(EKSEPSI)
Disampaikan pada
Sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar pada Pengadilan Negeri Denpasar
Hari Selasa, 13 Februari 2018
DIDAKWA :
• PRIMAIR : Sebagaimana di atur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo.
Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
• SUBSIDAIR : Sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 3 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
1
Kepada YTH,
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pada Pengadilan Negeri Denpasar
Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Di,-
Denpasar
A. PENDAHULUAN
4
pada Bagian Kedua, Bab XVI adalah kewenangan mengadili secara relatif.
Artinya, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang
mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan
mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif,
diatur dalam Bagian Kedua, Bab X, Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal 86 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Bertitik
tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam ketiga pasal tersebut, ada
beberapa kriteria yang bisa dipergunakan Pengadilan Negeri sebagai tolak ukur
untuk menguji kewenangannya mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut
umum kepadanya. Kriteria-kriteria yang dimaksud antara lain adalah:
a. Tindak pidana dilakukan (locus delicti)
Bahwa dalam Pengadaan Lanjutan Pembangunan Kapal Inka Mina 30 GT
Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun 2014, Jaksa
Penuntut Umum telah salah mengadili Terdakwa di Pengadilan Negeri
Denpasar, dikarenakan perbuatan yang diduga terjadinya tindak pidana
yang dilakukan oleh Terdakawa di luar wilayah hukumnya yaitu kedudukan
Terdakwa ada di Jakarta.
Bahwa kontrak pada Pengadaan Lanjutan Pembangunan Kapal Inka Mina
30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun
2014 ditanda tangani di Jakarta tanggal 18 September 2015 antara
Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan yang di wakili oleh
Terdakwa MINHADI NOER SJAMSU dengan CV. FUAD PRATAMA
PERKASA yang diwakili oleh FUAD BACHTIAR.
Bahwa dalam pengerjaan Pengadaan Lanjutan Pembangunan Kapal Inka
Mina 30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun
2014 dimana pelaksana yaitu CV Fuad Pratama Perkasa yang beralamat Jl.
Raya Pendidikan Blok G5/5 Makassar untuk pengerjaannya menggunakan
galangan kapal milik PT F1 Perkasa yang berlokasi di Banyuwangi – Jawa
Timur. Berdasarkan Surat Perjanjian/Kontrak Nomor :
2801/PL.110/D2.KPA/IX/2015 tanggal 18 September 2015 dimana salah
satu Syarat Kualifikasi (Summary Report) adalah Surat pernyataan
sanggup mengerjakan kelanjutan pembangunan kapal di galangan kapal
di Banyuwangi – Jawa Timur untuk Inkamina Bali.
Bahwa jelas sudah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar pada
Pengadilan Negeri Denpasar tidak berwenang mengadili karena diluar
wilayah hukumnya, oleh karena itu dakwaan terhadap MINHADI NOER
SJAMSU tidak dapat diterima atau batal demi hukum.
Bahwa menurut M. Yahya Harahap (ibid hal. 96-97), inilah asas atau kriteria
yang pertama dan utama. Pengadilan Negeri berwenang mengadili setiap
perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
5
“Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak
pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”
Asas atau kriteria yang dipergunakan pada pasal ini adalah “tempat tindak
pidana dilakukan” atau disebut locus delicti. M. Yahya Harahap mengatakan
bahwa prinsip dimaksud didasarkan atas tempat terjadinya tindak pidana.
Di tempat mana dilakukan tindak pidana atau di daerah hukum Pengadilan
Negeri mana dilakukan tindak pidana, Pengadilan Negeri tersebut yang
berwenang mengadili. Asas ini merupakan ketentuan umum dalam
menentukan kewenangan relatif. Yang pertama-tama diteliti menentukan
berwenang tidaknya memeriksa suatu perkara yang dilimpahkan penuntut
umum berdasar “tempat terjadinya” tindak pidana.”
6
10 Ir. Ratnawita Jl. Pangrango 5 Kec. Cibinong – Bogor Jawa
Barat
11 Agus Wahyu Santoso, M.T Perum. Kemang Swatama Depok – Jawa
Barat
12 Moch Idmillah, ST Ponokawan Kab. Sidoarjo Prov. Jawa Timur
13 Fuad Bachtiar Bau Agiel Jl. Raya Pendidikan No. 5 Makassar
14 Ngadimin, S.Sos Jl. Dadap 5 Kec. Bojong Gede Kab. Bogor –
Jawa Barat
15 Banar Ujo Wicaksono Perum. Ciputat Baru Tangerang Selatan
16 Rudi Yuswara Jl. Puri Kartika No. 22 Kodya Tangerang –
Jawa Barat
17 Wasisanto Jl. Cendana 2 No. 17 Matraman Jakarta
Timur – Jakarta
18 Hasan El Fakhri Bogor Baru Blok D5 No. 4 Bogor – Jawa
Barat
19 Mat Aris Jl. Warga Indah 2/52 Kab Kota Tangerang
Banten – Jawa Barat
20 I Wayan Sabar Br. Kaja Kel Serangan Denpasar – Bali
Bahwa jelas dan nyata tidak terbantahkan dimana para saksi sebagian besar
bertempat tinggal dari 20 (dua puluh) jumlah saksi 13 (tiga belas) diataranya
bertempat tinggal di JADEBOTABEK (Jakarta Depok Bogor Tangerang
Bekasi). Oleh karena itu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Denpasar tidak berwenang mengadili sebagaimana disebutkan dalam
dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka dakwaan terhadap MINHADI NOER
SJAMSU tidak dapat diterima atau batal demi hukum
8
Dalam eksepsi kami ini, yang kami ajukan keberatan adalah menyangkut hak
terdakawa yaitu surat pemanggilan, yang faktanya sampai hari ini disidangkan
terdakwa belum pernah menerima surat pemanggilan sidang oleh Jaksa
Penuntut Umum, oleh karena itu berkaitan dengan persyaratan formil
sebagaimana diharuskan Pasal 146 ayat (1) KUHAP, khususnya yang
mensyaratkan bahwa surat panggilan harus diterima oleh terdakwa selambat-
lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Bahwa Jaksa Penuntut Umum telah lalai dan tidak cermat cenderung
mengabaikan peraturan yang telah ditegaskan dalam KUHAP pasal 146 ayat (1),
sehingga merugikan dan menghilangkan Hak sebagai Terdakwa untuk
diberitahukan tiga hari sebelum sidang.
III. SURAT DAKWAAN TIDAK CERMAT, KABUR DAN TIDAK RINCI DALAM
MENENTUKAN KERUGIAN NEGARA
Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam membuat dakwaannya tidak cermat dan
kabur, sebagaimana disebutkan dalam dakwaannya pada hal 11 sebagai berikut
:
“Dengan demikian terdakwa Minhadi Noer Sjamsu telah memperkaya orang
lain yakni Fuad Bachtiar Agiel sebesar Rp. 3.438.174.873, 00,- (tiga milyar
empat ratus tiga puluh delapan juta seratus tujuh puluh ribu delapan ratus
tujuh puluh tiga rupiah) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut.”
Bahwa atas dasar apa atau hasil audit mana sehingga Jaksa Penuntut Umum
dapat menentukan Terdakwa Minhadi Noer Sjamsu telah memperkaya orang
lain yakni Fuad Bachtiar Agiel sebesar Rp.3.438.174.873, 00,- (tiga milyar
empat ratus tiga puluh delapan juta seratus tujuh puluh ribu delapan ratus
tujuh puluh tiga rupiah), sedangkan hasil audit BPKP Perwakilan Bali atas
Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Negara Atas Dugaan Tindak Pidana
Korupsi Bantuan Kapal Nelayan Pada Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali
Tahun Anggaran 2014 Nomor : SR-474/PW22/5/2017 tanggal 10 November
2017 menyebutkan kerugian negara sebesar Rp. 8.465.300.294.00,- (delapan
miliar empat ratus enam puluh lima juta tiga ratus ribu dua ratus sembilan
puluh empat rupiah).
Bahwa untuk Majelis Hakim ketahui untuk Pengadaan Lanjutan Pembangunan
Kapal Inka Mina 30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi
Bali Tahun 2014 Terdakwa ditetapkan menjadi Tersangka pada tanggal 21
Maret 2017 No : Print-08/P.1/Fd.1/03/2017, sedangkan hasil Audit dari BPKP
perwakilan Provinsi Bali keluarkan pada tanggal 10 November 2017 Nomor :
SR-474/PW22/5/2017, lalu dari mana Jaksa Penuntut Umum menetapkan
9
sesorang menjadi Tersangka sedangkan hasil Audit BPKP dikeluarkan 8
(delapan) bulan kemudian setelah di tetapkan menjadi tersangka..????
10
secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam Pasal 28G ayat
(1) UUD 1945. Selain itu, kata “dapat” ini bertentangan dengan prinsip
perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis
(lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak
multitafsir (lex certa). “Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum seperti
ditentukan Pasal 1 ayat (3) UUD 194,” lanjutnya.
Bahwa jelas sudah berdasarkan penjelasan Mahkamah Konstitusi tersebut
diatas, maka dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan kerugian
Negara telah salah dan kabur, oleh karena itu batal demi hukum (van
rechtswegenietig) disebabkan karena bertentangan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dimana keseluruhan
Dakwaan Jaksa baik Dakwaan Primair maupun Dakwaan Subsidair, apabila
disusun/diuraikan tidak secara cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, yang
mengakibatkan dakwaan tersebut kabur (obscuur libel).
11
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yaitu Ir. I Gusti Ngurah Made
Sumantri, M.Si.
12
(Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002)
Maka sebagaimana ditegaskan pada Pasal 143 ayat 3 “Surat dakwaan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud ayat (2) huruf b
batal demi hukum” yang dimana salah satu syarat materiilnya yaitu terdakwa
berkemampuan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya menurut
hukum.
Bahwa norma hukum akan menjadi aturan hukum apabila berbentuk dalam
rumusan tertentu, Misalkan pasal 338 KUHP berbunyi
“ Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun”
Norma yang terkandung adalah orang dilarang membunuh. Nilai yang menjadi
dasar norma itu adalah kelangsungan hidup atau kasih sayang terhadap
sesama hidup.
13
Bahwa pada prinsipnya ketentuan pengadaan barang dan jasa terutama di
pemerintah merupakan ketentuan bagi para penyelenggara negara dalam
melakukan aktivitas ekonomi negara yang disebut belanja. Dalam konsep
besarnya dikenal merupakan bagian dari hukum ekonomi. (Economic Law,
Sociaal Economisch Recht). Sedangkan definisi hukum ekonomi adalah
keseluruhan peraturan, yang dibuat pemerintah yang secara langsung atau
tidak langsung bertujuan untuk mempengaruhi perbandingan ekonomi terkait
adanya permintaan dan penawaran, penjualan dan pembelian dan yang terkait
dalam pasar.
Bahwa sehingga jelas sekali bahwa pengadaan barang jasa merupakan bagian
dari hukum ekonomi. Sedangkan hukum ekonomi merupakan hukum
administrasi dan hukum perdata, sehingga perlu dikembalikan kepada
subtansi penegakan hukum yang semestinya. Apabila terjadi penyimpangan
dalam pengadaan barang dan jasa maka perlu diukur terlebih dahulu
melalui sistem hukum administrasi dan hukum perdata.
Bahwa hukum pidana apalagi pidana khusus korupsi dalam pengadaan barang
jasa pemerintah dapat diterapkan dalam hal memang terjadi peristiwa pidana.
Definisi tindak pidana korupsi secara garis besar dinyatakan sebagai berikut :
“Setiap orang yang secara hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain,
atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.”
Dalam membantu upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi dapat
disimpulkan secara sederhana dalam bagan berikut ini.
Bahwa suatu tindak pidana korupsi dalam bidang pengadaan barang jasa,
haruslah memenuhi unsur-unsur di atas, terutama adanya transaksional haram
diantara pihak-pihak yang terlibat. Adapun beberapa beberapa konstruksi
penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sering dipaksakan di antaranya
:
a) Ketidak akuratan dalam penentuan hak, kewajiban dan tanggung
jawab para pihak, yang tidak sesuai ketentuan peraturan pengadaan.
14
b) Ketidakmauan dan ketidakmampuan dalam membuktikan niat dan
perbuatan jahat korupsi, dimana antara niat dan perbuatan adalah dua hal
yang harus ada.
c) Ketidak akuratan dalam dalam menentukan transaksional haram
dalam proses pengadaan barang dan jasa.
d) Ketidak sesuaian dalam menentukan auditor yang berwenang
menghitung kerugian negara, termasuk metodologinya.
Artinya bahwa tidak mungkin ada permasalahan hukum Pengadaan Barang dan
Jasa tanpa didahului hubungan kontraktual antara Penyedia dengan Panitia
Pengadaan sehingga pristiwa hukum tersebut menjadi relevan apabila
diselesaikan atau ditegakkan melalui Pengadilan Perdata bukan Pengadilan
Pidana.
Bahwa perlu diketahui juga bahwa pemerintah Indonesia sejak tahun 2010
dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa telah merubah regulasi Pengadaan
Barang dan Jasa sebanyak 4 (empat) kali ditambah 2 (dua) Perka LKPP dan 1
(satu) Juknis Peraturan Presiden. Regulasi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Peraturan Presiden
1. Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Pertama)
2. Peraturan Presiden RI Nomor 35 Tahun 2011 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Kedua)
3. Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Ketiga)
4. Peraturam Presiden RI Nomor 172 Tahun 2014 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa (Keempat)
Perka LKPP
1. Perka LKPP No. 4 Tahun 2016 tentang Layanan Penyelesaian
Sengketa Pengadaan Barang dan Jasa
15
2. Perka LKPP No. 6 Tahun 2016 tentang Katalog
Juknis
Juknis Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Menggunakan Aplikasi SPSE
Bahwa selain itu, intervensi Hukum Pidana pada Hukum Perdata merupakan
pelanggaran hak Individu/badan hukum sebagai subyek hukum karena tak
jarang dengan adanya penangkapan Direktur Perusahaan menyebabkan
berubahnya situasi dan kondisi psikis para pihak dalam melaksanaan kontrak
dan bahkan terdapat juga pihak yang enggan menandatangani persyaratan
formil lainnya dari kontrak tersebut sampai kasus pidananya menjadi terang-
benderang. Hal tersebut tentu menimbulkan kerugian bagi individu atau badan
hukum lainya yang dengan itikad baik melaksanakan kontrak.
Bahwa, berdasarkan Pasal 156 ayat (1) pengajuan keberatan adalah hak dari
terdakwa dengan memperhatikan bahwa eksepsi harus diajukan pada sidang
pertama yaitu setelah Jaksa Penuntut Umum membacakan surat dakwaan.
Eksepsi yang dapat diajukan di luar tenggang waktu tersebut adalah eksepsi
mengenai kewenangan mengadili sebagaimana disebut dalam Pasal 156 ayat
(7) KUHAP. Oleh karena itu dakwaan tidak dapat diterima karena tindak
pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata sehingga apa yang
didakwakan sesungguhnya termasuk sengketa perdata yang harus
diselesaikan secara perdata berdasarkan Surat Perjanjian/Kontrak Nomor :
2801/PL.110/D2.KPA/IX/2015 tanggal 18 September 2016 yang
ditandatangani di Jakarta, dimana dalam isi perjanjiannya apabila para
pihak terjadi perselisihan hukum diselesaikan salah satunya melalui badan
Arbitrase.
16
Bahwa didalam perjajian tersebut juga mengatur tentang denda keterlambatan,
denda ketidaksesuai pekerjaan, dimana perjanjian tersebut menjadi dasar
hukum dalam melaksanakan pekerjaan Pengadaan Pembangunan Kapal Inka
Mina 30 GT Mini Purse Seine Berbahan Fiberglass 7 Unit Provinsi Bali Tahun
2014
17
Demikian Nota Keberatan (Eksepsi) kami bacakan dan di serahkan kepada Majelis Hakim
pada hari Selasa, 13 Februari 2018 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Negeri Denpasar.
Hormat Kami,
BUDIMAN DARWIN & ASSOCIATES
18