Anda di halaman 1dari 18

NOTA KEBERATAN

(EKSEPSI)

Dalam Perkara Pidana


Atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
No. Reg.Perk PDS : 16/DENPA/11/2017

Atas Nama Terdakwa


MINHADI NOER SJAMSU

Diajukan oleh tim Penasehat Hukum:


Budiman Darwin E. Siagian, SH., MM., CLA.
Hendri David, SH., CLA.

Disampaikan pada
Sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar pada Pengadilan Negeri Denpasar
Hari Selasa, 13 Februari 2018

DIDAKWA :
• PRIMAIR : Sebagaimana di atur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo.
Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
• SUBSIDAIR : Sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 3 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

1
Kepada YTH,
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pada Pengadilan Negeri Denpasar
Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Di,-
Denpasar

Perihal : KEBERATAN (EKSEPSI) Terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor


: Reg.Perk PDS : 16/DENPA/11/2017 tanggal 02 Januari 2018 atas nama
Terdakwa MINHADI NOER SJAMSU

A. PENDAHULUAN

Majelis Hakim Yang Terhormat,


Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Saudara Terdakwa dan hadirin yang kami hormati
Serta Sidang yang kami muliakan
Terlebih dahulu perkenankan kami selaku Tim Penasehat Hukum Terdakwa
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Januari 2018 No. : 007/PID/I/2017
bertindak untuk dan atas nama terdakwa MINHADI NOER SJAMSU, pada
kesempatan ini kami memanjatkan segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bahwa dengan ini kami selaku penasehat hukum terdakwa menyampaikan
terimakasih kepada majelis hakim atas kesempatan yang diberikan untuk
mengajukan Nota Keberatan (Eksepsi) terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum
dalam perkara atas nama MINHADI NOER SJAMSU, Eksepsi ini kami sampaikan
dengan pertimbangan bahwa ada hal-hal yang prinsipal yang perlu kami sampaikan
berkaitan demi tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan dan demi memastikan
terpenuhinya keadilan yang menjadi Hak Asasi Manusia, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 7 Deklarasi Universal HAM (DUHAM), Pasal 14 (1) Konvenan Hak Sipil
dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UndangUndang No. 12 tahun 2005
tentang Pengesahan Internasional Convenant on Civel and Political Rights (Konvenan
Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik), pasal 27 (1), pasal 28 D (1) UUD
1945, pasal 7 dan pasal 8 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia,
Pasal 17 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana
semua orang adalah sama dimuka hukum dan tanpa diskriminasi apapun serta
berhak atas perlindungan hukum yang sama.
2
Pengajuan Eksepsi atau keberatan ini juga didasarkan pada hak Terdakwa
sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang mengatur sebagai berikut:
"Dalam hal Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa
Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara atau dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi
kesempatan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menyatakan pendapatnya
Hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan".
Pengajuan eksepsi yang kami buat ini, sama sekali tidak mengurangi rasa hormat
kami kepada Jaksa Penuntut Umum yang sedang melaksanakan fungsi dan juga
pekerjaanya, serta juga pengajuan eksepsi ini tidak semata–mata mencari kesalahan
dari dakwaan jaksa penuntut umum ataupun menyanggah secara apriori dari
materi ataupun formal dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum. Namun
ada hal yang sangat fundamental untuk dapat diketahui Majelis Hakim dan saudara
Jaksa Penuntut Umum demi tegaknya keadilan sebagaimana semboyan yang selalu
kita junjung bersama selaku penegak hukum yakni Fiat Justitia Ruat Caelum.
Pengajuan eksepsi ini bukan untuk memperlambat jalannya proses peradilan ini,
sebagaimana disebutkan dalam Asas Trilogi peradilan. Namun sebagaimana
disebutkan diatas, bahwa pembuatan dari eksepsi ini mempunyai makna serta
tujuan sebagai Penyeimbang dari Surat Dakwaan yang disusun dan dibacakan dalam
sidang. Kami selaku penasihat hukum terdakwa percaya bahwa majelis hakim akan
mempertimbangkan dan mencermati segala masalah hukum tersebut, sehingga
dalam keberatan ini kami mencoba untuk menggugah hati nurani majelis hakim agar
tidak semata–mata melihat permasalahan ini dari kacamata atau sudut pandang
yuridis atau hukum positif yang ada semata namun menekankan nilai nilai keadilan,
dimana pameo yang ada saat ini bahwa seorang tersangka tindak pidana korupsi
dianggap sudah pasti bersalah tanpa melihat pelaku sebagai korban kongkalikong
atau korban administratif atas kesalahan orang lain.
Sebelum melangkah pada proses yang lebih jauh lagi maka perkenankan kami
selaku kuasa hukum untuk memberikan suatu adagium yang mungkin bisa
dijadikan salah satu pertimbangan majelis hakim yaitu “dakwaan merupakan
unsur penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam
surat itu hakim akan memeriksa surat itu”.
Dalam hal ini maka Penuntut Umum selaku penyusun Surat Dakwaan harus
mengetahui dan memahami benar kronologi peristiwa yang menjadi fakta dakwaan,
apakah sudah cukup berdasar untuk dapat dilanjutkan ke tahap pengadilan ataukah
fakta tersebut tidak seharusnya diteruskan karena memang secara materiil bukan
merupakan tindak pidana. Salah satu fungsi hukum adalah menjamin agar tugas
Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat bisa terlaksana dengan baik dan
mewujudkan keadilan yang seadil adilnya dan hukum menjadi panglima untuk
mewujudkan sebuah kebenaran dan keadilan. Melalui uraian ini kami mengajak
majelis hakim yang terhormat dan jaksa penunutut umum bisa melihat
3
permasalahan secara menyeluruh (komprehensif) dan tidak terburu-buru serta
bijak, agar dapat sepenuhnya menilai ulang MINHADI NOER SJAMSU, sebagai
terdakwa dalam perkara ini dan kami selaku kuasa hukum juga memohon kepada
Majelis Hakim dalam Perkara ini untuk memberikan keadilan hukum yang seadil
adilnya.

B. KEBERATAN TERHADAP SURAT DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM


Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Saudara Terdakwa dan hadirin yang kami hormati
Serta Sidang yang kami muliakan
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa “pada dasarnya alasan yang dapat dijadikan
dasar hukum mengajukan keberatan agar surat dakwaan dibatalkan, apabila surat
dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 atau melanggar ketentuan Pasal 144
ayat (2) dan (3) KUHAP”. (Pembahasan dan penerapan KUHAP, pustaka Kartini,
Jakarta, 1985, hlm. 663-664).
Berdasarkan Surat Dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum maka
menurut hemat kami ada beberapa hal yang perlu ditanggapi secara saksama
mengingat di dalam Surat dakwaan tersebut terdapat berbagai kejanggalan dan
ketidakjelasan yang menyebabkan kami mengajukan keberatan.
Berdasarkan uraian di atas kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa ingin
mengajukan keberatan terhadap Surat Dakwaan yang telah didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan alasan sebagai berikut :
I. JAKSA PENUNTUT UMUM TELAH SALAH DALAM MENERAPKAN PASAL 84
AYAT (2) KUHAP TENTANG WEWENANG MENGADILI TERDAKWA DI
PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Bahwa dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum di halaman pertama telah
menyebutkan sebagai berikut :
“…….., pada hari dan tanggal yang tidak dapat diingat lagi secara pasti dalam
bulan September 2015 atau setidak-tidaknya dalam kurun waktu tahun 2015,
yang berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (2) KUHAP bahwa Terdakwa
ditahan di Lapas Kerobokan Denpasar dan sebagian besar saksi yang dipanggil
bertempat tinggal di Denpasar, dengan demikian Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar berwenang mengadili perkara
Terdakwa….”
Bahwa dalam penjelasan M. Yahya Harahap pada bukunya yang berjudul
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 96), menjelaskan
bahwa pada dasarnya masalah sengketa kewenangan mengadili yang diatur

4
pada Bagian Kedua, Bab XVI adalah kewenangan mengadili secara relatif.
Artinya, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang
mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan
mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif,
diatur dalam Bagian Kedua, Bab X, Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal 86 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Bertitik
tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam ketiga pasal tersebut, ada
beberapa kriteria yang bisa dipergunakan Pengadilan Negeri sebagai tolak ukur
untuk menguji kewenangannya mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut
umum kepadanya. Kriteria-kriteria yang dimaksud antara lain adalah:
a. Tindak pidana dilakukan (locus delicti)
Bahwa dalam Pengadaan Lanjutan Pembangunan Kapal Inka Mina 30 GT
Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun 2014, Jaksa
Penuntut Umum telah salah mengadili Terdakwa di Pengadilan Negeri
Denpasar, dikarenakan perbuatan yang diduga terjadinya tindak pidana
yang dilakukan oleh Terdakawa di luar wilayah hukumnya yaitu kedudukan
Terdakwa ada di Jakarta.
Bahwa kontrak pada Pengadaan Lanjutan Pembangunan Kapal Inka Mina
30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun
2014 ditanda tangani di Jakarta tanggal 18 September 2015 antara
Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan yang di wakili oleh
Terdakwa MINHADI NOER SJAMSU dengan CV. FUAD PRATAMA
PERKASA yang diwakili oleh FUAD BACHTIAR.
Bahwa dalam pengerjaan Pengadaan Lanjutan Pembangunan Kapal Inka
Mina 30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun
2014 dimana pelaksana yaitu CV Fuad Pratama Perkasa yang beralamat Jl.
Raya Pendidikan Blok G5/5 Makassar untuk pengerjaannya menggunakan
galangan kapal milik PT F1 Perkasa yang berlokasi di Banyuwangi – Jawa
Timur. Berdasarkan Surat Perjanjian/Kontrak Nomor :
2801/PL.110/D2.KPA/IX/2015 tanggal 18 September 2015 dimana salah
satu Syarat Kualifikasi (Summary Report) adalah Surat pernyataan
sanggup mengerjakan kelanjutan pembangunan kapal di galangan kapal
di Banyuwangi – Jawa Timur untuk Inkamina Bali.
Bahwa jelas sudah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar pada
Pengadilan Negeri Denpasar tidak berwenang mengadili karena diluar
wilayah hukumnya, oleh karena itu dakwaan terhadap MINHADI NOER
SJAMSU tidak dapat diterima atau batal demi hukum.
Bahwa menurut M. Yahya Harahap (ibid hal. 96-97), inilah asas atau kriteria
yang pertama dan utama. Pengadilan Negeri berwenang mengadili setiap
perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

5
“Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak
pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”
Asas atau kriteria yang dipergunakan pada pasal ini adalah “tempat tindak
pidana dilakukan” atau disebut locus delicti. M. Yahya Harahap mengatakan
bahwa prinsip dimaksud didasarkan atas tempat terjadinya tindak pidana.
Di tempat mana dilakukan tindak pidana atau di daerah hukum Pengadilan
Negeri mana dilakukan tindak pidana, Pengadilan Negeri tersebut yang
berwenang mengadili. Asas ini merupakan ketentuan umum dalam
menentukan kewenangan relatif. Yang pertama-tama diteliti menentukan
berwenang tidaknya memeriksa suatu perkara yang dilimpahkan penuntut
umum berdasar “tempat terjadinya” tindak pidana.”

b. Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar


saksi yang dipanggil
Bahwa Jaksa Pununtut Umum telah salah menerapkan Pasal 84 ayat (2)
mengenai wewenang mengadili berdasarkan sebagian besar saksi, karena
berdasarkan Berkas Perkara Nomor : BP-05/Fd.1/05/2017 dimana saksi-
saksi yang di periksa paling banyak bertempat tinggal diluar Bali, berikut
penjelasannya :
No. Nama Saksi Alamat Tempat Tinggal Saksi
1 Made Wijaya Kusuma, ST Perum Griya Nambi Permai 2/B Jl. Patih
Nambi Kel. Ubung Kaja, Denpasar Utara –
Bali
2 Ni Nyoman Trisnawati, ST Jl. Kaswari No. 31 Denpasar – Bali
3 I Gusti Ngurah Dwi Jl. Sentanu 1 No. 10 Denpasar – Bali
Suwariantha, SST.M.AP
4 Gede Ogiana ST Jl. Batu Intan Kab Gianyar – Bali
5 Ir. I Nyoman Artabudi M.Si Jl. Drupadi VI No. 12 Denpasar Timur – Bali
6 Drs. I Nyoman Sutadi Jl. Sedap Malam No. 15 Denpasar Timur –
Bali
7 Dr. Ir. Gellwynn D. H. Jl. Taman Lebak Bulus 1 Cilandak Jakarta
Yusuf MSc Selatan – Jakarta
8 L. Narmoko Prasmadji SH Jl. Batu 1 Kec. Pasar Minggu Jakarta Selatan
– Jakarta
9 Ir. Ida Kusuma Jl. Bumi Pratama Timur Kramat Jati –
Wardhaningsih Jakarta

6
10 Ir. Ratnawita Jl. Pangrango 5 Kec. Cibinong – Bogor Jawa
Barat
11 Agus Wahyu Santoso, M.T Perum. Kemang Swatama Depok – Jawa
Barat
12 Moch Idmillah, ST Ponokawan Kab. Sidoarjo Prov. Jawa Timur
13 Fuad Bachtiar Bau Agiel Jl. Raya Pendidikan No. 5 Makassar
14 Ngadimin, S.Sos Jl. Dadap 5 Kec. Bojong Gede Kab. Bogor –
Jawa Barat
15 Banar Ujo Wicaksono Perum. Ciputat Baru Tangerang Selatan
16 Rudi Yuswara Jl. Puri Kartika No. 22 Kodya Tangerang –
Jawa Barat
17 Wasisanto Jl. Cendana 2 No. 17 Matraman Jakarta
Timur – Jakarta
18 Hasan El Fakhri Bogor Baru Blok D5 No. 4 Bogor – Jawa
Barat
19 Mat Aris Jl. Warga Indah 2/52 Kab Kota Tangerang
Banten – Jawa Barat
20 I Wayan Sabar Br. Kaja Kel Serangan Denpasar – Bali

Bahwa jelas dan nyata tidak terbantahkan dimana para saksi sebagian besar
bertempat tinggal dari 20 (dua puluh) jumlah saksi 13 (tiga belas) diataranya
bertempat tinggal di JADEBOTABEK (Jakarta Depok Bogor Tangerang
Bekasi). Oleh karena itu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Denpasar tidak berwenang mengadili sebagaimana disebutkan dalam
dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka dakwaan terhadap MINHADI NOER
SJAMSU tidak dapat diterima atau batal demi hukum

M. Yahya Harahap (Ibid, hal. 99-100) menjelaskan bahwa asas kedua


menentukan kewenangan relatif berdasar tempat tinggal sebagian besar saksi.
Jika saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih
dekat dengan suatu Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri tersebut yang
paling berwenang memeriksa dan mengadili. Asas ini diatur dalam Pasal 84
ayat (2) KUHAP (dan sekaligus mengecualikan atau menyingkirkan asas locus
delicti) yang berbunyi:
“Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya
berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
7
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri
itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya
tindak pidana itu dilakukan.”
Bahwa lebih lanjut, M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa penerapan asas
tempat kediaman, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
1) Apabila terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan
Negeri di mana sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat
tinggal.
Agar asas ini dapat diterapkan, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi:
a. Terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
b. Sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah
hukum pengadilan negeri tersebut.
Dengan dipenuhinya kedua syarat tersebut, kewenangan relatif mengadili
terdakwa atau memeriksa perkara, beralih dari Pengadilan Negeri tempat
di mana peristiwa pidana terjadi ke Pengadilan Negeri tempat di mana
terdakwa bertempat tinggal.
2) Tempat kediaman terakhir terdakwa
Syarat yang harus dipenuhi:
a. Terdakwa berkediaman terakhir di daerah hukum suatu Pengadilan
Negeri.
b. Sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di
daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.
Jadi, apabila terdakwa melakukan tindak pidana di suatu daerah hukum
Pengadilan Negeri, akan tetapi ternyata terdakwa berkediaman terakhir di
daerah hukum Pengadilan Negeri yang lain. Demikian pula, saksi-saksi yang
hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan
daerah hukum Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa, asas
locus delicti dapat dikesampingkan, dan yang berwenang mengadili ialah
Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa.

II. TIDAK MENJALANKAN AMANAT KUHAP PASAL 146 AYAT (1)


Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 146 ayat (1) KUHAP, yang mengatakan :
”Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang
memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil
yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya
tiga hari sebelum sidang dimulai”.

8
Dalam eksepsi kami ini, yang kami ajukan keberatan adalah menyangkut hak
terdakawa yaitu surat pemanggilan, yang faktanya sampai hari ini disidangkan
terdakwa belum pernah menerima surat pemanggilan sidang oleh Jaksa
Penuntut Umum, oleh karena itu berkaitan dengan persyaratan formil
sebagaimana diharuskan Pasal 146 ayat (1) KUHAP, khususnya yang
mensyaratkan bahwa surat panggilan harus diterima oleh terdakwa selambat-
lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Bahwa Jaksa Penuntut Umum telah lalai dan tidak cermat cenderung
mengabaikan peraturan yang telah ditegaskan dalam KUHAP pasal 146 ayat (1),
sehingga merugikan dan menghilangkan Hak sebagai Terdakwa untuk
diberitahukan tiga hari sebelum sidang.

III. SURAT DAKWAAN TIDAK CERMAT, KABUR DAN TIDAK RINCI DALAM
MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA
Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam membuat dakwaannya tidak cermat dan
kabur, sebagaimana disebutkan dalam dakwaannya pada hal 11 sebagai berikut
:
“Dengan demikian terdakwa Minhadi Noer Sjamsu telah memperkaya orang
lain yakni Fuad Bachtiar Agiel sebesar Rp. 3.438.174.873, 00,- (tiga milyar
empat ratus tiga puluh delapan juta seratus tujuh puluh ribu delapan ratus
tujuh puluh tiga rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut.”
Bahwa atas dasar apa atau hasil audit mana sehingga Jaksa Penuntut Umum
dapat menentukan Terdakwa Minhadi Noer Sjamsu telah memperkaya orang
lain yakni Fuad Bachtiar Agiel sebesar Rp.3.438.174.873, 00,- (tiga milyar
empat ratus tiga puluh delapan juta seratus tujuh puluh ribu delapan ratus
tujuh puluh tiga rupiah), sedangkan hasil audit BPKP Perwakilan Bali atas
Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Negara Atas Dugaan Tindak Pidana
Korupsi Bantuan Kapal Nelayan Pada Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali
Tahun Anggaran 2014 Nomor : SR-474/PW22/5/2017 tanggal 10 November
2017 menyebutkan kerugian negara sebesar Rp. 8.465.300.294.00,- (delapan
miliar empat ratus enam puluh lima juta tiga ratus ribu dua ratus sembilan
puluh empat rupiah).
Bahwa untuk Majelis Hakim ketahui untuk Pengadaan Lanjutan Pembangunan
Kapal Inka Mina 30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi
Bali Tahun 2014 Terdakwa ditetapkan menjadi Tersangka pada tanggal 21
Maret 2017 No : Print-08/P.1/Fd.1/03/2017, sedangkan hasil Audit dari BPKP
perwakilan Provinsi Bali keluarkan pada tanggal 10 November 2017 Nomor :
SR-474/PW22/5/2017, lalu dari mana Jaksa Penuntut Umum menetapkan

9
sesorang menjadi Tersangka sedangkan hasil Audit BPKP dikeluarkan 8
(delapan) bulan kemudian setelah di tetapkan menjadi tersangka..????

KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR 25/PUU-XIV/2016


MENGHAPUS KATA “DAPAT” DALAM PASAL 2 AYAT (1) DAN PASAL 3 UU
NO 31 TAHUN 1999 SEPERTI TELAH DIUBAH DENGAN UU NO 20 TAHUN
2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Bahwa dengan begitu, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil
berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat yakni unsur
kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti. Oleh karena itu
keputusan MK “Menyatakan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Bahwa dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah
bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Unsur
merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential
loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss)
dalam tipikor.
“Pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua pasal tersebut menjadi
delik formil. Padahal, praktiknya sering disalahgunakan untuk menjangkau
banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara termasuk
kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies ermessen
yang bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Ini bisa
berakibat terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan
wewenang,” sebut Mahkamah dalam pertimbangannya.
Bahwa demikian pula terkait bisnis, ketika dipandang kedua pasal ini sebagai
delik formil menyebabkan pejabat publik takut mengambil kebijakan atau
khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tipikor. Akibatnya, bisa
berdampak stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan
anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi.
Bahwa penetapan sesorang menjadi tersangka tanpa audit yang jelas dapat
menjadi “Kriminalisasi”. Ini terjadi karena ada perbedaan pemaknaan kata
‘dapat’ dalam unsur merugikan keuangan negara oleh aparat penegak hukum,
sehingga seringkali menimbulkan persoalan mulai perhitungan jumlah
kerugian negara sesungguhnya hingga lembaga manakah yang berwenang
menghitung kerugian negara,” BPK atau BPKP dalam menentukan kerugian
negara..???
Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi pencantuman kata “dapat” dalam Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan

10
secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945. Selain itu, kata “dapat” ini bertentangan dengan prinsip
perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis
(lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak
multitafsir (lex certa). “Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum seperti
ditentukan Pasal 1 ayat (3) UUD 194,” lanjutnya.
Bahwa jelas sudah berdasarkan penjelasan Mahkamah Konstitusi tersebut
diatas, maka dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan kerugian
Negara telah salah dan kabur, oleh karena itu batal demi hukum (van
rechtswegenietig) disebabkan karena bertentangan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dimana keseluruhan
Dakwaan Jaksa baik Dakwaan Primair maupun Dakwaan Subsidair, apabila
disusun/diuraikan tidak secara cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, yang
mengakibatkan dakwaan tersebut kabur (obscuur libel).

IV. SURAT DAKWAAN TIDAK SEMPURNA KARENA TIDAK CERMAT KARENA


JAKSA PENUNTUT UMUM KELIRU DALAM MERUMUSKAN DAKWAAN,
DIMANA KAPASITAS TERDAKWA MINHADI NOER SJAMSU HANYA
SEBAGAI PPK PENGGANTI SEBELUMNYA
Bahwa dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada halaman 2 menyebutkan :
- Bahwa berawal pada tahun 2014 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Bali mendapata dana sebesar Rp. 10.500.000.000,- (sepuluh miliar lima
ratus juta rupiah) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan
mekanisme Tugas Pembantuan, yang bersumber dari APBN untuk
Pembangunan & unit Kapal Penangkap Ikan dan Alat Penangkap Ikan
ukuran ≥ 30 GT (Inka Mina) sesuai DIPA No. : SP DIPA-
032.03.4.229110/2014 tanggal 05 Desember 2013. Dan sebagai
tindaklanjutnya, kemudian Menteri Kelautan dan Perikanan RI menerbitkan
Surat Keputusan Nomor : Kep.28/MEN/KU.611/2014 tanggal 04 Februari
2014 tentang perubahan kedelapan atas Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor : Kep.211/MEN/KU.611/2013 tentang Penunjukan Kuasa
Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji
Tagihan/Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM) dan
Pengangkatan Bendahara Pengeluaran pada Satuan Kerja Dinas
Provinsi/Kabupaten/Kota Dana Tugas Pembantuan Lingkup Ditjen
Perikanan Tangkap, yang menunjuk :
1. Pengguna Anggaran (PA) yaitu Direktur Jenderal Perikanan Tangkap
Kementerian Perikanan dan Kelautan;
2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yaitu I Made Gunaja selaku Kepala
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali;

11
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yaitu Ir. I Gusti Ngurah Made
Sumantri, M.Si.

- Bahwa kemudian Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menerbitkan


Surat Keputusan Nomor : KEP.33/MEN/KU.611/2015 tentang Perubahan
kelima atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. :
KEP.199/MEN/KU.611/2014 tentang Penunjukan Pejabat Pembuat
Komitmen, Pejabat Penguji Tagihan/Penandatanganan Surat Perintah
Membayar (SPM) dan Pengangkatan Bendahara Pengeluaran dan/atau
Bendahara Penerimaan pada Satuan Kerja Pusat dilingkungan Kementerian
Kelautan dan Perikanan RI, yang menunjuk :
a) Dr. Gellwyn Yusuf sebagai Kuasa Pengguna Anggaran;
b) Ida Kusuma Wardani / Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkap
Ikan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Bahwa untuk diketahui oleh Majelis Hakim kapasitas Terdakwa MINHADI
NOER SJAMSU dalam Pengadaan Lanjutan Pembangunan Kapal Inka Mina 30
GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun 2014 hanya
melanjutkan dari PPK sebelumnya, dimana pelaksanaan tender penunjukan
pemenang hingga spesifikasinya ditetapkan oleh PPK sebelumnya, yaitu Ir. I
Gusti Ngurah Made Sumantri, M.Si. dan Ida Kusuma Wardani, sehingga
bagaimana mungkin Terdakwa MINHADI NOER SJAMSU ditetapkan menjadi
tersangka dikarenakan pengadaan 7 kapal yang tidak sesuai spesifikasi,
sedangkan spesifikasi ditetapkan oleh PPK sebelumnya…????
Bahwa jelas sudah Jaksa Penuntut Umum dalam membuat dakwaan tidak
memenuhi syarat materiil yaitu tidak cermat, Apakah terdakwa
berkemampuan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya menurut
hukum?
Bahwa menurut Pasal 143 KUHAP, surat dakwaan selain memenuhi syarat
formil juga harus memenuhi syarat materiil, sebagaimana dijelaskan pada
Pasal 143 ayat (2) b KUHAP, surat dakwaan harus memuat uraian secara
cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang dilakukan, dengan
menyebut waktu (tempos delicti) dan tempat tindak pidana itu dilakukan (locus
delicti). Adapun pengertian cermat adalah :
Cermat berarti dalam surat dakwaan itu dipersiapkan sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan/kekeliruan.
Penuntut Umum sebelum membuat surat dakwaan selain harus memahami
jalannya peristiwa yang dinilai sebagai suatu tindak pidana, juga hal hal yang
dapat menyebabkan batalnya surat dakwaan yaitu apakah terdakwa
berkemampuan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya menurut
hukum?

12
(Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002)
Maka sebagaimana ditegaskan pada Pasal 143 ayat 3 “Surat dakwaan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (2) huruf b
batal demi hukum” yang dimana salah satu syarat materiilnya yaitu terdakwa
berkemampuan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya menurut
hukum.

V. DAKWAAN TERDAKWA MINHADI NOER SJAMSU MENGANDUNG


SENGKETA PERDATA
Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Saudara Terdakwa dan hadirin yang kami hormati
Serta Sidang yang kami muliakan
Hukum adalah sebuah upaya dalam melembagakan norma dan nilai dalam
rangka menjamin keberlangsungan masyarakat. Normatif artinya adalah unsur
apa “yang seharusnya”, apa yang “diharapkan”, terkait dengan kepatutan.
Sedangkan nilai (value) merupakan dasar bagi sebuah norma, merupakan
sebuah ukuran yang disadari atau tidak disadari untuk menetapkan apa yang
benar, yang baik, dan sebagainya.

Bahwa norma hukum akan menjadi aturan hukum apabila berbentuk dalam
rumusan tertentu, Misalkan pasal 338 KUHP berbunyi
“ Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun”
Norma yang terkandung adalah orang dilarang membunuh. Nilai yang menjadi
dasar norma itu adalah kelangsungan hidup atau kasih sayang terhadap
sesama hidup.

Apa ukuran bagi pembentuk dan pelaksana undang-undang untuk menetapkan


sesuatu tindak menjadi tindak pidana atau dengan kata lain apa ukuran untuk
mengadakan kriminalisasi? Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu
perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana (diberikan sangsi
pidana). Kriminalisasi dapat dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat, bisa dalam aspek ketertiban dan yang saat ini menjadi fokus
adalah dalam sektor ekonomi khususnya pengadaan barang jasa. Perlu
dipahami bahwa sifat pidana adalah ultimum remedium (upaya terakhir), yang
tidak perlu digunakan kecuali dalam kondisi yang memerlukan. Syarat-syarat
pengenaan pidana di antaranya adalah azas legalitas dan azas culpabilitas
(kesengajaan dan kealpaan)

13
Bahwa pada prinsipnya ketentuan pengadaan barang dan jasa terutama di
pemerintah merupakan ketentuan bagi para penyelenggara negara dalam
melakukan aktivitas ekonomi negara yang disebut belanja. Dalam konsep
besarnya dikenal merupakan bagian dari hukum ekonomi. (Economic Law,
Sociaal Economisch Recht). Sedangkan definisi hukum ekonomi adalah
keseluruhan peraturan, yang dibuat pemerintah yang secara langsung atau
tidak langsung bertujuan untuk mempengaruhi perbandingan ekonomi terkait
adanya permintaan dan penawaran, penjualan dan pembelian dan yang terkait
dalam pasar.

Bahwa sehingga jelas sekali bahwa pengadaan barang jasa merupakan bagian
dari hukum ekonomi. Sedangkan hukum ekonomi merupakan hukum
administrasi dan hukum perdata, sehingga perlu dikembalikan kepada
subtansi penegakan hukum yang semestinya. Apabila terjadi penyimpangan
dalam pengadaan barang dan jasa maka perlu diukur terlebih dahulu
melalui sistem hukum administrasi dan hukum perdata.

Bahwa hukum pidana apalagi pidana khusus korupsi dalam pengadaan barang
jasa pemerintah dapat diterapkan dalam hal memang terjadi peristiwa pidana.
Definisi tindak pidana korupsi secara garis besar dinyatakan sebagai berikut :
“Setiap orang yang secara hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain,
atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.”
Dalam membantu upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi dapat
disimpulkan secara sederhana dalam bagan berikut ini.

No Unsur Tipikor Penjelasan


1 Orang / Subjek Pengelola Pengadaan (PA, KPA, PPK, PP,
ULP, PPHP dll)
2 Perbuatan Melawan Hukum Ditegaskan dengan pelanggaran prosedur
oleh Ahli, Dokumen, Surat-surat
3 Memperkaya diri sendiri, Adanya transaksional haram
orang lain atau korporasi
4 Kerugian Negara Dinyatakan oleh Auditor Sah Negara

Bahwa suatu tindak pidana korupsi dalam bidang pengadaan barang jasa,
haruslah memenuhi unsur-unsur di atas, terutama adanya transaksional haram
diantara pihak-pihak yang terlibat. Adapun beberapa beberapa konstruksi
penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sering dipaksakan di antaranya
:
a) Ketidak akuratan dalam penentuan hak, kewajiban dan tanggung
jawab para pihak, yang tidak sesuai ketentuan peraturan pengadaan.

14
b) Ketidakmauan dan ketidakmampuan dalam membuktikan niat dan
perbuatan jahat korupsi, dimana antara niat dan perbuatan adalah dua hal
yang harus ada.
c) Ketidak akuratan dalam dalam menentukan transaksional haram
dalam proses pengadaan barang dan jasa.
d) Ketidak sesuaian dalam menentukan auditor yang berwenang
menghitung kerugian negara, termasuk metodologinya.

Bahwa hubungan keperdataan yang dimaksud secara ekplisit dinyatakan


secara tegas dalam regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Perpres No. 4 Tahun
2015 (Perubahan Keempat Perpres No. 54 tahun 2010) yang mana ditegaskan
bahwa sebelum dimulainya pekerjaan Pengadaan Barang dan Jasa antara para
pihak baik itu Penyedia maupun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) dalam hal tidak
adanya personil yang memenuhi syarat sebagai PPK (Vide pasal 20 ayat 12.2b
Perpres No. 70 tahun 2012 perubahan kedua atas Perpres No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang dan Jasa) wajib menandatangani kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa.

Artinya bahwa tidak mungkin ada permasalahan hukum Pengadaan Barang dan
Jasa tanpa didahului hubungan kontraktual antara Penyedia dengan Panitia
Pengadaan sehingga pristiwa hukum tersebut menjadi relevan apabila
diselesaikan atau ditegakkan melalui Pengadilan Perdata bukan Pengadilan
Pidana.

Bahwa perlu diketahui juga bahwa pemerintah Indonesia sejak tahun 2010
dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa telah merubah regulasi Pengadaan
Barang dan Jasa sebanyak 4 (empat) kali ditambah 2 (dua) Perka LKPP dan 1
(satu) Juknis Peraturan Presiden. Regulasi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:

Peraturan Presiden
1. Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Pertama)
2. Peraturan Presiden RI Nomor 35 Tahun 2011 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Kedua)
3. Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Ketiga)
4. Peraturam Presiden RI Nomor 172 Tahun 2014 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Keempat)

Perka LKPP
1. Perka LKPP No. 4 Tahun 2016 tentang Layanan Penyelesaian
Sengketa Pengadaan Barang dan Jasa
15
2. Perka LKPP No. 6 Tahun 2016 tentang Katalog

Juknis
Juknis Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Menggunakan Aplikasi SPSE

Bahwa keseluruhan peraturan-peraturan yang telah kami sampaikan di atas,


mengatur aspek formil dan materiil dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa.
Asepek formil dan meteriil tersebut berfungsi untuk membuat sahnya
perbuatan Hukum Perdata/hubungan kontraktual antara Penyedia dengan
Pantia Pengadaan Barang dan Jasa. Bagi yang pernah kuliah di fakultas hukum
tentu tidak asing dengan istilah PERIKATAN. Sumber hukum perikatan ada 2
(dua) : Perjanjian dan Undang-undang. Suatu perikatan yang lahir dari
perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi pasal 1320 KUHPerdata.

Bahwa masuknya Hukum Pidana dalam hubungan kontraktual antara individu


ataupun antara entitas bisnis menunjukan kediktatoran dan kesewenangan
negara dalam proses penegakan hukum bahkan melampaui dimensi hukum
yang berbeda tanpa menghiraukan kompetensi hukum dalam dimensinya
masing-masing. Penegasan ini merupakan bagian dari kritik terhadap proses
penegakan hukum yang tidak tertib hukum sehinggah tersanderanya kepastian
hukum, keadilan dan ketertiban umum secara bersamaan.

Bahwa selain itu, intervensi Hukum Pidana pada Hukum Perdata merupakan
pelanggaran hak Individu/badan hukum sebagai subyek hukum karena tak
jarang dengan adanya penangkapan Direktur Perusahaan menyebabkan
berubahnya situasi dan kondisi psikis para pihak dalam melaksanaan kontrak
dan bahkan terdapat juga pihak yang enggan menandatangani persyaratan
formil lainnya dari kontrak tersebut sampai kasus pidananya menjadi terang-
benderang. Hal tersebut tentu menimbulkan kerugian bagi individu atau badan
hukum lainya yang dengan itikad baik melaksanakan kontrak.

Bahwa, berdasarkan Pasal 156 ayat (1) pengajuan keberatan adalah hak dari
terdakwa dengan memperhatikan bahwa eksepsi harus diajukan pada sidang
pertama yaitu setelah Jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan.
Eksepsi yang dapat diajukan di luar tenggang waktu tersebut adalah eksepsi
mengenai kewenangan mengadili sebagaimana disebut dalam Pasal 156 ayat
(7) KUHAP. Oleh karena itu dakwaan tidak dapat diterima karena tindak
pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata sehingga apa yang
didakwakan sesungguhnya termasuk sengketa perdata yang harus
diselesaikan secara perdata berdasarkan Surat Perjanjian/Kontrak Nomor :
2801/PL.110/D2.KPA/IX/2015 tanggal 18 September 2016 yang
ditandatangani di Jakarta, dimana dalam isi perjanjiannya apabila para
pihak terjadi perselisihan hukum diselesaikan salah satunya melalui badan
Arbitrase.
16
Bahwa didalam perjajian tersebut juga mengatur tentang denda keterlambatan,
denda ketidaksesuai pekerjaan, dimana perjanjian tersebut menjadi dasar
hukum dalam melaksanakan pekerjaan Pengadaan Pembangunan Kapal Inka
Mina 30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun
2014

Bahwa oleh karena itu dimanakah letak pidananya sedangkan seluruh


admistrasinya berhubungan dengan keperdataan.
Apakah keterlambatan pengerjaan sesuatu dalam perikatan disebut sebuah
korupsi..???
Apakah ketidaksesuaian spesifikasi barang (dibuat oleh PPK sebelumnya)
dalam perikatan disebut sebuah Korupsi..???

C. PERMOHONAN KEPADA MAJELIS HAKIM


Majelis Hakim Yang Terhormat,
Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Saudara Terdakwa dan hadirin yang kami hormati
Serta Sidang yang kami muliakan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah sampaikan diatas maka kami Penasehat
Hukum Terdakwa MINHADI NOER SJAMSU, mohon kepada Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Denpasar yang
memeriksa dan memutus perkara a quo untuk memberikan putusan :
1. Menerima keberatan (eksepsi) dari Tim Penasehat Hukum Terdakwa
MINHADI NOER SJAMSU untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum Nomor : Reg.Perk PDS :
16/DENPA/11/2017 tanggal 2 Januari 2018 sebagai dakwaan yang batal demi
hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet Ontvankelijk Verklaard);
3. Menyatakan perkara aquo tidak diperiksa lebih lanjut;
4. Memerintahkan kepada Penuntut Umum agar membebaskan Terdakwa
MINHADI NOER SJAMSU dari tahanan;
5. Memulihkan harkat martabat dan nama baik Terdakwa MINHADI NOER
SJAMSU;
6. Membebankan biaya perkara kepada negara;
Atau jika majelis hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya (et aquo et
bono),

17
Demikian Nota Keberatan (Eksepsi) kami bacakan dan di serahkan kepada Majelis Hakim
pada hari Selasa, 13 Februari 2018 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Denpasar.

Hormat Kami,
BUDIMAN DARWIN & ASSOCIATES

Budiman Darwin E. Siagian, SH., MM., CLA.

Hendri David, SH., CLA.

18

Anda mungkin juga menyukai