Anda di halaman 1dari 11

PHOTO SELFI DAN RESUME

KEWARGANEGARAAN
Pertemuan 9 (7/10/2020)

OLEH

MORRY DOFFI PEBRIANAS


2040107
AKSELERASI 2020

POLITEKNIK AKA
BOGOR
2020
UPAYA PENEGAKAN HUKUM
Pengertian Hukum
Hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi bagi pelanggarnya.
Makna sebagai Negara Hukum
1. NKRI
2. Berdasarkan Atas Hukum Tidak Berdasarkan Kekuasaan
3. Pemerintah Wajib Mengadakan atau Memelihara Ketertiban Masyarakat
4. Berlaku Beberapa Prinsip
Prinsip - Prinsip Negara Hukum
 Prinsip The Rule 0f Law
 Prinsip Legalitas
 Prinsip Equality before The Law
 Prinsip Equality Justice Under Law
Ciri / Sifat : Pada Negara Hukum
Tujuan: Menjamin Kepastian Hukum
Konsep negara hukum material yang dikembangkan di abad ini sedikitnya memiliki
sejumlah ciri yang melekat pada negara hukum atau Rechtsstaat, yaitu sebagai
berikut; a. HAM terjamin oleh undang-undang
b. Supremasi hukum
c. Pembagian kekuasaan ( Trias Politika) demi kepastian hukum
d. Kesamaan kedudukan di depan hukum
e. Peradilan administrasi dalam perselisihan
f. Kebebasan menyatakan pendapat, bersikap dan berorganisasi
g. Pemilihan umum yang bebas
h. Badan kehakimanyang bebas dan tidak memihak
Prinsip-Prinsip Negara Hukum Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
 supremasi hukum,
 persamaan dalam hukum,
 asas legalitas,
 pembatasan kekuasaan,
 organ eksekutif yang independent,
 peradilan bebas dan tidak memihak.
 peradilan tata usaha negara,
 peradilan tata negara,
 perlindungan hak asasi manusia,
 bersifat demokratis,
 sarana untuk mewujudkan tujuan negara,
 transparansi dan kontrol sosial.
5 Pilar Hukum Berjalan dengan Baik :
1. Instrumen Hukum yang Baik
2. Aparat Penegak Hukum yang Tangguh
3. Peralatan yang Memadai
4. Masyarakat yang Sadar Hukum
5. Birokrasi yang Mendukun
Menurut Jimly Asshiddiqie ada tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu :
o institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya,
o budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya, dan
o perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum
materielnya maupun hukum acaranya.
Masalah Penegakan Hukum
 Kesenjangan antara hukum normatif (das sollen) dan hukum secara sosiologis
(das sein)
 Kesenjangan antara perilaku masyarakat yang seharusnya dengan perilaku
hukum masyarakat senyatanya
 Perbedaan antara law in the book dan law in action
Perbedaan antara law in the book dengan law in action
 Apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah diundangkan
mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada waktu itu
 Apakah yang dikatakan pengadilan itu sama dengan apa yang dilakukan
 Apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama
dengan efek peraturan itu dalam kenyataan
Hukum
Berfungsi sebagai sarana kontrol sosial
Bertujuan menjaga ketertiban, keseimbangan sosial, kepentingan masyarakat
Faktor yang ada di dalam sistem hukum ;
o hukum,
o penegak hukum,
o sarana dan prasarana.
Faktor yang ada di luar sistem hukum;
o kesadaran hukum masyarakat,
o perkembangan masyarakat,
o kebudayaan,
o politik/penguasa
Faktor hukum/perundang-undangan:
o Konsistensi asas-asas,
o Proses perumusan,
o Tingkat kemampuan operasionalisasi hukum,
o Perlukah mempertahankan UU yang tidak sejalan dengan rasa keadilan.
Faktor Penegak Hukum:
o Kualitas penegak hukum profisional atau tidak,
o Lemahnya wawasan pemikiran,
o Minimnya ketrampilan untuk bekerja,
o Rendahnya motivasi kerja,
o Rusaknya moralitas personal aparat,
o Tingkat pendidikan yang rendah (Polisi)
o Sangat sedikit program pengembangan SDM di kalangan organisasi
penegakan hukum.
Faktor sarana dan prasarana:
o Harus dilayani alat teknologi modern belum memadai untuk sosialisai hukum,
o Ketersediaan sarana/prasarana tempat menjalani pidana,
o Tiadanya keseimbangan antara fasilitas pengadministrasian dengan jumlah
orang yang harus dilayani,
o Fasilitas, peralatan operasional dan finansial minim.
Faktor kesadaran hukum masyarakat:
o Persepsi masyarakat tentang hukum, ketertiban, fungsi penegak hukum
berbeda dengan hukum modern,
o Kesadaran hukum masyarakat masih rendah disemua strata,
o Banyaknya tindakan main hakim sendiri.
Faktor perubahan sosial:
o Perubahan tata nilai merubah tata kelakuan dalam interaksi,
o Benturan nilai lama dengan nilai baru menimbulkan dualisme nilai dalam
masyarakat,
o Ketidakserasian nilai menimbulkan kerancuan nilai dan ketidakpastian yang
merangsang aparat penegak hukum melakukan tindakan patologis.
Faktor Politik/Penguasa Negara:
o Campur tangan pemerintah dan kelompok kepentingan dalam usaha
penegakan hukum,
o Intervensi pihak ekskutif atau lembaga ekstra yudisial dalam proses perkara
yang sedang berlangsung membatasi kebebasan hakim memeriksa dan
mengadili perkara,
o Terjadi dalam peradilan kasus kejahatan politik.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan belum menjamin pelaksanaan
penegakan hukum yang efektif, karena;
 Substansi peraturan perundang-undangan kurang lengkap dan masih ada
kelemahan, sehingga memberikan peluang penyalahgunaan wewenang oleh
aparatur penegak hukum.
 Substansi tumpang tindih satu sama lain, sehingga menimbulkan perbedaan
penafsiran antar aparatur penegak hukum, memberikan peluang untuk
memandulkan peraturan perundang-undangan dalam kasus konflik
kepentingan.
 Menempatkan kepentingan pemerintah terlalu besar melebihi kepentingan
masyarakat luas.
 Masih belum ada ketegasan mengenai perbedaan antara fungsi ekskutif,
yudikatif dan legislatif, perlu pengkajian yang sangat mendalam.
 Kesadaran dan tanggung jawab berbangsa dan bernegara dalam menghasilkan
produk peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum masih lemah.
Menuju Masa Depan Pembangunan dan Penegakan Hukum di Indonesia
Menata kembali sistem kekuasaan kehakiman
 Sistem legalisasi nasional
 Sistem manajemen penegakan hukum yang aspiratif, produktif dan
berwawasan global
TUGAS:
 Kasus
Berkaca dari Kasus Djoko Tjandra, Mengapa Penegak Hukum Justru Melanggar
Hukum?
 Permasalahan
Djoko Tjandra diketahui merupakan satu dari sejumlah nama besar yang terlibat
dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. Direktur PT Era Giat
Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan
Moekiat. Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan
negara Rp 940 miliar. Jaksa Ridwan Moekiat juga menyebutkan soal adanya
pertemuan 11 Februari 1999 di Hotel Mulia yang dipimpin AA Baramuli yang
membicarakan soal klaim Bank Bali. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang diketui oleh R Soenarto memutuskan untuk tidak menerima
dakwaan jaksa itu. Pemberitaan Harian Kompas, 7 Maret 2020, menyebutkan,
alasannya, soal cessie bukan perbuatan pidana melainkan masalah perdata. Dengan
demikian, Djoko yang akhirnya terbebas dari dakwaan telah melakukan tindak pidana
korupsi ini tidak bisa lagi dikenai tahanan kota.

Atas putusan itu, JPU Moekiat mengajukan perlawanan (verset) ke Pengadilan


Tinggi (PT) DKI Jakarta. Menurut Panitera PN Jakarta Selatan M Jusuf, PT DKI
Jakarta tanggal 31 Maret 2000 memutuskan, dakwaan JPU dibenarkan dan
pemeriksaan perkara Joko Tjandra dilanjutkan. Oleh karena itu, pemeriksaan perkara
dilanjutkan kembali dengan acara pemeriksaan saksi pada 1 Mei 2000, seperti
dibertiakan Harian Kompas, 2 Mei 2000. Dalam sidang itu, JPU Moekiat
menghadirkan empat saksi, yaitu dua Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Iwan
Ridwan Prawiranata dan Subarjo Joyosumarto serta dua staf BI, Dragon Lisan dan
Adnan Djuanda. Namun, Djoko kembali lolos dari jerat hukum. Majelis hakim
menilai kasus Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra bukan merupakan kasus
pidana melainkan perdata. Dalam putusan itu, disebutkan bahwa dakwaan JPU yang
menyatakan bahwa Djoko telah mempengaruhi para pejabat otoritas moneter guna
memperlancar pencairan klaim Bank Bali pada Bank Dagang Nasional Indonesia
(BDNI), sama sekali tidak terbukti. Berdasar keterangan para saksi dari kalangan
otoritas moneter, dalam hal ini BI dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) di persidangan, tidak ada satu pun yang menyatakan telah dipengaruhi oleh
Djoko. Sementara mengenai pertemuan tanggal 11 Februari 1999 di Hotel Mulia,
yang disebut adanya usaha Djoko untuk memperlancar pencairan klaim Bank Bali,
tidak terbukti mengingat hanya satu orang saksi, yaitu Firman Soetjahya, dikutip dari
Harian Kompas, 19 Agustus 2000. Atas putusan itu, Jaksa Agung Marzuki
Darusman menyatakan, dirinya tidak menduga Djoko akhirnya dinyatakan bebas dari
tuntutan hukum. "Putusan itu di luar dugaan. Sama sekali di luar dugaan. Tetapi ini
tak menghentikan proses hukum, karena belum selesai. Karena itu, Kejaksaan akan
melanjutkannya dengan kasasi," ujar Marzuki. Dalam kasasi itu, jaksa juga
menguraikan kelemahan putusan majelis hakim yang menilai perjanjian cessei yang
dituduhkan kepada Djoko adalah murni perdata. Namun, lagi-lagi majelis hakim
menolak kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Agung itu.

Pada 15 Oktober 2008, jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA terkait


dengan terdakwa Djoko yang dinilai memperlihatkan kekeliruan yang nyata. Menurut
jaksa, putusan majelis kasasi MA terhadap Djoko, Pande, dan Syahril berbeda-beda.
Padahal, ketiganya diadili untuk perkara yang sama, dalam berkas terpisah. Harian
Kompas, 12 Juni 2009, memberitakan, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman
terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-
masing dengan pidana penjara selama dua tahun. Mereka terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak
tagih piutang (cessie) Bank Bali. "MA juga memerintahkan dana yang disimpan
dalam rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas
untuk negara," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi. Putusan dijatuhkan
majelis peninjauan kembali yang diketuai Djoko Sarwoko, dengan anggota Komariah
E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, I Made Tara, dan Suwardi. MA juga
memerintahkan agar dana yang disimpan di rekening dana penampungan atau Bank
Bali sebesar Rp 546 miliar dikembalikan kepada negara.

Akan tetapi, Djoko diketahui telah melarikan diri ke Papua Nugini sebelum
dieksekusi. Harian Kompas, 20 Juni 2009 memberitakan, kaburnya Djoko diduga
karena bocornya putusan peninjauan kembali oleh MA. Ketua MA Harifin A Tumpa
mengakui kemungkinan bocornya informasi putusan. Namun, informasi yang
dibocorkan belum tentu akurat. Harifin menyatakan, tidak mungkin bocoran
informasi itu berasal dari majelis hakim yang menangani peninjauan kembali Joko
Tjandra. Pada 2012, Djoko diketahui telah berpindah kewarganegaraan menjadi
warga Papua Nugini. "Yang bersangkutan (Djoko S Tjandra) berada di luar negeri
dan pindah kewarganegaraan. Tentu akan ditindaklanjuti proses meminta
pertanggungjawaban yang bersangkutan terkait dengan kasus yang sekarang
dihadapinya," ujar Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, dilansir dari pemberitaan
Harian Kompas, 19 Juli 2012.

Bahkan, menyeruaknya kasus Djoko Tjandra baru-baru ini telah menyeret


sejumlah nama, termasuk para penegak hukum. Terbaru, tiga jenderal polisi diketahui
dicopot dari jabatannya karena diduga terlibat dalam kasus ini. Selain itu, sempat pula
ramai tentang sebuah utas di lini masa Twitter tentang pihak-pihak yang diduga
membantu pelarian Djoko Tjandra, termasuk Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan Anang Supriatna. Hingga kini, ada 6 tersangka yang telah ditetapkan sejauh
ini dalam tiga kasus Djoko Tjandra. Mereka adalah Anita Kolopaking, Brigjen
Prasetijo, dan Djoko Tjandra sebagai tersangka kasus surat jalan palsu. Kemudian,
Irjen Napoleon, tersangka berinisial TS, dan Djoko Tjandra dalam kasus penghapusan
red notice. Terakhir, Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka dalam kasus
dugaan suap terkait kasus Djoko Tjandra.
Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/18/204500865/berkaca-dari-
kasus-djoko-tjandra-mengapa-penegak-hukum-justru-melanggar?page=all

 Solusi

Perlunya perbaikan moral terhadap seluruh warga Negara Indonesia dan Aparatur
penegak hukum karena perbaikan moral merupakan langkah utama untuk mengatasi
masalah penegakkan hukum sehingga mempunyai kredibilitas tinggi. Hakim
diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai
keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Dengan ini diharapkan tidak
ada keputusan yang kontroversial dan memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuk yang pa-ling kaku, arogan , hitam
putih. Akan tetapi harus berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti
hukum dalam konteks perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang
ditegakkan yang hanya berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan
menghasilkan putusan-putusan yang kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan
yang sebenarnya. Hakim sebagai pemberi putusan seharusnya tidak menjadi corong
undang-undang yang hanya mengikuti peraturan perundang-undangan semata tanpa
memperdulikan rasa keadilan. Hakim seharusnya mengikuti perundang-undangan
dengan mementingkan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Sehingga keputusannya
dapat memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya. Komisi Yudisial sebagai komisi
yang dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim seharusnya memberi peringatan dan
sanksi yang tegas kepada hakim yang memberikan putusan yang controversial, tidak
memenuhi rasa keadilan dan yang melanggar kode etik. nMeningkatkan pembinaan
integritas, kemampuan atau ketrampilan dan ketertiban serta kesadaran hukum dari
pelaksana penegak hukum tentang tugas dan tanggungjawabnya. Dalam
melaksanakan tugasnya penegak hukum benar-benar melaksanakan asas persamaan
hak didalam hukum bagi setiap anggota masyarakat. Pemberian sanksi yang tegas
kepada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas dengan semestinya.
Photo Selfi kuliah Online

Anda mungkin juga menyukai