Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

GLAUKOMA SEKUNDER

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Pendidikan Profesi Dokter


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. Suyatno, Sp.M

Disusun Oleh :
Novit Nurul Fitriana J510185013
Rifda El Mahroos, S.Ked J510185041
Rizal Arkan Putranto J510185069

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RSUD IR. SOEKARNO SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

GLAUKOMA SEKUNDER
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun Oleh:
Novit Nurul Fitriana J510185013
Rifda El Mahroos, S.Ked J510185041
Rizal Arkan Putranto J510185069

Telah dipresentasikan, disetujui dan disahkan oleh bagian Program


Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari .............., ........................2019

Dipresentasikan kepada :

dr. Suyatno, Sp.M (........................................)

Pembimbing:

dr. Suyatno, Sp.M (........................................)

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
A. Definisi dan epidemiologi glaukoma............................................................2
B. Epidemiologi glaukoma................................................................................3
C. Klasifikasi glaukoma.....................................................................................3
D. Glaukoma sekunder akibat kelainan lensa....................................................5
E. Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior...................................................6
F. Glaukoma sekunder akibat trauma................................................................9
G. Glaukoma sekunder akibat operasi...............................................................9
H. Glaukoma sekunder akibat penggunaan steroid jangka panjang................10
I. Glaukoma sekunder akibat neovaskularisasi sudut.....................................10
J. Penatalaksanaan glaukoma.........................................................................11
BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Glaukoma adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan tekanan


intraocular yang disertai dengan kerusakan pada saraf optic yang terjadi secara
perlahan. Pada sebagian besar penderitanya terjadi akibat peningkatan intra ocular
oleh karena adanya sumbatan pada sirkulasi atau drainase aquos. Sedangkan
menurut perhimpunan dokter mata Indonesia, glaukoma adalah penyakit mata
yang ditandai dengan extravasasi glaukomatosa, neuropati saraf optic, serta
kerusakan lapang pandang yang khas dan utamanya diakibatkan oleh tekanan bola
mata yang tidak normal (PDSMI, 2002).
Pada decade terakhir, prevalensi glaucoma meningkat dengan cepat seiring
dengan pertumbuhan populasi penduduk dan pertambahan usia mereka. Pada
tahun 2010 jumlah penderita glakoma mencapai 60,5 juta individu. Kejadian
glaucoma secara global diperkirakan mencapai angka 76 juta di tahun 2020 dan
111,8 juta di tahun 2040 (Infodantin, 2015).
Glaucoma merupakan masalah kesehatan mata yang penting di Indonesia.
Menurut riskesdas 2007 prevalensi glaucoma di Indonesia sebesar 0,46%, artinya
sebanyak 4 sampai 5 orang dari 1000 penduduk Indonesia menderita glaucoma.
Pada glaucoma kronik dengan sudut bilik mata terbuka misalnya, kerusakan saraf
optic terjadi perlahan-lahan hamper tanpa keluhan subjektif. Hal ini menyebabkan
penderita datang terlambat pada dokter. Biasanya kalau sudah memberikan
keluhan, keadaan galukoma sudah menjadi lanjut. Dalam masyarakat yang
kesadaran akan kesehatan atau pendidikan masih kurang, dokter perlu secara aktiv
menemukan kasus glaucoma kronis, yaitu dengan mengadakan pengukuran bola
mata secara rutin (Riskesdas, 2007).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan epidemiologi glaukoma


Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma.
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan
intraokuler yang disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan
lapang pandang. Tekanan bola mata yang normal dinyatakan dengan tekanan
air raksa yaitu antara 15-20 mmHg. Tekanan bola mata yang tinggi juga akan
mengakibatkan kerusakan saraf penglihat yang terletak di dalam bola mata.
Pada keadaan tekanan bola mata tidak normal atau tinggi maka akan terjadi
gangguan lapang pandangan. Kerusakan saraf penglihatan akan mengakibatkan
kebutaan (Ilyas, 2007).
Menurut Kemenkes glaucoma merupakan penyakit kerusakan pada
saraf mata yang menyebabkan menyempitnya lapang pandang dan hilangnya
fungsi pengelihatan. Factor resiko utama yang menyebabkam glaucoma adalah
peningkatan tekanan bola mata. Didalam bola mata terdapat cairan (aquos
humor) yang berfungsi untuk memberikan nutrisi pada organ dalam mata.
Cairan ini diproduksi dan dikeluarkan kembali dalam siklus yang seimbang
sehingga tekanan pada bola mata tetap terjaga normal. Pada penderita
glaucoma siklus ini tidak seimbang dimana cairan diproduksi tetapi terdapat
masalah dalam saluran pengeluaran, maupun sebaliknya. Hal ini yang
menyebabkan tekanan pada bola mata meningkat sehingga terjadi penekanan
papil saraf optic (Infodantin, 2015).
Sedangkan glaukoma sekunder adalah peningkatan tekanan intraokular
yang terjadi sebagai suatu manifestasi dari penyakit mata lain. Glaukoma
sekunder adalah glaukoma yang disebabkan oleh penyakit mata lain atau
faktor-faktor seperti inflamasi, truma, perdarahan, tumor, obat-obatan, dan
pengaruh fisik atau kimia (Lang, 2006).

2
B. Epidemiologi glaukoma
Menurut riskesdas 2007 prevalensi glaucoma di Indonesia sebesar
0,46%, artinya sebanyak 4 sampai 5 orang dari 1000 penduduk Indonesia
menderita glaucoma. Berdasarkan data aplikasi rumah sakit online (SIRS
online), jumlah kunjungan glaucoma pada pasien rawat jalan di RS selama
2015-2017 mengalami peningkatan (Infodantin, 2015).
Pada tahun 2017 jumlah kasus baru glaucoma pada pasien rawat jalan
di RS di Indonesia adalah 80.548 kasus. Berdasarkan jenis kelamin, penderita
glaucoma wanita lebih banyak daripada laki-laki. Pada data pasien rawat jalan
dan rawat inap di RS pada tahun 2017, glaukoam mayoritas diderita pada
pasien kelompok umur 44-64 tahun, lebih dari 64 tahun dan 24-44 tahun
(Infodantin, 2015).

C. Klasifikasi glaukoma
Klasifikasi glaukoma terdapat beberapa macam antara lain yaitu,
glaucoma primer, glaucoma sekunder dan glaucoma congenital. Berikut
penjelasan dari masing-masing glaucoma : (Ilyas, 2007)
1. Glaucoma primer
a. Glaucoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaucoma ini belum pasti, mula timbulnya gejala simpleks
ini agak lambat yang kadang tidak disadari penderita sampai akhirnya
berlanjut dengan kebutaan. Umumnya ditemukan pada pasien usia
lebih dari 40 tahun. Gambaran patologik utama pada glaucoma sudut
terbuka adalah proses degenerative di jalinan trabecular, termasuk
pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan
endotel kanalis Schlemm. Hal ini berbeda dari proses penuaan normal.
Akibatnya adalah penurunan drainase cairan aquos yang menyebabkan
penngkatan tekanan intraokuler.

3
b. Glaucoma sudut tertutup terdiri atas :
1) Akut
Glaucoma ini terjadi apabila terbentuk iris bombeyang
menyebabkan sumbatan sudut bilik mata depan (BMD) oleh iris
perifer. Hal ini menyebabkan aliran cairan aquos humor dan
tekanan intraokuler meningkat cepat. Glaucoma sudut tertutup
terjadi pada mata yang sudah mengalami penyempitan anatomi.
2) Sub akut
Episode peningkatan TIO berlangsung singkat dan rekuren.
Episode penutupan sudut membaik secara spontan, tetapi terjadi
akumulasi kerusakan pada sudut berupa pembentukan sinekia
anterior perifer.
3) Kronik
Sejumlah kecil pasien dengan predisposisi penutupan bilik mata
depan tidak pernah mengalami episode peningkatan akut TIO
tetapi mengalami sinekia anterior perifer yang semakin meluas
disertai peningkatan bertahap dari TIO.
2. Glaucoma kongenital
Primer atau infantile dan disertai kelainan kongenital lainnya.
3. Glaucoma sekunder
Glaucoma sekunder merupakan glaucoma yang terjadi akibat penyakit
mata yang lain atau penyakit sistemik yang menyertainya seperti :
a. Akibat perubahan lensa
b. Akibat perubahan Uvea
c. Akibat trauma
d. Akibat post operasi
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topical jangka lama.
4. Glaucoma absolut
Stadium akhir glaucoma dimana sudah terjadi kebutaan total akibat
tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaucoma

4
absolute terlihat kornea keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan
ekskavasio glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa sakit.

D. Glaukoma sekunder akibat kelainan lensa


1. Dislokasi Lensa
Lensa kristalina dapat mengalami dislokasi akibat trauma atau
secara spontan, misalnya pada sindrom Marfan. Dislokasi anterior dapat
menimbulkan sumbatan pada apertura pupil yang menyebabkan iris bombe
dan penutupan sudut. Dislokasi posterior ke dalam vitreus juga berkaitan
dengan glaukoma meskipun mekanismenya belum jelas. Hal ini mungkin
disebabkan oleh kerusakan sudut pada waktu dislokasi traumatik
(Vaughan& Riordan, 2014).
Pada dislokasi anterior, terapi definitifnya adalah ekstaksi lensa
segera setelah tekanan intraokular terkontrol secara medis. Pada dislokasi
posterior, lensa biasaanya dibiarkan dan glaukoma diobati sebagai
glaukoma sudut terbuka primer (Vaughan& Riordan, 2014).
2. Intumesensi Lensa
Lensa dapat menyerap cukup banyak cairan sewaktu mengalami
perubahan-perubahan katarak sehingga ukurannya membesar secara
bermakna.Lensa ini kemudian dapat melanggar batas bilik depan,
menimbulkan sumbatan pupil dan pendesakan sudut, serta menyebabkan
glaukoma sudut tertutup. Terapi berupa ekstraksi lensa, segera setelah
tekanan intraokular terkontrol secara medis (Vaughan& Riordan, 2014).
3. Glaukoma Fakolitik
Sebagian katarak stadium lanjut dapat mengalami kebocoran
kapsul lensa anterior, dan memungkinkan protein-protein lensa yang
mencair masuk ke dalam bilik mata depan. Terjadi reaksi peradangan di
bilik mata depan, anyaman trabekular menjadi edema dan tersumbat oleh
protein-protein lensa, dan menimbulkan peningkatan tekanan intraokular
akut. Ekstraksi lensa merupakan terapi definitif, dilakukan segera setelah
tekanan intraokular terkontrol secara medis dan terapi steroid topikal telah
mengurangi peradangan intraokular (Riordan P, 2010).

5
E. Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior
Di sudut iridokornealis, cairan melalui trabekulum masuk ke dalam
kanal Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar
masuknya cairan ini masih seimbang, maka tekanan mata masih dalam batas-
batas normal 15-20 mmHg (Vaughan& Riordan, 2014).
Tekanan intraokular pada uveitis biasanya di bawah normal karena
corpus ciliare yang meradang berfungsi kurang baik. Namun, dapat pula terjadi
peningkatan tekanan intraokular melalui beberapa mekanisme yang berlainan.
Anyaman trabekular dapat tersumbat oleh sel-sel radang dari bilik mata depan,
disertai edema sekunder, atau kadang-kadang dapat terlibat dalam proses
peradangan yang secara spesifik mengenai sel-sel trabekular (trabekulitis). Sel
peradangan dan fibrin yang banyak dapat menimbulkan penyumbatan sudut
iridokornealis, sehingga aliran cairan keluar terhambat dan menimbulkan
glaukoma sekunder (Vaughan& Riordan, 2014).
Elemen-elemen radang mengandung fibrin yang menempel pada pupil
dapat juga mengalami jaringan organisasi sehingga melekatkan ujung iris pada
lensa. Perlekatan ini disebut sinekhia posterior. Bila seluruh pinggir iris
melekat pada lensa, disebut seklusio pupil yang dapat menyebabkan cairan dari
COP tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke COA, iris terdorong ke depan,
menyebabkan sudut COA sempit sehingga dapat menimbulkan glaukoma
sekunder (Vaughan& Riordan, 2014).
Selain itu, perlekatan-perlekatan iris pada lensa, menyebabkan bentuk
menjadi tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang dan fibrin, yang
kemudian mengalami jaringan organisasi dan menimbulkan oklusi pupil yang
dapat menghambat aliran humor aquos sehingga menyebabkan glaukoma
sekunder (Vaughan& Riordan, 2014).
Keadaan-keadaan tersebut dapat mengakibatkan glaukoma sekunder
yang dapat terjadi pada stadium dini maupun stadium lanjut. Pada stadium dini
peradangan uvea anterior, timbul hiperemi yang menimbulkan bertambahnya
produk humor aquos, juga ikut keluarnya sel-sel radang dengan fibrinnya

6
akibat gangguan permeabilitas dari pembuluh darah dan menyebabkan
meningginya tekanan intraokuler. Pada stadium lanjut adanya seklusio pupil,
oklusi pupil, sinekhia perifer dapat menimbulkan iris bombe yang
menyebabkan sudut iridokornealis sempit dan menimbulkan gangguan aliran
keluar dari humor aquos sehingga tekanan intraokuler meningkat yang pada
akhirnya dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder akibat
uveitis anterior itu sendiri dikelompokkan menjadi glaukoma sekunder sudut
terbuka dan glaukoma sekunder sudut tertutup (Gordon, 2004).

1. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior

Gambar 1. Glaukoma sekunder sudut terbuka akibat uveitis anterior (Gordon, 2004).

Pada tahap awal glaukoma sekunder akibat uveitis anterior, banyak


berhubungan dengan glaukoma sudut terbuka seperti yang terlihat pada
gambar. Hambatan aliran humor aquos berhubungan dengan menumpuknya
sel-sel inflamasi dan serat fibrin di trabekulum (T). Pada tahap lanjut,
sinekhia perifer (P) dapat muncul dan sudut iridokornealis akan terbuka
kurang dari 50% jika sudut tertutup oleh sinekhia perifer. Terapi pada
glaukoma sudut terbuka ini lebih banyak dengan medikamentosa (Gordon,
2004).

7
Pada tahap yang lebih lanjut dari penyakit ini, pada banyak kasus,
dapat terjadi glaukoma sudut tertutup sebagai efek sekunder dari sinekhia
perifer atau efek sekunder blok pupil dari produk hasil inflamasi dipupil. Ini
dapat juga karena pada awalnya terjadi sebagai serangan berulang ringan
dari uveitis yang tidak terdeteksi yang menyebabkan sinekhia perifer dan
menjadi glaukoma sudut tertutup kronik (Gordon, 2004).

2. Glukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior

Gambar 2. Glaukoma sekunder sudut tertutup akibat uveitis anterior (Gordon, 2004)

Gambar menunjukkan keadaan sudut tertutup (A) dengan


presentase lebih dari 50%. Pada uveitis tahap lanjut ini glaukoma sudut
tertutup dapat berasal dari sinekhia perifer atau efek sekunder blok pupil
dari produk inflamasi yang ada dipupil (P). Anatomi dari sudut
iridokornealis tidak dapat dilihat dengan jelas pada pemeriksaan gonioskopi
disebabkan adanya sinekhia perifer dari iris dan adanya iris bombe sehingga
iris terdorong kedepan oleh cairan humor aquos pada kamera okuli posterior
sehingga menutupi sudut iridokornealis tersebut. Jika sudut sudah terbuka
maka kita dapat mengontrol glaukoma sekunder dan uveitis sehingga dapat
menurunkan tekanan intraokular, pengontrolan ini sulit dilakukan jika
kondisi sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan telah
ada jaringan fibrotik permanen pada trabekulum, pada keadaan ini
glaukoma sekunder yang terjadi dapat berlangsung permanen selamanya.

8
Pada kasus yang lain, setelah periode panjang pada uveitis yang tidak
diterapi atau dikontrol, sudut perlahan-lahan akan tertutup oleh sinekhia
perifer, pada keadaan ini, tentu saja glaukoma juga dapat berlangsung
permanen pula (Gordon, 2004).

F. Glaukoma sekunder akibat trauma


Cedera konstusio bola mata dapat disertai dengan peningkatan dini
tekanan intraokular akibat perdarahan ke dalam bilik mata depan (hifema).
Darah bebas menyumbat anyaman trabekular, yang juga mengalami edema
akibat cedera. Terapi awal dilakukan dengan obat-obatan, tetapi mungkin
diperlukan tindakan bedah bila tekanannya tetap tinggi, yang kemungkinan
besar terjadi bila ada episode perdarahan kedua (Ilyas, 2007).
Cedera kontusio berefek lambat pada tekanan intraokular; efek ini
timbul akibat kerusakan langsung pada sudut. Selang waktu antara cedera dan
timbulnya glaukoma mungkin menyamarkan hubungan tersebut. Secara klinis,
bilik mata depan tampak lebih dalam daripada mata yang satunya, dan
gonioskopi memperlihatkan resesi sudut. Terapi medis biasanya efektif, tetapi
mungkin diperlukan tindakan bedah (Ilyas, 2007).
Akibat cedera kontusio dapat terjadi putusnya zonula Zinn, yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa tidak normal. Kedudukan lensa tidak normal
ini akan mendorong iris ke depan sehingga terjadi penutupan sudut bilik mata.
Penutupan sudut bilik mata akan menghambat pengaliran keluar cairan mata
sehingga akan menimbulkan glaukoma sekunder (Ilyas, 2007).
Laserasi atau robek akibat kontusio pada segmen anterior sering disertai
dengan hilangnya bilik mata depan. Apabila bilik mata tidak segera dibentuk
kembali setelah cedera – baik secara spontan, dengan inkarserasi iris ke dalam
luka, atau secara bedah – akan terbentuk sinekia anterior perifer dan
menyebabkan penutupan sudut yang ireversibel (Ilyas, 2007).

G. Glaukoma sekunder akibat operasi


1. Glaukoma sumbatan siliaris (Glaukoma Maligna)

9
Tindakan bedah pada mata yang menimbulkan peningkatan tekanan
intraokular yang bermakna dan sudut sempit atau tertutup dapat
menyebabkan glaukoma sumbatan siliaris. Segera setelah pembedahan,
tekanan intraokular meningkat hebat dan lensa terdorong ke depan akibat
penimbunan aqueous di dalam dan di belakang korpus vitreum. Pasien
awalnya merasakan penglihatan jauh yang kabur, tetapi penglihatan
dekatnya membaik. Ini diikuti dengan nyeri dan peradangan (Vaughan&
Riordan, 2014).

2. Sinekia Anterior Perifer


Seperti halnya trauma pada segmen anterior, tindakan bedah yang
menyebabkan mendatarnya bilik mata depan akan menimbulkan
pembentukan sinekia anterior perifer. Diperlukan pembentukkan kembali
bilik mata depan melalui tindakan bedah dengan segera apabila hal tersebut
tidak terjadi secara spontan (Vaughan& Riordan, 2014).

H. Glaukoma sekunder akibat penggunaan steroid jangka panjang


Kortikosteroid intraokular, periokular dan topikal dapat menimbulkan
sejenis glaukoma yang mirip dengan glaukoma sudut terbuka primer, terutama
pada individu dengan riwayat penyakit ini pada keluarganya, dan akan
memperparah peningkatan TIO pada para pengidap glaukoma sudut terbuka
primer. Penghentian pengobatan biasanya menghilangkan efek-efek tersebut,
tetapi dapat terjadi kerusakan permanen apabila keadaan tersebut tidak disadari
dalam waktu lama. Apabila terapi steroid topikal mutlak diperlukan, terapi
glaukoma secara medis biasanya dapat mengontrol TIO. Terapi steroid
sistemik jarang menyebabkan peningkatan TIO. Pasien yang mendapatkan
terapi steroid topikal atau sistemik harus menjalani tonometri dan oftalmoskopi
secara periodik, terutama apabila terdapat riwayat glaukoma dalam keluarga
(Vaughan& Riordan, 2014).

I. Glaukoma sekunder akibat neovaskularisasi sudut

10
Sering terjadi pada penderita retinopati DM dan penyakit- penyakit
vaskular retina. Bila retinopati terus berlanjut, selanjutnya akan terjadi iskemik
retina. Kondisi iskemik akan merangsang terbentuknya pembuluh darah baru
yang rapuh (neovaskularisasi). Kalau neovaskularisasi ini mencapai iris, maka
akan menutup sudut bilik mata sehingga aliran cairan akuos terganggu dan TIO
meningkat. Tindakan pencegahan dilakukan dengan terapi fotokoagulasi retina
untuk mengurangi respon iskemia, sehingga tidak terjadi neovaskularisasi.
Tanda dan gejala yang timbul seperti pada glaukoma primer sudut tertutup,
khas disertai dengan rasa sakit, mata merah, dll (Suhardjo, 2012).

Gambar 3. Glaukoma sekunder dengan neovaskularisasi sudut (Suhardjo, 2012)

J. Penatalaksanaan glaukoma
Pada dasarnya, terapi glaukoma dibagi menjadi terapi medikamentosa
dan operatif. Tujuannya untuk menurunkan TIO sehingga aman bagi penderita.
Masing-masing individu mempunyai ambang toleransi TIO yang berbeda-beda.
Target penurunan biasanya 30–50% dari TIO awal. Suatu tekanan sebesar ‘x’
mmHg dapat diketahui sudah aman bagi suatu individu dengan cara melakukan
evaluasi setiap 6 bulan dengan pemeriksaan lapangan pandang. Kalau sudah
stabil, artinya tidak ada lagi penurunan lapang pandang secara progresif berarti
TIO sebesar ‘x’ mmHg aman bagi individu tersebut (AAO, 2005).

Terapi glaukoma selalu memegang prinsip-prinsip tertentu. Pertama,


semakin tinggi tekanan intraokular (TIO), semakin besar risiko kerusakan.

11
Kedua, terdapat faktor lain selain TIO dalam glaukoma. Misalnya pada
penderita hipertensi, hipotensi, atau DM, aliran darahnya buruk sehingga
mudah terjadi kerusakan saraf optik. Ketiga, follow-up terus menerus.
Keempat, pertimbangkan efek samping & biaya, karena biasanya terapi untuk
glaukoma jangka panjang, bahkan seumur hidup. Kelima, pertahankan
penglihatan yang baik dengan efek samping minimal dan biaya ringan
(Suhardjo, 2012).
Cara penurunan TIO ialah dengan menurunkan produksi atau
menambah pembuangan cairan akuos. Selain itu bisa dengan merusak badan
silier, dengan laser atau krio, dan dengan membuang cairan akuos ke tempat
lain (operasi ltrasi) (Suhardjo, 2012).
1. Medikamentosa
Penyekat reseptor beta menurunkan TIO dengan cara mengurangi
produksi cairang akuos oleh korpus siliaris. Timolol merupakan penyekat
beta yang tidak selektif, bekerja juga pada reseptor di jantung
(memperlambat denyut jantung dan menurunkan tekanan darah) dan
bronkus (bronkokonstriksi). Betaxolol adalah selektif reseptor-β1 sehingga
efek samping sistemiknya cenderung tidak menyebabkan bronkokonstriksi
(Suhardjo, 2012).
Agen kolinergik menurunkan TIO dengan menaikkan kemampuan
aliran keluar cairan akuos. Obat ini merangsang saraf parasimpatik
sehingga menyebabkan kontraksi m. longitudinalis ciliaris yang menarik
taji sklera. Ini akan membuka anyaman trabekular sehingga meningkatkan
aliran keluar. Selain itu, agen ini juga menyebabkan kontraksi m. s ngter
pupil sehingga terjadi miosis. Contohnya antara lain adalah pilokarpin dan
asetilkolin (Suhardjo, 2012).
Prostaglandin (PG) bekerja dengan menaikkan aliran keluar
uveosklera. PG akan menaikkan pengeluaran cairan akuos dengan
merelaksasikan m. siliaris dan menurunkan matriks ekstraselular sekitar

otot. Contohnya Latanoprost® dan Travaprost®. Cukup digunakan 1 tetes


sehari, namun sangat mahal (Suhardjo, 2012).

12
Agonis adrenergik bekerja dengan menurunkan produksi humor
aqueus dengan vasokontstriksi vasa yang menuju ke korpus siliaris,
menaikkan aliran keluar uveosklera, dan diduga juga bertindak sebagai
neuroprotektor (belum terbukti). Contoh obat ini adalah epinefrin dan
dipiverin (agonis adrenergik tidak selektif) dan apraclonidin dan
bromonidin (selektif agonis adrenergik-α2) (Suhardjo, 2012).
Inhibitor karbonik anhidrase (CA inhibitor) menurunkan produksi
cairan akuos dengan menurunkan sekresi bikarbonat yang diikuti

penurunan aliran sodium ke COP. Contohnya Diamox® (asetazolamid),


dorsolamid, dan bronzolamid (Suhardjo, 2012).
Terapi medikamentosa glaukoma juga dapat dilakukan untuk
mengurangi volume badan kaca (humor vitreus). Untuk mengurangi
volume badan kaca digunakan zat hiperosmotik (untuk menyedot/ menarik
air dari vitreus). Obat ini penting untuk keadaan akut dimana TIO sangat
tinggi sehingga harus cepat diturunkan. Obat hiperosmotik akan membuat
tekanan osmotik darah menjadi tinggi sehingga air di vitreus bisa terserap
ke darah. Preparat yang dapat diberikan berupa manitol (5 cc/kgBB IV
dalam 1 jam), ginjal harus baik karena manitol diekskresi lewat ginjal;
urea (intravena); dan gliserin (oral), kontraindikasi pada DM (Suhardjo,
2012).

2. Bedah Glaukoma
Ada beberapa macam teknik bedah yang bisa dilakukan untuk
menangani glaukoma. Trabekulektomi adalah pembuatan lubang yang
menghubungkan COA dan subkonjungtiva dengan mengambil sedikit
jaringan trabekulum. Trabekulosplasti laser (fotokoagulasi) dikerjakan
untuk membuat sikatriks di trabekulum. Sikatriks sifatnya membuat
tarikan karena banyak jaringan ikatnya. Diharapkan bagian yang tidak
terkena laser/tidak terjadi sikatriks akan tertarik sehingga celah trabekulum
melebar. Gonioplasti/iridoplasti berguna untuk membuat sikatriks di iris

13
perifer yang menutup trabekulum sehingga sudut menjadi terbuka
(Suhardjo, 2012).
Pembedahan non-penetrasi yang bisa dilakukan untuk glaukoma
adalah viskoanalostomi, sklerektomi dalam. pirau tuba (tube shunt) dapat
dilakukan dengan implan Baerveldt, Ahmed, Molteno. Tuba terbuat dari
silikon (karena inert). Pirau dipasang dari COA ke subkonjungtiva.
Siklodestruksi adalah cara lain dalam bedah glaukoma. Ini dilakukan yaitu
dengan merusak sebagian badan siliar sehingga produksi cairan akuos
turun. Dapat dilakukan dengan bedah krio atau laser. Terapi ini merupakan
terapi pilihan terakhir. Efek sampingnya kalau terlalu banyak badan siliar
yang rusak, mata bisa mengecil karena humor aqueus terlalu sedikit
(Suhardjo, 2012).
Pada penderita glaukoma yang tidak taat berobat, TIO dapat naik
kembali sehingga kerusakan saraf semakin parah, dan terjadi kebutaan.
Oleh karena itu, sebagai dokter perlu menerangkan ke pasien bahwa
pengobatan tidak boleh terputus/seumur hidup untuk mencegah kebutaan.
Dan seperti yang sudah ditulis di atas, pertimbangkan juga mengenai efek
samping dan biayanya untuk meningkatkan ketaatan pasien. Deteksi dini
sangat penting karena kerusakan mata bersifat permanen, sehingga dapat
ditangani seawal mungkin sebelum kerusakan saraf lebih parah. Deteksi
dini dapat dilakukan dengan kontrol rutin atau bisa saat timbul gejala
(Suhardjo, 2012).
Pada individu sehat (bukan penderita glaukoma) kontrol dilakukan
3 tahun sekali, bila tidak ditemukan gejala kemunduran penglihatan.
Terutama pada yang berusia 40 tahun ke atas. Kontrol dilakukan 1 tahun
sekali bila ada faktor-faktor risiko yaitu: riwayat keluarga positif
glaukoma, konsumsi steroid jangka panjang, diabetes, hipertensi, pernah
trauma mata, miopia dan hiperopia tinggi (Suhardjo, 2012).

14
BAB III
KESIMPULAN

Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan


intraokular (TIO) yang (relatif) tinggi, yang ditandai oleh kelainan lapangan
pandang dan atro papil saraf optik. Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang
disebabkan karena penyakit lain, bisa penyakit lokal pada mata atau penyakit
sistemik. Beberapa Penyebab dari glukoma sekunder antata lain adalah kelainan
pada lensa, uveitis anterior, trauma, penggunaan steroid dan neovaskularisasi
sudut. Pada dasarnya, terapi glaukoma dibagi menjadi terapi medikamentosa dan
operatif. Tujuannya untuk menurunkan TIO sehingga aman bagi penderita. Cara
penurunan TIO ialah dengan menurunkan produksi atau menambah pembuangan
cairan akuos. Selain itu bisa dengan merusak badan silier, dengan laser atau krio,
dan dengan membuang cairan akuos ke tempat lain (operasi ltrasi).

15
DAFTAR PUSTAKA

AAO,2005. Glaucoma. BCSC Sec-10. AAO - San Francisco.


Gordon, S., 2004 Mechanism of Secondary Glaukoma from uveitis,
http/www.thehighligts.com.
Ilyas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Lang, G. K. 2006.Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas 2nd Edition. Thieme.
Stuttgart-New York.
Perhimpunan dokter spesialis mata Indonesia (PDSMI), 2002, Ilmu Penyakit Mata
untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran: edisi ke-2, Sagung Seto,
Jakarta.
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (Infodantin). 2015. Situasi
Glaukoma di Indonesia. Jakarta.
Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas). 2007. Glaukoma. Kementrian
Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Suhardjo et. Al. 2007. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Vaughan, GD. & Riordan-Eva, P. 2014. Glaukoma dalam Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Alih Bahasa : Jan Tambajong & Brahm U. Pendit. Jakarta.
Widya Medika.

16

Anda mungkin juga menyukai