Anda di halaman 1dari 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/331288115

Bab 1. Sampah Makanan

Chapter · December 2017

CITATIONS READS

0 2,139

1 author:

Sri Wahyono
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
42 PUBLICATIONS   36 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sri Wahyono on 23 February 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BAB I
PENDAHULUAN

A. DEFINISI SAMPAH MAKANAN

Apakah yang dimaksud dengan sampah makanan? Sampah makanan, menurut


Badan Pangan dan Pertanian PBB atau Food and Agricultural Organisation
(FAO), adalah makanan yang hilang, yang ditunjukkan oleh adanya penurunan
berat atau penurunan kualitas makanan, yang terjadi pada setiap mata rantai
pasokan makanan. Rantai pasokan makanan terdiri atas rantai produksi bahan
pangan, kegiatan pasca panen, penyimpanan, pemrosesan dan konsumen
akhir. Makanan yang hilang pada mata rantai produksi bahan pangan, kegiatan
pasca panen, penyimpanan, dan pemrosesan disebut food loos. Sementara itu,
makanan yang hilang pada mata rantai akhir pasokan makanan, yakni
konsumen akhir, disebut food waste.

Di dalam buku ini, yang dimaksud dengan sampah makanan adalah merujuk
pada istilah food waste di atas, yakni makanan yang kedaluwarsa atau makanan
yang telah rusak atau makanan yang dibuang oleh konsumen akhir. Konsumen
akhir antara lain meliputi rumah tangga, restoran dan distributor makanan.

B. SUMBER SAMPAH MAKANAN

Sampah makanan dapat bersumber secara berantai mulai dari hulu sampai ke
hilir rantai pasokan makanan. Rantai pasokan makanan terdiri atas produksi,
penanganan dan penyimpanan, pemrosesan dan pengemasan, distribusi dan
pemasaran, dan konsumsi.

Pendahuluan 1
dimodifikasi dari: www.foodbev.com

Gambar 1.1. Rantai Pasokan Makanan dan Kategori Limbahnya

Sampah makanan yang timbul pada mata rantai produksi pertanian diakibatkan
karena kerusakan mekanis atau tumpah atau tercecer selama kegiatan panen
(misalnya pengirikan atau pemetikan buah), tanaman terbuang saat pemilahan
pasca panen, dan lain-lain.

Sampah makanan yang timbul pada mata rantai pasca panen dan penyimpanan
diakibatkan oleh tumpahan atau ceceran dan kerusakan selama penanganan,
penyimpanan, dan transportasi dari lokasi pertanian ke lokasi distribusi.

Sampah makanan yang timbul pada mata rantai pemrosesan diakibatkan oleh
tumpahan atau ceceran dan kerusakan pada saat pemrosesan di industri
makanan atau rumah tangga seperti produksi jus, pengalengan, dan
pemanggangan roti. Kehilangan dapat pula terjadi ketika pemilahan atau
selama pencucian, pengulitan, pemotongan, dan perebusan.

Sampah makanan yang timbul pada mata rantai distribusi berasal dari pasar,
super market, dan retailer. Pada tahap konsumsi, sampah makanan bersumber
dari konsumsi di level rumah tangga dan industri jasa makanan.

C. RUMAH TANGGA SEBAGAI SUMBER SAMPAH MAKANAN

Rumah tangga adalah rantai akhir pasokan makanan. Di level rumah tangga,
sampah makanan timbul pada saat mempersiapkan, menyimpanan, dan
mengkonsumsi makanan. Beberapa hal yang menyebabkannya antara lain
karena faktor perilaku, kesukaan pada makanan tertentu, perencanaan yang
kurang baik saat berbelanja, dan teknik penyimpanan.

2 Pendahuluan
Faktor perilaku antara lain:
1. Rendahnya kesadaran rumah tangga akan jumlah sampah makanan
yang timbul, masalah lingkungan yang muncul dari sampah makanan,
dan keuntungan finansial jika cermat dalam membeli makanan.
2. Rendahnya pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan makanan
secara efisien.
3. Rendahnya cara pandang terhadap nilai makanan dan lemahnya
kesadaran untuk mengkonsumsi makanan seperlunya.

Faktor kesukaan atau preferensi, misalnya beberapa bagian makanan yang


mengandung nutrisi dibuang karena faktor kesukaan pribadi seperti kulit pada
buah apel, bagian roti yang agak keras, dan sebagainya.

Faktor perencanaan yang kurang baik misalnya membeli makanan terlalu


banyak sehingga banyak yang tersisa dan tidak termakan.

Faktor teknik penyimpanan sehingga makanan kurang awet misalnya karena


kondisi penyimpanan yang tidak otimal dan sistem kemasan yang kurang baik
sehingga produk makanan mudah basi atau rusak.

Sumber: www.asiaone.com

Gambar 1.2. Rumah Tangga Sumber Sampah Makanan

D. JUMLAH TIMBULAN SAMPAH MAKANAN

Secara global, jumlah timbulan sampah makanan sangat besar yaitu sekitar 1,3
Giga ton sampah makanan pertahun atau sepertiga dari jumlah bahan makanan
yang diproduksi (FAO, 2011).

Di Benua Eropa, menurut laporan dari European Commision (2011), jumlah


sampah makanan yang dihasilkan adalah 89 juta ton pertahun dengan rata-rata

Pendahuluan 3
produksi sampah makanan perorang 180 kg pertahun. Diperkirakan,
seperempat dari makanan yang dibeli di level rumah tangga terbuang menjadi
sampah. Kontribusi sektor rumah tangga dalam menghasilkan sampah makanan
adalah 42% dari total timbulan sampah makanan. Khusus dari sektor rumah
tangga, laju produksi sampah makanan perkapita adalah 79 kg/tahun.

Data timbulan sampah makanan di Indonesia saat ini belum diketahui secara
pasti. Jika diasumsikan penduduk Indonesia saat ini berjumlah 250 juta, dengan
produksi sampah perorang 0,7 kg/hari (atau 102,2 kg/tahun), maka jumlah
produksi sampah Indonesia pertahunnya adalah 63,9 juta ton. Dan apabila
diasumsikan komposisi sampah makanannya 40%, maka jumlah timbulan
sampah makanan pertahunnya adalah 25,5 juta ton.

E. DAMPAK SAMPAH MAKANAN

Sampah makanan harus dikelola dengan baik karena berdampak buruk bagi
lingkungan lokal maupun global. Dampak tersebut dapat dikategorikan menjadi
tiga hal yaitu dampak lingkungan, finansial dan sosial (Clarke et al, 2015).

1. Dampak Lingkungan

Sampah makanan mempunyai implikasi buruk bagi lingkungan yang signifikan.


Secara global, sampah makanan menimbulkan 4,4 Giga ton CO2e atau sekitar 8%
dari total emisi gas rumah kaca (GRK) antropogenik. Sementara itu, di Amerika
Serikat (AS), pada tahun 2013 sampah makanan mengokupasi 21% lahan
tempat pemrosesan akhir sampah (TPA). Sampah makanan yang terurai di TPA
menjadi kontributor utama emisi GRK sebesar 23% dari total emisi GRK
Amerika (FAO, 2014).

Sampah makanan yang terbuang juga berarti hilangnya sumberdaya. Di AS,


terbuangnya sampah makanan berarti hilangnya 25% air tawar, hilangnya 4%
dari penggunaan minyak, dan juga hilangnya manfaat penggunaan lahan
pertanian. Dengan demikian, mereduksi sampah makanan berarti
mengkonservasi sumberdaya alam (FAO, 2014).

Upaya untuk mereduksi emisi GRK dari TPA dapat dilakukan dengan kegiatan
komposting. Namun hanya sekitar 3 sampah makanan yang dikomposkan.
Komposting dapat mereduksi GRK dan bermanfaat meningkat kepedulian akan
sampah makanan (Clarke et al, 2015).

4 Pendahuluan
Diperkirakan dari satu ton sampah makanan dihasilkan 1,9 ton CO2e. Emisi total
GRK di Eropa per tahun 170 juta ton CO2 dan dipredikasikan tahun 2020
menjadi 240 juta tonCO2e. Sektor rumah tangga memberikan kontribusi
produksi emisi 78 juta ton CO2e/tahun atau 45% jumlahnya terhadap seluruh
emisi dari sampah makanan.

2. Dampak Finansial

Secara global, sekitar sepertiga dari total makanan yang dikonsumsi manusia
menjadi sampah. Kehilangan itu setara dengan nilai nominal sekitar USD 1
triliyun pertahun. Namun sebenarnya biaya tersembunyi dari sampah makanan
lebih dari itu. Makanan yang diproduksi, menyebabkan dampak terhadap
atmosfir, air, tanah dan biodiversitas. Biaya lingkungan tersebut harus dibayar
oleh generasi mendatang. Lebih jauh lagi, dengan adanya degradasi lingkungan
dan meningkatnya kelangkaan sumberdaya alam, dampak sampah makanan
akan berasosiasi dengan biaya sosial secara luas yang berdampak pada
kehidupan umat manusia (FAO, 2014).

Biaya lingkungan tersebut mencapai sekitar USD 700 milyar, sedangkan biaya
sosial mencapai sekitar USD 900 milyar yang rincianya adalah sebagai berikut
(FAO, 2014):
 Timbulnya emisi 3,5 Gt CO2e. Berdasarkan penghitungan biaya sosial
karbon, diestimasikan menyebabkan kerusakan senilai USD 394 milyar
pertahun.
 Meningkatnya kelangkaan air, terutama pada saat musim kering.
Secara global diestimasikan sebesar USD 164 milyar pertahun.
 Erosi tanah diperkirakan senilai USD 35 milyar pertahun karena
hilangnya nutrien, panen yang rendah, hilangnya keanekaragaman
hayati, dan kerusakan lahan.
 Risiko biodiversitas termasuk dampak penggunaan pestisida, eutrofikasi
nitrat dan fosfor, polinator, over eksploitasi diperkirakan USD 32 milyar
pertahun.
 Meningkatnya resiko konflik karena erosi tanah, diestimasikan sebesar
USD 396 milyar pertahun.
 Hilangnya livelihoods karena erosi tanah, diperkirakan senilai USD 333
milyar pertahun.
 Rusaknya kesehatan karena ekspos pestisida, diperkirakan senilai USD
153 milyar pertahun.
 Di AS, diperkirakan satu rumah tangga membuang sampah makanan
senilai USD 1.365 hingga USD 2.275 pertahun (Clarke et al, 2015).

Pendahuluan 5
Dimodifikasi dari: www.supercool.com.au

Gambar 1.3. Dampak Sampah Makanan

3. Dampak Sosial

Diperkirakan 160 juta pound sampah ditimbulkan di AS, jumlah yang besar
dibandingkan dengan negara lain. Jika sampah makanan yang berasal dari
sektor retail dan konsumen digabungkan maka akan didapatkan nilai sebesar
USD 166 milyar pada tahun 2008.

Dilain pihak, USDA memperkirakan 14,5% rumah tangga di AS rawan pangan,


yaitu sekitar 24,6 juta rumah tangga. Kerawanan pangan mengakibatkan
tekanan fisik dan psikis, terutama bagi anak-anak. Tekanan yang berlebihan
diketahui berperan penting dalam menurunnya kesehatan yang berakibat pada
kapasitas kerja dan kontribusi dalam komunitas.

USDA memperkirakan hilangnya makanan menjadi sampah setara dengan


2.615 kalori per hari per orang. Seandainya 10-25% makanan dapat dicegah
menjadi sampah, maka hal itu akan cukup untuk memberi makan 8 juta hingga
20 juta orang (Clarke et al, 2015).

Mengurangi timbulnya sampah makanan sangat penting untuk strategi masa


depan dalam membantu pemenuhan kebutuhan makanan pada pertumbuhan
populasi global. PBB memprediksiksikan populasi manusia di bumi akan
mencapai 9,3 milyar pada tahun 2050 dan akan memerlukan peningkatan

6 Pendahuluan
produksi makanan sebesar 70%. Jutaan manusia akan mengalami kekurangan
pangan. Hal itu terutama terjadi di negara-negara yang berpenghasilan rendah
(Buzby et al, 2014).

Sumber: www.thinkeatsave.org

Gambar 1.4. Jutaan Manusia Masih Mengalami Krisis Pangan

F. UPAYA GLOBAL DAN LOKAL

Melihat besarnya dampak lingkungan, finansial dan sosial, maka perlu ada
upaya untuk meminimisasi, mereduksi, dan menangani sampah makanan
secara terkendali. Pengelolaan sampah makanan saat ini menjadi perhatian
dunia dan masuk menjadi bagian dari SDG (Sustainable Development Goals)
yang ke-12. SDG 12 terdiri atas delapan target. Salah satu targetnya,
menyatakan target pengurangan sampah makanan hingga 50% sampah
makanan pada tahun 2030.

Bagaimana peran Indonesia dalam percaturan global pengurangan sampah


makanan? Menurut PBB, Indonesia termasuk negara yang abai terhadap
pentingnya mengurangi sampah makanan. Menurut hitungan PBB, Indonesia
menghasilkan sekitar 13 juta ton sampah makanan setiap tahunnya yang
berasal dari seluruh mata rantai pasokan makanan. Satu lagi predikat disandang
oleh Indonesia yakni sebagai pembuang makanan terbesar dunia, setelah Saudi
Arabia.

Dalam upaya penanganan sampah makanan di rantai pasokan akhir,


Pemerintah Indonesia, dalam Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, menetapkan

Pendahuluan 7
target dengan membangun dan mengoperasikan unit daur ulang sampah
sebanyak 115 buah hingga tahun 2019 yang masing-masing kapasitasnya 20 ton
per hari yang akan disebar di beberapa wilayah di Indonesia. Program
pemerintah tersebut perlu kita dukung dalam rangka mensukseskan target
global reduksi sampah makanan yang telah menjadi konsensus dunia.

8 Pendahuluan

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai