Anda di halaman 1dari 7

REVIEW JURNAL

MATA KULIAH
SUMBER DAYA ALAM

STUDI KELAYAKAN PRODUKSI BIOETANOL DARI LIMBAH PADAT


TAPIOKA UNTUK MEMENUHI BIOFUEL NASIONAL

OLEH

ACHMAD FAIZ M 1810814110016


EVIA SALMA Z 1810814120002
NABILA QUWWATA AQRA 1810814120024
WIRANANDITAMI Hz H1D115027

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2019
BAB I

1.1 Pendahuluan
Permintaan bahan bakar Indonesia baru-baru ini sekitar 4 x 10 7 kL yang
diperkirakan akan terus meningkat hingga 7,7x 107 kL. Hingga saat ini 90%
kebutuhan energi dipenuhi oleh bahan bakar fosil yang dieksplorasi dan
dieksploitasi dari sumber daya energi yang tidak terbarukan. Terkait dengan upaya
mengurangi emisi CO2, bahan bakar alternatif seperti biodiesel dan bioetanol
perlu dipertimbangkan untuk menggantikan peran bahan bakar fosil. Baru-baru
ini etanol dapat digunakan sebagai bahan bakar dengan mencampur bahan bakar
fosil dengan perbandingan 15:85 sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan
bahan bakar fosil. Menurut peta jalan energi yang dikeluarkan oleh Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kebutuhan etanol dari 2014 hingga
2020 adalah 2,4 x 104 kL. Oleh karena itu, diperlukan sumber etanol tambahan.
Bioetanol adalah jenis etanol yang diperoleh dari kehidupan bahan
biologis. Ada banyak jenis bahan biologis yang dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan bioetanol, seperti singkong, ubi, jagung, beras, dan tebu. Namun,
bahan-bahan tersebut memiliki fungsi penting sebagai komoditas pangan utama di
Indonesia. Dengan demikian, ada banyak upaya untuk mendapatkan alternatif
sumber energi dari limbah industri seperti, kulit pisang, jerami, tandan kosong
kelapa sawit, dan limbah padat tapioka. Limbah padat tapioka adalah limbah padat
dari produksi tepung tapioka yang diolah dari singkong. Itu adalah salah satu
sebagian besar bahan biologis potensial dari limbah industri untuk produksi
bioetanol karena isinya polisakarida dan gula yang dikurangi.
Produksi singkong di Indonesia adalah komoditas pangan terbesar kedua
dengan total produksi sekitar 23 x 106 t. Rata-rata produksi tahunan limbah
tapioka di Indonesia cukup tinggi, yaitu lebih dari 6 x 10 5 t. Oleh karena itu,
ketersediaan limbah ini dapat diproses sebagai sumber bioetanol. Penelitian ini
menyajikan kelayakan produksi bioetanol menggunakan limbah padat tapioka
sebagai bahan baku yang diproyeksikan untuk mendukung permintaan biofuel
nasional.
BAB II

2.1 Metodologi
Penelitian ini pertama kali dilakukan dengan mengumpulkan data, yaitu
ubi kayu yang dipanen untuk mengetahui ketersediaan bahan baku pada proses
bioetanol. Jumlah limbah padat tapioka dihitung menggunakan perhitungan
sederhana dari data statistik tahun 2007 yang menyatakan bahwa 11,4% dari
produksi tapioka (26,01% dari total singkong yang dipanen) dihasilkan sebagai
limbah padat tapioka.
Produksi bioetanol permodelannya terdiri dari pretreatment, sakarifikasi
simultan dan fermentasi, dan penyulingan dan pemurnian. Tahap pretreatment
(garis hijau) terdiri dari hidrolisis yang dikonversi karbohidrat dalam aliran umpan
menjadi gula yang berkurang dan larut. Pakan kemudian dipanaskan dengan
menambahkan uap dan HCl untuk mendapatkan kondisi terbaik hidrolisis asam
termal. Kondisi terbaik untuk asam hidrolisis adalah bubur dengan perbandingan
rasio limbah cair dan air 1: 3 [9] dengan tambahan 80 mM HCl dan uap untuk
mencapai suhu 125°C. Pada kondisi ini, hasil total sakarifikasi adalah sekitar 75%
dari total karbohidrat. Dalam pendahuluan SSF (garis oranye), output dari
pretreatment pertama dinetralkan dengan amonia sehingga S. cerevisiae dapat
tumbuh di bawah kondisi keasaman yang lebih rendah. Lalu melewati penukar
panas untuk mencapai 60 ° C sakarifikasi dan suhu fermentasi. Sakarifikasi
melibatkan gluco amylase pada 150 mg · L-1 selama 3 jam [9] dan fermentasi
dengan S. cerevisiae membutuhkan nutrisi, mis. urea dan NPK. Produk dari
reaktor SSF akhirnya mengalir melalui kapal. Kinetika tahap sakarifikasi dan
fermentasi simulataneous juga dimodelkan [10]. Proses ini dimodelkan dengan
melakukan proses bioaktivitas dengan S. cerevisiae. Fisik dan proses kimia
dirumuskan sebagai berikut:
Kondisi awal dan nilai beberapa parameter SSF diambil dari temuan
sebelumnya pemurnian memisahkan hasil SSF menjadi air dan etanol anhidrat.
Distilasi dan adsorpsi saringan molekuler digunakan untuk mendapatkan etanol
99,5% etanol. Penyulingan dilakukan oleh dua kolom. Kolom pertama dihapus
CO2 terlarut dan sebagian besar air. Etanol konsentrat kedua dihasilkan dari
kolom pertama ke dekat komposisi azeotropik.
BAB III

3.1 Hasil dan Pembahasan


Hasil pemodelan kinetika tahap SSF bermula dari simulasi yang dilakukan
oleh mempertimbangkan dua kondisi substrat, yaitu hanya gula yang dikurangi
dan karbohidrat - gula yang berkurang yang terlibat dalam proses. Hasil konversi
gula tereduksi menjadi etanol menunjukkan bahwa SSF mengambil (59 hingga
60) jam harus diselesaikan sementara pada hasil lain menunjukkan waktu SSF
sedikit lebih lama (62 jam) karena proses mempertimbangkan keduanya
mengurangi gula dan karbohidrat sebagai substrat esensial dari fermentasi.
Tahap fermentasi membutuhkan hasil (3,912 hingga 10)% dari etanol. Ini
cukup sebanding dengan hasil simulasi pemodelan kinetik SSF yang dilakukan
dalam penelitian ini. Pemanfaatan limbah padat tapioka sebagai bahan baku
produksi bioetanol menunjukkan potensi yang menjanjikan dibandingkan dengan
bahan limbah lainnya.
Hasil penilaian limbah padat tapioka sebagai stok pakan produksi
bioetanol disajikan untuk menggambarkan ketersediaan bahan baku. Jumlah total
singkong yang dipanen secara nasional dilaporkan meningkat dari 2007 hingga
2013. Rata-rata panen tahunan nasional yang dipanen dilaporkan sebagai 23 026
381 t. Namun, potensi ini lebih lanjut berkerumun, yaitu Lampung, Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Jawa Barat, untuk menyetujui kondisi di bawah UU RI No. 8
tahun 2012 bahwa penggunaan singkong seharusnya tidak mengancam ketahanan
pangan. Karena itu, kemungkinan dikembangkan lebih lanjut singkong
diperkirakan 19 035 909 t. Dilihat dari potensi singkong yang dibudidayakan,
jumlah limbah padat tapioka adalah diperkirakan 564 414,7 t • tahun-1
menghasilkan bioetanol dari 54 398,3 kL • tahun-1.
Berkenaan dengan permintaan bioetanol nasional jumlah ini dapat
berkontribusi hingga 33,4% dari permintaan bioetanol sebagai ditargetkan oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (total produksi bioetanol
setidaknya bisa mencapai 1,73 x 105 kL pada tahun akhir 2014). Dibandingkan
dengan peta jalan pengembangan sektor energi oleh Kementerian Riset dan
Teknologi, permintaan bioetanol nasional dari 2014 hingga 2020 adalah 3,05 x
106 kL • tahun-1. Potensi ini akan menghemat penggunaan fosil bahan bakar di
Indonesia sebesar 0,35% dengan asumsi bahwa semua potensi etanol kadar penuh
digunakan untuk dicampur bahan bakar di bawah rasio 15:85 (E15)
BAB IV

4.1 Kesimpulan
Pendahuluan studi kelayakan pada produksi bioetanol memanfaatkan
limbah padat tapioka disajikan dalam kertas ini. Simulasi proses bioetanol,
terutama tahap SSF, membutuhkan sekitar (59 hingga 62) jam dan keseluruhan
proses memakan waktu sekitar tujuh hari. Berdasarkan analisis potensi produksi
singkong yang dikelompokkan, maka rata-rata produksi limbah padat tapioka
nasional adalah sekitar 564 414,7 t • tahun-1 yang menghasilkan rata-rata etanol
tingkat bahan bakar potensial 57.793 x 103 kL • tahun-1. Jumlah ini dapat
berkontribusi pada 1,89% dan 33,41% dari permintaan bioetanol menurut Energy
Road Map yang dirilis oleh Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, masing-masing. Namun demikian, analisis
lebih lanjut diperlukan untuk mempertimbangkan yang ekonomis kelayakan untuk
mendapatkan penilaian lengkap tentang produksi bioetanol yang optimal dengan
memanfaatkan limbah padat tapioka.
DAFTAR PUSTAKA

Wahyuono, Ruri Agung, et al. 2015. Feasibility Study on the Production of


Bioethanol from Tapioca Solid Waste to meet the National Demand
of Biofuel. Energy Procedia 65 (2015) 324-330

Anda mungkin juga menyukai