Anda di halaman 1dari 5

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi hipertensi berdasarkan hasil

pengukuran pada penduduk usia ≥18 tahun sebesar 34,1%. Tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%),
sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%). Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun
(31,6%), umur 45-54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%).
 
Dibandingkan dengan Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui
pengukuran pada umur ≥18 tahun sebesar 25,8 persen mengalami peningkatan sekitar 9,7% dalam
kurun waktu 5 tahun.
 
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM) Kemenkes RI, dr. Cut Putri
Arianie, M.H.Kes mengatakan bahwa hipertensi sekarang jadi masalah kesehatan utama, tidak hanya di
Indonesia tapi di dunia.
 
“Hipertensi ini merupakan salah satu pintu masuk atau faktor risiko penyakit seperti jantung, gagal
ginjal, diabetes, dan stroke,” kata Cut dalam acara Temu Media memperingati Hari Hipertensi Dunia
2019 di Gedung Kementerian Kesehatan RI, Jumat (17/5).   
 
Penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) merupakan masalah kesehatan utama di negara
maju maupun negara berkembang. Hipertensi menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia setiap
tahunnya.
 
Sekitar 1,13 Miliar orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis
hipertens berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2015.
 
Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap tahun, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada
1,5 Miliar orang yang terkena hipertensi, dan diperkirakan setiap tahunnya 9,4 juta orang meninggal
akibat hipertensi dan komplikasinya.
 
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyebutkan bahwa biaya pelayanan
hipertensi mengalami peningkatan setiap tahunnya yaitu pada tahun 2016 sebesar 2,8 Triliun rupiah,
tahun 2017 dan tahun 2018 sebesar 3 Triliun rupiah.
 
Dari prevalensi hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8% terdiagnosis hipertensi dan
13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak minum obat serta 32,3% tidak rutin minum obat. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya hipertensi
sehingga tidak mendapatkan pengobatan.
 
Alasan penderita hipertensi tidak minum obat antara lain karena penderita hipertensi merasa sehat
(59,8%), kunjungan tidak teratur ke fasyankes (31,3%), minum obat tradisional (14,5%), menggunakan
terapi lain (12,5%), lupa minum obat (11,5%), tidak mampu beli obat (8,1%), terdapat efek samping obat
(4,5%), dan obat hipertensi tidak tersedia di Fasyankes (2%).
Menurut Presiden Perhimpunan Indonesian Society of Hypertension (InaSH) dr. Tunggul D. Situmorang,
SpPD-KGH, hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit yang disebabkan oleh kekuatan
aliran darah yang berasal dari jantung sehingga mendorong dinding pembuluh darah atau arteri.

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang membebani masyarakat. Menurut pakar hipertensi
di Indonesia Prof. Dr. dr. Suhardjono, SpPD, K-GH, K-Ger, diperkirakan pada tahun 2025 hipertensi akan
diderita oleh 1,56 milyar penduduk dunia dan akan terus bertambah jika tidak ditanggulangi dengan
baik.

Hipertensi dapat terjadi pada siapa saja, termasuk pada generasi milenial, atau mereka yang berusia 18
hingga 39 tahun keatas pada tahun ini. Generasi milenial menempati 68,7 persen dari populasi (SUPAS
2015) dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, diharapkan dapat melakukan deteksi dini terhadap
penyakit hipertensi.

Menurut data Riskesdas 2018, sebanyak 34,1 persen masyarakat Indonesia dewasa umur 18 tahun ke
atas terkena hipertensi. Angka ini mengalami peningkatkan sebesar 7,6 persen dibanding dengan hasil
Riskesdas 2013 yaitu 26,5 persen.

Selain itu, prevalensi hipertensi naik dari 25,8 persen pada tahun 2013 menjadi 34,1 persen pada tahun
2018 lalu. Menurut data Riskesdas 2018, prevalensi hipertensi pada kelompok usia 18-39 tahun telah
mencapai angka 7,3 persen dan prevalensi pre-hipertensi pada kelompok usia tersebut mencapai angka
yang cukup tinggi, yaitu 23,4 persen.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Provinsi  Kalimantan Selatan  (Kalsel) tercatat sebagai


daerah yang warganya banyak menderita hipertensi dan menduduki peringkat tertinggi  di
Indonesia. Semua terjadi karena pola makan dan pola hidup warga Kalsel yang menyukai
makanan manis, berlemak, serta asin yang tidak diimbangi dengan sayur mayur serta olahraga
yang cukup.

BACA JUGA

 [INFO TERBARU] Glutera Bisa Sembuhkan Pasien Positif Covid, Mau Coba?
 Waspadai Risiko Kecacatan akibat Hipertensi
 Selain Konsumsi Obat, Lima Cara Ini Bisa Menurunkan Darah Tinggi
 Cegah Hipertensi Dengan Perilaku CERDIK
 Beragam Pilihan Makanan Sehat untuk Hipertensi
 Kenali, Penyebab Hipertensi yang Bisa Membahayakan Tubuh
Sponsored Content

Gadis ini hasilkan Rp30 juta sehari dengan metode simpel ini
Olymp Trade

Hobi aneh memberikannya Rp 900 juta per bulan!


wartabisnis

Ingin hidup 100 tahun? Bersihkan pembuluh darah! Inilah caranya


Naturatensi

Anak genius Jakarta buat serum, kulit 15 tahun lebih muda!


Lune

Hal itu diungkapkan, Kepala Seksi Pengamatan dan Penyakit Imunisasi dan Kesehatan Matra
Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan, dr Sri Wahyuni. Ia mengatakan Kalsel
tercatat sebagai daerah dengan penderita hipertensi tertinggi nasional. Semua terjadi karena pola
makan dan pola hidup yang salah.

“Kebanyakan menyukai makanan manis, berlemak, serta asin. Tapi tidak diimbangi dengan
mengonsumsi sayur mayur serta olahraga,” ujar Sri Wahyuni, Rabu (1/3).
Jadi tidak heran juga, kalau Kalsel juga tercatat sebagai daerah yang punya indek tingkat
kematian akibat stroke tertinggi nasional.

Berdasarkan data riset kesehatan dasar, beberapa penyakit tidak menular yang menjadi penyebab
kematian di Kalsel yaitu, diabetes melitus 2 persen dari jumlah penduduk, kemudian hipertensi
mencapai 30,8 persen, stroke 9,2 persen, kanker 1,6 persen, dan jantung koroner 0,5 persen.

Sedangkan data secara riil penderita hipertensi per kabupaten dan kota di Kalsel tahun 2015
yaitu, Kota Banjarmasin merupakan tertinggi penderita hipertensi yaitu 18.730 penderita, disusul
Tanah Laut sebanyak 14.121 orang penderita. 

Kemudian Kabupaten Banjar 7.738 orang penderita, Kotabaru 6.680 orang penderita, Banjarbaru
5.629 orang penderita, Tapin 3.085 orang, Barito Kuala 2.985 orang dan daerah lainnya berkisar
antara 1.000 hingga 2.500. Sedangkan stroke, untuk kota Banjarmasin sebanyak 283 orang dan
Banjarbaru sebanyak 191 orang.

Menurut Sri Wahyuni,  hipertensi atau tekananan darah tinggi merupakan gangguan pada sistem
peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu
melebihi 140 / 90 mmHg.

“Ini semua karena pola makan yang salah. Seperti kebiasaan  suka makanan manis, suka makan
dodol, suka makan bersantan juga kadang ditambah  ikan asin,” ujarnya.  
Upaya dinas  untuk menurunkan angka angka itu telah dilakukan, ujar Sri Wahyuni, dengan
melatih seluruh tenaga puskesmas untuk menjadi tenaga tim penyuluhan terpadu, kemudian
membangun pusat pelayanan terpadu (Pusbindo) di seluruh desa. 

Dari sekitar 2 ribu desa lebih kini sebanyak 269 desa di Kalsel telah ada Posbindu. “Tahun 2017
ditargetkan ditambah lebih banyak,”ujarnya.  Di Pusbindo dilengkapi dengan peralatan
pendeteksi kesehatan masyarakat dengan tujuan masyarakat tahu cepat dengan alat deteksi ini
dan bisa  lebih cepat ditangani. (*)

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan Muhammad Muslim mengatakan, ada


beberapa hal yang menjadi pemicu seseorang terserang hipertensi, di antaranya pola makan yang
tidak seimbang, merokok, mengkonsumi minum–minuman beralkohol, ditambah lagi dengan
kurangnya mengkonsumsi sayur dan buah.

“Di mana dari hasil survei Riskesdas tahun 2018 menunjukkan, bahwa tingkat kurangnya
konsumsi sayuran dan buah-buahan di Kalsel mencapai 98 persen lebih,” kata Muslim usai
jumpa pers di Aula Dinas Kesehatan Provinsi Kalsel, Rabu (6/11/2019).

Ia menambahkan, meski secara nasional angka konsumsi tersebut juga rendah yakni 95 persen,
namun tetap saja angka Kalimantan Selatan berada di atas rata-rata nasional.

Badan Kesehatan Dunia, WHO menyebut, peningkatan jumlah penderita penyakit hipertensi
setiap tahunnya terjadi di seluruh dunia dan tidak hanya di Indonesia saja.

Baca Juga :   Polda Kalsel Musnahkan Barang Bukti 5,5 Kilogram Sabu

Selain karena faktor genetik, hipertensi juga dapat dipicu dari perilaku gaya hidup serta pola
makan tidak sehat, yakni mengonsumsi makanan dengan kadar garam tinggi, stress, malas
bergerak dan obesitas.

Disamping itu, lanjutnya, ditambah dengan saat ini semua serba dimudahkan oleh gaya hidup
yang dipengaruhi tekhnologi sehingga aktivitas fisik tidak terlalu banyak.

“Untuk itu, harus ada perubahan pola dengan mendorong di kabupaten/kota memiliki lokasi
untuk beraktivitas fisik seperti car free day dan memberi kesempatan orang-orang untuk
beraktivitas fisik lebih. Bahkan di kantor-kantor diatur sistem transportasi untuk posisi tempat
parkir memberi akses agar kita berjalan, untuk pengguna lift agar tidak menggunakan lift setiap
saat, ada satu hari naik tangga,” pungkasnya.

Saat ini, di Kalsel penderita hipertensi tertinggi ada di kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan
terendah terdapat di Kabupaten Tanah Bumbu.

Anda mungkin juga menyukai