentukan. Misalnya,
Diva Sanjur dan Scoma menganalisis hubungan antara konsumsi
pangan anak dengan umur ibunya, asal ibu, pendidikan ibu, besar
keluarga dan faktor social budaya lainnya. Data mereka mengenai
konsumsi anak dan umur ibu, kebiasaan membaca, dan faktor – faktor
lainnya dapat memberi gambaran hubungan – hubungan yang ada.
6
variabel: seberapa sering keluarga makan bersama, seberapa sering
keluraga bercakap-cakap ketika makan, dsb
1. Lingkungan Keluarga
a. Struktur & organisasi keluarga
b. Status sosial dlm masyarakat
c. Mobilitas keluarga
d. Status ekonomi keluarga
e. Pengetahuan & kepercayaan terhadap makanan
f. Sikap keluarga terhadap makanan
g. Keadaan & sifat - sifat hidangan makanan keluarga
2. Lingkungan Sekolah
a. Pengalaman dr pendidikan gizi di sekolah
b. Pengetahuan dan sikap terhadap makanan dari guru yang
mengajarnya
Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan keamanan dan pelindungan
Kebutuhan hidup kemasyarakatan
Kebutuhan akan pengakuan
Kebutuhan akan kepuasan
3. Model Wenkam
Model yang dirancang oleh Wenkam (1969) didasarkan pada
keterkaitan antara kebiasaan makan dengan ketersediaan fisik dan
budaya pangan. Kekuatan – kekuatan obyektif dan subyektif pangan /
makanan mempunyai peranan besar dalam pembentukan kebiasaan
7
makan. Orang tidak dapat mengonsumsi suatu bahan makanan bila
pangan yang bersangkutan tiidak tersedia di sana, sementara itu
pangan dapat dianggap enak, berbahaya, tidak disukai, berharga,
menarik dan sebagainya karena nilai – nilai budaya.
Ketersediaan fisik pangan merupakan faktor penentu kebiasaan makan
di dalam suatu masyarakat. Ketersediaan fisik tergantung pada
berbagai faktor terutama:
a. Produksi pangan à dipengaruhi oleh lingkungan alam,
perkembangan teknologi, kekuatan sosial-ekonomi
b. Pengolahan pangan à misalnya pengeringan, pengasapan,
pengalengan, pembekuan, dsb
c. Distribusi pangan à Mulai dari distribusi pangan antar negara, antar
wilayah (propinsi / kabupaten), dalam mayarakat, hingga dalam
keluarga
d. Pemasakan à organoleptis dan keterkaitan makanan dengan
kesehatan, dipengaruhi oleh metode pemasakan
e. Peralatan à misal: keterbataan bahan bakar di China, menyebabkan
berkembangnya metode pemasakana stir-fry (makanan dipotong
kecil – kecil dan digoreng, supaya cepat masak dan hemat bahan
bakar)
a. Status sosial
Makanan mempunyai nilai prestise. Makanan tertentu dihidangkan
pada acara - acara tertentu
b. Status fisik
Tiap masyarakat punya “pengklasifikasian” makanan untuk
kelompok umur, jenis kelamin dan ciri fisik yang lain. Misalnya:
8
Susu dan makanan lumat untuk bayi, steak dan kentang dianggap
sebagai makanan yang maskulin, salad dianggap makanan feminin
c. Peranan dalam sistem social / upacara
Makanan merupakan bagian penting dalam acara ulang tahun,
upacara perkawinan, pemakaman, dsb
d. Etiket
Contoh : Anak anak diajari bagaimana cara makan makanan
tertentu
e. Pekerjaan
Contoh : Pada sebagian masyarakat nelayan, ketersediaan
pangan tergantung pada kapan ayah (sebagai pencari
ikan/makanan) pulang ke rumah. Berbeda dengan anak dari
keluarga pada masyarakat industri, makanan selalu tersedia tanpa
harus mencari
- Pemasakan - Pekerjaan
Struktur ekonomi
Kebiasaan Makan
9
Kerangka Model Analisis Kebiasaan Makan Menurut Wenkam
Asumsi II:
10
kenyamanan merupakan faktor yang paling utama dalam pemilihan
makanan dan pada saat yang sama, kenyamanan bagi responden juga
dapat berarti kemudahan dalam mempersiapkan makanan.
c) Keakraban (Familiarity)
Keakraban adalah kecenderungan sesorang untuk memilih makanan
yang sudah biasa dimakan dibandingkan mencoba makanan baru.
d) Perasaan (Mood)
Stress dan jadwal yang padat karena kondisi kerja dapat menjadi
alasan mengapa makanan yang dipilih berdasarkan apakah makanan
tersebut menenangkan dan menghibur.
e) Daya Tarik Sensorik (Sensory Appeal)
Aroma makanan yang menggugah selera dan disukai dapat memberi
rangsangan pada indra penciuman seseorang sehingga akan
mempengaruhinya untuk mengonsumsi makanan tersebut
f) Harga (Price)
Harga memiliki pengaruh yang kuat dalam pemilihan makanan. Harga
makanan merupakan elemen yang paling penting bagi masyarakat
dengan pendapatan rendah dibanding faktor yang lain.
g) Komposisi Makanan (Natural Content)
Sebagian besar masyarakat foodies maupun nonfoodies dalam
pemilihan makanan lebih memperhatikan terhadap komposisi makanan
untuk menjalankan diet yang seimbang dan cenderung menerapkan
konsumsi makan yang sehat.
h) Persepsi Resiko (Risk Perception)
Beberapa asosiasi menunjukkan bahwa persepsi risiko mendominasi
penentu dalam pilihan makanan dan isu yang terkait dengan efek buruk
pada kesehatan yang harus diamati oleh pemasok dalam sistem pangan
(Gaskell, et al, 2004).
11
di Rokan Hulu yang telah dilakukan penelitian dari Desember 2005 sampai
November 2006.
Alasan yang diberikan oleh responden tidak ada yang logis, contohnya
daging ditabukan karena akan menyebabkan penyakit tambah parah. Daging dan
ikan laut sangat baik bagi ibu hamil karena merupakan sumber protein namun
sayangnya ditabukan. Hal ini jelas akan mempengaruhi intake protein karena ibu
hamil tersebut tidak berani mengkonsumsi makanan tersebut.
12
Alasan yang diberikan oleh responden tidak ada yang logis, contohnya
ikan dan telur ditabukan karena akan menyebabkan air susu menjadi anyir. Seperti
kita ketahui telur dan ikan sangat baik bagi ibu menyusui karena merupakan
sumber protein namun sayangnya ditabukan. Hal ini jelas akan mempengaruhi
intake protein karena ibu menyusui tidak berani mengkonsumsi makanan tersebut.
13
Alasan ini sangat konyol dan sangat merugikan bagi balita, karena
sebagaimana kita ketahui bahwa telur mengandung protein dan banyak
mengandung zat gizi lainnya dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Oleh
karena itu penyuluhan untuk menyadarkan masyarakat dalam upaya mengurangi
bahkan menghilangkan tabu khususnya bagi balita perlu dilakukan.
14
Nangka ditabukan karena dapat menyebabkan maag bisa kambuh. Jeruk
dan nenas ditabukan karena dapat menyebabkan demam. Sayur nangka ditabukan
karena dapat menyebabkan sakit perut.
15
DAFTAR PUSTAKA
Den Hartog, et al. 2006. Food Habits and Consumption Developing Coutries.
Wageningen Academic Publisher. Netherlands
Sanjur, D. 1982. Social and Cultural Perspective In Nutrition. Prentice Hall, Inc.
Englewood Cliffs, N.J.
16