Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

MAZHAB POSITIVISME HUKUM

IV. Perihal Positivisme Hukum


Pokok-pokok pikiran Positivisme dan Empirisme, faktor-faktor yang mendorong timbulnya
pemikiran Positivisme secara dominan dan pemikiran beberapa tokoh.

1. Konteks
SKETSA ZAMAN:
400 ROMAWI RUNTUH

500
600
700
800 AKHIR ZAMAN
PERTENGAHAN
900 (PENCERAHAN
1000 DIMULAI DAN
1100 BERPROSES)
1200
1300 PENCERAHAN
1400
REFORMASI LUTHER
1500 BENTHAM (1748 – 1832)
dan AUSTIN (1790 – 1859)
1600 RASIONALISME
hidup di zaman ini
1700
1800 REVOLUSI SOSIAL DAN POLITIK
1900
MODERNITAS
2000
2. Pengantar

Istilah Positivisme berasal dari kata poněre yang berarti meletakkan, kemudian menjadi
bentuk pasif positus – a – um yang berarti diletakkan. Dengan demikian positivisme

35
menunjukkan pada sebuah sikap atau pemikiran yang meletakkan pandangan dan
pendekatannya pada suatu. Umumnya positivisme bersifat empiris.

Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta
bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam
masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan
validitas norma hukum bersumber pada kewenangan tersebut.

Pertanyaan “apa itu hukum” adalah pertanyaan yang esensial dalam aliran ini.
Jawabannya selalu mereferensi pada hal-hal yang empiris dan berupa analisis akan fakta
sosial yang objektif. Apa yang disebut sebagai hukum? Hukum adalah norma-norma
yang diciptakan atau bersumber dari kewenangan yang formal atau informal dari
lembaga yang berwenang untuk itu atau lembaga pemerintahan yang tertinggi, dalam
sebuah komunitas politik yang independen (mandiri : otonomos).

Bagi aliran ini hukum adalah fenomen sosial yang khusus dibanding fenomen-fenomen
sosial yang lainnya yang hanya dapat dibentuk, diadakan dan diterapkan dalam ruang
lingkup tertentu, walaupun hukum tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain seperti
moralitas, agama, etika dan lain sebagainya.

Pertanyaan “apa yang disebut sebagai hukum?” dapat ditelaah ke dalam dua pertanyaan.
Yang pertama, “apa hukum itu?”. Pertanyaan ini menyangkut sebuah usaha untuk
menerangkan hukum secara faktual yang ada dalam masyarakat manusia. Juga sebuah
usaha untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik dasar, struktur dasar dan
prosedur-prosedur serta konsep-konsep serta prinsip-prinsip yang mendasari keberadaan
sebuah hukum. Dalam ilmu hukum kita mengenalnya sebagai pertanyaan yang
berkaitan dengan pertanyaan “is”, karena terutama pertanyaan ini memerlukan jawaban
tentang identifikasi faktual tentang hukum.

Yang kedua, “apa hukum yang baik itu?” Pertanyaan ini menyangkut pertanyaan model
ought, mengenai keharusan. Pertanyaan yang bersifat normatif. Ada evaluasi terhadap
hukum yang ada. Evaluasi didasarkan terminologi nilai baik dan buruk yang didasarkan
pada standar yang seyogyanya dicapai oleh hukum yang baik. Hukum yang baik adalah
hukum yang memenuhi tujuan yang ingin dicapai dari adanya hukum dan juga hukum
yang secara prosedural normatif memenuhi terciptanya sebuah hukum.

Kedua pertanyaan tersebut ingin coba memisahkan pertanyaan is (yang sifatnya faktual)
dan pertanyaan ought (yang sifatnya normatif – dalam aras formal). Keduanya harus
dipisahkan karena dari sebuah fakta tidak dapat disimpulkan sebuah keharusan. Dari
sebuah pernyataan is tidak dapat ditarik sebuah pernyataan ought.

36
3. Tokoh-Tokoh Mazhab Positivisme Hukum

Jeremy Bentham

Bentham adalah seorang filosof terdepan dalam tradisi


Anglo-Amerika dalam bidang hukum, dan juga dikenal
sebagai “pendiri” dari aliran utilitarianisme.

Ia dilahirkan pada 15 Februari 1748, di Houndsditch,


London. Ayahnya seorang jaksa, begitu pula kakeknya.
Pandangan hidupnya dipengaruhi oleh kepercayaan pious,
yang diperoleh dari ibunya, dan gaya berpikir rasionalis
ala Abad Pencerahan, yang diperolehnya dari ayahnya.
Bentham hidup dalam periode perubahan sosial, politik
dan ekonomi yang menggelora di seluruh peradaban
Barat. Revolusi Industri, bangkitnya kelas menengah di
Inggris, dan revolusi di Perancis dan Amerika, telah
memberikan pemikiran refleksif yang mendalam bagi
Bentham.

Pada 1760, Bentham masuk sekolah Queen’s College, Oxford dan, menyelesaikannya
pada 1764. Kemudian ia belajar hukum di Lincoln’s Inn. Meskipun ia mempunyai
keahlian dalam bidang hukum, ia tidak pernah terjun sebagai praktisi hukum. Malahan,
ia menghabiskan banyak waktu dan energinya untuk menulis masalah-masalah
reformasi hukum.

Kehidupan Bentham dapat dikatakan amat mapan. Setiap harinya, ia menghabiskan


waktu 8-12 jam untuk memperdalam studinya. Kebanyakan yang ia dalami adalah
persoalan teoritis dalam hukum. Walaupun ia bukan seorang praktisi hukum, Bentham
dikenal sebagai orang yang kerap kali melemparkan polemik tentang gagasan-gagasan
praktis untuk melakukan reformasi di institusi-institusi sosial. Meski gagasan-
gagasannya banyak memengaruhi pemikiran filsafat politik saat itu, namun Bentham
tidak pernah menuangkannya dalam tulisan-tulisan..Tulisan Bentham yang amat penting
adalah Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Dalam karyanya
itu, ia menjelaskan teori moralnya yang mendasarkan diri pada konsep utilitarian.

Pada 1781, Bentham bekerja untuk Earl of Shelburne. Berkat bangsawan ini, ia
berkenalan dengan banyak politisi kelompok buruh yang terkenal dan para ahli hukum.

Pada 1785, Bentham pergi menyusul saudaranya, Samuel di Rusia. Ia merasa tulisan-
tulisannya walau dikagumi oleh sebagian orang, namun masih belum diapresiasi secara
luas di Inggris. Saat ia berada di Rusia, ia semakin tenggelam dalam kesibukan menulis.

37
Ia membuat proyek penelitian, yang saat ini dikenal dengan sebutan Panopticon, sebuah
model penjara dimana para tahanan dapat diawasi setiap saat oleh para penjaga yang tak
kelihatan. Proyek ini diharapkan dapat menarik perhatian penguasa Rusia saat itu,
Catherine the Great.

Sekembalinya ke Inggris, pada 1788, ia merasa ternyata idenya tentang Panopticon,


adalah ide yang sia-sia, dan menguras isi kantongnya. Untungnya, ia menerima warisan
pada 1796. Pada sekitar 1790an, gagasan-gagasan Bentham mulai mendapatkan tempat
yang penting dalam agenda reformasi politik. Tapi tetap saja, gagasannya masih lebih
dikenal di Eropa daratan, daripada di negaranya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari
penghargaan yang ia peroleh dari sebuah negara baru, Republik Perancis pada 1792,
yang mengangkatnya sebagai warga kehormatan, dan pada 1802, karyanya The Theory
of Legislation, diterbitkan pertama kali dalam bahasa Perancis, oleh seorang
pengikutnya berkebangsaan Swiss, Etienne Dumont.

Peranan dan pengaruh Bentham dalam politik Inggris, secara tidak langsung cukup
besar. Ketika ia kerap menyerang kebijakan kelompok konservatif dan buruh, terbit
sebuah Reform Bill (1832), yang dipromosikan oleh Lord Henry Brougham, seorang
pengikut Bentham. Kemudian terbit pula reformasi lainnya, seperti adanya pemilihan
umum yang bebas dan rahasia, yang dipromosikan oleh pengikutnya juga, George
Grote. Belakangan, pada 1832, Grote menjadi anggota parlemen. Dampak pemikiran
Bentham hingga saat ini masih eksis. Banyak istilah-istilah dalam bidang ekonomi dan
politik modern, berasal dari idenya Bentham, seperti international, maximize, minimize
dan codification. Beberapa istilah lainnya dibuat oleh para pengikutnya, seperti James
Mill, dan putranya yang terkenal, John Stuart Mill ─pernah diserahi tanggung jawab
untuk menerbitkan edisi pertama dari manuskrip Bentham─ serta seorang ahli hukum,
John Austin.

Ia wafat pada 6 Juni 1832, dan ia mewariskan manuskrip setebal 10.000 halaman. Ia
pun mewarisi sebuah tanah yang amat luas, yang kemudian dimanfaatkan untuk
mendanai sebuah universitas, University College, London. Universitas ini didedikasikan
untuk semua orang yang tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan tinggi, seperti
para pembangkan politik, orang-orang Katolik dan Yahudi yang minoritas. Jenasahnya,
diawetkan dan diberi pakaian, dan hingga saat ini dipajang di dalam sebuah lemari,
yang diletakkan di koridor utama University College.

38
Pada sekitar 1960an, didirikan sebuah lembaga di University College, dengan nama The
Bentham Project. Lembaga ini didirikan dengan tujuan untuk menyebarluaskan gagasan
Bentham.1

Pengaruh pandangan Bentham dalam bidang hukum memang dikenal amat besar. Garis
besarnya kurang lebih demikian. Bentham menolak pandangan hukum kodrat yang
begitu yakin akan nilai-nilai “subjektif” dibalik hukum yang harus dicapai. Ia sangat
percaya bahwa hukum harus dibuat secara utilitarianistik, melihat gunanya dengan
patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan dan kepuasaan
manusia. Dalam hukum tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang
tertinggi atau yang terendah dalam ukuran nilai.

Hukum yang semacam itu dicapai dengan menggunakan seni dari legislasi atau seni
perundang-undangan yang memampukan kita untuk meramalkan hal mana yang akan
memaksimalkan kebahagiaan dan menimialkan kepedihan (kesengsaraan, sakit) dalam
sebuah masyarakat. Juga dengan menggunakan ilmu perundang-undangan (the science
of legislation). Ilmu perundang-undangan berkaitan dengan penciptaan hukum yang
effectif dan adequate (setimbang) dengan kebutuhan masyarakat yang akan mendukung
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kebahagiaan dan kesenangan, sehingga pada
saat yang bersamaan akan mengurangi penderitaan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut, Bentham mengemukakan istilah Expositional


Jurisprudence (ilmu hukum yang memaparkan). Bidang disiplin ini akan mencoba
menjawab pertanyaan tentang apa itu hukum. Selain itu juga ada Censorial
Jurisprudence yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai apa hukum yang baik itu.

Bagi Bentham hukum hanya dapat diidenfikasi dan digambarkan berkaitan dengan
fakta-fakta hukum yang relevan, yang mengikutsertakan hal-hal yang berkenaan dengan
proses penciptaan hukum dan pelaksanaannya oleh orang-orang yang dalam posisi
memiliki kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Lalu apa hukum yang baik itu?
Hukum yang baik adalah hukum yang dapat memenuhi prinsip memaksimalkan
kebahagiaan dan meminimalkan rasa sakit dalam masyarakat. Tentunya hal ini dapat
dipenuhi hanya apabila pertanyaan pertama telah terjawab.

Teori Bentham merupakan teori hukum yang bersifat imperatif, yang di dalamnya
terdapat konsep-konsep kunci, yaitu: Sovereignty, Power dan Sanction dalam sebuah
masyarakat politik. Bentham mendefinisikan hukum:

1
Riwayat hidupnya disadur dari William Sweet, “Jeremy Bentham (1748-1832)”
http://www.iep.utm.edu/b/bentham.htm, diakses 30 Mei 2005, ditambah juga dari Charles W. Everett,
Jeremy Bentham (New York: Dell Publishing, 1966).

39
“Hukum dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari tanda-tanda yang
bersifat deklaratif dari keinginan yang diterima dan diadopsi oleh yang
berdaulat dalam negara, menyangkut pedoman sikap tindak yang harus
dilakukan dalam beberapa kasus oleh orang-orang tertentu atau kelas
tertentu, yang dalam hal ini ia menjadi subjek bagi kekuasaannya:
keinginan tersebut mempercayakan untuk pencapaiannya itu pada harapan
dari peristiwa-peristiwa tertentu yang hal ini dimaksudkan pernyataan
tersebut seharusnya atas kesempatan menjadi alat untuk melewati, dan
prospek dari yang dimaksudkan tersebut seharusnya bertindak menjadi
motif atas mereka yang bersikap tindak.”

Dalam hal ini Bentham memilah antara kebutuhan sosial dan keharusan logis. Bagi
Bentham penerapan/pelaksanaan hukum merupakan “ekstra legal”, walaupun ia tidak
mengenyampingkan penggunaan sanksi hukum. Bentham juga melihat bahwa
“Command” dan “Sovereign” merupakan hukum walalupun “Command” itu hanya
didukung oleh sanksi-sanksi moral dan agama. Selanjutnya, pandangan Bentham
membolehkan “motif yang memikat”, konsep penghargaan. Menurut dia, penghargaan
lebih efektif daripada penghukuman.

Menurut Bentham tidak ada hukum yang tidak bersifat imperatif maupun tidak permisif.
Seluruh hukum memerintahkan atau melarang atau membolehkan bentuk-bentuk
tertentu dari perilaku tertentu. Bentham menyadari, bahwa sifat imperatif dari hukum
sering disembunyikan, bahwa hukum diekspresikan secara deskritif, atau lebih jauh,
pengacuan terhadap penghukuman sering tersembunyi.

John Austin

Dilahirkan pada 1790, di Suffolk, dari keluarga kaum pedagang. Austin, seorang
berkewarganegaraan Inggris, yang pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan di Sisilia
dan Malta. Namun ia juga mempelajari hukum. Pada 1818, ia bekerja sebagai advokat.
Tapi ia tidak menjalaninya secara serius. Ia belakangan meninggalkan pekerjaan itu,
pindah menjadi seorang ilmuwan hukum. Pada 1826 hingga 1832, selama 6 tahun
lamanya, ia bekerja sebagai guru besar bidang jurisprudence di London University.
Sesaat setelah mengundurkan diri sebagai profesor, ia banyak menjabat jabatan-jabatan
penting di lembaga-lembaga kerajaan. Misalnya ia pernah bekerja di Criminal Law
Commission dan Royal Commissioner untuk Malta.

Walaupun ia seorang jurist Inggris, kuliah-kuliahnya di Bonn, Jerman, telah


memberikan bukti yang penting tentang pengaruh pemikiran politik dan hukum Eropa
Kontinental dalam diri Austin. Kumpulan kuliah ini yang kemudian diterbitkan sebagai
buku, berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Karyanya yang lain

40
adalah Lectures on Jurisprudence, diterbitkan atas upaya keras dari istrinya, Sarah,
pasca Austin tutup usia pada 1859.2

Austin adalah pemikir positivis yang meneruskan pemikiran Bentham walaupun karya
Bentham terbit lebih belakangan dibanding dengan Austin. Austin menjadi corong dari
ajaran Bentham. Austin mengembangkan ajaran Bentham. Ia menyebut dua istilah yang
dapat dibandingkan dengan istilah Benthamian expositional jurisprudence dan censorial
jurisprudence yaitu analytical jurisprudence dengan normative jurisprudence. Ilmu
hukum analitis memperhatikan fakta-fakta mendasar dari hukum, asal-usulnya,
keberadaan dan konsep yang melatarinya. Ilmu hukum normatif memfokuskan diri pada
pertanyaan tentang kebaikan dan keburukan dari hukum yang ada. Aspek positif ajaran
Austin adalah sangat menyolok dalam pemisahan secara kaku antara hukum dan moral.

Bagi Austin hukum merupakan perintah (Command) dari pihak yang berkuasa
(Sovereign) yang memiliki sanksi. Hukum adalah terpisah dari moral. Austin
bersikukuh pada orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu
command, yang dapat dianggap pada pijakan bahwa suatu command merupakan
pelaksanaan kehendak dari orang-orang tertentu.

Masalah yang paling utama dalam Jurisprudence atau Filsafat Hukum atau Ilmu
Hukum adalah hukum positif, hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh penguasa
politik untuk yang dikuasai secara politik.

Unsur penting dalam hukum adalah Command dan Sanction. Command diterjemahkan
sebagai Perintah. Command yang dipahami oleh Austin tercermin dalam kalimat ini:

Kalau anda mengekspresikan atau mengisyaratkan suatu hal yang harus


saya lakukan agar ada sebuah tindakan yang saya lakukan, dan anda akan
menghampiri saya dengan kemarahan jika saya tidak melakukan apa yang
anda harapkan dari ekspresi atau isyarat anda tersebut, maka ekspresi atau
isyarat tersebut merupakan Command.

Sanksi atau kepatuhan yang dipaksakan adalah “the evil” (tercermin dalam sikap dan
tindakan) yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi. Sanksi itu dapat
berbentuk bahasa verbal (ungkapan) dan bahasa non-verbal (gerak tubuh, bahasa tubuh
yang berifat psikologis).

2
Riwayat hidupnya disarikan dari “John Austin (1790 - 1859)” dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/John_Austin_%28legal_philosophy%29; dan Brian Bix, “John Austin,”
dalam http://plato.stanford.edu/entries/austin-john/, keduanya diakses 5 Oktober 2005.

41
Berkaitan dengan Sovereignty. Setiap hukum selalu dibuat oleh orang atau sekelompok
orang yang mempunyai sovereignty. Sovereignty dapat disejajarkan dengan Supreme.
Dapat diartikan sebagai Daulat. Superioritas atau sovereinitas atau supremitas atau
kedaulatan mempunyai karakteristik, pertama, masyarakat tertentu mematuhinya
sebagai yang tertinggi dan pembuat hukum. Kedua, yang besangkutan tidak bergantung
pada superioritas tertentu. Arti yang berdaulat sebagai pembuat hukum ada 2 (bicara
legitimasi):
a. Ia membuat hukum karena kekuasaannya sendiri. Contoh: Pembentuk UU di negara
modern yaitu eksekutif dan legislatif.
b. Ia membuat hukum karena ia meneruskan sesuatu hal sebagai hukum Contohnya
adalah: Negara teokrasi yang pemimpinnya melegitimasi bahwa hukum yang
diterapkan adalah hukum dari yang ilahi.

Yang penting bagi Austin adalah secara empiris “sesuatu yang berupa ungkapan dan
isyarat tadi” secara faktual (fakta sosial Durkheimian) dianggap sebagai hukum (ada
command dan sanksi). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa Sovereinitas adalah orang
atau sekelompok orang yang menentukan, tidak dapat kondisi patuh pada siapapun atau
apapun yang lebih tinggi darinya, menerima kepatuhan dari masyarakat atau
sekelompok masyarakat. Orang yang menguasai dan yang dikuasai dilingkupi dalam
masyarakat politis dan independen.

Austin mengungkapkan dua pembedaan besar berkaitan dengan hukum,


a. Hukum Tuhan: hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk makhluk ciptaannya yang
Austin sebut sebagai “hukum yang memang demikian disebut sebagai hukum”
b. Hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Ada dua kategori yaitu:
(i) Hukum Positif: hukum yang dibuat oleh manusia sebagai superior politik atau
dalam malaksanakan hak-hak yang diberikan oleh petinggi-petinggi politik
tersebut.
(ii) Moralitas Positif adalah hukum yang dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai
petinggi politik atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki. Hal ini
mencakup apa yang oleh Austin disebut sebagai hukum-hukum yang ada
karena analogi misalnya aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan
seseorang dalam kelompok tertentu.

Gagasan Austin mengenai hukum mengundang sejumlah kritik. Diantara kritik-kritik


tersebut disampaikan oleh Hart. Menurut Hart, akar dari kegagalan teori hukum dari
Austin adalah bahwa elemen-elemen dari pembentuk teori tersebut yaitu (misalnya): ide
mengenai tatanan, kepatuhan, kebiasaan dan ancaman, tidak dibahas oleh Austin.
Karena itu penjelasan hukum yang paling dasariah tidak ditemukan dalam penjelasan
Austin karena penjelasan tersebut merupakan kombinasi sintetik dari elemen-elemen
dasar tadi. Disamping itu, Hart pun tidak setuju pada Austin yang semata melihat
hukum hanya sebagai command, sanction dan sovereignty. ***

42

Anda mungkin juga menyukai