GLAUKOMA SEKUNDER
Pembimbing
dr. Suyatno, Sp.M
Disusun Oleh :
Novit Nurul Fitriana J510185013
Rifda El Mahroos, S.Ked J510185041
Rizal Arkan Putranto J510185069
REFERAT
GLAUKOMA SEKUNDER
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Disusun Oleh:
Novit Nurul Fitriana J510185013
Rifda El Mahroos, S.Ked J510185041
Rizal Arkan Putranto J510185069
Dipresentasikan kepada :
Pembimbing:
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
A. Definisi dan epidemiologi glaukoma............................................................2
B. Epidemiologi glaukoma................................................................................3
C. Klasifikasi glaukoma.....................................................................................3
D. Glaukoma sekunder akibat kelainan lensa....................................................5
E. Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior...................................................6
F. Glaukoma sekunder akibat trauma................................................................9
G. Glaukoma sekunder akibat operasi...............................................................9
H. Glaukoma sekunder akibat penggunaan steroid jangka panjang................10
I. Glaukoma sekunder akibat neovaskularisasi sudut.....................................10
J. Penatalaksanaan glaukoma.........................................................................11
BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
B. Epidemiologi glaukoma
Menurut riskesdas 2007 prevalensi glaucoma di Indonesia sebesar
0,46%, artinya sebanyak 4 sampai 5 orang dari 1000 penduduk Indonesia
menderita glaucoma. Berdasarkan data aplikasi rumah sakit online (SIRS
online), jumlah kunjungan glaucoma pada pasien rawat jalan di RS selama
2015-2017 mengalami peningkatan (Infodantin, 2015).
Pada tahun 2017 jumlah kasus baru glaucoma pada pasien rawat jalan
di RS di Indonesia adalah 80.548 kasus. Berdasarkan jenis kelamin, penderita
glaucoma wanita lebih banyak daripada laki-laki. Pada data pasien rawat jalan
dan rawat inap di RS pada tahun 2017, glaukoam mayoritas diderita pada
pasien kelompok umur 44-64 tahun, lebih dari 64 tahun dan 24-44 tahun
(Infodantin, 2015).
C. Klasifikasi glaukoma
Klasifikasi glaukoma terdapat beberapa macam antara lain yaitu,
glaucoma primer, glaucoma sekunder dan glaucoma congenital. Berikut
penjelasan dari masing-masing glaucoma : (Ilyas, 2007)
1. Glaucoma primer
a. Glaucoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaucoma ini belum pasti, mula timbulnya gejala simpleks
ini agak lambat yang kadang tidak disadari penderita sampai akhirnya
berlanjut dengan kebutaan. Umumnya ditemukan pada pasien usia
lebih dari 40 tahun. Gambaran patologik utama pada glaucoma sudut
terbuka adalah proses degenerative di jalinan trabecular, termasuk
pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan
endotel kanalis Schlemm. Hal ini berbeda dari proses penuaan normal.
Akibatnya adalah penurunan drainase cairan aquos yang menyebabkan
penngkatan tekanan intraokuler.
3
b. Glaucoma sudut tertutup terdiri atas :
1) Akut
Glaucoma ini terjadi apabila terbentuk iris bombeyang
menyebabkan sumbatan sudut bilik mata depan (BMD) oleh iris
perifer. Hal ini menyebabkan aliran cairan aquos humor dan
tekanan intraokuler meningkat cepat. Glaucoma sudut tertutup
terjadi pada mata yang sudah mengalami penyempitan anatomi.
2) Sub akut
Episode peningkatan TIO berlangsung singkat dan rekuren.
Episode penutupan sudut membaik secara spontan, tetapi terjadi
akumulasi kerusakan pada sudut berupa pembentukan sinekia
anterior perifer.
3) Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan bilik mata
depan tidak pernah mengalami episode peningkatan akut TIO
tetapi mengalami sinekia anterior perifer yang semakin meluas
disertai peningkatan bertahap dari TIO.
2. Glaucoma kongenital
Primer atau infantile dan disertai kelainan kongenital lainnya.
3. Glaucoma sekunder
Glaucoma sekunder merupakan glaucoma yang terjadi akibat penyakit
mata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya seperti :
a. Akibat perubahan lensa
b. Akibat perubahan Uvea
c. Akibat trauma
d. Akibat post operasi
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topical jangka lama.
4. Glaucoma absolut
Stadium akhir glaucoma dimana sudah terjadi kebutaan total akibat
tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaucoma
4
absolute terlihat kornea keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan
ekskavasio glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa sakit.
5
E. Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior
Di sudut iridokornealis, cairan melalui trabekulum masuk ke dalam
kanal Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar
masuknya cairan ini masih seimbang, maka tekanan mata masih dalam batas-
batas normal 15-20 mmHg (Vaughan& Riordan, 2014).
Tekanan intraokular pada uveitis biasanya di bawah normal karena
corpus ciliare yang meradang berfungsi kurang baik. Namun, dapat pula terjadi
peningkatan tekanan intraokular melalui beberapa mekanisme yang berlainan.
Anyaman trabekular dapat tersumbat oleh sel-sel radang dari bilik mata depan,
disertai edema sekunder, atau kadang-kadang dapat terlibat dalam proses
peradangan yang secara spesifik mengenai sel-sel trabekular (trabekulitis). Sel
peradangan dan fibrin yang banyak dapat menimbulkan penyumbatan sudut
iridokornealis, sehingga aliran cairan keluar terhambat dan menimbulkan
glaukoma sekunder (Vaughan& Riordan, 2014).
Elemen-elemen radang mengandung fibrin yang menempel pada pupil
dapat juga mengalami jaringan organisasi sehingga melekatkan ujung iris pada
lensa. Perlekatan ini disebut sinekhia posterior. Bila seluruh pinggir iris
melekat pada lensa, disebut seklusio pupil yang dapat menyebabkan cairan dari
COP tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke COA, iris terdorong ke depan,
menyebabkan sudut COA sempit sehingga dapat menimbulkan glaukoma
sekunder (Vaughan& Riordan, 2014).
Selain itu, perlekatan-perlekatan iris pada lensa, menyebabkan bentuk
menjadi tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang dan fibrin, yang
kemudian mengalami jaringan organisasi dan menimbulkan oklusi pupil yang
dapat menghambat aliran humor aquos sehingga menyebabkan glaukoma
sekunder (Vaughan& Riordan, 2014).
Keadaan-keadaan tersebut dapat mengakibatkan glaukoma sekunder
yang dapat terjadi pada stadium dini maupun stadium lanjut. Pada stadium dini
peradangan uvea anterior, timbul hiperemi yang menimbulkan bertambahnya
produk humor aquos, juga ikut keluarnya sel-sel radang dengan fibrinnya
6
akibat gangguan permeabilitas dari pembuluh darah dan menyebabkan
meningginya tekanan intraokuler. Pada stadium lanjut adanya seklusio pupil,
oklusi pupil, sinekhia perifer dapat menimbulkan iris bombe yang
menyebabkan sudut iridokornealis sempit dan menimbulkan gangguan aliran
keluar dari humor aquos sehingga tekanan intraokuler meningkat yang pada
akhirnya dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder akibat
uveitis anterior itu sendiri dikelompokkan menjadi glaukoma sekunder sudut
terbuka dan glaukoma sekunder sudut tertutup (Gordon, 2004).
Gambar 1. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior (Gordon, 2004).
7
Pada tahap yang lebih lanjut dari penyakit ini, pada banyak kasus,
dapat terjadi glaukoma sudut tertutup sebagai efek sekunder dari sinekhia
perifer atau efek sekunder blok pupil dari produk hasil inflamasi dipupil. Ini
dapat juga karena pada awalnya terjadi sebagai serangan berulang ringan
dari uveitis yang tidak terdeteksi yang menyebabkan sinekhia perifer dan
menjadi glaukoma sudut tertutup kronik (Gordon, 2004).
Gambar 2. Glaukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior (Gordon, 2004)
8
Pada kasus yang lain, setelah periode panjang pada uveitis yang tidak
diterapi atau dikontrol, sudut perlahan-lahan akan tertutup oleh sinekhia
perifer, pada keadaan ini, tentu saja glaukoma juga dapat berlangsung
permanen pula (Gordon, 2004).
9
Tindakan bedah pada mata yang menimbulkan peningkatan tekanan
intraokular yang bermakna dan sudut sempit atau tertutup dapat
menyebabkan glaukoma sumbatan siliaris. Segera setelah pembedahan,
tekanan intraokular meningkat hebat dan lensa terdorong ke depan akibat
penimbunan aqueous di dalam dan di belakang korpus vitreum. Pasien
awalnya merasakan penglihatan jauh yang kabur, tetapi penglihatan
dekatnya membaik. Ini diikuti dengan nyeri dan peradangan (Vaughan&
Riordan, 2014).
10
Sering terjadi pada penderita retinopati DM dan penyakit- penyakit
vaskular retina. Bila retinopati terus berlanjut, selanjutnya akan terjadi iskemik
retina. Kondisi iskemik akan merangsang terbentuknya pembuluh darah baru
yang rapuh (neovaskularisasi). Kalau neovaskularisasi ini mencapai iris, maka
akan menutup sudut bilik mata sehingga aliran cairan akuos terganggu dan TIO
meningkat. Tindakan pencegahan dilakukan dengan terapi fotokoagulasi retina
untuk mengurangi respon iskemia, sehingga tidak terjadi neovaskularisasi.
Tanda dan gejala yang timbul seperti pada glaukoma primer sudut tertutup,
khas disertai dengan rasa sakit, mata merah, dll (Suhardjo, 2012).
J. Penatalaksanaan glaukoma
Pada dasarnya, terapi glaukoma dibagi menjadi terapi medikamentosa
dan operatif. Tujuannya untuk menurunkan TIO sehingga aman bagi penderita.
Masing-masing individu mempunyai ambang toleransi TIO yang berbeda-beda.
Target penurunan biasanya 30–50% dari TIO awal. Suatu tekanan sebesar ‘x’
mmHg dapat diketahui sudah aman bagi suatu individu dengan cara melakukan
evaluasi setiap 6 bulan dengan pemeriksaan lapangan pandang. Kalau sudah
stabil, artinya tidak ada lagi penurunan lapang pandang secara progresif berarti
TIO sebesar ‘x’ mmHg aman bagi individu tersebut (AAO, 2005).
11
Kedua, terdapat faktor lain selain TIO dalam glaukoma. Misalnya pada
penderita hipertensi, hipotensi, atau DM, aliran darahnya buruk sehingga
mudah terjadi kerusakan saraf optik. Ketiga, follow-up terus menerus.
Keempat, pertimbangkan efek samping & biaya, karena biasanya terapi untuk
glaukoma jangka panjang, bahkan seumur hidup. Kelima, pertahankan
penglihatan yang baik dengan efek samping minimal dan biaya ringan
(Suhardjo, 2012).
Cara penurunan TIO ialah dengan menurunkan produksi atau
menambah pembuangan cairan akuos. Selain itu bisa dengan merusak badan
silier, dengan laser atau krio, dan dengan membuang cairan akuos ke tempat
lain (operasi ltrasi) (Suhardjo, 2012).
1. Medikamentosa
Penyekat reseptor beta menurunkan TIO dengan cara mengurangi
produksi cairang akuos oleh korpus siliaris. Timolol merupakan penyekat
beta yang tidak selektif, bekerja juga pada reseptor di jantung
(memperlambat denyut jantung dan menurunkan tekanan darah) dan
bronkus (bronkokonstriksi). Betaxolol adalah selektif reseptor-β1 sehingga
efek samping sistemiknya cenderung tidak menyebabkan bronkokonstriksi
(Suhardjo, 2012).
Agen kolinergik menurunkan TIO dengan menaikkan kemampuan
aliran keluar cairan akuos. Obat ini merangsang saraf parasimpatik
sehingga menyebabkan kontraksi m. longitudinalis ciliaris yang menarik
taji sklera. Ini akan membuka anyaman trabekular sehingga meningkatkan
aliran keluar. Selain itu, agen ini juga menyebabkan kontraksi m. s ngter
pupil sehingga terjadi miosis. Contohnya antara lain adalah pilokarpin dan
asetilkolin (Suhardjo, 2012).
Prostaglandin (PG) bekerja dengan menaikkan aliran keluar
uveosklera. PG akan menaikkan pengeluaran cairan akuos dengan
merelaksasikan m. siliaris dan menurunkan matriks ekstraselular sekitar
12
Agonis adrenergik bekerja dengan menurunkan produksi humor
aqueus dengan vasokontstriksi vasa yang menuju ke korpus siliaris,
menaikkan aliran keluar uveosklera, dan diduga juga bertindak sebagai
neuroprotektor (belum terbukti). Contoh obat ini adalah epinefrin dan
dipiverin (agonis adrenergik tidak selektif) dan apraclonidin dan
bromonidin (selektif agonis adrenergik-α2) (Suhardjo, 2012).
Inhibitor karbonik anhidrase (CA inhibitor) menurunkan produksi
cairan akuos dengan menurunkan sekresi bikarbonat yang diikuti
2. Bedah Glaukoma
Ada beberapa macam teknik bedah yang bisa dilakukan untuk
menangani glaukoma. Trabekulektomi adalah pembuatan lubang yang
menghubungkan COA dan subkonjungtiva dengan mengambil sedikit
jaringan trabekulum. Trabekulosplasti laser (fotokoagulasi) dikerjakan
untuk membuat sikatriks di trabekulum. Sikatriks sifatnya membuat
tarikan karena banyak jaringan ikatnya. Diharapkan bagian yang tidak
terkena laser/tidak terjadi sikatriks akan tertarik sehingga celah trabekulum
melebar. Gonioplasti/iridoplasti berguna untuk membuat sikatriks di iris
13
perifer yang menutup trabekulum sehingga sudut menjadi terbuka
(Suhardjo, 2012).
Pembedahan non-penetrasi yang bisa dilakukan untuk glaukoma
adalah viskoanalostomi, sklerektomi dalam. pirau tuba (tube shunt) dapat
dilakukan dengan implan Baerveldt, Ahmed, Molteno. Tuba terbuat dari
silikon (karena inert). Pirau dipasang dari COA ke subkonjungtiva.
Siklodestruksi adalah cara lain dalam bedah glaukoma. Ini dilakukan yaitu
dengan merusak sebagian badan siliar sehingga produksi cairan akuos
turun. Dapat dilakukan dengan bedah krio atau laser. Terapi ini merupakan
terapi pilihan terakhir. Efek sampingnya kalau terlalu banyak badan siliar
yang rusak, mata bisa mengecil karena humor aqueus terlalu sedikit
(Suhardjo, 2012).
Pada penderita glaukoma yang tidak taat berobat, TIO dapat naik
kembali sehingga kerusakan saraf semakin parah, dan terjadi kebutaan.
Oleh karena itu, sebagai dokter perlu menerangkan ke pasien bahwa
pengobatan tidak boleh terputus/seumur hidup untuk mencegah kebutaan.
Dan seperti yang sudah ditulis di atas, pertimbangkan juga mengenai efek
samping dan biayanya untuk meningkatkan ketaatan pasien. Deteksi dini
sangat penting karena kerusakan mata bersifat permanen, sehingga dapat
ditangani seawal mungkin sebelum kerusakan saraf lebih parah. Deteksi
dini dapat dilakukan dengan kontrol rutin atau bisa saat timbul gejala
(Suhardjo, 2012).
Pada individu sehat (bukan penderita glaukoma) kontrol dilakukan
3 tahun sekali, bila tidak ditemukan gejala kemunduran penglihatan.
Terutama pada yang berusia 40 tahun ke atas. Kontrol dilakukan 1 tahun
sekali bila ada faktor-faktor risiko yaitu: riwayat keluarga positif
glaukoma, konsumsi steroid jangka panjang, diabetes, hipertensi, pernah
trauma mata, miopia dan hiperopia tinggi (Suhardjo, 2012).
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16