Anda di halaman 1dari 92

Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para

pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi


pengetahuan dan pengalaman.

Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk


melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.

Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media


diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,
maupun kondisi fisik.

Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari


kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesuai kebutuhan.

Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari


buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.

Salam pustaka!

Team Kolektor E-Book


WESI ADJI BELAMBANGAN

Karya : Hartanto Ps

Penerbit : C.V. BURUNG WALI, SALA

Pustaka Koleksi : Gunawan AJ

Image Source : Awie Dermawan

Kontributor : Yons

Juli 2019, Kolektor - Ebook


KATA PENGANTAR DARI PENERBIT.

Pembaca yang budiman,

Cerita Rakyat ,,WESI ADJI BELAMBANGAN” ini adalah cerita rakyat yang
terjadi pada masa kejayaan kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sri Sultan
Agung.
Konon menurut cerita lama. Orang-orang Belambangan kebanyakan
memiliki kekebalan. Mereka kebal terhadap senjata tajam yang dibuat dari wesi
aji yang berasal dari daerah lain. Kekebalan itu mereka peroleh berkat daun Rajeg
wesi yang hanya tumbuh di daerah Belambangan. Tetapi kekebalan mereka ada
kelemahannya yaitu mereka tidak kebal terhadap senjata tajam yang dibuat dari
wesi aji yang berasal dari daerah asal mereka, yaitu Belambangan.
Mengenai kekebalan orang orang Belambangan itu, sudah banyak
diceritakan orang. Dan kisah yang kami ceritakan ini hanya salah satu dari
padanya.

Hormat kami

P E N E R B I T.
WESI AJI BELAMBANGAN
■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■■

Sore itu disebelah selatan gunung Wilis, dijalanan yang diapit oleh
hutan terlihat seekor kuda putih dipacu dengan pesat oleh
penunggangnya. Penunggang kuda itu seorang pemuda yang berpakaian
keprajuritan.
Siapakah dia. Kenapa ia melarikan kuda tunggangnya seperti
dikejar setan.
Pemuda itu adalah Jaka Prasetya, seorang prajurit Matatam yang
terkenal gagah berani.
Waktu itu tahun 1625. Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sultan
Agung, yang bercita-cita mempersatukan daerah diseluruh pulau Jawa.
Dan pada tahun itu Sri Sultan Agung memimpin penyerangan ke kuta
Surabaya. Pertarungan sengit dengan patsukan adipati Surabaya tak
terhindarkan. Semula kota itu sukar dikalahkan, tetapi berkat pertolongan
Tuhan akhirnya tunduklah pasukan Surabaya.
Dalam penyerangan kekota Surabaya Jaka Prasttya ikut ambil
bagian. Dan satelah kemenangan itu mendiadi kenyataan Sri Sultan
Agung lantas menyuruh Jaka Prasetya ntuk menyampaikan kabar
kemenangan pasukan Mataram itu ke Karta.
Tanpa diperintah dua kali Jaka Prasetya lantas berangkat, karena
sebetulnya iapun sudah rindu pada ayah bundanyaa jang ia tinggalkan
didesa Butuh.
Sementrara itu sang Surya semakin condong kebarat. Pada saat itu
terbayang dipelupuk mata Jaka Prasetya wajah ibunya. Ah, betapa
gembira ibunya bila melihat kehadirannya kembali dengan selamat dan
membawa beaita kemenangan.
Sekonyong-konyong lamunannya terganggu oleh ringkik kudanya.
Kuda itu tiba-tiba berhenti berlari.
Ia mencambuk kuda itu untuk berjalan lagi, tetapi si-kuda tak mau
berlari. Jangankan berlari, berjalanpun dia tak mau. Ringkiknya
bertambah keras dan meronta-ronta.
Alangkah heran hati Jaka melihat kudanya menunjukkan kelakuan
yang sedemikian rupa. Belum pernah kuda itu membangkang terhadap
perintahnya. Sekali ini meskipun telah dicambuk berkali-kali, kuda itu
tetap tidak mau berjalan. Ada apa gerangan?
Ketika Jaka sedang keheran-heranan, sekonyong-konyong dari
semak-semak ditepi jalan itu keluar seseorang. Orang itu bertubuh tinggi
besar. Dimukanya tumbuh cambang yang tebal. Janggut orang itu
tumbuh dengan lebatnya. Orang itu mungkin seorang pemburu; karena
ditangan kanannya dia menjinjing seekor kijang yang terikat. Ditangan
kirinya terlihat busur bersama anak panahnya.

1
Demi dilihat kuda putih yang berontak-rontak itu. ia berhenti
berjalan. Diperhatikannya kuda itu dengan teliti, Kini kuda itu berhenti
memberontak dan kemudian meringkik dengan perlahan. Setelah
beberapa saat orang tadi memperhatian kuda itu, ia tertawa terbahak-
bahak :
„Ha, ha, ha, ha, ha, ha. Hari ini betul-betul sial aku. Dikala perut
sedang lapar, ditengah jalan terpaksa harus meringkus seorang pencuri”.
„Semuda itu usiamu sudah beani mencuri kuda orang”, kata orang
itu selanjutnya.
Alangkah heran Jaka demi mendengar kata orang itu. Meskipun dia
sangat gusar, tetapi ditahan sedapat mungkin, agar kegusarannya tidak
tampak dimukanya.
„Bapa, baru kali ini saya berjumpa dengan bapa, bagaimana
mungkin bapa menuduh saya seorang pencuri. Kuda ini sudah kupelihara
sejak saya berumur 10 tahun”.
„Baiklah. Kalau begitu saya ingin bertanya. Adakah ayahmu
bernama Anggara?" tanya orang itu sambil meletakkan hasil buruannya.
,,Anggara? Saya tidak kenal nama itu. Ayah saya bernama
Rangga", jawab Jaka.
„Kalau begitu kamu pencuri kuda".
Demikian kata „kuda” selesai diucapkan, orang itu bergerak dengan
cepat kearahnya dan sebuah cengkeraman mengarah kaki kanannya.
Jaka sangat terkejut, cambuknya segera disabatkan ketangan kanan
orang yang hendak mencengkeram kakinya, tetapi orang itu tidak
menarik tangannya kembali, tetapi orang itu mengubah cengkeramannya
untuk mencengkeram cambuk Jaka. Cambuk itu terpegang dan suatu
tenaga yang kuat menarik cambuk itu. Tentu saja Jaka mempertahankan
cambuknya, tetapi ketika dia sedang menggunakan tenaga untuk
mempertahankan cambuknya dari rebutan orang itu, sekonyong-konyong
orang itu melepaskan cambuk itu dengan mendadak dan bersama itu
sebuah pukulan dilancarkan. Oleh karena Jaka tidak menyangka sama
sekali akan terjadi peristiwa itu, ia menjadi limbung dan karena limbung
pukulan yang dilancarkan orang itu mengenai dengan telak didadanya.
Demi dilihatnya Jaka terpelanting dari kuda, dengan cepat orang itu
menyambar kjang (hasil burunnnya) yang dibiarkan terletak ditanah dan
dengan cepat ia meloncat keatas kuda itu.
Pada saat orang itu akan memacu kuda putih itu. Jaka telah dapat
berdiri dengan tetap dan keris yang terselip dipingganmja ditarik dengan
cepat. Ditusuk-kannya keris itu kearah dada orang itu. Maksudnya supaya
orang itu menghindar serangannya dan kemudian meloncat dari kudanya
sehingga kudanya dapat direbut kembali. Tetapi dugaannya meleset
orang itu tidak menghindar dari serangan itu. Malahan ia membusung-
kan dadanya sambil bergelak-gelak dan berseru:
„Keris Mataram! Keris Mataram!"

2
Jaka terkesiap, karena bukan maksudnya membunuh orang itu.
Dengan cepat tenaga yang dikerahkan diku

kurangi. Tetapi terlambat keris itu telah menyentuh kulit orang itu dan
………… mata Jaka terbelalak. Keris itu bukannya menembus kulit orang
itu, bahkan menjadi bengkok dibuatnya dan Jaka merasa seperti

3
menusuk besi. Ketika masih belum tersadar dari kekagetannya,
sekonyong-konyong terasa tangannya kesemutan dan kemudian dadanya
seperti ditolak oleh suatu tenaga yang dahsyat dan tanpa tertahankan ia
jatuh terduduk. Saat itu dirasakan bumi disekitarnya gelap gulita
Ketika ia sadar, orang itu bersama kudanya — si Putih — telah jauh
berlari dengan kencang. Dengan lesu Jaka bangkit berdiri sambil
memandang si Putih kesayangannya, yang berlari semakin jauh dan
akhirnya hilang dari pandangan matanya. Ia sangat heran mengapa si
Putih demikian jinak pada orang itu. Kini ia seorang diri disitu. Suasana
disekitarnya sudah mulai gelap.
Diambilnya kerisnya yang telah bengkok. Kemudian berjalanlah ia
dengan lesu. Ia berjalan menyusur jalan tadi dengan maksud mencari
rumah penduduk. Hari bertambah gelap, tetapi tak sebuahpun rumah
penduduk yang dijumpai. Namun ia tak berputus asa. Ia berjalan terus.
Tiba-tiba ia seperti melihat cahaya lampu dari kejauhan. Hal ini
membangkitkan semangatnya. la segera mendekati arah cahaya itu.
Akhirhja sampai juga ia ditempat asal cahaya tadi. Cahaya itu datang dari
sebuah rumah.
Diketuknya pintu rumah itu. Agak sesaat ia menanti didepan pintu.
Ketika pintu terbuka seorang kakek tampak berdiri diambang pintu.
Kakek itu tampak terkejut, demi dilihatnya, bahwa yang mengetuk pintu
rumahnya adalah secrang pemuda yang mengenakan pakaian
keprajuritan.
„Bapa. Saya adalah seorang prajurit Mataram. Tak berapa jauh dari
sini. sore tadi saya menjumpai seorang perampok telah berhasil
merampas kuda saya. Maka jika bapa memperkenankan saya akan
bermalam disini.”
Kakek itu nampak heran. mendengar cerita pemuda tamunya itu.
Bagaimana mungkin seorang prajurit dapat dirampok kudanya oleh
seorang perampok, tetapi akhirnya ia berkata juga :
„Tentu boleh, nak. Mari silahkan masuk.”
Mendengar jawaban itu, Jaka segera melangkah masuk.
„Rumah ini buruk nak. Saya hanya tinggal seorang diri dirumah ini,
Disudut itu ada sebuah balai-balai. Anak tidur disitu malam ini. Saya biar
tidur menggelar tikar dilantai'', kata orang tua itu.
„Tidak bapa, biar sayalah yang tidur dilantar.
„Jangan nak. Jangan. Saya tahu anak terluka berat. Anak
membutuhkan tempat yang lebih hangat''. „
Dari mana bapa tahu bahwa saya terluka berat?,'' tanya Jaka
dengan terheran-heran.
„Jalanmu tampak lesu nak dan suaramu terdengar lemah. tidak
seperti seorang prajurit pada umumnya dan samar-samar didadamu
terlihat biru bengkak. Agaknya anak berjumpa dengan perampok yang
sakti. Pukulnn ini agaknya bukan sembarang pukulan", demikian kakek

4
itu menjelaskan.
Mendengar penjelasan itu. Jaka semakin heran. Kakek yang
dihadapinya itu tentunya bukan orang sembarangan.
„Jangan heran nak, saya seorang dukun. Sudah ber-kali-kali saya
dapat menyembuhkan penyakit orang. Jadi jangan heran kalau
mendengar saya dapat melihat apa yang anak derita", kata kakek itu. Kini
Jaka tidak begitu heran lagi.
„Bapa tadi saya sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Jaka
Prasetya, Orang biasa memanggil saya „Jaka”.
„Orang2 biasa memanggil saya „pak Samun” Nah sekarang (ekaslah
anak membaringkan diri, saya akan menyiapkan ramuan jamu untuk luka
nak Jaka”.
Oleh karena badannya betul-betul sangat lesu. Jaka mematuhi
nasehat Pak Samun. Ia segera membaringkan dirinya dibalai-balai yang
ditunjukkan.
Saat itu kembali terbayang pengalamannya sore tadi.
Siapakah gerangan orang berjanggut yang telah merampas kudanya itu?
Kenapa si-Putih demikian patuh padanya? Sehabis pulang ke Mataram ia
berjanji akan mencari si Putih, hingga dapat diketemukan kembali.
Sementara itu Pak Samun telah datang dengan dua buah cangkir
ditangannya. Diletakkannya dua cangkir itu dimeja dekat balai-balai dan
ia kembali kedapur lagi dan sesaat kemudian ia kembali dengan
membawa piring berisi nasi.
„Nak Jaka makanlah nasi ini dahulu sehabis memakannya minumlah
jamu buatanku itu. Dirumahku ini nak Jaka tak usah malu-malu.
Anggaplah seperti dirumah sendiri”, demikian Pak Samun menyilahkan.
,,Terima kasih, bapa. Budi bapa yang sebesar ini sangat sukarlah
saya membalasnya”.
Hidangan Pak Samun itu sebetulnya sangat sederhana, yaitu nasi
putih dengan dua potong tempe, tetapi karena Jaka sangat lapar
hidangan itu dengan cepat dihabiskannya. Setelah itu diminumnya jamu
yang telah disediakan oleh tuan rumah itu. Jamu itu sangat pahit. Sehabis
meminum, dia merasa bahwa kelesuan badannya banyak berkurang.
Selama Jaka makan dan minum, tanpa dirasainya Pak Samun
memperhatikannya. Terutama tangan kanan Jaka dihiasi oleh sebentuk
cincin ular-ularan. Yang menarik perhatiannya ialah permata yang
terdapat pada mata ular itu. Permata itu bersinar sangat cemerlang dan
merupakan permata yang jarang didapat dan sudah barang tentu mahal
harganya.
„Cincin itu jauh lebih berharga dari pada harga seekor kuda kenapa
perampok itu tidak merampas cincin itu. Tidak melihatkah dia'", pikir Pak
Samun.
Tiba-tiba ia seperti tersentak.
„Nak Jaka", demikian katanya. „Siapa nama ayahmu?”

5
„Nama ayah saya Rangga pak. Orang didesa biasa memanggilnya
dengan nama Ki Rangga, pak".
„Pernahkah ayahmu menyebut-nyebut nama „Anggara"
„Anggara? Tidak bapa, saya tidak kenal nama itu. Ayah beium
pernah menyebutnya'', jawab Jaka dengan heran.
Tiba-tiba ia teringat bahwa nama itu juga yang disebut perampok
itu sore tadi. Dalam waktu yang tidak berselisih lamanya telah
mendengar nama itu disebut oleh dua orang yang berlainan.
Siapakah Anggara? Apa hubungannya dengan ayahnya? Mengapa
nama itu selalu dihubungkan dengan diri ayahnya?
Melihat tamunya agak tertegun Pak Samun segera berkata:
„Sudahlah, nak. Jangan terlalu dipikirkan pertanyaan bapa tadi.
Kamu membutuhkan waktu mengaso. Tetapi sebelum mengaso akan saya
urut dulu tubuh nak Jaka. Itu kalau nak Jaka tak berkeberatan”.
„Mengapa tidak, bapa. Saya percaya bahwa usaha bapa itu
berhubungan dengan kesehatan saya, Silahkan bapa memulai"
Pak Samun segera memulai mengurut-urut tubuh Jaka. Mula-mula
dibagian yang terluka, kemudian seluruh tubuh Jaka dipijat-pijat. Sambil
memijat-mijat orang tua itu menceriterakan berbagai peristwa yang
terjadi diseskitar rumahnya. Tentang kehidupan yang dialami setiap
harinya.
Setelah se!esai memijit-mijit tubuh Jaka, Pak Samun menyilahkan
tamunya untuk tidur. Sehabis dipijit-pijit Jaka merasakan tubuhnya agak
segar. la segera membaringkan tubuhnya. Saat itu terdengar Pak Samun
berkata:
„Nak Jaka, tadi saya telah merendam param. Silahkan nak Jaka
memaramkan".
Pak Samun memberikan param yang dikatakan itu. Jaka menerima
param itu dan segera memaramkan keseluruh tubuhnya terutama
dibagian dadanya. Sesudah itu, ia segera membaringkan diri dan tak
lama kemudian tertidurlah ia.
Dia dijagakan oleh kicauan burung-burung disekitar rumah itu. Jaka
segera bangkit. Dirasakaanya badannya telah pulih kesegarannya. Ketika
dilihat keadaan tubuhnya ia tersenyum sendiri. Sekujur badannya putih
semua, sehingga mirip tokoh Hanuman dalam cerita Ramayana. Didapur
terdengar Pak Samun sedang menjerang air. Maka pergilah ia kedapur
untuk menanyakan pada Pak Samun dimana sumur terletak. Setelah
diberi tahu tempatnya ia segera mandi. Sehabis mandi kesegaran
badannya terasa bertambah-tambah.
Ketika ia kembali kerumah, dilihatnya sepiring nasi yang masih
hangat, telah tersedia berikut secangkir kopi dan selain itu juga ketela
bakar. Melihat ini perutnya terasa lapar. Ketika Pak Samun menyilahkan,
ia segera memakan hidangan itu dengan lahapnya. Hanya sebentar saja
sepiring nasi itu telah dihabiskannya.

6
Demi dilihatnya Jaka selesai makan Pak Samun berkata:
„Apakah nak Jaka akan melanjutkan perjalanan pagi ini juga?”
„Betul bapa. Terhadap semua pertolongan bapa sangat besarlah
rasa terima kasih saya dan sebagai tanda terima kasih saya, marilah bapa
terima cincin ini. Disamping sebagai tanda terima kasih saya, juga
sebagai kenang-kenangan”. kata Jaka sambil mencabut cincin di jari
manis tangan kirinya, jadi bukan cincin ular yang dise-but diatas.
Mula-mula Pak Samun menolak, tetapi setelah dipaksa oleh Jaka.
akhirnya diterima juga. Kemudian Jaka segera memohon diri.
Disebuah desa yang tak seberapa jauh dari rumah pak Samun, Jaka
berhasil menukarkan pendok dari kerisnya yang telah bengkok kemarin,
dengan seekor kuda yang cukup kuat, meskipun tidak sekuat si Putih.
Dengan kuda itulah Jaka melanjutkan perjalanan ke Karta.ibu koka
Mataram. Walaupun kuda itu tidak sekuat si Putih, tetapi perjalanan ke
Karta tidak memayahkannya.
XXX
„Mataram menang! Mataram menang!'"
„Hidup Sri Sultan Agung! Hidup Sri Sultan Agung!"
Teriak kemenangan berkumandang diseluruh penjuru Karta. Semua
penduduk kelihatan bergembira.
Berita kemenangan yang disampaikan oleh Jaka, disambut dengan
gembira oleh penduduk Karta. Kabar itulah yang dinanti-nantikan. Dalam
sekejap teriakan kemenangan menjalar keseluruh penjuru Karta.
Adapun Jaka segera menghadap putra mahkota, Sri Amangkurat,
untuk menyampaikan pesan Sri Sultan Agung tentang kemenangan yang
telah dicapai. Tentu saja Sri Amangkurat merasa gembira pula
mendengar kabar itu.
Setelah menunaikan tugasnya, Jaka memohon diri untuk pulang
kedesa Butuh untuk meninjau ibu dan bapa-nya.
Sri Amangkurat mengizinkan.
Kedatangan Jaka Prasetya didesa Butuh pun disambut dengan
meriah oleh rakyat didesa itu. Apalagi ketika mereka mendengar
keterangan Jaka, bahwa pasukan Mataram memperoleh kemenangan
yang gilang gemilang dalam penyerbuan ke Surabaya.
Teriakan teriakan : „Mataram menang! Mataram menang!”
terdengar diseluruh penjuru desa. Orang-orang tua yang mendengar
kabar kemenangan itupun bergembira juga. Dalam hati mereka mendo'a
,Ya Tuhan. berilah Sri Sultan Agung berusia panjang”.
Lain halnya dengan anak-anak kecil. Mereka berteriak:
„Hidup kak Jaka! Hidup kak Jaka!''
Pendek kata seluruh desa diliputi kegembiraan. Sungguh gembira
hati Jaka menyaksikan kegembiraan warga desanya. Oleh karena
penyambutnya berjalan kaki terpaksa Jaka turun dari kudanya dan

7
berjalan kaki. Begitu ia turun orang-orang desa Butuh itu segera meng-
hujani dengan pertanyaan-pertanyaan. sehingga Jaka kewalahan
dibuatnnya. Sekonyong-konyong dari kumpulan orang banyak itu
terdengar teriak seseorang.
„Hai Sari, mengapa kamu menangis? Coba lihat. bagaimana kita
menyambut kakakmu. Jasa kakakmu terhadap Mataram tidak kecil. Dia
pasti akan mendapat anugerah pangkat yang tinggi dari Sri Sultan. Apa
yang kamu tangisi. Ayolah sambut kakakmu ……………..”
Belum habis kata-kata orang itu, Jaka Prasetya sudah datang
mendekati mereka. Demi dilihatnya bahwa adiknya berada disitu, ia
segera berseru.
„Hai Sari, kiranya kamupun datang menjemputku'''.
Ketika dilihatnya kakaknya datang mendekatnya, Sari pun lekas-
lekas berlari kearah datangnya sang kakak. Tak berapa lama kemudian,
dua kakak beradik itu sudah berpeluk-pelukan.
„Kak Jaka, tahulah kakak, bahwa t!ada suatu kegembiraan pun
yang pernah kualami yang seperti hari ini. Betapa tidak? Kakak telah
kembali dari medan juda dengan selamat dan menggondol kemenangan
yang gilang gemilang. Tetapi kak ………..” demikian kata Sari sambil
terisak-iaak.
„Kenapa Sari menangis? Bukankah tadi Sari mengatakan sedang
bergembira?" tanya Jaka dengan heran.
„Tetapi kak, kulihat si Putih tak bersamamu. Apakah si Putih
meninggal dimedan juda. Mendengar kata-kata adiknya Jaka merasa
sedih. Kiranya demikian sayang Sari pada kudanya, si Putih. Hal ini tidak
mengherankan, karena pergaulan mereka dengan si Putih sudah
berlangsung sejak kecil.
„Tidak, Sari. Si Putih tidak mati. Kamu tak usah khawatir. Nanti
setelah aku beristirahat, akan kuceritakan keadaan si Putih padamu”.
Mendengar jawab kakaknya. tangis Sari menjadi reda. Ia
melepaskan diri dari pelukan kakaknya, dan menghapus air mata yang
mengalir dipipinya.
Kemudian sambil menuntun Sari. Jaka berjalan menuju rumahnya,
diikuti oleh orang-orang desa. Dari jauh sudah dilihat, ibu dan ayahnya
berdiri dipintu pekarangan. Jaka berlari mendapatkan mereka dan ketika
sudah dekat dipeluknya ibunya.
„lbu, lihatlah! Akhirnya aku kembali juga.”
Setelah itu ia melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berlari untuk
memeluk ayahnya.
„Ayah, Jaka sangat terkenang padamu''.
Sambil menepuk punggung Jaka, Ki Rangga berkata:
„Jaka, kegembiraan ayahmu kali ini sukar dilukiskan. Siang dan
malam tiada lain pekerjaanku selain berdoa semoga kamu dapat pulang
dengan selamat. Dan sekarang ternyata, bahwa doaku terkabul. Kamu

8
pulang dengan membawa kemenangan”.
Demikianlah Ki Rangga dan isterinya serta kedua orang anaknya
masuk kedalam rumah. Sementara itu sorak-sorai kemenangan masih
berkumandang diseluruh desa. Orang-orang desa yang tidak
berkesempatan menjemput Jaka, berbondong-bondong datang kerumah
Ki Rangga. Kebanyakan dari mereka menanyakan berita sanak
keluarganya yang ikut menyerbu ke Surabaya. Tentu sa ja tidak semua
orang bergembira. Ada diantara mereka yang kehilangan ayah, suami
atau anak. Tetapi meskipun bersusah hati mereka bangga, karena
kematian sanak keluarga mereka itu untuk kepentingan perjuangan Sri
Sultan Agung yang bercita-cita mempersatukan daerah-daerah dipulauan
Jawa.
Malam itu didesa Butuh diadakan perayaan yang cukup besar.
Perayaan itu untuk merayakan kemenangan Mataram. Berpuluh-puluh
ekor ayam disembelih, bahkan beberapa ekor kerbau juga. Pesta itu
berlangsung pagi hari. Sepanjang malam itu rakyat desa Butuh makan
dan minum sepuas hati mereka.
Malam hari yang berikutnya, setelah mengaso sehari penuh Jaka
Prasetya datang menjumpai ayahnya yang sedang duduk makan sirih
dibalai-baai dimuka rumahnya. (Pada jaman itu makan sirih juga menjadi
kebiasaan orang laki-laki)
„Ayah ada sedikit pertanyaan yang akan kuajukan pada ayah''. kata
Jaka setelah duduk didekat ayahnya.
„Katakanlah lekas. Jaka-“
„Ayah, kenalkah ayah pada seorang yang bernama Angara?”
Mendengar pertanyaan anaknya muka Ki Rangga sedikit berubah. Lalu
katanya:
„Anggara? Anggra? Betulkah nama itu yang kau tanyakan-.
„Betul, ayah". Kemudian Jaka segera menceriterakan semua
pengalamannya, selama diperjalanan pulang. Setelah anaknya selesai
berbicarara Ki Rangga segera bertanya:
„Bagaimana wajah perampok kuda itu?"
„Ayah. Orang itu berjanggut lebar dan berkumis tebal. Seluruh
giginya dihitamkan. Badannya tinggi besar jauh lebih tinggi dari orang
biasa”.
„Tidak salahkah katamu tentang wajah orang itu".
Tidak, ayah. Hal itu masih segar dalam ingatan saya. Saya tidak
mungkin melupakan wajah orang itu".
Jaka melihat bahwa wajah ayahnya seperti diliputi kesedihan.
Kegembiraa, diwajah ayahnya kemarin hilang lenyap. Kemudian samar-
samar didengarnya ayahnya tidak mengucapkan sesuatu. Jaka menjadi
heran melihat sikap ayahnya.
„Jaka”, demikian ayahnya berkata. „Kisah tentang Anggara
sangatlah panjang. Besok malam akan kuceritakan hal itu padamu".

9
Sehabis berkata demikian Ki Rangga bangkit berdiri. Tanpa menoleh pada
Jaka, ia berjalan masuk kerumah. Jaka sangat heran melihat sikap
ayahnya. Saat merasakan kesunyian yang sering kali dirasakannya. Dari
hiruk pikuknya pertempuran yang dijalaninya di Surabaya. ia seperti
dicampakkan ketempat yang sunyi senyap. Saat itu, ia baru menyadari.
bahwa apa yang dilihatnya disekelilingnya pada hari-hari yang telah lalu,
merupakan suatu keanehan. Ayahnya, ibunya dan adiknya wajahnya
selalu diliputi kesedihan. Kesedihan itu seolah-olah tak terhibur lagi. Apa
gerangan sebabnya ?
Jaka Prasetya, seorang prajurit Mataram yang gagah berani dan
Pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimanapun juga kini
termenung seorang diri dimuka rumahnya.
Ya. la seorang prajurit Bukan hanya itu. Namanya juga dikenal
sebagai pendekar muda pembela kebenaran. Kepandaiannya
menggunakan cambuk jarang terkalahkan. Kepandaiannya bersilat
menggetarkan setiap lawan.
Ayahnjalah yang mengajarkan semua kepandaiannya itu. Tak dapat
disangkal lagi ayahnyapun seorang „berisi" pula, tetapi mengapa
wajahnya selalu murung. Sampai lama Jaka termenung.
Untuk menghibur dirinya yang sedang kesunyian, ia segera bangkit
berdiri menuju kepekarangan belakang, tempat yang sering dipergunakan
untuk melatih diri. Dari kandang kudanya yang berada didekat
pekarangan itu, diambilnya sebuah cambuk. Dengan sungguh-sungguh
diyakinkannya permainan cambuknya. Begitu ia memainkan cambuknya
ia merasa heran. Ia dapat menggerakkan cambuknya dengan cepat, lebih
cepat dari biasanya. Tenaganyapun dirasakannya bertambah sangat
besar. Belum pernah ia menggunakan cambuk secepat itu. Bunyi
pecutannjapun sangat keras. Suatu kali ujung cambuknya menyentuh
pohon kelapa dan kulit pohon kelapa itu terbekah sedikit, bagaikan bekas
terbelah disambar petir.
„Kak Jaka, kepandaianmu ternyata maju dengan pesatnya",
terdengar suara Sari yang mungkin telah lama berada disitu.
„Sari, saya sendiripun merasa heran menyaksikan kepandaian saya
maju sepesat ini”.
„Kak Jaka tak perlu heran. Dengan tidak sadari kepandaian kakak
bertambah dengan pesatnya selama pertempuran di Surabaya itu", kata
Sari sambil meninggalkan kakaknya. Kata-kata Sari itu memang
beralasan, tetapi ketika ia bertempur dengan orang yang merampas
kudanya itu kepandaiannya belum seperti ini. Ia yakin kalau ia sudah
memilikj kepandaian seperti ini tak mudahlah orang itu mengalahkannya.
Sekali lagi ia termenung memikirkan kepandaiannya yang maju
dengan pesat itu. Tetapi ia lekas-lekas menghentikan lamunannya. la
terus berlatih. Ia merasa gembira karena yakin dengan kepandaian yang
seperti itu, ia akan dapat merebut kembali si Putih dari tangan orang

10
berjanggut yang telah merampas kudanya.
Jaka berlatih hingga jauh Ketika dirasakan nya bahwa latihannya
sudah cukup, ia segera menghentikannya. Setelah beristirahat sebentar ia
segera masuk kedalam rumah dan kemudian membaringkan diri
dikamarnya. Tetapi malam itu ia tidak dapat lekas-lekas memicingkan
matanya. Berbagai-bagai pikiran mengganggunya. Siapakah sebenarnya
Anggara itu? Apa hubungannya dengan diri ayahnya? Kenapa ayahnya
tampak termenung mendengar pertanyaan tentang diri Anggara? Kenapa
ayahnya selalu berwajah sedih? Tetapi oleh karena sangat lelah akhirnya
dapat jugo ia terlena.
Keesokan harinya ……….
Sepanjang hari itu Jaka bertambah heran menyaksikan keadaan
ayahnya. Tiada satu katapun keluar dari mulut ayahnya. Bahkan ketika
sore harinya, dilihatnya sang ayah duduk termenung dibalai-balai dimuka
rumahnya. Mukanya tunduk menekur seolah-olah sedang memikirkan
sesuatu. Hingga bedug mahrib berbunyi ayahnya baru bangkit
meninggalkan tempat duduknya dan masuk kerumah untuk sembahyang
dikamarnya. Sehabis itu Jaka melihat ayahnya lagi.
Kentong Imsa’ telah berbunji. Sehabis bersolat Jaka segera keluar
rumah untuk menanti ayahnya. Tiba-tiba dilihatnya ayahnya keluar dari
pintu rumah.
„Jaka. ikutlah aku”, demikian kata sang ayah.
Jaka tidak berani membantah. Ia mengikuti ayahnya keluar
pekarangan dan terus berjalan menuju keselatan desa. Ki Rangga
berhenti dibawah sebuah pohon randu alas. Jaka menantikan apa iang
akan dikatakan ayahnya dengan penuh tanda tanya. Tiba-tiba kesunyian
dipecah-kan oleh suara Ki Rangga.
„Jaka, tentunya kamu heran melihat sikap ayahmu hari ini.
Ketahuilah, nak. Sikapku itu berhubungan dengan kisah yang akan
kuceriterakan”.
Setelah berhenti sebentar maka mulailah ki Rangga dengan
kisahnya.
„Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu adalah seorang pertapa
yang sakti. Pertapa itu berdiam dipuncak gunung Lawu. Oleh karena
tempat kediamannya didekat kawah Candradimuka, maka dia dikenal
dengan nama Kyai Ageng Candradimuka.
Pada waktu itu usia Kyai Ageng Candradimuka sudah sangat lanjut.
Usianya sudah mencapai 80 tahun.
Dia mempunyai tiga orang murid.
Murid yang pertama bernama Anggara. Wataknya sangat keras. Dia
sangat mahir menggunakan cambuk. Wajahnya sangat keren sehingga
dua orang saudara seperguruannya takut padanya.
Muridnya yang kedua bernama Krepa. Wataknya sangat halus dan
tekun. Ia putra seorang empu. Sesuai dengan bakatnya ia dididik oleh

11
Kyai Ageng Candradimuka dalam ilmu keris.
Muridnya yang ketiga bernama Waja Cempani. la berasal dari
Ponorogo. Wataknya Ca blaka dan berangasan. Ia sering kali bercekcok
dengan orang lain dengan alasan yang sangat sepele. Oleh karana
keberangasannya itu Kyai Ageng Candradimuka tidak mengajarkan ilmu
senjata pada muridnya yang ketiga ini. la hanya diberi pelajaran pukulan.
Pada suatu hari Kyai Ageng Candradimuka memanggil ketiga orang
muridnya dan berkatalah pada mereka:
„Murid-muridku. Ilmu-ilmu yang kupelajarkan padamu saya kira
sudah cukup. Maka tibalah waktunya bagimu untuk mengamalkan
kepandaianmu pada masyarakat, untuk menjalankan darma bakti pada
masyarakat dan negara".
Sehabis berkata demikian Kyai Ageng Candradimuka segara
memberikan petua-petua. nasehat-Trahat dan petunjuk-petunjuk yang
sangat diperlukan dalam menjalankan darma bakti pada masyarakat.
Ketiga orana murid itu memperhatikan semua kata-kata gurunya itu.
Mereka berjanji untuk memenuhi semua kata-kata itu.
Demikianlah mulai saat itu ketiga orang murid itu menjalankan
darma baktinya kenada masyarakat. Dalam waktu yang tak lama nama
mereka telah menjadi terrkenal sebagai pendekar yang pantang mundur
dalam membela kebenaran.
Dalam menjalankan darma bakti itu mereka tidak berjalan
bersama-sama melainkan sendiri-sendiri. Setiap tahun, pada bulan Puasa
mereka berkumpul dikaki gunung Lawu dan kemudian bersama-sama
menghadap guru mereka untuk melaporkan segala perbuatan yang telah
mereka lakukan selama setahun dan sebagai kebiasaan orang Jawa pada
tanggal 1 Syawal mereka berhalal-bihalal dengan gurunya. Setelah itu
mereka kembali menurununi gunung Lawu untuk menjalankan darma
baktinya lagi kepada masyarakat seperti yang telah mereka perbuat pada
tahun yang telah lalu.
Pada suatu hari, Anggara, murid pertama dari Kyai Ageng
Candradimuka, melewati sebuah desa dikaki gunung Kawi sebelah utara.
Oleh hari telah malam maka ia terpaksa bermalam didesa itu. Waktu itu
adalah malam Jum'at Kliwon.
Entah karena apa, malam itu Anggara sangat sukar untuk
memicingkan mata. Suasana diluar rumah tempat ia bermalam sunyi
senyap.
Tiba-tiba kesunyian malam dipecahkan oleh lengkingan jeritan itu
datang dari rumah disebelah. Kemudian susui oleh teriakan:
„Jangan ambil anakku! Jangan ambil anakku!"
Mendengar twriakan itu Anggara cepat-cepat bangkit dari
tempatnya berbaring, tetapi ketika ia akan mencapai pinta terdengar tuan
rumahnya berkata :
„Jangan kesana nak kalau kamu ingin selamat".

12
„Mengapa. paman".
„Rumah itu didatangi hantu yang biasa mengganggu desa kami.
Hantu itu sangat gemar makan bayi. Setiap orang yang berani
mencegahnya tentu dibunuh olehnya".
Namun Anggara tidaklah mundur, bahkan menjadi ingin menyelidik
peristiwa itu. Saat itu terbayang dimatanya peristiwa yang dialaminya
ketika masih kecil. Tetapi hanya sessat, karena ia harus segera menolong
orang yang dalam bahaya itu.
Anggara segera membuka pintu dan melangkah keluar. Ia berlari
dengan cepat menuju kearah dari mana suara itu datang. Tiba-tiba
Anggara melihat sesosok bayangan melesat keluar dari pintu rumah
sebelah. Bayangan itu seperti sedang memondong sesuatu. Dan teriakan
dari dalam rumah masih terdengar dengan sayunya.
„Jangan ambil anakku! Jangan ambil anakku!"
Dengan cepat Anggara meloncat untuk mengejar bayangan tadi.
Bayangan tadi berlari dengan cepatnya, tetapi oleh karena membawa
beban larinya kurang leluasa hingga dapat terkejar oleh Anggara.
„Berhenti!" teriak Anggara. Suaranya menggeledek.
„Kembalikan anak itu pada ibunya". Namun bayangan bagaikan tidak
mendengar. Ia bahkan mempercepat larinya. Anggara tidak tinggal diam.
Dengan loncatan „Kidang Kercana'", ia meloncat kearah bayangan itu.
„Hmmm …….” Hanya suara itu sebagai bunyi jawaban. Bayangan itu
ternyata adalah seorang yang berusia empat puluhan tahun. Wajahnya
tampak ramah. Betulkah orang ini yang disangka hantu oleh penduduk
desa itu. Tetapi Anggara tidak sempat berfikir. Orang itu mencoba untuk
menerobos hadangan Anggara.
Tiba-tiba dengan gerakan yanga neh orang itu meloncat kebelakang
dan dengan cepat diletakkannya bayi itu ditanah. Oleh karena merasakan
hawa yang dingin bayi itu menangis.
Orang itu tidak menghiraukannya. Ia menerjang kearah Anggara.
Semula Anggara bermaksud menggunakan kesempatan itu untuk
merebut si bayi, tetapi sebelum dapat mencapai tempat si bayi tadi, ia
melihat orang itu datang menyerangnya. Sambaran angin itu datang dari
orang tadi. Untunglah Anggara dapat menghindarinya. Orang itu terus
menghujani pukulan pada Anggara. Anggara tidak tinggal diam. Ia
membalas serangan-serangan itu dengan pukulan-pukulan yang tidak
kurang hebatnya. Tiba-tiba Anggare terkejut, Ia memandang degan tajam
kearah tangan kanan orang itu. Mengapa? Dengan pertolongan sinar
bulan Anggara melihat bahwa pada punggung tangan kanan orang itu
terdapat noda (toh) yang sangat besar dan ditumbuhi rambut.

13
Tiba-tiba Anggara berseru :
„Apakah kamu Kyai Candraketu ….......”
„Hmmm ………”
Sejak tadi setiap kali Anggara berkata orang itu tidak pernah
menjawab selain menggeram. Meskipun demikian geraman itu
menggetarkan hati yang mendengarnya. Kalau Anggara tidak mendapat
gemblengan dari Kyai Ageng Candradimuka tentu akan roboh dibuatnya.
„Lekas jawab! Apakah kamu Kyai Candraketu”. Sekali lagi Anggara
mengulangi pertanyaannya.
„Kalau betul kamu mau apa'', eordengar jawab orang itu.
Kini Anggara mendapat kepastian. Dialah Kyai Candraketu. Dialah
orang yang selalu dicari-carinya. Dialah orang yang telah merenggut
dirinya dari kasih sayang orang tuanya.
„Kyai bangsat, terimalah pembalasanku”. Demikian pekik Anggara
dengan penuh dendam. Ya. Dendam kesumat yang telah lama
terpendam, kini berkobar dengan mendadak. Dengan tenaga yang ada
padanya, Anggara melancarkan berbagai pukulan kearah Kyai
Candraketu. Dalam sesaat pertempuran antara kedua orang itu berjalan
dengan hebatnya.

14
Tiba-tiba Kyai Candraketu melancarkan sebuah pukulan dan dari
kepalan tangannya itu keluarlah asap hitam berkepul-kepul. Asap itu
semakin tebal. Dan ….. kepala Anggara menjadi pusing dibuatnya.
Anggara terhuyung kebelakang. Jiwa Anggara bagaikan telur diujung
tanduk. Disaat yang soperti itu, disaat bahaya mengancam dirinya tiba-
tiba Kyai Candraketu lari meninggalkannya. Bayi yang dicurinyapun
ditinggalkan disitu. Walaupun demikian akibat dari asap hitam masih
terasa. Untuk sesaat Anggara tak dapat berdiri dengan tetap. Ketika rasa
pusingnya lenyap, Anggara segera mendekati bayi itu. Ia merasa heran
melihat Kyai Candraketu melarikan diri. Dipondongnya bayi yang malang
itu. Kemudian ia berjalan kembali menuju kedesa tempat dia bermalam.
Sesampai ditempat kediaman si bayi, ia segera menyerahkan bayi itu
pada ibunya. Kegirangan si ibu tidak terkira. Berkali-kali ia mengucapkan
terima kasih pada Anggara.
Disamping kegembiraannya, si ibu beserta semua penghuni rumah
itu merasa heran bercampur kagum terhaciap Anggara, Namun Anggara
tidak memperhatikan itu. Ia lekas-lekas kembali kerumah tempat ia
menginap.
Si tuan rumah merasa heran melihat tamunya kembali dengan
selamat.
„Apakah kamu bertemu dengan hantu itu. Bagaimana rupanya".
„Dia bukan hantu. Dia manusia seperti paman".
„Apa .......? Dia manusia …..? Tak mungkin! Kalau dia manusia,
untuk apa dia memakan jantung bayi itu?"
„Dia seorang dukun pengabdi ilmu hitam. Jantung bayi yang
dimakannya itu untuk memperkuat ilmunya”.
„Oh …… betulkah ada manusia yang sekejam itu”.
„Adikku juga pernah menjadi korban kebiadabannya"
Sebetulnya orang itu belum dapat mempercayai kata-kata Anggara, tetapi
ia tak berani menanyakan lagi, karena dilihatnya wajah Anggara yang
muram.
Malam itu Anggara tak dapat tidur. Diruang matanya kembali
terbayang peristiwa yang dialaminya dimasa kecilnya. Ia ingat betapa
ganasnya Kyai Candraketu ketika itu. Saat itu kedua orang tuanya
berusaha untuk mempertahankan adiknya yang masih bayi dari rebutan
kyai itu. Tetapi kedua orang tuanya bukan lawan kyai itu. Sekali pukul
robohlah sang ibu dan sebuah tendangan merobohkan ayahnya. Kalau dia
tidak ditolong oleh Kyai Ageng Candradimuka. tentu diapun menjadi
korban tangan kejam dari Kyai Candraketu.
Ia telah bersumpah untuk membunuh Kiai Candraketu, tetapi
setelah ia berkesempatan untuk melakukan pembalasan dendam itu ia
dapat dikalahkan oleh musuhnya. Bahkan hampir dibunuhnya. Ia merasa
mengkal dapat dikalahkan oleh Kyai itu. Namun ia merasa bersukur dapat
terhindar dari bencana kematian. Apakah sebabnya Kyai Candraketu

15
melarikan diri pada saat melancarkan erangan yang begitu berbahaya? Ia
tak dapat memecahkan teka-teki itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Anggara sudah minta izin pada
tuan rumahnya, untuk melanjutkan perjalanannya. Ia bertekad untuk
mencari tempat tinggal Kyai Candraketu. Ia bertekad untuk melakukan
pertempuran yang mati-matian dengan kyai itu.
Mulai hari itu setiap hari, pekerjaannya tak lain dari pada mencari
tempat kediaman musuhnya. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ia
menjalankan usahanya itu, tetapi usahanya menemui kegagalan.
Akhirnya datanglah bulan Puasa. Ia harus kembali ke gunung Lawu
untuk menghadap gurunya. Ketika dia sampai ditempat kediaman
gurunya, dilihatnya Krepa, telah menghadap sang guru. Sesampai
dihadapan sang guru, ia segera menceriterakan pertemuannya dengan
Kyai Candraketu. Anggara juga menceriterakan tentang usahanya yang
gagal dalam mencari tempat tinggal musuhnya itu.
„Kak Anggara betulkah kakak telah bertemu dengan kyai itu.
Akupun demikian, kak”.
„Jadi kamupun telah berjumpa dengannya".
„Betul, kak. Bahkan saya telah mengetahui tempat kediamannya.
Aku juga hampir dibunuhnya ketika menjumpainya sedang melakukan
perbuatan jahatnya. Aku hampir binasa dibawah asap hitamnya. Disaat
yang sangat berbahaya bagi diriku datanglah seseorang menolongku. Aku
tidak dapat melihat orang yang menolongku itu dengan jelas”.
„Orang yang menolongmu itu adalah kakak Kyai Candraketu",
terdengar Kyai Candradimuka menyela. Kedua orang itu terkejut.
Meskipun dia kakak kyai itu, tetapi wataknya bagaikan bumi dan
langit. Mula-mula dia tak mengetahui sepak-terjang. Akulah yang
memberitahukannya padanya. Ia sangat sedih mengetahui perbuatan
adiknya. Sejak itu ia selalu mengawasi gerak-gerik adiknya".
Setelah berhenti sebentar Kyai Ageng Candradimuka melanjutkan :
„Anggara, Krepa, ketahuilah olehmu, bahwa kepandaian orang itu
amat tinggi. Untuk mempelajari ilmu hitamnya dia telah membunuh
berpuluh-puluh bayi. Kamu berdua tak dapat menandinginya''.
„Tetaou walau bagaimanapun saya harus membalas dendam ayah-
bunda sayaa, bapa”.
„Anggara. Kamu tak usah khawatir. Saya pasti membantumu".
Anggara merasa lega mendengar janji gurunya.
Tetapi dengan tak diduga-duga beberapa hari kemudian Kyai Agen]
Candradimuka jatuh sakit. Sakitnya kian hari bertambah berat. Dan
beberapa hari menjelang Idul Fitri, Kyai Ageng Candradimuka dipanggil
ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Alangkah sedihnya Anggara dan Krepa ditinggalkan oleh guru yang
amat mereka cintai. Dengan upacara sederhana mereka berdua memberi
penghormatan terachir pada arwah sang Guru.

16
Sementara itu baik Anggara maupun Krepa, merasa heran
bercampur khawatir, karena hingga saat itu Waja Cempani belum juga
datang menghadap sang guru.
Kemanakah gerangan dia? Apakah dia tertimpa bencana?
Tujuh hari telah lampau. Waja Cempani belum datang. Mereka
semakin khawatir.
Pada suatu hari tiba-tiba Krepa berata pada Anggara:
„Kak Anggara, tahukah kakak bahwa Kyai Candraketu memiliki ilmu
hitam juga memiliki ilmu weduk yang luar biasa".
Dan apa hubungan hal itu dengan lenyapnya Waja Cempani".
„Waja Cempani sering kali berkata, bahwa ia ingin benar memiliki
ilmu wedug. Ia ingin memiliki tubuh yang kebal. Aku merasa khawatir
jangan-jangan ia berguru pada kiai itu. Dan lagi kyai itu juga mempunyai
anak gadis yang amat cantik”.
„Apakah kamu khawatir, kalau Waja Cempani terpikat oleh gadis
itu.
„Betul, kak. Gadis itu meskipun cantik parasnya, tetapi mempunyai
watak yang sangat buruk''.
„Kalau begitu kita harus lekas-lekas membuktikan hal ini. Kalau
benar, kita harus mencegah Waja Cempani berguru pada Kyai
Candraketu".
Keesokan harinya setelah membersihkan makam gurunya, Anggara
dan Krepa berangkat kegunung Kawi. Mereka berdua langsung menuju
ketempat kediaman Kyai Candraketu".
„Pada suatu malam sampailah mereka ditempat kediaman kyai itu'',
demikian Ki Ranggga melanjutkan ceritanya.
Malam itu adalah malam yang tak pernah dilupakan oleh mereka
berdua. Bulan sabit yang menghiasi angkasa dan angin sepoi-sepoi basa
menambah kesunyian malam. Dengan mengenakan pakaian hitam
mereka berjalan menuju kerumah Kyai Candraketu.
Sesampai ditempat kediaman kyai itu, Anggara menyuruh Krepa
mendekati rumah itu. Dia sendiri mengawasi dari belakang dan akan
memberi pertolongan pada saat yang dibutuhkan.
Krepa berjalan mendekati rumah kyai itu dengan hati yang
berdebar-debar. Betulkah ia akan menjumpai Waja Cempani disitu? Tiba-
tiba dari sebuah kamar disudut rumah itu, ia seperti mendengar suara
orang ber-cakap-cakap.
„Warsi, besok pagi aku minta izin padamu, untuk pergi kegunung
Lawu. Aku sangat rindu pada bapa guru dan saudara-saudaraku.
Perkenankanlah wahai manisku"
„Terserah padamu, kak". Terdengar suara seorang wanita.
„Warsi, mengapa kamu tampak tidak senang setiap kali aku minta
izin untuk pulang".
„Aku hanya memperingatkan padamu. Kalau kakak masih cinta

17
padaku jangan pergi kesana. Lagi pula bukankah pelajaran yang diberikan
oleh ayah pada kakak belum selesai''.
„Tetapi aku sudah sangat rindu pada bapa guru".
Mendengar suara percakapan itu, Krepa terkejut. Suara laki-laki itu
adalah suara Waja Cempani. Mula-mula ia tak percaya. Tetapi setelah
diperhatikan benar-benar yakinlah ia. Suara itu benar-benar suara Waja
Cempani.
„Kak Waja'', terdengar suara watnita itu. „Kalau kamu ingin pergi
kegunung Lawu. Janganlah kembali kesini”.
„Baiklah Warsi; kalau begitu saya tak jadi pergi".
Alangkah panasnya hati Krepa mendengar percakapan itu. Ia
segera berseru:
„Waja Cempani, kakak ingin bertemu denganmu".
„Wahai, kak Krepa ……" terdengar jawaban dari dalam rumah. Pintu
rumah segera terbuka dan terlihat seseorang berdiri diambang pintu.
Krepa memperhatikan orang itu. Tetapi orang itu bukan Waja Cempani
melainkan Kyai Candraketu.
„Apa maksudmu datang kesini pada waktu malam seperti ini. Tidak
punya kesopanankah, kau". Orang itu menyapa. Suaranya melenggking
tajam.
„Meskipun saya tak punya kesopanan, tetapi toh sih mempunyai
peri kemanusiaan ……….” jawab Krepa tidak kurang tajam.
„Oh ….. Kiranya kamu, Krepa''.
Sementara itu terlihat Waja Cempani keluar dari rumah itu. Melihat
adiknya keluar, Krepa segera menyapa:
„Waja Cempani, sadarlah kamu. Tinggalkan rumah ini dengan
segera. Jangan berguru pada orang ini”.
„Tetapi kak. Bapak Candraketu sangat baik terhadapku. Dan lagi
aku telah dipungut menantu".
„Waja Cempani. sadarlah adikku. Kamu teah keliru memilih isteri.
Wanita itu tak sepadan menjadi isterimu, Dia adalah wanita setan seperti
ayahnya".
Alangkah marahnya Kyai Candraketu mendengar kata-kaka Krepa,
Ia sangat takut kalau rahasianya dikatakan pada menantunya. Dengan
menggeram diterkamnya Krepa. Tetapi Krepa sudah bersiap-siaga.
Secepat kilat dia menghindarkan dari terkaman kyai itu.
„Ayah! Kakak! Berhenti! Apa artinya semua ini?"'
Waja Cempani sudah kena „pekasih" bikinan Kyai Candraketu. Ia
tidak menyadari, bahwa mertuanya itu seorang Kyai pengabdi ilmu hitam.
Ia tak sadar, bahwa ia menjadi menantu seorang juru tenung.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring bagaikan guntur : „Krepa,
jangan khawatir. Aku datang membantu”.
„Kak Anggara, kiranya kamupun datang teriak". Waja Cempani.
„Betul Waja Cempani, aku datang untuk membebaskanmu”.

18
Kemudian Anggara segera menyiapkan cambuknya. Tak berapa
lama terdengar bunyi cambuk memecah kesunyian malam.
Oleh karena mengetahui kekebalan Kyai Candraketu, Krepa tidak
dapat menggunakan kerisnya. Ia hanya melancarkan pukulan-pukulan
dengan sepenuh tenaga setiap ada lowongan.
Pertempuran antara ketiga orang itu segera berjalan dengan
serunya. Cambuk Anggara menggeletar, pukulan-pukulan Krepa datang
bertubi-bertubi dan serangan-serangan Kyai Candraketu mendatangkan
angin yang sangat dingin.
Waja Cempani sangat bingung. Ia tidak mengetahui mengapa
kedua orang saudaranya begitu benci pada mertuanya. Dimata Waja
Cempani. Kyai Candraketu seorang yang ramah tamah. Tak sedikitpun
kekejaman tampak diwajah orang itu. Memang inilah keistimewaan dari
Kyai Candraketu. Meskipun dia mengabdi pada ilmu hitam tetapi untuk
menyembunyikan rahasianya. dia menggunakan bermacam obat-obatan,
untuk menghindarkan perubahan mukanya. Sehingga wajahnya kelihatan
ramah-tamah.
Waja Cempani tidak menyadari hal ini. Kini ia bingung. Mana yang
akan dibantu? Yang satu mertuanya, yang lain saudara seperguruan.
Sementara itu pertempuran antara Kyai Candraketu dengan
Anggara dan Krepa semakin hebat. Kepandaian mereka seimbang. Tetapi
tiba-tiba Kyai Candraketu berseru. Suaranya terdengar menyeramkan dan
dengan tidak diduga-duga dari tangan Kyai Candraketu yang
dipergunakan untuk menyerang kelihatan asap berkepul-kepul. Asap itu
berwarna hitam. Anggara dan Krepa sudah bersiap-sedia. Dengan
sepenuh tenaga mereka mempertahankan diri dari serangan asap itu.
„Bapa Candraketu, jangan bunuh saudara-saudaraku", terdengar
Waja Cempani berteriak.
Namun terlambat …..
Dua buah pukulan dari Kyai Candraketu menghantam kedua
pendekar itu. Pada saat itu tiba-tiba terlihat sebuah bayangan yang
bergerak luar biasa cepatnya. Bayangan itu menerobos ketengah
gelanggang. Dengan gerakan yang aneh bayangan itu menangkis sebuah
pukulan kyai itu yang dilancarkan pada kedua pendekar itu. Tetapi
pukulan yang lain sudah terlanjur menyentuh tubuh Krepa. Krepa
terhuyung-huyung kemudian jatuh roboh.
Sementara itu Kyai Candraketu pun juga terpental oleh tolakan dari
bayangan tadi.
„Kakak Candrakusuma, mengapa kakak selalu meng-halang-halangi
gerak-gerikku".
„Candraketu. Korban karena kebiadabanmu sudah bertumpuk.
Kalau aku mengetahuinya sejak dulu tentu aku sudah mencegahnya.
Tetapi aku datang terlambat. Korban sudah bertumpuk. Aku hanya dapat
menyadarkanmu. Namun kiranya kamu tak mau sadar. Kali ini peringatan

19
terakhir bagimu. Sekali lagi kalau aku melihatmu melakukan kejahatan,
aku akan membunuhmu".
„Kak Candrakusuma, ampunilah aku''.
„Kalau kamu dapat merobah kelakuanmu, tentu aku akan
mengampunimu".
Sementan itu Waja Cempani mendekati kakaknya.
Ia tidak memperhatikan apa yang dipercakapkan oleh kedua orang itu.
Dia bermaksud untuk menolong kakaknya yang sedang terkapar ditanah.
Tiba-tiba Anggara membentak.
„Jangan sentuh dia. dengan tanganmu yang kotor”, kata Anggara
sambil mengangkat tubuh Krepa dan kemudian menggendongnya untuk
dibawa pergi meninggalkan tempat itu.
Alangkah sedihnya Waja Cempani. Ia tegak termangu menyaksikan
kepergian Anggara. Ia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya.
„Waja Cempani”, terdengar Kyai Candraketu berkata. „Kalau kamu
mau pergi bersama kakakmu, pergilah, Saya tidak melarangnya”. Suara
itu sangat aneh kedengarannya.
„Tidak bapa. Saya tak akan meninggalkan Warsi”. Demikian jawab
Waja Cempani sambil menoleh kepada mertuanya.
Tiba-tiba pandangannya bertemu dengan pandangan mata orang
yang telah menolong kakaknya. Orang itu lebih tua sedikit dibanding
dengan Kyai Candraketu. Cahaya matanya tajam berkilat dan sangat
tajam seakan-akan menembus lubuk hatinya.
Memang orang itu adalah Resi Candrakusuma. Dia adalah kakak
Kyai Candraketu. Saat itu Resi Candrakusuma menatap Waja Cempani
dengan tajam. Aneh! Pandangan mata Waja Cempani tak dapat
menghindar dari pandangan mata resi itu. Ia merasa bahwa pikirannya
menjadi tenteram dan jernih. Makin lama makin jernih. Tetapi ……
„Kak Waja Cempani, kemarilah. Mengapa aku kau tinggalkan begitu
lama”, terdengar suara seorang wanita. Kalau orang lain yang
mendengarkannya tentu akan mual dibuatnya. Nada suara itu aleman dan
genit. Namun pada pendengaran Waja Cemnani, suara itu sangat merdu
merayu. Ah, sungguh malang nasib pendekar itu. Ia telah menjadi korban
ilmu hitam Kyai Candraketu.
Semula Resi Candrakusuma bermaksud untuk menolongnya.
Dengan pandangan matanya ia bermaksud memunahkan ilmu hitam yang
menyelubungi diri Waja Cempani telah gagal. Kemudian ia menoleh pada
Kyai Candraketu sambil berkata:
„Ingatlah akan kataku tadi. Sekali lagi aku melihatmu melakukan
kejahatan, aku tak akan tinggal diam”. Setelah itu ia kembali menoleh
pada Waja Cempani.
„Selamat tinggal. nak.. Baik-baiklah, kau disini”,demikian katanya.
Kemudian ia segera melangkahkan kaki meninggalkan semua penghuni.
Sementara itu, dengan mendukung Krepa. Anggara berjalan.

20
Betapa pedih rasa hatinya, dendamnya terhadap Kyai Candraketu belum
juga terbalas. Ini dijumpainya adik seperguruannya dalam keadaan yang
sangat menyedihkan dibawah kekuasaan ilmu hitam Kyai Candraketu.
Kepedihan hatinya semakin bertambah. Apa lagi ketika dilihatnya Krepa
dilukai oleh Kyai itu. Kalau ia tidak bersama Krepa, tentu ia sudah
bertempur mati-matian dengan Kyai itu. Tetapi Krepa membutuhkan
pertolongan ia tidak ingin melihat Krepa mati karena membelanya.
la terus berjalan dengan cepat menuruni gunung Kawi. Maksudnya
untuk mencari dukun yang dapat menolong Krepa.
Tiba-tiba ia merasakan angin dingin menyambar tengkuknya.
Dengan cepat ia menoleh kebelakang. Ketika itu dilihatnya seorang yang
berdiri sambil memandangnya dengan wajah yang menaruh belas
kasihan. Orang itu ternyata adalah orang yang telah menolongnya.,
Lekas-lekas ia menyapa:
„ Bapa. saya Anggara, mengucapkan terima kasih terhadap
pertolongan bapa. Budi sebesar ini rasanya tak akan dapat membalasnya.
„Nak Anggara seharusnya sayalah yang harus meminta maaf
padamu. Karena disebabkan perbuatan jahat adikku maka kau menjadi
menderita ….
„Jadi ….. Kyai Candraketu itu adik bapa”.
Saat itu ingatlah Anggara akan kata gurunya. Kiranya orang itulah
Kyai Candrakusuma yang telah disebutkan oleh gurunya.
„Meskipun aku saudaranya, namun aku tidak menyukai
perbuatannya. Aku berjanji padamu, nak. Kalau Candraketu masih
melakukan kejahatan sayalah yang akan menghukumnya", begitulah resi
itu berjanji.
„Terima kasih, bapa".
„Dan sekarang, marilah pergi mencari dukun untuk mengobati luka
nak Krepa. Luka yang dideritanya tidaklah ringan. Tenaga hitam yang
dilontarkan oleh Candraketu sangatlah hebat. Dia harus lekas-lekas
mendapat pertolongan".
„Dikaki gunung Kawi sebelah selatan saya mempunyai seorang
sahabat. Dia seorang dukun sakti".
Demikianlah, Resi Candrakusuma segera memimpin Anggara
berjalan menuju ketempat kediaman dukun sakti itu.
Dukun sakti itu bernama Resi Mandraguna. Dia adalah sahabat Resi
Candrakusuma dimasa muda. Alangkah terkejutnya resi itu melihat
kedatangan bekas kawan karibnya.
„Mandraguna, hari ini kawanmu datang untuk meminta pertolonmin
padamu”. Kemudian Resi Candrakusuma mengutarakan maksud
kedatangannya. Ia menunjukkan luka yang diderita Krepa. Melihat luka
bekas pukulan itu Resi Mandraguna terkejut.
„Untung, anak muda ini lekas-lekas kamu bawa kesini. Kalau tidak
jiwanya sukar tertolong".

21
„Sangat berbahayakah luka itu bagi jiwanya, Bapa?” tanya Anggara
dengan khawatir.
„Memang. Kalau tidak diobati secara tepat akan berbahaya bagi
jiwanya. Tetapa percayalah padaku, nak”.
Anggara merasa puas mendapat jawaban itu.
Tiba-tiba resi itu memanggil seseorang.
„Sariwati. Kemarilah kamu!"
Dari pintu yang menghubungkan ruangan itu dengan ruang
belakang keluarlah seorang gadis.
„Ha, ha, ha, ….. Sariwati. Kiranya kamu sudah sebesar ini.
Kemarilah, nak. Aku ingin berbicara denganmu”, Terdengar Resi
Candrakusuma berkata.
Anggara memandang kearah gadis itu. Tiba-tiba perasaan aneh
menguasai dirinya. Perasaan demikian ini belum pernah dialaminya.
Darah didalam tubuhnya serasa lebih cepat mengalir. Jantungnya serasa
berdenyut lebih keras. Pada pandangan matanya gadis itu sangat cantik
jelita. Kulitnya kuning langsat, matanya bersinar dengan cemerlang,
hidungnya yang mancung dan bibirnya bak delima merekah. Lesung pipit
yang menghias di pipinya menambah kemanisannya.
Anggara tidak berani memandang wajah gadis itu lebih lama lagi. la
segera mengalihkan pandangan pada Krepa. Dilihatnya Resi Mandraguna
sedang mengurut-urut dada Krepa. Setelah cukup lama memijit-mijit, ia
pergi keruang belakang. Ia keluar dengan membawa sebuah bungkusan.
„Sariwati, masaklah jamu ini-. Sariwati mengiakan. Diterimanya
bungkusan itu dari tangan ayahnya. Kemudian pergilah ia kebelakang. Ia
kembali dengan membawa sebuah cangkir yang telah dimasak dengan air
panas. Diberikan cangkir itu pada ayahnya. Resi Mandraguna menyuruh
Anggara untuk membantu Krepa minum jamu itu apabila Krepa telah
sadar.
Sementara itu Resi Candrakusuma mohon diri pada Resi
Mandraguna untuk melanjutkan perjalanannya. Tak lupa ia meminta
pertolongan Resi Mandraguna, untuk merawat Krepa hingga sembuh. Resi
Mandraguna menyanggupinya, Anggara tinggal untuk membantu Resi
Mandraguna mengobati adiknya.
Selang beberapa hari luka Krepa dapat disembuhkan.
Tetapi tiba-tiba terjadilah peristiwa yang tak diduga-duga.
Anggara telah jatuh hati pada Sariwati.
Pada suatu hari ketika Anggara mendapat kesempatan untuk
mengutarakan isi hatinya, ia segera menjumpai Sariwati.
Saat itu Sariwati sedang menanam sayur dikebun. Ketika dilihatnya
Anggara datang ia menyambutnya dengan senyuman, Dada Anggara
semakin berdebar.
„Sariwati, ada sesuatu yang akan kukatakan padamu".
„Katakanlah, kak”.

22
„Sariwati ……..” Anggara tak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia
seperti terbungkam. Kata-kata yang telah dirangkaikannya seolah-olah
hilang.
„Sariwati …..Tahukah kamu betapa perasaan hatiku padamu.
Selama hidupku belum pernah aku merasakan perasaan yang seperti ini.
Sariwati ……. aku ……. aku …….. mencintaimu dengan sepenuh hatiku
……..”.
Anggara merasa lega telah dapat mengatakan isi hatinya.
Tetapi tiba-tiba Sariwati memandangnya dengan aneh.
„Kak Anggara ...........”
„Sariwati katakanlah terus terang. Adakah kamu menerima
cintaku''.
„Kak Anggara ……… Aku tak dapat menjawabnya”.
„Mengapa tidak, Sariwati''.
Tetapi Sariwati tidak menjawab. la hanya menggelengkan kepala
dan kemudian berlari masuk kedalam rumah. Alangkah herannya Anggara
melihat tingkah laku gadis itu. Apakah ia menolak cintanya?
Malam harinya, Resi Mandraguna memanggilnya. Anggara merasa
heran. Ia menjumpai resi itu dengan penuh tanda tanya.
Ketika dilihatnya Anggara telah datang, ia menyuruhnya datang
mendekat.
„Nak Anggara ada sesuatu yang akan kukatakan padamu”.
„Silahkan bapa mengatakannya”.
„Nak Anggara. Sejak Sariwati dilahirkan. Aku lalu bercita-cita untuk
menjodohkannya dengan seorang pemuda yang penuh tanggung jawab.
Seorang pemuda yang gagah berani. Seorang pemuda pembela keadilan.
Kiranya permintaan saya terkabul. Seorang pemuda datang melamarnya.
Pemuda itu memenuhi syarat yang kuinginkan dan Sariwati juga
mencintainya".
Anggara berdebar-debar mendengar kata-kata resi itu
„Tetapi, nak, Tiba-tiba datanglah pemuda lainnya. Dia juga
mengutarakan maksud yang sama dengan pemuda tadi”.
„Pemuda yang pertama adalah Krepa. Dan pemuda yang kedua
adalah kamu, nak”.
Alangkah terkejutnya Anggara mendengar kata-kata resi itu.
„Alangkah beratnya rasa hatiku nak. Baik kamu maupun Krepa
adalah pemuda yang kuidam-idamkan. Tak kusangka keduanya datang
melamar".
„Bapa …….. Kalau Krepa memang mencintai Sariwati, bapa tak
usah bingung. Dengan rela saya menyetujuinya”, demikian kata Anggara
walau pada saat itu hatinya remuk redam.
„Bagus nak Anggara itulah ksatria sejati'', kata Resi Mandraguna. Ia
tahu betapa remuk perasaan hati pemuda itu.
„Namun pesanlah Sariwati supaya jangan mengatakan tentang

23
maksud saya melamarnya kepada Krepa. Tidak baik jadinya kalau, dia
mengetahuinya".
„Betul, nak. Aku faham akan maksudmu''.
Malam itu juga Anggara memohon izin pada resi itu untuk
melanjutken perjalanan. Ia memesan pada Resi Mandraguna untuk
memamitkan pada Krepa.
Resi Mandraguna memahami betapa perasaan Anggara nada saat
itu. Ia menyanggupi semua kehendak Anggara. Ia melepaskan Anggara
dengan hati yang berat.
„Nak Anggara, hanya satu pesanku padamu. Janganlah kamu
berputus asa''.
„Terima kasih, bapa Mandraguna. Saya pasti akan ingat selalu
pesan bapa", jawab Anggara.
Kemudian pergilah ia. Ia pergi dengan membawa luka dihati.
Demikianlah Ki Rangga mengakhiri kisahnya. Jaka merasa kasihan
pada pendekar itu.
„Ayah, tadi ayah mengatakan bahwa kisah ini berhubungan dengan
diri ayah, Lantas apa hubungannya?" tanya Jaka.
„Jaka, kisah ini memang erat hubungannya dengan diriku, karena
….. Anggara ….. yang kusebutkan dalam cerita itu adalah …… aku sendiri".
„Ayah, jadi …… Anggara ….. itu ……. ayah ….. sendiri …..”.
„Betul, Jaka".
Alangkah terkejutnya mendengar perkataan ayahnya. Tak
diduganya sama sekali bahwa Anggara adalah ayahnya.
„Jaka”, terdengar ayahnya berkaa, „Orang berjanggut yang
merampas si Putih itu adalah Waja Cempani. Kuda putih itu diberikan
padaku beberapa tahun sebelum ia berguru pada Kyai Candraketu.
Mungkin dia mengira bahwa kamu telah mencuri si Putih itu dari
tanganku".
Sekali lagi Jaka terkejut.
Tetapi Ki Rangga seperti tidak menghiraukan keadaannya.
„Jaka"', demikian katanya. „Semenjak aku bersama Krepa gagal
merobohkan Kyai Candraketu, aku menjadi berputus asa. Aku tak
mungkin membalas dendam pada Kyai Candraketu. Betapa tidak. Ia
adalah adik Candrakusuma yang tefah menolongku. Tetapi semenjak itu
aku tidak mendengar kabar beritanya lagi".
Ki Rangga berhenti sejenak. Kemudian katanya :
„Jaka, kemarin malam aku melihat bahwa permainan cambukmu
maju dengan pesat. Hal itu tidak perlu kamu herankan. Pak Samun yang
kamu katakan itu adalah saudara Resi Mandraguna. Salah satu
keistimewaan dari Pak Samun adalah kepandaian pijatnya. Kamu telah
beruntung bertemu dengannya. Tanpa kau sadari dia telah membantu
melancarkan jalan darahmu. Ini sangat besar pengaruhnya pada gerak
tubuhmu".

24
„Dan sekarang aku akan mempelajarkan padamu sebuah ilmu keris
hasil ciptaanku sendiri. Ilmu keris ini mengutamakan kecepatan bergerak.
Maka mempelajarinya bukan merupakan suatu hal yang sulit bagimu.
Marilah Jaka kuajarkan ilmu itu padamu”.
Sehabis berkata demikian Ki Rangga mengambil sepotong ranting
sebagai pengganti keris. Maka mulailah Ki Rangga mengajarkan ilmu
Keris ciptaannya pada Jaka.
Oleh karena Jaka telah memiliki dasar kecepatan bergerak maka
ilmu keris itu mudah difahaminya. Sejak malam itu selama berada didesa
Butuh, pekerjaan Jaka tak lain daripada berlatih Ilmu Keris ciptaan
ayahnya. Dalam beberapa hari saja Ilmu Keris itu sudah dapat
diyakinkannya.
Pada suatu hari berkatalah Jaka pada ayahnya.
„Ayah, besok pagi saya akan kembali ke Karta”.
„Baik, Jaka. Jalankanlah tugasmu sebagai prajurit Mataram dengan
sebaik-baiknya”.
Setelah memohon diri pada ibunya dan pada Sari. Jaka segera
berangkat ke Karta.
Dengan jatuhnya Surabaya ditangan Mataram, beban Sri Sultan
Agung masih tetap berat, Dua musuh kuat masih menantang beliau. yang
pertama adalah benteng V.O.C, di Jayakarta, yang kedua adalah Kerajaan
Belambangan.
Pada suatu hari Sultan Agung memanggil Jaka Prasetya
menghadapnya. Ketika Jaka telah menghadap berkatalah beliau :
„Jaka, aku bermaksud untuk memberikan tugas padamu. Pertama
Didaerah Timur sering timbul kekacauan yang disebabkan oleh
penyamun-penyamun yang meraja-lela disitu. Sehingga banyak rakyat
yang menderita karenanya. Maka kutugaskan padamu untuk
meringankan penderitaan Rakyat dengan jalan membasmi penyamun-
penyamun itu.
Kedua Perhatikanlah gerak-gerik Belambangan. Kaau ada sesuatu
yang mencurigakan segeralah laporkan padaku''.
„Bafk, Gusti. Sayaa memohon berkah Gusti agar dapat menjalankan
tugas ini dengan sebaik-baiknya".
Setelah mendapat penjelasan lobih lanjut, Jaka segera memohon
diri untuk berangkat meninggalkan Karta.
Untuk melakukan perjalanan ini Jaka dipinjami kuda milik Sri
Amangkurat. Kuda itu berbulu hitam.
Kuda hitam itu, meskupun tidak sekuat si Putih, tetapi termasuk kuda
pilihan.
Jaka Prasetya segera mengendarai kuda itu. Dan memacunya
keluar Karta. Dia sangat gembira mendapat tugas itu. Dengan demikian
ia dapat kesempatan untuk mencari pamannya Waja Cempani dan Krepa.
Jaka menjalankan tugas yang diberikannya dengan baik.

25
Disepanjang jalan, sangat banyak pertolongan Jaka yang diberikan
kepada setiap orang yang membutuhkannya Setiap kali melihat
ketidakadilan, ia selalu turun tangan. Segala kejahatan yang dijumpai
ditengah jalan diberantasnya. Banyak sarang berandal yang telah
didobraknya. Tak sedikit begal-begal yang sungsang balik karena
tendangannya dan tidak sedikit lintah darat yang memohon minta ampun
kepadanya. Jaka sengaja mengambil jalan berputar-putar. Dengan
demikian ia lebih banyak mendapat kesempatan untuk menjalankan
darma baktinya pada rakyat Mataram.
Kemudian ia menuju kegunung Kawi. la bermaksud mencari
pamannya Krepa.
Pada suatu hari, ketika dia sedang menyusuri sungai Berantas. tiba-
tiba ia mendengar suara orang bertembang. Suara itu sangat merdu dan
sedap didengar ditelinga. Suara tembang itu dapat membangkitkan
semangat orang yang mendengarkannya. Suara itu sudah terang adalah
suara seorang wanita. Mendengar suara tembang itu Jaka seperti berada
ditempat yang menggembirakan.
Tanpa terasa ia turun dari punggung kudanya. Ditambatkannya
kudanya disebuah pohon dan pergilah ia menuju kearah suara gadis yang
bertembang itu. Suara tadi ternyata datang dari sekelompok gadis yang
sedang mencuci kain disebuah anak sungai yang jernih airnya.
Oleh karena takut kalau gadis tadi berhenti bertembang, jika
melihatnya, maka Jaka bersembunyi disebuah belukar didekat sungai itu.
Gadis-gadis yang sedang mencuci kain itu berjumlah lima orang,
Diantara mereka. terdapat dua orang gadis yang paling menyolok
kecantikannya dibanding dengan ketiga gadis yang lainnya. Kulit mereka
kuning langsat. Sinar mata mereka tajam. Dilihat dari wajahnya kedua
gadis itu mungkin dua orang saudara. Yang bertembang adalah gadis
yang dalam pandangan mata Jaka adalah lebih muda dari gadis yang
satunya. Melihat gadis yang bertembang itu, Jaka menjadi terpesona.
Dadanya berdebar-debar dan jantungnya dirasa-kan berdenyut lebih
keras, Dia merasa bahwa darahnya mengalir lebih cepat.
Tiba-tiha gadis itu berhenti bertembang. Dia seperti sedang
memperhatikan sesuatu. Jaka menjadi terkejut setengah mati. Dikiranya
gadis itu mengetahui kalau sedang diperhatikannya. Tetapi rasa
terkejutnya menjadi hilang ketika diketahuinya bahwa pandangan gadis
itu tidak ditujukan kearahnya. Melainkan kearah sebuah belukar yang
letaknya lebih dekat dengan mereka.
Tak berapa lama meloncatlah seseorang dari belukar itu. Orang itu
adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, tubuhnya kekar dan
agak besar sedikit dibandingkan dengannya. Hanya sayang ada suatu
cacat yang menyedihkan menurut pandangan Jaka. Sorot mata pemuda
itu menandakan sifatnya yang kejam.
Perhatian Jaka segera dialihkan kearah kelompok gadis itu. Kali ini

26
gadis yang lebih tua dari dua orang gadis yang menarik perhatian Jaka,
tampil kedepan. Wajahnya menundjukkan kegusarannya
„Apa masudmu datang kesini”, demikian gadis tadi berkata. „Belum
puaskah kamu menggodaku lagi. Kalau adikku tahu kamu menggodaku
lagi. Dia tak akan tinanal diam. Kemarin kamu telah dihajarnya, tetapi
kini kau telah berlagak lagi. Huh dasar tak tahu malu”.
Mendengar kata-kita gadis tadi, pemuda iu hanya tersenyum-
senyum dan kemudian berkata .
„Candra, apakah kau kira aku betul kalah melawan adikmu.
Kemarin aku mengalah terhadapnya. Aku tak mau menyakiti hati adikmu.
Bukankah dia calon iparku”.
„Cih, tak tahu malu. Orang semacammu tak mungkin mampu
mengalahkan adikku.”
Mendengar kata-kata gadis itu tampaknya pemuda itu tidak marah.
Katanya:
„Candra. betapapun aku sangat cinta padamu''.
„Huh, dasar orang tak tahu malu. Lekas pergi! Kalau tidak tentu
kamu akan ditertawakan teman-temanku. Apa kau kira aku ini orang
tolol? Hanya orang yang tolollah yang mau menerima cintamu. Cerita
tentang dirimu sudah banyak dibicarakan. Bukan nama yang baik yang
kamu peroleh, tetapi nama yang busuk".
„Candra, tutup mulutmu. Berani benar kamu menghinaku
dihadapan orang sebanyak ini'.
„Siapakah yang menyuruhmu datang kemari.”
Saat itu keempat gadis yang lainnya terdengar tertawa cekikikan
sambil berbisik-bisik. Merasa bahwa dialah yang ditertawakan pemuda itu
berubah mukanya.
„Diaml Apa yang kamu tertawakan. Aku tidak bicara dengan kalian.
Lekas pergi! Aku ingin berbicara berdua dengan Candra”.
„Siapa yang akan kau ajak berbicara. Aku? Jangan harap akan
terkabul keinginanmu”. Sarentak keempat temannya tertawa.
Dari wajahnya tampak bahwa pemuda itu sangat marah.
„Candra, kamu semakin berani menghinaku".
„Kalau kamu, tak ingin dihina segeralah pergi dari sini".
„Baik, Candra. Aku akan pergi. Tetapi sebelum pergi aku ingin
menghajar mulutmu …….”. Demikian kata itu selesai diucapkan, ia segera
meloncat kearah Candra. Tentu saja Candra ketakutan setengah mati.
Dan keempat temannyapun terdengar menjerit-jerit.
Tak disangka sama sekali oleh Candra, bahwa pemuda itu berani berbuat
seperti itu.
Tetapi ketika tubuh pemuda itu hampir sampai ditempat Candra
berdiri, sekonyong-konyong sesosok bayangan melesat kearah pemuda
tadi dan …… pandangan semua gadis yang berada disitu menjadi kabur.
Dan tahu-tahu mereka melihat pandangan yang mengejutkan. Pemuda

27
yang mengganggu Candra terlihat terperosok disebuah belukar ditepi
sungai itu dan seorang pemuda lain yang bertubuh kekar dan berwajah
keren berdiri dimuka pemuda yang tidak tahu malu itu. Pemuda itu tak
lain adalah Jaka Prasetya. Jaka Prasetya yang menyaksikan peristiwa tadi
menjadi tidak tahan untuk tidak memberikan pertolongan. Untung
pertolongannya tidak terlambat datangnya. Dia meloncat kearah pemuda
pemuda itu dan dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dipegangnya
lengan pemuda yang hendak dipergunakan untuk menampar Candra dan
dilemparkannya tubuh pemuda yang tidak sopan itu ketengah semak.
Sambil memandang pemuda itu, dia berkata dengan tandas.
„Pemuda yang tak tahu malu., Pemuda tidak sopan. Pemuda muka
tebal. Lekas enyah dari sini …….” .
Tetapi tiba-tiba terdengar suana yang menggeledek dari samping
Jaka.
„Panji Jatmika, muridku. Jangan takut. Aku datang. Akan kucoba
betapa kesaktian orang yang berani menghinamu”.
Jaka menoleh kearah suara itu datang. Ketika orang yang
mengeluarkan suara yang menggeledak itu terkejutlah ia. Orang itu tak
lain adalah Waja Cempani.
„Paman Waja Cempani ……” teriaknya.
Ketika Waja Cempani melihat pada Jaka. iapun berteriak:.
„Oh, kiranya kamulah orangnya. Tidak kusangka bahwa aku
bertemu lagi denganmu disini, pencuri kuda".
„Paman ……”
„Apa katamu? Paman? Siapa mau mempunyai kemenakan pencuri
kuda".
Sehabis berkata demikian Waja Cempani menerjang Jaka. Tetapi
Jaka yang sekarang lain dengan Jaka yang dulu. Ia dapat menghindar
dari terjangan Waja Cempani. Tetapi baru saja ia berhasil menghindar
dari serangan, serangan kedua datang. Serangan inipun dapat
dihindarkan. Oleh karena tidak mengira kalau akan mengalami
pertempuran, cambuknya ditinggalkan dikudanya. Maka apa yang dapat
diperbuat hanya serangan-serangan itu. Serangan Waja Cempani datang
bertubi-tubi. Dengan menggunakan kelincahannya Jaka menghindari
setiap serangan itu.
Tetapi walau bagaimapun, kepandaian Jaka belum dapat mengatasi
kepandaian Waja Cempani. Apalagi ia bertangan kosong. Maka lama
kelamaan ia kewalahan juga. Serangan-serangan pamannya semakin
gencar. Kelima gadis yang menyaksikannya merasa khawatir terhadap
keselamatan penolong Candra. Sebaliknya Panji Jatmika merasa gembira.
Dan datanglah saat yang menentukan Sebuah pukulan dari tangan
kanan Waja Cempani datang mengarah dada Jaka. Jalan satu-satunya
bagi Jaka adalah menangkisnya. Tangkisan itu berhasil, tetapi dengan tak
tersangka-sangka pukulan kedua datang. Pukulan ini datang dari tangan

28
kiri Waja Campani. Yang diarahnya adalah dada bagian atas.
Tadi ketika menangkis serangan pukulan tangan kanan Waja
Cempani ia menggunakan segala kekuatan yang ada. Maka kini
menghadapi serangan pukulan Wadia Cempani. Jaka menjadi panik. Ia
menangkis dengan sekenanya. Dan ….. duk …. pukulan itu mengenai
sasarannya. Untunglah tangkisan Jaka mengurangi sebagian besar tenaga
pukulan lawan. Walau demikian, ia merasakan seolah-olah bumi
disekitarnya gelap dan dia sudah tidak memperhatikan serangan lawan
lapi. Tetapi sayup-sayup ia seperti mendengar suara bentakan yang keras
laksana geledek.
„Hentikan serangan!"
Namun pada saat itu. ia sudah roboh terpelanting. Dilain saat ia
saperti merasa bahunya dipegang oleh sepasang tangan yang halus.
Kemudian ia tak sadarkan diri.
Tang …. Tang …… Tang ……
Demikian suara yang didengar Jaka untuk pertama kali ketika dia
mulai siuman. Suara yang demikian itu sering kali didengar Jaka. Itu
adalah suara besi ditempa yang sering didengarnya ditempat kediaman
para empu.
„Mengapa aku ada disini", demikian pikirnya. Ia membuka mata.
Kemudian ia akan bangkit berdiri. Tetapi rasa sakit dibadannya
mencegahnya. Pada waktu itu pintu dari kamar tempat ia berbaring
dibuka orang. Ketika orang yang membuka pintu itu masuk, ia segera
ingat kejadian yang baru dialaminya. Ia ingat bahwa yang membuka
pintu itu adalah salah seorang gadis yang dihumpainya ditepi sungai itu.
Gadis itu adalah gadis yang akan ditampar oleh Panji Jatmika murid Waja
Cempani.
Ketika dilihat oleh gadis itu, bahwa Jaka telah tersadar berkatalah
ia:
„Raden, menurut kata ayah luka raden tidaklah ringan. Maka ayah
menasehatkan agar raden jangan banyak bergerak dulu. Dan tak lupa
ayah mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan yang diberikan
pada saya".
Jaka sangat terpesona mendengar nada suara yang empuk itu. ia
ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara yang dikeluankan sangat lemah.
Melihat bibir Jaka bergerak-gerak gadis itu segera berkata :
„Raden. saya harap jangan berbicara dulu. Hal ini sangat tidak baik
bagi kesehatan raden".
„Bambang", tiba-tiba ia berteriak.
Dari luar terdengar suaara jawaban.
„Apakah kak Candra memanggil saya?"
„Betul, Bambang. Lekas ambilkan makanan dan minuman yang
telah kusediakan untuk raden ini".

29
Terdengar jawab mengiakan.
Tak berapa lama kemudian, pintu dari kamar itu kembali dibuka
orang dan terlihat seorang pemuda masuk kedalam kamar. Agaknya
pemuda inilah yang bernama Bambang. Pemuda itu tak begitu tinggi,
badannya sangat kekar. Wajahnya masih kekanak-kanakan. Jaka hanya
dapat menyambutnya dengan senyuman.
„Kak Candra, makanan itu kusuruh Dewi yang mengambilnya".
Baru saja Bambang berhenti berkata, terdengar pintu terbuka lagi
dan masuklah seorang gadis dengan baki ditangannya. Gadis itu adalah
gadis yang bertembang ditepi sungai kemarin. Ketika gadis itu
memandang arah Jaka bertemulah pandangan matannya dengan
pandangan mata Jaka. Gadis itu tampak tersipu-sipu. Pipinya menjadi
kemerah-merahan. Ia segera berjalan kedekat meja dan diletakkannya
baki yang berisi piring dan cangkir itu.
„Dewi'', terdengar Candra berkata. „Kemarin ayah berkata bahwa
dia akan membuat ramuan jamu itu sudah tersedia. Dan jangan lupa
katakan pada ayah bahwa raden ini telah siuman".
Dewi mematuhi suruhan kakaknya. Dia segera meninggalkan kamar
itu.
Oleh karena Jaka belum dapat bangkit. maka Candra menyuruh
Bambang untuk membantu melayani Jaka makan dan minum. Tak berapa
lama Dewi datang dengan membawa sebuah cangkir. Isi cangkir itu
adalah jamu yang disebut oleh Candra tadi.
„Kak Cndra. inilah ramuan jamu yang dikatakan oleh ayah kemarin.
Pesan ayah sehabis minum jamu ini raden itu sebaiknya tidur saja'',
demikian Dewi menyampaikan pesan ayahnya.
Demikianlah sehabis makan dan minum Jaka meminum habis jamu
yang disediakan dan setelah itu dia terlena.
Entah berapa lama ia terlena Ketika dia siuman lagi ia mendengar
suara burung berkicau. Cahaya matahari menerobos sela-sela dinding
yang dibuat dari bambu.
Dirasakannya badannya telah jauh terlebih segar. Dicobanya untuk
bangkit. Meskipun dadanya masih agak sesak, tetapi sakitnya sudah
banyak berkurang dan ia dapat bangkit.
Pada saat itu pintu dibuka orang dan terlihat Bambang masuk
kedalam kamar. Demi dilihatnya Jaka telah duduk berkatalah ia sambil
tertawa.
„Oh …… Kiranya raden telah bangun. Sudah dua kali saya
menengok, tetapi kiranya raden masih tidur.....”
„Adik, janganlah memanggil „raden" padaku. Panggillah kakak
padaku. Namaku Jaka Prasetya. Panggillah Kak Jaka padaku''.
„Amboi. Kiranya raden ….. oh …. kakak adalah kak Jaka Prasetya.
Nama itu sudah lama kudengar, bahkan sangat kukagumi''.
Sementrra itu Candra dan Dewi juga masuk kedalam kamar itu.

30
„Kak Candra, kiranya orang yang telah menolongmu itu adalah
kakak Jaka Prasetya".
„Betulkah katamu itu, Bambang.”
„Hai, kak Bambang. Berani benar kamu memanggil „kakak''
padanya”, sela Dewi.
„Kak Jakalah yang menyuruhnya. Dia tak mau di-panggil „raden".
Betulkah begitu, kak Jaka".
„Betull, Bambang”.
„Nah. Sekarang kuperkenalkan pada Kak Jaka namna lengkap
saudara-saudaraku. Ini kakakku Candrawati"' katanya sambil menunjuk
pada Candra dan sambil merunjuk pada Dewi ia berkata „Dan ini adalah
Dewiningsih. Saya sendiri adalah Bambang Suteja".
„Adik Candra, Bambang dan Dewi. Alangkah berhutang budiku
padak kamu sekalian yang telah merawat-dengan penuh perhatian", kata
Jaka Prasetya.
„Sayalah yang harus berterima kasih, kak'', demikian kata Candra.
„Kalau kakak tidak menolongku, entah bagaimana dengan diriku".
Demikianlah dalam sesaat saja suasana menjadi meriah. Ketiga
orang saudara itu ternyata sangat ramah. Terutama Bambang yang
paling banyak mulut. Dalam kesempatan ini Jaka bertanya pada mereka
tentang akhir dari peristiwa ditepi sungai itu.
Ternyata pada saat yang sangat berbahaya bagi diri Jaka datanglah
pertolongan dari ayah Candra. Dialah yang menyuruh Waja Cempani
menghentikan serangan.
Tiba-tiba pintu kamar dibuka orang dan masuklah seseorang
kedalam kamar. Orang itu sudah setengah umur. Menurut pandangan
Jaka, orang itu setarap dengan usia ayahnya. Tanda-tanda kegagahan
dimasa mudanya masih dimiliki olehnya.
„Kak Jaka'', kata Bambang. Dia adalah ayah".
Orang itu memandang Jaka dari kaki hingga keujung rambut.
„Paman, terimalah hormatku". Demikian kata Jaka pada orang itu.
Tetapi orang itu diam saja. Ia terus memandang Jaka. Tentu saja Jaka
amat heran. Tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang menariknya. Jaka
juga memandang orang tua itu.
„Jaka, dari mana kamu peroleh keris itu'', kata orang itu dengan
menunjuk pada keris yang terselip dipinggang Jaka.
„Keris ini adalah pemberian ayah".
„Kenalkah kamu pada Anggara?"
„Anggara adalah ayah saya, paman".
Disaat itu Jaka sedang memandang ketelinga orang tua itu.
Alangkah terkejutnya Jaka demi memandang ketelinga itu. Ditelinga
orang itu ada tohnya. (toh = noda hitam pada kulit).
„Adakah, paman pernah mengenal ayah".
„Anggara adalah saudara seperguruanku".

31
„Jadi …. kalau begitu …. paman ……”
„Saya adalah Krepa".
Sukarlah dilukiskan perasaan apakah yang berkecamuk dalam diri
Jaka Prasetya pada waktu itu. Perasaan gembira bercampur dengan rasa
haru menjadi satu.

32
Orang yang dicarinya selama berhari-hari dengan tanpa hasil dapat
dijumpai dengan secara tak diduga-duga.
Tanpa menghiraukan rasa sakit yang sedang dideritanya Jaka
bangkit berdiri dan memeluk pamannya.
„Paman, telah lama kemenakamnu mencari-cari paman. Kiranya
Tuhan memperkenankan kita bertemu. Paman ayah sangat rindu
padamu".
„Jaka, tidak kecewalah kakak Anggara mempunyai putera seperti
kamu”. Sang paman berkata sambil menepuk-nepuk bahu
kemenakannya. Meskipun Anggara dan Krepa bukan saudara kandung
tetapi hubungan mereka sudah seperti saudara kandung. Sayang bahwa
cinta telah memutuskan hubungan mereka.
Candra, Bambang dan Dewi yang memperhatikan adegan itu hanya
terlongong-longong.
„Ayah! Kak Jaka! Apa apaan ini. Bukankah kamu berdua sedang
bergembira. Mari bagi kegembiraan itu pada kami”. Bambang berkata
sambil tertawa. Mendengar kata-kata Bambang itu. keduanya berhenti
berpelukan.
„Tidak Bambang kegembiraan ini tidak kami borong sendiri. Paman
Krepa katakanlah padanya siapakah saya". demikian kata Jaka.
„Bambang, ketahuilah. Dia adalah putra kak Anggara. Masih
ingatkah kamu siapa kak Anggara itu”.
„Ai, kiranya bulan telah jatuh dirumah kami. Tentu. tentu tentu
saya masih ingat cerita ayah tentang uwa Anggara. Maha besarlah Tuhan
yang telah mempertemukan kita”, kata Bambang dengan gembira.
Adapun Candra dan Dewi tidak kurang gembira. Tak disangkanya
sama sekali bahwa orang yang telah menolongnya adalah putera seorang
pendekar besar. Nama Anggara yang selalu didengung dengungkan oleh
ayahnya kepada mereka sebagai seorang pendekar besar sangat
berkesan dihati mereka. Kini putera pendekar besar berada dirumah
mereka
„Jaka". terdengar Krepa berkata. „Sebetulnya kedatanganmu kesini
merupakan suatu hal yang sangat kebetulan”.
„Akhir-akhir ini saya merasakan adanya sesuatu yang tidak beres
didesa ini. Bantuanmu sangat kuperlukan dalam hal ini".
Pernyataan Krepa itu tidak hanya mengejutkan Jaka Prasetya tetapi
juga Candra dan saudara-saudaranya.
„Apa gerangan yang terjadi, paman".
„Hari ini aku belum dapat mengatakannya. Nanti setelah
kesehatanmu pulih kembali akan kukatakan hal itu padamu. Kulihat
badanmu sudah tidak pucat lagi. Saya kira besok lusa kesehatanmu akan
pulih kembali dan sudah dapat mulai berlatih silat lagi. Berlatihlah
bersama-sama dengan adikmu Bambang. Dan kuberi padamu ramuan
jamu untuk memulihkan kesehatanmu. Suruhlah Dewi menjerang air

33
untuk menggodok jamu ini. Nah, kerjakanlah perintahku. Aku akan
menlanjutkan pekerjaanku". Setelah berkata demikian Krepa
menyerahkan sebuah bungkusan pada Dewi dan kemudian pergi
meninggalkan mereka.
„Bambang., apakah sebetulnya pekerjaan paman Krepa".
„Didesa ini ayah bekerja sebagai empu. Ayah dikenal dengan nama
Empu Krepa".
Sementara itu Dewi segera mengerjakan apa yang dperintahkan
ayahnya. Untuk itu Dewi pergi kedapur.
„Kak Jaka", tiba-tiba Candra berkata. „Turutilah, perintah ayah tadi.
Saya akan pergi kesungai dulu untuk mencuci kain".
„Kak akupun juga akan pergi kehutan untuk berburu”, kata
Bambang sambil mengikuti kakaknya yang melangkah pergi. „Biarlah
Dewi yang melayanimu"
Tak berapa lama Dewi telah kembali dari dapur dengan membawa
sebuah cangkir.
„Kak Jaka ramuan jamu pemberian ayah tadi. Setelah meminumnya
turutilah perintah ayah tadi". Pada waktu Dewi menyerahkan cangkir itu
dia memandang pada Jaka. Tak disangkanya Jaka pun memandangnya.
Seketika dua pasang mata bertemu pandang dan terlihat oleh Jaka
betapa pipi gadis itu kemerah-merahan. Jaka segera menerima cangkir
itu. la merasakan cangkir itu agak bergetar. Sehabis menyerahkan
cangkir itu pada Jaka, Dewi segera memalingkan mukanya sambil berkata
:
„Kak Jaka, izinkanlah saya pergi kedapur untuk menyiapkan
makanan untuk siang nanti". Tanpa menanti jawaban Jaka, ia segera
pergi meninggalkan Jaka seorang diri.
Kini tingggalah dikamar itu Jaka termenung seorang diri. Disaat itu
kembali terbayang peristiwa tadi. Kenapakah ketika menyerahkan cangkir
kepadanya tangan Dewi agak bergetar. Dan kenapakah setiap kali ia
melihat Dewi darahnya seperti bertambah cepat menimpanya. Dan kini
Dewi telah pergi meninggalkannya. Dia merasakan kesunyian amat
sangat dikamar itu. Dan dia sangat ingin untuk berjumpa lagi dengan
Dewi. Kenapakah begitu ?
Tetapi tiba-tiba dirasakan tangannya yang memegang cangkir itu
terasa panas. Maka tahulah ia kalau tadi ia sedang melamun. Jamu
pemberian Empu Krepa tadi segera diminumnya. Sehabis meminum jamu
itu Jaka segera membaringkan diri. Agak lama ia tidak dapat
memicingkan mata. Bayangan wajah Dewi selalu terpeta dimatanya
terutama senyumnya yang sangat menawan hatinya. Tetapi ketika
diingatnya pesan pamannya tadi yaitu supaya dia lekas tidur sehabis
meminum jamu itu demi pemulihan kesehatannya tertidurlah ia.
Betul juga kata Empu Krepa. Dua hari kemudian kesehatan Jaka
Prasetva telah pulih seperti sediakala. Tetapi dengan sembuhnya dari

34
luka-luka yang dideritanya penyakit baru timbul.
Penyakit semacam ini memang sudah sewajarnya timbul pada
pemuda-pemuda seusia Jaka. Selama dua hari Jaka selalu dilayani oleh
Dewi: Kesempatan tidak dibiarkan lalu begitu saja. Selama itu Jaka selalu
mengajak Dewi bercakap-cakap. Mereka saling berceritera tentang
pengalamannya masing-masing.
Dewi sangat senang mendengar ceritera Jaka tentang
pengalamannya sebagai pendekar. Dan dari Dewi, Jaka mengetahui
keadaan rumah tangga Dewi sehari-hari. Ketika Jaka menanyakan pada
Dewi tentang ibunya, Dewi tampak mencucurkan air mata. Dikatakan
oleh Dewi bahwa ibunya sudah tiada lagi didunia. Bahkan dia tidak
berkesepatan melihat wajah ibunya.
Alangkah terkejutnya Jaka mendengar kisah itu. Saat itu teringatlah
ia akan ayahnya. Dan terbayang di matanya wajah sang ayah yang selalu
muram. Kemuraman yang disebabkan patah hati. Dan sekarang wanita
yang menyebabkan ayahnija patah hati itu telah tiada lagi. Tetapi ia
lekas-lekas menghentikan lamunannya. karena takut kalau dicurigai
Dewi.
Mereka segera melanjutkan percakapan. Dari Dewi tahulah Jaka
bahwa Candra telah dipertunangkan dengan seorang pemuda bernama
Kartika.
Demikianlah selama dua hari itu pergaulan antara Dewi dengan
Jaka kian rapat. Selama dua hari itu pula perasaan aneh dalam diri Jaka
terhadap Dewi semakin menghebat. Diwaktu perasaan demikian itu
berkobar Jaka bertanya dalam hatinya apakah gerangan perasaan yang
berkecamuk dalam hatinya itu. Mengapa jika ia bertemu dengan Dewi
jantungnya berdebar-debar. Dan mengapa jika tidak berjumpa dengan
Dewi sesaat saja perasaannya seperti tersiksa?
Walaupun perhatian Jaka sebaglian besar dicurahkan pada Dewi
namun terhadap Candra dan Bambang tidaklah berkurang keramahannya.
Pada hari yang ketiga ,ketika dirasakannya bahwa kesehatannya
telah pulih seperti sedia kala maka ketika Bambang datang kekamarnya
maka ia segera mengutarakan maksudnya. Kak Jaka, ayah mengatakan
padaku agar supaya kita berdua berlatih bersama. Dengan demikian kita
dapat saling tukar menukar pengalaman”.
Mendengar perkataan Jaka wajah Bambang nampak riang
„Dan kapan ,kita mulai”.
„Bagaimana kita mulai sekarang".
Ajakan Jaka itu menyebabkan kegembiraan Bambang bertambah-
tambah. Telah lama ia menginginkan hal itu dan kini keinginannya akan
terlaksana. Bambang segera mengajak Jaka menuju kelapangan dimana
dia sering berlatih. Lapangan itu tiada berapa jauh letaknya dari rumah
Empu Krepa.
Sesampai dilapangan itu Bambang dan Jaka segera saling menjajal

35
kepandaian. Ternyata kepandaian Bambang cukup ampuh juga tetapi
sudah barang tentu bukan tandingan Jaka. Dan oleh karena Jaka telah
berjanji akan memberi bimbingan pada Bambang. ia pun segera
melaksanakannya. Bambang pun tidak malu-malu menanyakan pada Jaka
terhadap kekurangannya. Sehingga dengan demikian kepandaian
Bambang dalam sehari saja sudah maju dengan pesat.
Tengah mereka berlatih datanglah Empu Krepa kelapangan itu
bersama dengan dua orang laki-laki usia pertengahan.
„Jaka, mari kuperkenalkan kamu dengan dua orang pembantuku
yang setia. Mereka adalah Suta dan Naya”.
Demikian kata Empu Krepa sambil menunjuk pada kedua orang itu.
Jaka mendekati kedua orang itu dan mengajak bersalaman. Suta
dan Nayapun menyambut salam Jaka dengan hangat.
„Jaka maksudku mengajak mereka kemari adalah agar mereka
dapat ikut serta berlatih dengan kamu dan Bambang". Kata Empu Krepa
selanjutnya.
„Sudah barang tentu hal ini sangat menggembirakan hati saya
paman". Jaka menjawab dengan wajah yang riang.
Dalam beberapa hal ia sangat membutuhkan bimbinganmu, tetapi
kepandaiannya memanah lumayan juga".
Setelah berhenti sejenak Empu Krepa menyambung bicaranya:
Selain itu aku ingin mencoba kepandaianmu Jaka. Dahulu kak
Anggara sangat terkenal dengan kepandaiannya memainkan cambuk.
„Kepandaian saya bukan tandingan ayah . Sebetulnya sangat
memalukan apabila hal ini dipertunjukkan disini", kata Jaka merendah.
„Jaka”, Tiba-tiba Empu Krepa berkata dengan keras. „Dalam hal ini
kamu tidak boleh sungkan-sungkan lagi padaku. Peristiwa yang akan kita
hadapi tidak boleh dipandang ringan. Kamu harus berlatih dengan
sungguh-sungguh. Nah marilah kita mulai”.
„Kalau begitu silahkan paman menyerang dulu”, kata Jaka sambil
mempersiapkan cambuknya.
Dengan cepat Empu Krepa mempersiapkan kerisnya dan dengan
cepat pula ditusukkannya keris itu kedada Jaka. Tetapi gerak cambuk
Jaka tidak kurang cepatnya. Pergelangan tangan Empu Krepa yang
memegang keris terancam. Melihat datangnya bahaya dari cambuk Jaka
dengan cepat Empu Krepa merubah serangannya. Kali ini yang diarah
perut Jaka. Namun Jaka sudah bersiaga. Cambuknya segera mengikuti
arah bergeraknya pergelangan tangan pamannya.
Dalam beberapa saat saja pertempuran antara Empu Krepa dengan
Jaka berlangsung dengan serunya. Serangan keris dari Empu Krepa yang
datang bertubi-tubi dibalas dengan serangan cambuk yang tidak kurang
tangkas.
Seluruh lapangan itu seolah-olah djgetarkan oleh bunyi cambuk
Jaka. Serangan keris Empu Krepa dapat diumpamakan bagaikan hujan

36
lebat sedang permainan cambuk Jaka laksana petir yang menyambar-
nyambar.
Tiba-tiba Empu Krepa memperlambat serangannya. Jaka merasa
heran, tetapi demi cambuknya akan mengarah pada pergelangan tangan
Empu Krepa seakan-akan terhalang oleh sesuatu kekuatan yang tidak
nampak.
Maka tahulah Jaka bahwa sang paman akan menjajal kesaktiannya.
Dengan segera Jaka merobah serangan cambuknya. Cambuknya
digerakkan dengan cepat, dengan menggunakan tenaga batin didikan
ayahnya. Kekuatan gaib yang menyelubungi tangan pamannya dapat
ditembusnya. Walaupun demikian oleh karena tertahan oleh tenaga gaip
dari sang paman maka serangan cambuk itu tidak dapat mengenai
sasaran. Namun hal ini sudah mengejutkan Empu Krepa karena kurang
serambut saja pergelangan tangannya akan terserempet oleh cambuk
Jaka.
Empu Krepa segera menambah tenaganya. Serangannya
dipercepat. Jaka merasakan suatu tekanan yang maha dahsyat. Meskipun
demikian ia tidak menyerah bulat-bulat. Cambuknya segera diputar
dengan cepat untuk melindungi tubuhnya. Dengan segala kekuatan yang
ada Jaka menangkis serangan pamannya. Kemudian ia meloncat keatas.
Dari atas ia melanjutkan serangannya mengancam bahu sang paman.
Dan ketika kakinya menginjak tanah ia merobah serangannya kearah kaki
pamannya.
Empu Krepa tidak menyangka kalau akan mendapat serangan
cambuk Jaka ia juga melihat Jaka meloncat keatas dan dari atas
menyerang bahunya. Serangan ini dapat dihindarkan dengan berjongkok.
Tetapi sungguh tak dikira sama sekali bahwa serangan itu tidak
diteruskan melainkan diarahkan kekakinya. Padahal ia sedang
berjongkok, hingga sulit untuk menghindar. Walaupun demikian ia bukan
Empu Krepa jika tidak dapat menghindari serangan Jaka. Dalam keadaan
berjongkok ia meloncat kebelakang. Setelah berdiri ia segera berkata :
„Cukup Jaka, kepandaianmu menggunakan cambuk sudah dapat
menyamai ayahmu. Bahkan ada kelebihannya yaitu kecepatan gerakmu,
tetapi ada pula kekurangannya yaitu tenaga seranganmu kurang kuat.
Namun sudah cukuplah ini untuk menghadapi musuh-musuh kita nanti.
Nah sekarang lanjutkanlah latihanmu''. Sehabis berkata begitu Empu
Krepa segera meninggalkan Jaka dengan teman-temannya.
„Kak Jaka kepandaianmu ternyata setarap dengan kepandaian ayah
" Kata Bambang sepeninggal ayahnya.
„Mana mungkin, Bambang''. Walaupun berkata demikian ia merasa
gembira juga dapat mengimbangi pamannya yang pernah menggetarkan
bumi Mataram.
Begitulah Jaka, Bambang, Suta dan Naya segera melanjutkan
latihan mereka dan baru berhenti berlatih ketika Dewi datang memanggil

37
mereka untuk makan siang.
Dari hari mereka makin giat berlatih. Bahkan Candra dan Dewi juga
turut berlatih, Candra berlatih memanah, sedangkan Dewi mempergiat
berlatih cambuk. Disamping itu tidak lupa Empu Krepa menilik mereka
yang sedang berlatih.
Ketika Empu Krepa menyaksikan ilmu keris ciptaan Anggara yang
dipertunjukkan oleh Jaka ia merasa takjub. Maka ia membantu Jaka
untuk memperbaiki kekurangan dari ilmu keris itu. Sehingga Jaka
mengalami kemajuan yang pesat.
Selama berlatih Jaka selalu bertanya dalam hatinya. Kenapakah
Empu Krepa menyuruhnya untuk berlatih dengan hiat? Peristiwa apa yang
akan menimpa desa ihi? Apakah Kyai Candraketu akan mendatangi desa
itu disebabkan pengaduan Panji Jatmika? Walau pertanyaan itu belum
terjawab, namun Jaka terus berlatih dengan giat.
Selama itu pula perhubungan antara Jaka dengan Dewi semakin
rapat. Pada suatu hari ketika Jaka mendapat kesempatan untuk berbicara
dengan Dewi berdua iapun mengutarakan perasaan dalam hatinya. Ia
yakin bahwa apa yang berkecamuk dalam dadanya terhadapDewi itu tak
lain dan tak bukan adalah perasaan cinta pada gadis itu.
Pagi ityu kedua orang muda-mudi itu berjalan2 ditepi sebuah
sungai. Dibawah sebuah pohon yang rindang duduklah merela melepas
lelah.
„Dewi ………”. Demikian kata Jaka membuka percakapan.
Dewi memandang kearah Jaka. Pandangan matanya bertemu
dengan pandangan mata Jaka yang bersinar aneh.
„Bagaimana pendapatmu tentang dua ekor kupu-kupu yang sedang
terbang itu?" Jaka melanjutkan pembicaraannya sambil menunjuk
sepasang kupu-kupu yang sedang beterbangan. Dewi menoleh kearah
yang ditundjuk oleh Jaka.
„Ah kak Jaka, bagi mereka seakan-akan dunia ini hanya milik
mereka berdua …….." Demikian jawab Dewi.
„Dewi …………” Sekali lagi terdengar Jaka berkata, tetapi hanya kata
itu yang terdengar. Kerongkongannya serasa tersumbat untuk
melanjutkan pembcaraannya.
Ketika Dewi menoleh kearah Jaka sekali lagi pandangan matanya
terbentur pada pandangan mata Jaka yang aneh. Kali ini Dewi
menundukkan kepala. Tak berani beradu pandang dengan pemuda itu.
Disaat itu dirasakannya seolah-olah darahnya bertambah cepat
mengalirnya.
Tiba-tiba didengarnya Jaka berkata :
„Dewi. Tahukah engkau perasaan apakah yang tersembunyi dalam
dadaku. Apabila aku berhadapan dengan engkau sendirian seperti ini aku
merasa sangat gembira. Dan seperti halnya dua ekor kupu-kupu tadi
disaat seperti ini, kurasakan bahwa dunia imi seperti aku sendiri yang

38
punya”.
Dewi hanya diam ketika mendengar semua dikatakan oleh Jaka.
„Dewi. Baiklah aku berterus terang padamu. Apakah engkau
mempunyai perasaan demikian terhadapku?
Sesungguhnya Dewi juga menanti kata-kata yang demikan itu dari
Jaka. Meskipun benar ia mempunyai perasaan demikian terhadap Jaka,
tetapi diingat bahwa perkenalannya dengan Jaka baru berlangsung
beberapa minggu tidak selayaknya ia mengutarakan perasaannya itu.
Walaupun demikian ia memberi jawaban pula.
„Kak Jaka. bila kamu menanyakan hal itu padaku maafkanlah kak
tak dapat aku memberi jawaban pada saat ini. Tetapi dari sinar mataku
kau akan tahu betapa perasaanku padamu".
Mendengar jawab yang demikian itu kegembiraan Jaka tiada
terkira. Dipegangnya kedua iengan Dewi seakan-akan tiada dilepaskan
lagi.
Peristiwa itu memberi dorongan yang tidak kecil pada Jaka. Ia
semakin giat berlatih.
Tetapi sementara itu ia melihat Candra tampak bersusah hati.
Bahkan pada hari yang akhir-akhir ini tampak selalu termenung.
Sekonyong-konyong ingatlah Jaka akan sesuatu. Ketika ia berjumpa
dengan Bambang berkatalah ia
„Bambang. Bukankah kamu belum memperkenalkan aku pada
tunangan Candra.
Mula-mula Bambang diam tiada mengucapkan sepatah katapun,
tetapi akhirnya berkatalah ia :
„Itulah yang akan kubicarakan dengan kak Jaka”.
Bambang diam sejenak kemudian lanjutnya. „Adakah pada akhir-
akhir ini? Pada waktu aku akan memperkenalkan kak Kartika tunangan
kak Candra pada kak Jaka kudapati rumahnya terkunci. Kucari dia
kemana mana tetapi tak kujumpainya. Mlula mula aku mengira bahwa
kepergiannya tidak lama. tetapi hingga kini tak muncul-muncul. Tentu
saja kak Candra menjadi khawatir, jangan2 Kartika dicelakakan oleh Panji
Jatmika. Padahal kepandaian kak Kartika tidak seberapa. Ia hanya
memiliki kepandaian yang cukup ampuh dipergunakan berburu. Oleh
karena itu apabila menghadapi Panji Jatmika akan celakalah kak Kartika.
Itulah yang menyebabkan kak Candra bersedih hati".
Mendengar jawab Bambang timbullah rasa heran pada diri Jaka.
Sejak ia datang didesa itu ia selalu menjumpai keanehan. Dan dalam hal
kepergian Kartika inipun ia yakin akan adanya sesuatu hal yang
tersembunyi. Jaka merasa heran bahwa ia merisa tertarik akan orang
yang belum pernah dikenalnya itu. Apakah gerangan sebabnya?
Pada suatu sore Empu Krepa memanggil mereka berempat. Dengan
wajah yang diliputi kesedihan Empu Krepa berkata:
„Jaka, Candra, Bambang dan Dewi. Telah hampir sebulan aku

39
membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hatimu tentang
peristiwa apa yang akan terjadi didesa ini. Aku membiarkan pertanyaan
itu tak terjawab. Kini tibalah saat aku memberi tahukan hal itu padamu''.
Empu Krepa berhenti sebentar.
„Anak-anak. Ketahuilah olehmu. Rumah ini sudah tidak aman lagi
bagi kita. Aku sudah melihat bahwa ada beberapa orang musuhku
memata-matai rumah kita ini. Kalau mereka telah berhasil
mendatangikan kawan2nya maka celakalah kita. Sebetulnya sudah lama
aku mencurigakan hal ini, tetapi baru hari ini aku mendapat kepastian”.
Sekali lagi Empu Krepa berhenti bicara. Dari raut mukanya tampak
kesedihan yang membayang. Berkali-kali ia terlihat menghela nafas. Tiba-
tiba ia memandang keempat orang muda-mudi dihadapannya. Dan
kemudian berkata :
Oleh karena itu rumah ini terpaksa harus kita tinggalkan”.
Mendengar perkataan itu terkejutlah keempat orang muda-mudi itu.
Ayah mengapa kita harus meninggalkan rumah ini. Tidak ada jalan
lain yang lebih baik" kata Dewi sambil menangis terisak-isak.
„Betul ayah'', demikian Bambang menyambung. „Kita dapat
mengusir musuh-musuh ayah''.
„Bambang. Kamu jangan memandang rendah musuh-musuh saya.
Memang kepandaian musuh-musuh saya tidak seberapa. Tetapi
kekebalan mereka amat mengesalkan. Coba tunjukkan bagaimana
menghadapi tiga puluh orang prajurit Belambangan”.
„Perajurit Belambangan?” Desis Bambang dan Jaka hampir
bcrsama.
„Betul. Mereka adalah prajurit Belambangan. Pada saat ini
pemimpinnya belum datang, mereka tidak berani bergerak sembarangan.
Maka lekas-lekaslah kamu se-kalian ber-siap2. Candra bungkuslah
sekedar bekal makanan. Dewi bantulah kakakmu. Jaka dan Bambang
siapkanlah kudamu masing-masing. Tadi Suta dan Naya telah kusuruh
mempersiapkan kudaku dan kuda mereka. Kita berangkat malam ini
juga-.
„Malam ini". Bambang menegaskan.
„Ya. Malam ini juga". Jawab ayahnya dengan tegas. Turutlah
nasehatku sebelum musuh keburu bergerak. Jangan membuang waktu
untuk bermenung. Lekas kerjakan perintahku”, Kata Empu Krepa dengan
suara keras.
Mendengar perintah itu mereka tak berani membantah. Tetapi
ketika mereka akan meninggalkan Empu Krepa terdengar Empu Krepa
berseru.
„Jaka sehabis mempersiapkan perbekalanmu lekas-lekaslah datang
kemari. Ada sesuatu soal yang akan kubicarakan padamu". Demikian kata
Empu Krepa pada Jaka ketika pemuda itu akan melangkahkan kakinya
untuk mengerjakan perintah sang paman.

40
Demikianlah keempat pemuda-pemudi itu mengerjakan semua
perintah sang Empu dengan penuh tanda tanya.
Dimuka belum kita jelaskan bahwa rumah tinggal Empu Krepa
terdiri atas dua buah rumah. Sebuah rumah tinggal dan sebuah rumah
dimana sang empu melakukan pekerjann sehari-hari. Dirumah yang
tersebut paling akhir inilah Empu Krepa mengutarakan maksudnya
hendak meninggalkan rumah beserta semua anak-anaknya.
Adapun ,Jaka setelah selesai mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk perjalanan segera bergegas-gegas mejumpai sang
paman.
„Jaka masuklah", terdengar suara Empu Krepa ketika dilihatnya
Jaka berdiri diambang pintu, Jaka segera masuk mendekati pamannya.
Tanpa membiarkkan Jaka menanti Empu Krepa berkata :
„Jaka. Sebetulnya sangat berat rasa hatiku untuk meninggalkan
rumah ini. Tetapi oleh karena tempat ini Sudah tak aman lagi bagi kami
sekeluarga, maka terpaksa harus saya tinggalkan. Desa ini dengan secara
diam-diam telah kedatangan tiga puluh prajurit Belambangan. Mereka
datang kemari dengan menyamar. Ada yang menyamar sebagai
perantau. Ada yang menyamar pedagang. Mereka mengira bahwa aku tak
mengetahuinya. Huh. Mereka terlalu memandang rendah Sebetulnya kita
tak perlu takut pada mereka, tetapi tak boleh kita abaikan. Untunglah
bahwa waktu yang lalu aku telah berhasil membuat keris dari wesi aji
yang berasal dari Belambangan. Hanya dengan keris semacam itulah,
mereka dapat dilawan. Marilah kuperlihatkan keris itu padamu".
Sambil berkata Empu Krepa berjalan mendekati almari tempat
menyimpan berbagai senjata. Diambilnya sebuah keris berikut
rangkanya. Dihunusnya keris itu untuk diperlihatkan pada Jaka.
„Inilah keris itu Jaka".
Jaka menerima keris itu dari tangan pamannya. Diperhatikannya
keris itu. Keris itu biasa saja tidak terlihat sesuatu yang menonjol.
„Jaka, Jika usaha kita untuk menyingkir itu ketahuan oleh mereka,
,maka sangatlah besar bahaya yang kita hadapi.Oleh karena itu keris ini
dapat kau pergunakan untuk melindungi adik-adikmu. ……… Hai siapa
itu?" Tiba-tiba Emmi berteriak sambil menoleh kearah pintu jendela. Jaka
ikut mengawasi ke arah jendela. Tetapi pada saat itu dari arah pintu
muka melayang sesosok tubuh kearah Jaka dengan pesat dan dilain saat
Jaka merasa tangannya kosong. Keris yang dipegang Jaka tadi telah
berpindah tangan. Dan ketika Jaka menyadari hal itu bayangan tadi telah
kembali kearah pintu. Jaka terkesiap. Keris yang dibuat dengan susah
payah oleh pamannya kini lenyap dengan

41
begitu mudah. Tentu saja Jaka tak tinggal diam. Tetapi sebelum dia
sempat bertindak terjadi perkembangan lain.
Pada saat bayangan itu akan mencapai pintu dengan tidak
disangka-sangka Bambang muncul diambang pintu.
Waktu itu keadaan sudah hampir gelap meskipun demikian secara
samar-samar Bambang melihat apa yang terjadi didalam ruangan itu. Ia
merasa belum kenal bayangan itu. Dengan tidak diperintah oleh ayahnya
42
ia segera mengayunkan tinjunya kearah orang itu. Karena tidak
menyangka akan mendapat serangan, orang itu menghindar kebelakang.
Kesempatan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh Empu Krepa. Cepat
bagaikan kilat Empu Krepa melancarkan sebuah pukulan kepunggung
orang tadi dan kearah pergelangan tangannya. Pukulan pertama dapat
dihindarkan, tetapi pukulan yang kedua tepat mengenai sasarannya. Keris
yang tadi dirampasnya terlempar kesaamping dan Jaka yang terus
memperhatikan keadaan itu segera menyambar keris yang sedang
melayang itu. Dan keris Belambangan itu kembali ketangan Jaka.
„Waja Cempani berani benar kamu berbuat seperti ini dirumahku''.
Memang orang tadi adalah Waja Cempani. Pada saat itu dengan
beringas ia sedang memandang kearah keris yang dipegang oleh Jaka.
„Bukankah keris itu kau buat untuk membunuh bapa Candraketu
kak”.
„Kalau betul kamu mau apa”. Jawab Empu Krepa.
„Lihatah apa yang akan aku perbuat ………” Sahut Waja Cempani
dan kemudian sambil menggeram ia menerjang kearah Jaka. Kedua
tangannya dikemukakannya dan setelah dekat pada Jaka dirubah menjadi
cengkeraman, untuk merebut keris yang dipegang Jaka. Tetapi kali ini
Waja Cempani ketemu batunya. Demikian cekereman Waja Cempani
datang secepat kilat Jaka menggerakkan kerisnya untuk menghindari
cengkeraman dan kemudian dan kemudian melancarkan serangan kearah
perut Waja Cempani.
Waja Cempani menangkap angin. Ketika ia sedang keheranan
serangan Jaka datang. Ia menghindar. Tetapj serangan berikutnya datang
mengarah bahunya. Ini pun dapat dihindarkan. Namun serangan Jaka
datang bertubi-bertubi dengan cepatnya.
Sementara itu Empu Krespa tidak memperhatikan keadaan Jaka
yang diperhatikan adalah jendela yang mengbadap kejalan. Tiba-tiba ia
berseru:
„Bambang suruhlah Suta dan Naya untuk bersiap-siap. Demikian
pula Candra dan Dewi.”
Dengan cepat Bambang menuruti nasehat ayahnya. Sepeninggal
Bambang Empu Krepa segera memperhatikan keadaan Jaka. Saat itu
dengan sepenuh tenaga Jaka sedang melancarkan serangan-serangan
dengan ilmu keris ciptaan ayahnya. Oleh karena keris yang dipegang Jaka
itu terbuat dari wesi aji Belambangan, maka kekebalan Waja Cempani
tidak dapat dipergunakan. Dengan repot ia menghindar kesana kemari
tanpa dapat melakukan serangan balasan. Kecepatan bergerak Jaka tak
dapat diatasinya. Dan tiba-tiba ….. krek ….. terdengar suara kain yang
sobek. Kemudian terlihat Waja Cempani meloncat mundur dan setelah itu
meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah perkataanpun.
Ternyata sebagian dari kain yang dipakai Waja Cempani sobek.
Jaka agak termangu menyaksikan apa yang telah terjadi. Ia agak

43
menyesal telah melakukan perbuatan itu. Walau bagaimanapun Waja
Cempani adalah bekas saudara seperguruan ayahnya.
„Bagus Jaka. Ilmu keris ciptaan ayahmu sudah dapat kamu
yakinkan dengan sempurna”, Kata Empu Krepa. „Jangan menyesali
perbuatan yang baru kau lakukan itu. Orang seperti Waja Cempani harus
diberi peringatan". Rupanya Empu Krenn mengetahui apa yang sedang
berkecamuk dalam pikiran Jaka.
Sementana itu terlihat Bambang datang dengan bergegas-gegas.
„Ayah. Si bangsat Panji Jatmika itu kiranya berani mengacau
dirumah ini. Tadi ketika aku akan mengajak kak Candra dan Dewi
bersiap-siap dari arah kamar kak Candra kudengar suara jeritan. Aku
segera datang ke kamar itu. Kulihat Panji Jatmika tampak sedang
menyeret kak Candra. Untung aku datang sebelum terlambat, Kuhajar dia
hingga pingsan dan kini kubiarkan dia terkapar disana", Demikian
Bambang melapor pada sang ayah. Dibelakang Bambang tampak Candra
dan Dewi mengikuti dengan wajah yang diliputi ketakutan.
„Dan bagaimanakah dengan Suta dan Naya. Sudah siap?”
„Sudah ayah …….”
Tetapi kata Bambang diputus oleh suara terbahak-bahak.
Kesemuanya terkejut mendengar suara itu. „
„Ha ….. Ha …. Ha …. Krepa. Jangan kamu kira begitu mudah
melarikan diri dari prajurit Belambangan. Pekarangan ini sudah dikepung
rapat-rapat. Tak kurang dari tiga puluh prajurit Belambangan telah siap
menunggu perintahku untuk bertindak. Maka demi keselamatanmu dan
keselamatan anak-sanakmu menyerahlah”.
„Apa? Menyerah? Empu Krepa sangat pantang melakukan hal itu".
Jawab Empu Krepa dan kemudian berseru „Bambang lindungi kakakmu.
Jaka lindungilah Dewi”.
Empu Krepa berlari kearah pintu pekarangan dimana menanti
seorang tinggi besar dan berwajah menakutkan.
„Santa Jaya, Menyingkirlah". Kata Empu Krepa.
„Empu Krepa. Menyerahlah”. Jawab orang tinggi besar itu.
Empu Krepa merasa dipermainkan. Ia menjadi geram. Secepat kilat
ia meloncat kearah orang yang dipanggil dengan nama Santa Jaya
Sebuah pukulan dilancarkan kearah Santa Jaya. Santa Jaya tidak tinggal
diam. Dia menghindar dan kemudian membalas menyerang.
Jaka mengikuti pamannya. Dan seperti yang diperintahkan
pamannya ia berdiri disamping Dewi. Sementara itu terdengar derap kuda
menuju pintu pekarangan. Kiranya Suta dan Naya yang mengetahui
adanya gelagat tidak baik segera menyiapkan semua kuda yang akan
diperlukan dalam perjalanan. Kuda Jaka Prasetya tidak dilupakannya.
„Jaka, Bambang. Lekaslah meloncat kekuda, Terjanglah kepungan
musuh. Bawalah Candra dan Dewi beserta kalian. Biarlah saya beserta
Suta dan Naya melindungi kalian dari belakang".

44
Jaka dan Bambang segera melaksanakan perintah Empu Krepa.
Tetapi baru saja mereka duduk diatas pelana kuda dan sedang membantu
Candra dan Dewi naik kepunggung kuda. tiba-tiba dari berbagai arah
meluncur beberapa anak panah. Meskipun anak panah-anak panah itu
dapat ditangkis oleh mereka tetapi mereka terpaksa melepaskan tangan
Candra dan Dewi.
Tiba-tiba terdengar jeritan. Dari atas pohon beringin yang berada
diseberang jalan berjatuhan dua sosok tubuh. Ternyata Suta dan Naya
yang mengetahui arah datangnya beberapa anak panah musuh segera
mementang gendewa.
Oleh karena sudah menduga akan berhadapan dengan pasukan
Belambangan maka Empu Krepa membuat beberapa puluh anak panah
yang ujungnya terbuat dari aji Belambangan. Memang prajurit
Belambangan sangat terkenal kekebalannya. Mereka kebal terhadap
segala macam senjata asalkan senjata itu tidak dibuat dari wesi aji
Balambangan. Untuk memperoleh kekebalan mereka setiap hari makan
daun Rajeg Wesi.
Walaupun sudah ada dua orang yang dirobohkan, namun bahaya
belum lewat. Hujan anak panah datang lagi. Jaka dan Bambang terpaksa
menangkis anak panah yang berdatangan. Kali ini Suta dan Naya
membantu menaikkan Candra dan Dewi kepunggung kuda.
Setelah selesai membantu Suta dan Naya segera membalas serangan
anak panah itu. Prajurit Belambangan ketemu batunya. Mereka
menghadapi pemanah yang ulung. Menghadapi Suta dan Naya pemanah-
pemanah Belambangan menjadi tidak berkutik. Mereka terpaksa
menghentikan serangannya. Melihat kesempatan itu Jaka dan Bambang
segera menerjang keluar.
Suta dan Nayapun segera meloncat kepunggung kuda dan
mengikuti dari belakang. Pada waktu itu datang lagi hujan anak panah,
tetapi sudah tidak berarti banyak. Kesemuanya dapat ditangkis oleh Jaka
dan Bambang yang menggerakkan kerisnya masing-masing dengan
cepatnya. Suta agak lengah. Sebuah anak panah menancap dilengannya.
Tiba-tiba dari kiri kanan jalan itu berloncatan beberapa orang yang
menghadang mereka. Melihat itu Jaka berkata pada Dewi yang berada
dipunggung kuda bersama dengan dia.
„Dewi pergunakan cambukku ini sedapat mungkin". Sambil berkata
demikian ia menyerahkan cambuk pusakanya pada Dewi.
Ketika itu seorang prajurit Belambangan melancarkan serangan
kearah Jaka. Tetapi keris Jaka bergerak lebih cepat ……….dan …….. crat
Keris itu tepat mengenai dada prajurit. Prajurit jtu tidak mengira kalau
keris yang dipegang Jaka adalah keris Belabangan. Sementara itu
seorang prajurit datang lagi. Kini yang diarah adalah Dewi. Namun Dewi
tidak tinggal diam. Dengan cepat cambuknya diayunkan tar …… ujung
cambuk itu tepat kena dipipi prajurit itu. Demikianlah prajurit yang

45
menghalang didepan Jaka dan Dewi dapat dipukul mundur.
Lain halnya dengan Bambang yang kepandaian memainkan keris
tidak semahir Jaka. Apalagi keris yang dipakai adalah keris biasa dan ia
harus melindungi kakaknya. Suatu ketika seorang prajurit Belambangan
melancarkan sebuah pukulan. Pada saat itu Bambang sedang
menggunakan kerisnya untuk mengancam biji mata seorang prajurit.
Pukulan yang berikut ini tak dapat dihindarkan. Padahal Jaka, Suta dan
Naya sedang menghadapi lawannya masing-masing, hingga tak mungkin
memberikan pertolongan. Melihat datanganya serangan yang mengancam
adiknya Candra menjerit. Tetapi pada saat pukulan itu hampir sampai
tiba-tiba prajurit tadi jatuh terjerembab sambil memegangi kepalanya.
„Jangan khawatir anakku. Santa Jaya telah kurobohkan. Ayo
terjang terus. Jangan mundur setapak langkahpun". Terdengar Empu
Krepa berseru dari belakang.
Kiranya Santa Jaya bukan tandingan Empu Krepa. Sehabis
membereskan musuhnya maka Empu Krepa segera meloncat kepunggung
kuda. Sebelum itu tak lupa disambarnya beberapa butir batu yang cukup
besar. Batu itulah yang dipergunakan untuk menyerang prajurit tadi.
Dengan adannya Empu Krepa kepungan prajurit Belambangan
dapat didobrak. Kemudian mereka segera memacu kuda mereka. Empu
Krepa berada dimuka untuk memimpin perjalanan. Kirannya jalan2 yang
akan ditempuh itu telah direncanakan oleh Empu Krepa. Suta dan Naya
ada dibelakang sendiri sambil mengawasi ke belakang.
Desa demi desa telah dilampau. Mereka terus memacu kuda-kucla
mereka. Yang dipikir oleh mereka hanyalah maju, terus maju. Tiba-tiba
Bambang berseru :
„Ayah. Apakah prajurit Belambangan itu tidak mengejar?"
„Inilah yang menjadikan diriku heran, Kemarin saya lihat seorang
pedagang kuda datang kedesa kami. Ini suatu hal yang aneh bagiku.
Bukankah desa kifa tidak seberapa besar? Suatu hal yang aneh. Bahwa
desa sekecil itu kedatangan pedagang kuda dengan berpuluh-puluh kuda
dagangannya. Untung aku sempat memperhatikan pedangnya. Dia
kukenal sebagai seorang perwira pasukan berkuda dari Belambangan".
Sambil berkata demikian Empu Krena terus melarikan kudanya.
„Kuda kuda mereka adalah kuda pilihan. Hal inilah yang
mempercepat niatku untuk meloloskan diri. Dan satu-satunya yang
kukhawatirkan adalah pengejaran mereka. Tetapi hingga kini mereka
belum nampak mengejar".
„Paman. Apakah sebabnya paman dikejar-kejar oleh prajurit
Belambangan?" Terdengar Jaka menyela.
„Jaka, bukan disini tempatnya berbicara. Sabarlah ! Krepa
memutus.
Tiba-tiba Jaka menahan kudanya dan terdengar ia berteriak Paman:
„Marilah kita berhenti sebentar''.

46
„Kenapa Jaka?” Empu Krepa segera menghentikan kudanya; begitu
pula Bambang, Suta dan Naya. Mereka semua terheran-heran.
„Bukankah Suta sedang terluka. Marilah kita bebat luka itu. Dan
keduanya disini saya mempunyai sahabat yang dapat saya mintai
pertolongan untuk membendung kejaran prajurit Belambangan".
„Candra. Dewi. Suta. Naya. Tutuplah telingamu rapat-rapat“.
Dengan terheran-heran mereka mematuhi perintah Jaka. Apa gerangan
yang akan dikerjakan oleh Jaka. Tiba-tiba Jaka bersiul. Mula-mula
perlahan, tetapi makin lama makin nyaring dan achirnya sangat nyaring
dan tajam lengkingannya. Jika Candra, Dewi. Suta dan Naya tidak
mematuhi perintah Jaka tadi entahlah apa jadinya. Siulan itu sangat
panjang dan bergelombang Empu Krepa dan Bambang sangat heran
memperhatikan tingkah laku Jaka.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara aneh.
Tuuu . . . . Tuuu …… Tuu . . Mula-mula mereka mengira itu suara
burung tuhu.
„Kolik ..... kolik, kolik, kolik…… “ Terdiengar jawaban dan kemudian
dua macam suara itu balas membalas, se-akan2 suasana malam dirajai
oleh bunyian2 itu
„Kolik, kolik, kolik ……….. Tuuu, tuuu, tuuu ……….. Kolik, kolik,
Tuuu, tuuu ………… Kolik, kolik ………. Tuuu tuuu …………”
Suara itu sangat mirip bunyi burung Kolik dan burung Tuhu. Tetapi
kenapa demikian banyak dan timbulnya dengan tiba-tiba. Mereka semua
keheranan kecuali…….. Empu Krepa yang dapat menanggapi kejadian itu.
„Astaga. Jaka kiranya Penyamun-penyamun Burung Kolik dan
Burung Tuhu telah berhasil kamu tundukkan. Kamu memang pantas
menjadi putra kak Anggara”.
Tak berapa lama dari kejauhan terlihat sinar api…….dan kemudian
terus bertambah, seluruh dataran itu dipenuhi oleh cahaya yang berkelip-
kelip. Cahaya bergerak kearah mereka.
Sementara itu Jaka telah berhenti bersiul dan suara yang mirip
burung Kolik dan burung Tuhu yang saling sahut menyahut itu sudah
lenyap pula.
Tiba-tiba sebuah obor tampak bergerak dengan cepat kearah
mereka dan terdengar suara yang keras bagaikan guntur.
„Rangga Wulung dengan anak buahnya datang menghadap tuanku
Raden Jaka Prasetya …..". Demikian suku kata terakhir selesai diucapkan
terlihat seorang yang bertubuh besar meloncat dari galengan sawah.
Ditangan kiri orang itu memegang obor dan sebuah golok yang berkilat-
kilat berada ditangan kanannya.
„Rangga Wulung menanti perintah Raden". Terdengar orang itu
berkata sambil membungkukkan badannya. Melihat sikap menghormat
yang berlebih-lebihan itu semua kawan Jaka merasa heran. Sedangkan
Candra dan Dewi yang tadinya merasa takut kini ketakutan mereka sudah

47
berkurang banyak.
Rangga Wulung. Ketahuilah olehmu. Malam ini kami di-kejar-kejar
kira2 tiga puluh orang prajurit Belambangan. Tahanlah mereka supaya
tidak dapat mengejar lagi. Cegah! Jangan sampai anak buahmu tidak
jatuh korban yang banyak setelah cukup lama mengganggu tinggalkan
mereka”. Demikian Jaka Prasetya memberi perintah pada orang tadi.
„Rangga Wulung telah memahami perintah raden. Raden Jaka
Prasetya tak usah khawatir. Percayalah pada kemampuan kami”.
„Kalau begitu selamat bekerja. Sampai berjumpa lain waktu''.
Setelah itu Jaka segera memberi isyarat pada pamannya untuk
melanjutkan perjalanannya meninggalkan kawanan penyamun itu.
Kawanan penyamun yang telah ditaklukkan oleh Jaka beberapa minggu
yang lalu ketika Jaka dalam perjalanan menuju perbatasan Kerajaan
Belambangan.
XXX
Marilah kita tengok keadaan prajurit Belambangan yang gagal
menangkap Empu Krepa. Hajaran Empu Krepa menyebabkan Santa Jaya
jatuh terjerembab hingga sukar untuk bangkit apalagi apa yang terjadi
dihadapannya disaksikan dengan kemarahan. Ia melihat betapa para
calon tawanannya menerjang kepungan dari anak buahnya. Alangkah
marahnya Santa Jaya. Dengan mata merah membara bangkitlah ia.
Dirasakan betapa ngilunya seluruh tubuhnya.
Keadaan prajurit Belambangan ternyata sungguh mengenaskm.
Empat orang mati terpanah, tiga orang mati dibawah keris Jaka tiga
orang luka berat dan beberapa orang luka ringan. Menyaksikan keadaan
anak buahnya yang seperti itu kemarahan Santa Jaya bertambah-
tambah.
„Lekas siapkan kuda. Kejar bangsat-bangsat itu. Bakar saja rumah
mereka”. Demikian terdengar Santa Jaya berteriak-teriak memberi
perintah.
Beberapa prajurit segera melaksanakan perintah pemimpinnya
menyiapkan kuda dan sebagian lagi menyulut api untuk membakar rumah
Empu Krepa.
Tetapi kiranya prajurit-prajurit Belambangan itu sedang sial. Ketika
api sedang, berkobar-koba, dari rumah tinggal Empu Krepa meloncat
keluar seseorang, seorang pemuda yang berwajah cakap. Gerakan
pemuda itu sangat gesit.
„Bangsat Bambang! Berani benar kamu menyuruh orang untuk
membakarku hidup-hidup". Sehabis berkata demikian ia melancarkan
pukulan-pukulan pada prajurit Belambangan itu.
Pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah Panji yang dipukul hingga
pingsan oleh Bambang. Panji Jatmika dibiarkan oleh Bambang terkapar
disitu oleh karena Bambang sedang sibuk melaksanakan perintah

48
ayahnya. Ketika Panji Jatmika siuman terlihat olehnya api yang menyala-
nyala. Tanpa berfikir panjang ia mengira bahwa Bambanglah yang
membakarnya.
Dihadapan Panji Jatmika pada waktu itu berdiri tiga orang prajurit yang
sedang keheran-heranan melihat munculnya musuh yang tidak terduga-
duga. Tetapi serangan Panji Jatmika telah melenyapkan keheranan
Sebuah pukulan Panji Jatmika kena telak dihidung salah seorang prajurit
itu. Pukulan yang kedua kena telak didada prajurit yang lainnya. Untung
prajurit yang ketiga sempat menghindar dan kemudian membalas
menyerang. Adapun kedua prajurit yang kena pukul itu segera rasa
sakitnya hilang ia segera membantu temannya. Kini Panji Jatmika
menghadapi tiga orang prajurit yang telah waspada. Meskipun demikian
dia tetap ia unggul. Prajurit yang lainnya ketika menyaksikan keadaan itu
segera membantu temannya untuk mengeroyok. Pemuda itu dikiranya
keluarga dari Empu Krepa.
Sementara itu orang-orang desa disekitar rumah Empu Krepa telah
mendengar suara hiruk-pikuk dari rumah Empu Krepa. Mereka
memandang Empu Krepa sebagai anggauta terhormat. Kini terlihat oleh
mereka adanya sesuatu yang tidak beres dirumah itu. Salah seorang dari
mereka menjenguk kerumah itu. Dan Empu Krepa sedang bertempur
dengan seorang. Maka oleh orang itu segera dipukul kentongan
Kentongan ditabuhnya bertalu-talu. Bagi yang mendengarnya sudah
merupakan berita, bahwa ada perampok sedang beraksi di-desa. Mereka
semuanya keheranan. Perampok dari manakah yang berani mendatangi
desa ini? Apakah mereka tidak tahu bahwa didesa ini tinggal pendekar
yang sakti? Demikian pikir mereka.
Pemuda-pemuda didesa itu kebanyakan telah dilatih dilatih dalam
ilmu perang oleh Empu Krepa. Mereka sudah terlatih menggunakan
senjata dan mengatur bermacam barisan. Mendengar bunyi kentongan itu
para pemuda desa itu segera berkumpul ketempat asal datangnya suara
kentongan itu. Alangkah heran dan marahnya mereka demi mengetahui,
bahwa rumah Empu Krepalah yang diserang perampok. Namun mereka
tidak panik. Seorang pemuda tampil kedepan sebagai pemimpin. Dengan
segera membentuk barisan „Supit Urang” untuk mengepung perampok2
itu, Dalam waktu singkat terbentuklah sudah barisan itu. Dan dengan
teratur barisan itu bergerak menuju rumah Empu Krepa bertambahlah
kemarahan mereka demi dilihatnya rumah Empu yang mereka hormati itu
dibakar oleh „perampok2” itu.
„Serbu!" Demikian terdengar teriak pemimpin barisan. Seketika
barisan „Supit Urang" yang terdiri atas kurang lebih 100 orang pemuda
desa itu segera menyerbu kearah rumah Empu Krepa.
Memang, rupanya prajurit2 Belambangan itu sedang sial. Sehabis
dihajar oleh Empu Krepa dan sedang menghadapi Panji Jatmika yang
berangasan, kini diserbu oleh barisan pemuda desa.

49
Walaupun prajurit2 Belambangan itu terdiri dari prajurit2 pilihan,
namun menghadapi sekian banyak pemuda mereka kewalahan juga.
Apalagi pemuda2 desa itu menyerang dalam formasi „Supit Urang" dan
banyak diantara para prajurit itu yang sedang luka-luka. Untunglah
bahwa mereka kebal-,kebal terhadap senjata tajam. Kalau tidak demikian
entahlah bagimana akibatnya.
Panji Jatmika ketika melihat datangnya pemuda2 desa itu segera
melarikan diri karena mengira bahwa dirinya yang akan diserbu. Hal ini
sangat menguntungkan prajurit2 Belambangan. Mereka dapat
memusatkan perhatian pada serbuan rakyat desa yang sedang marah-
marah itu.
Dalam beberapa saat saja prajurit2 Belambangan itu telah dikepung
oleh barisan pemuda desa itu.
Alangkah herannya penduduk desa itu ketika mereka mulai
menyadari bahwa mereka menghadapi suatu kenyataan yang aneh.
Perampok yang mereka hadapi itu ternyata tidak mempan oleh senjata
tajam.
Difihak lain Santa Jaya semakin gemas. Ia mengamuk dengan
hebat. Sehingga dalam sekejap banyaklah pemuda desa yang luka parah.
Tiba-tiba terdengar suara yang melengking tajam.
„Santa Jaya! Tinggalkan saja mereka. Ingatlah akan pesan terakhir
ayahanda”.
„Aduhai. Kiranya gusti Cinde Seta. Ampunilah Santa Jaya, raden.
Tawanan yang raden kehendaki telah berhasil meloloskan diri”. Demikian
jawab Santa Jaya sambil mencari jalan keluar dari kepungan.
„Santa Jaya! Memang sudah kusangka dari semula bahwa
menangkap Empu Krepa bukan pekerjaan yang mudah”. Terdengar suara
yang melengking tajam tadi. Suara yang melengking tajam itu memberi
pengaruh yang besar pada para prajurit. Semangat mereka bertambah.
Tiha-tiba terdengar suara tadi:
„Cepat! Cepat! Tinggalkan pemuda2 tolol itu! Lekas! Susullah aku!
Mendengar perintah itu mereka segera berusaha untuk menembus
kepungan itu. Dalam singkat para prajurit Belambangan itu telah dapat
menembus kepungan dan kemudian segera mengendarai kuda yang telah
mereka persiapkan. Pemuda2 desa itu tidak mengejar karena menurut
mereka lebih penting menolong Empu Krepa. Disamping itu juga teman-
teman mereka yang luka juga membutuhkan pertolongan. Berkat kerja
sama yang erat diantara mereka tidak ada korban jiwa. Mereka yang
tidak luka cepat-cepat memadamkan api yang sedang berkobar-kobar itu.
Tetapi alangkah herannya mereka ketika ternyata bahwa orang yang
mereka tolong tidak mereka temukan. Dimanakah gerangan Empu Krepa?
Diculikkah? Siapa demikian berani menculiknya? Bahkan penghuni juga
tidak mereka temukan, Kemanakah mereka semua itu?

50
XXX
Biarkan kita tinggalkan mereka yang sedang keheran-heranan itu.
Kita mengikuti Santa Jaya yang sedang memacu kudanya menuju arah
datangnya suara yang melengking tajam tadi dengan diikuti oleh anak
buahnya. Tidak berapa lama sampailah mereka ditepi desa dimana
menanti seorang penunggang kuda. Penunggang kuda itu seorang
pemuda yang berbadan tegap. Matanya bersinar tajam. Alisnya tebal.
Diatas bibirnya tumbuh kumis yang teratur rapi.
„Raden Cinde Seta, maki-makilah hamba. Hukumlah hamba,
Hukumlah hamba yang tidak berhasil menjalankan tugas yang diberikan".
DemiKan sapa Santa Jaya dengan tidak berani memandang penunggang
kuda itu.
Raden Cinde Seta, demikian nama pemuda penunggang kuda itu
memandang Santa Jayaa dengan tajam. Santa Diaja menundukkan
kepala tidak berani memandang junjungannya.
„Sudahlah Santa Jaya. Tak ada gunanya aku menegurmu. Kini
sebelum orang2 itu terIalu jauh melarikan diri marilah kita mengejarnya”.
Selesai berkata demikian tanpa menanti jawaban, Raden Cinde Seta
segera memacu kudanya menuju kebarat untuk mengejar Empu Krepa.
Kuda-kuda prajurit2 Belambangan itu lari dengan pesatnya. Pada waktu
mereka membungkam. Tak ada satupun yang berbicara.
Telah lebih dari sepemakan nasi mereka mengejar, tetapi musuh
yang mereka kejar belum juga terlihat. Setiap melalui sesuatu desa lima
orang prajurit disuruh menyelidiki adakah orang yang mereka cari ber-
sembunyi disitu. Bila ternyata tak ada mereka segera meneruskan
pengedjaran menyusur jalan desa.
Hari semakin gelap tetapi musuh yang mereka kejar beum juga
terkejar. Tiba-tiba Raden Cinde Seta menghentikan kudanya dan
memandang kedepan dengan taja. Kemudian berseru :
„Lekas kembali! Cari sebuah tikungan!”.
Para prajurit Belambangan merasa heran mendengar perintah itu.
Tetapi mereka tidak berani membantah. Dan disaat mereka sedang
membalikkan kuda mereka, dari arah depan berlari berpuluh-puluh ekor
kerbau. Jalan yang tidak begitu lebat itu dipenuhi oleh barisan itu. Kerbau
itu seperti sedang marah. Seketika keadaan dalam barisan berkuda
menjadi kacau. Tanpa diperintah oleh penunggangnya kuda-kuda itu
segera dan melarikan diri dengan pesat. Setiap kali Para prajurit itu
menoleh kebelakang setiap kali mereka bahwa barisan kerbau itu maasih
berlari dibelakang mereka. Milik siapakah kerbau-kerbau gila itu? Kenapa
malam-malam dibiarkan terlepas?
Lama mereka berlari kembali. barulah berhasil mereka menemukan
sebuah tikungan. Dan mereka menarik nafas lega. ketika dlihatnya
kerbau-kerbau menggila itu membelok.

51
„Santa Saya, saya merasa yakin kalau hal iri diatur oleh seseorang.
Agaknya mereka menginginkan kita menghentikan pergejaran terhadap
Empu Krepa". Demikian Raden Cinde Seta berkata, ketika dilihatnya
bahaya telah lampau. Kemudian Raden Cinde Seta segera memerintahkan
melanjutkan perjalanan.
Tetapi malam itu prajurit Belambangan memang sedang sial. Belum
lama mereka melarikan kudanya sekoyong-koyong dimuka mereka
terdengar dua buah benda jatuh.
„Bluk …. Bluk …….”
Mereka terus berlari tanpa menghiraukan suara benda jatuh tadi,
tetapi tiba-tiba seorang prajurit berteriak:
„Awas lebah! Aduh ...... Aduh ….. Aku disengatnya".
„Aduh aku juga disengat".
Seketika itu timbullah kepanikan lagi dikalangan para prajurit itu.
Beratus-ratus ekor lebah beterbangan didalam kelompok prajurit itu
sambil menyengati. Kiranya dua buah benda jatuh itu adalah dua buah
sarang Lebah-lebah itu merasa diganggu oleh karena itu sangat marah.
Kuda-kuda dari prajurit itu dengan tak sengadja telah mengindjaknya.
Seketika beterbanganlah lebah-lebah itu dari dalam sarangnya. Tetapi
kekacauan tidak berhenti sampai disitu. Ketika mereka dapat menghindar
dari bahaya amukan2 lebah itu tiba-tiba beberapa ekor kuda yang
dikendarai oleh prajurit2 Belambangan itu roboh ketanah dan ketika
diselidiki kiranya beberapa anak panah menancap ditubuh kuda-kuda
yang malang itu. Alangkah marahnya Raden Cinde Seta. Seketika ia
berteriak:
„Hai jahanam! Keluarlah kalau kamu benar-benar ksatria!"
Suara pekikan yang melengking tajam itu memecah kesunyian
malam. Mula-mula teriakan itu tidak mendapat jawaban tetapi tiba-tiba
terdengar suara yang nadanya bagaikan grungan singa.
„Kamu bukan ksatria. Kami adalah penyamun-penyamun".
Demikian jawaban itu. Kalau para prajurit Belambangan merasa sakit
telinganya mendengar suara itu maka bagi Raden Cinde Seta lebih
sakitlah hatinya. Ketika ia akan mengejar kearah suara itu tiba-tiba
terdengar suara teriakan saut-menyaut.
„Kolik, kolik,kolik,……… Tuuu tuuu....... tuuu ……… Kolik ……..
kolik …….. kolik ….. Tuutt ……. tuuu ……. tuuu ……” Demikian suara saut-
menyaut yang didengar oleh Raden Cinde Seta.
Maka sadarlah Raden Tiinde Seta siapa yanq sedang dihadapinya.
Kalau ia nekat mengejar makin lamalah ia terlibat disitu. Penyamun
Burung Kolik dan Burung Tuhu bukan lawan yang boleh dipandang,
ringan.
„Astaga! Kiranya kawanan Buruno Kolik dan Burung Tuhu. Pantas
mereka demikian pandai mengatur jeba-

52
kan'', kata Santa Jaya.
„Huh'', desis Raden Cinde Seta. Perasaan mengkal gemas, marah
dan bingung campur aduk menjadi satu. Kematian ayahandanya yang
sangat dicintainya kembali terbayang dipelupuk matanya. Peristiwa itulah
53
yang menggoncangkan hatinya serta menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan yang belum terjawab, Peristiwa itu pulalah yang
membawanya sampai kemari. Diruang matanya kembali terbayang wajah
ayahnya, ketika akan menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
„Seta …. anakku …. kamulah ….. satu-satunya …. harapanku ….
harapan ibumu dan …. harapan Belambangan ….. Pesanku ….. padamu
adalah ….. pertama …… pertahankan ...... kerajaan Belambangan ….. mati
matian ….. dari ….. serbuan manapun juga. Kedua ….. carilah …. Empu
Krepa …. dialah …. yang …. menyuruh …. seseorang …… untuk
membunuhku. Balaskan nak. Balaskan …. dendamku .....”
Demikian kata-kata terakhir yang diucapkan ayahnya. Yang selalu
berkumandang ditelinganya. Sehabis mengatakan itu ayahnya segera
pergi, pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Pergi dengan
meninggalkan teka-teki bagi dirinya. Siapakah Empu Krepa? Kenapa
ayahnya dibunuh olehnya? Dimana tempat tinggalnya?
Untunglah bahwa Santa Jaya dapat memberi keterangan padanya
siapakah Empu Krepa itu sebenarnya. Berdasarkan petunjuk Santa Jaya
maka ia segera mengatur siasat untuk menangkap Empu Krepa. Tetapi
segala usahanya telah gagal dan musuh yang hendak ditangkapnya telah
melarikan diri.
Tetapi walau bagaimanapun ia harus menangkap Empu itu. Maka
dengan sisa kuda yang masih hidup ia bermaksud meneruskan
pengejaran.
Untunglah bahwa masih ada sepuluh ekor kuda yang selamat.
Dengan sisa tenaga yang ada itu Raden Cinde Seta bermaksud
melanjutkan pengejaran.
Sedang sebagian yang lain yaitu prajurit yang luka atau yang
kudanya terpanah disuruh kembali ke Belambangan.
Kini tinggallah Raden Cinde Seta dan Santa Jaya beserta delapan
orang prajurit pilihan melanjutkan pengejaran.
XXX
Kini marilah kita ikuti Waja Cempani.
Waja Cempani sangat marah bercampur malu ketika ternyata,
bahwa dia tidak dapat merampas keris ciptaan Empu Krepa dari tangan
Jaka Prasetya. Bukan saja dia gagal merampas keris itu, bahkan sebagian
dari kain yang dikenakannya menjadi sobek karena tusukan keris itu,
bahkan sebagian dari kain yang dikenakannya menjadi sobek karena
tusukan keris itu. Dengan membawa kemarahan yang berkecamuk dalam
dadanya ia berlari meninggalkan rumah Empu Krepa.
Rumah Empu Krepa adalah dikaki gunung Kawi sebelah Selatan
sedangkan rumah kediaman Kyai Candra Ketu dilereng gunung Kawi
bagian Utara.
Semenjak perkawinannya dengan Warsi maka Waja Cempani

54
berdiam dirumah kediaman Kyai Candra Ketu. Semenjak itulah ia hidup
bersama dengan Warsi. Semenjak itulah pula ia melatih ilmu kekebalan
yang diidam-idamkannya, ilmu kekebalan ajaran Kyai Candra Ketu. Ilmu
itulah yang sangat diingininya semendjak ia mulai belajar pencak dan
silat. Segala macam jalan ditempuhnya untuk memperoleh ilmu itu.
Dahulu ketika ia memohon pada Kyai Candra Ketu untuk mengajarinya
ilmu kekebalan. Kyai itu menyanggupinya asalkan ia mau diambil
menantu. Syarat itu diterimanya.
Kiranya sjarat itu tidak seringan dugaan Waja Cempani semula.
Oleh karena perkawinannya dengan Warsi maka ia terpaksa bertentangan
dengan saudara2 seperguruannya yaitu Anggara dan Empu Krepa. Karena
semenjak saat itulah mereka tidak mau menjumpainya.
Sejak kedua orang kakaknya meninggalkan dirinya setiap kali Waja
Cempani bertanya dalam hatinya. Mengapa kedua orang kakaknya
demikian benci pada mertuanya?
„Waja Cempani. Sadarlah adikku. Kamu telah keliru memilih isteri.
Wanita itu tak sepadan bersuamikan engkau. Dia adalah wanita setan
seperti juga ayahnya”. Demikian Krepa berkata dulu. Kata2 itu selalu
terngiang-ngiang ditelinganya. Betulkah perkataan kakaknya itu. Telah
lebih dari dua puluh tahun ia hidup bersama Warsi, tetapi tidak pernah
dia mendapatkan suatu bukti yang menguatkan perkataan kakaknya itu
Selama itu Warsi menunjukkan sikap yang baik kepadanya Dan iapun
mencintai Warsi sepenuh hati.
Tidak ada tanda2 bahwa Warsi berlaku serong.
Tidak!
Warsi adalah seorang isteri yang setia. Tak mungkin ia mau
melakukan perbuatan yang rendah itu. Dan bagaimana halnya dengan
Kyai Candra Ketu. Betulkah ia manusia setan seperti yang disangkakan
kakaknya. Dalam hal inipun ia tidak pernah mendapat bukti.
Tetapi kalau pendapat kakak2nya itu tiada beralasan mengapa
mereka sampai hati meninggalkannya. Ia tidak pernah mendengar
kakaknya berdusta. Ataukah tnereka mendapat hasutan dari orang yang
membenci mertuanya, Kemungkinan inilah yang menghibur hatinya.
Walau bagaimanapun dimata Waja Cempani Warsi adalah seorang isteri
yang setia dan Kyai Candra Ketu adalah seorang mertua yang ramah
tamah dan pemurah.
Disaat ini hatinya sedang tiada keruan rasanya. Ia sedang
merasakan bahwa jerih payahnya selama bertahun-tahun menjadi tiada
berarti. Ia dapat dikalahkan oleh seorang pemuda yang baru berumur dua
puluh tahun. Hatinya merasa pedih dan marah. Ia merasa heran melihat
kemajuan Jaka Prasetya yang demikian pesat. Dalam waktu yang kurang
dari setengah tahun sudah sedemikian kemajuannya. Dulu ketika
bertemu untuk pertama kali dengan mudah Jaka Prasetya dapat
dikalahkannya.

55
Tetapi kini berbalik dialah yang dengan mudah dapat dikalahkan oleh
Jaka Prasetya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa sebab utama dari
kekalahannya adalah sikap terlalu memandang rendah pada Jaka
Prasetya.
Dengan membawa kemarahan yang berkobar-kobar ia berlari
menuju kerumah tinggalnya. Ia berlari terus. Terus. Akhirnya sampailah
ia kerumahnya.
Ketika itu dijumpainya rumah tinggalnya dalam kesunyiann yang
mencekam. Memang pada bulan-bulan yang akhir-akhir ini Kyai Candra
Ketu sering meninggalkan rumah dan beberapa hari yang lalu Kyai
Candra Ketu pulang sebentar dan kemudian pergi lagi dengan mengajak
dua orang muridnya Tuluh Braja dan Candra Mawa.
Ketika Waja Cempani memauki rumah ia merasakan sesuatu yang
aneh. Entah kenapa hatinya tiba-tiba berdebar-debar. Dan kesunyian
yang mecekam dirumahnya itu menambah kegelisahannya. Apakah
gerangan sebabnya? Ia merasa heran karena selamanya belum pernah
mengalami perasaan yang demikian itu.
Dimanakah Warsi, isterinya? Ketika ia akan memanggilnya untuk
membuka pintu tiba-tiba ia mendengar suara orang berbicara dari arah
kamarnya.
Bukan. Bukan orang yang berbicara yang didengarnya. Melainkan
orang yang berbisik-bisik. Telinga Waja Cempani cukup terlatih sehingga
suara yang bagaimana halusnya dapat didengar.
Dengan perlahan-lahan dan hati-hati ia berjalan mendekati
kamarnya. Ketika ia sampai didekat kamarnya suara yang didengarnya
tadi semakin jelas. Dan …… apa yang didengarnya membangkitkan
kembali kemarahannya yang sebetulnya sudah hampir reda. Mula-mula ia
tidak percaya akan apa yang didengarnya, tetapi ketika telinganya
dirapatkan kedinding dan mendengar lebih jelas lagi ia menjadi percaya.
Tetapi inipun belum memuaskan hatinya. Ia mengintai dari celah-ceelah
dinding. Dan ….. kini ia betul-betul marah. Apa yang dilihat Waja Cempani
dari celah-celah dinding itu? Mengapa ia menjadi marah?
Apa yang dilihatnya tak pantas diceritakan disini. Waja Cempani
betul-betul tak dapat menahan kemarahannya. Dengan sekuat tenaga
dihantamnya jendela kamarnya. Sesaat kemudian terdengar suara yang
menggeledek. Seakan lakan hendak robohlah rumah itu dibuatnya.
„Warsi! Sudah berapa kalikah perbuatan laknat ini kamu lakukan?"
Saat itu juga dari didalam kamar Waja Cempani bangkitlah dua
tubuh manusia dengan pakaian yang tidak teratur. Dua tubuh yang
berlainan jenis. Seorang wanita dan seorang laki-laki.
Kini jelaslah bagi kita apa ang telah terjadi. Warsi telah tertangkap
basah oleh Waja Cempani, suaminya ketika sedang berbuat serong
dengan laki-laki lain.
„Suradental Kiranya wajahmu yang tampan itu hanya untuk

56
menyelimuti jiwa anjingmu''. Demikian bentak Waja Cempani kepada
orang laki-laki itu yang ternyata adalah Suradenta murid termuda Kyai
Candra Ketu.
Disaat itu kembali mendengung ditelinganya suaranya. Wanita
setan ….. wanita setan …. Wanita … sekakaknya.
….. Dia adalah wanita setan seperti juga ayahnya. Disiram minyak
kemarahan Waja Cempani semakin orang yang dcarinya itu bersembunyi
disalah sebuah hentinya bagaikan mengejeknya. Seumpama api yang
menghebat. Kini wanita yang sedang berdiri dimukanya itu menjelma
menjadi seseorang yang belum dikenalnya. Dengan sinar mata yang
menyala-nyala dipandangnya Warsi. Ketakutan yang amat sangat
membayang dimata Warsi. Ia segera berjongkok didepan suaminya.
„Kak Waja Cempani ampunilah aku kak. Ampunilah isterimu sekali
ini. Tetapi andaikan Warsi memohon maaf seribu kali pada Waja Cempani
tidak mungkin ia memperolehnya.
Dengan berteriak tajam Waja Cempani menendang tubuh Warsi
yang sedang berjongkok dihadapannya. Terdengar jerit yang mengerikan
dan …….. brak ….. dinding papan yang memisahkan ruang itu dengan
ruang lain, berantakan diterjang oleh tubuh Warsi yang melayang oleh
tendangan Waja Cempani.
Sesudah membereskan isterinya yang menyeleweng itu Waja
Cempani menoleh kearah Suradenta. Dilihatnya Suradenta sedang berlari
kearah pintu.
„Suradenta! Berhenti!" Bentak Waja Cempani. Suaranya tajam dan
berpengaruh. Sungguh aneh. Ketika mendengar bentakan itu Suradenta
berhenti berlari. Hanya sesaat ia berhenti, tetapi saat itu merupakan saat
yang menentukan.
Dengan geraman yang mengerikan Waja Cempani meloncat kearah
Suradenta berdiri. Sebuah pukulan yang bagaikan geledek dihantamkan
kepunggung Suradenta. Pukulan itu dilancarkan dengan tenaga penuh
dan …. duk ….. pukulan itu tepat mengenai sasarannya dan …. duk …..
sekali lagi sebuah pukulan tepat didagu Suradenta. Kedua pukulan itu
dibarengi oleh jerit tertahan. Tetapi hanya jeritan tertahan itu.
Sesudahnya kamar itu sunyi.
Warsi dan Suradenta telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini.
Warsi dan Suradenta telah pergi sama-sama kealam baka untuk
memperhitungkan segala dosa yang telah diperbuatnya didunia. Tak
berapa lama terdengar helaan nafas yang panjang dari kamar itu. Tak
berapa lama terdengar seruan yang bernada pilu:
„Kak Anggara! Kak Krepa! Aku akan kemball padamu!"
Sehabis itu terlihat sebuah bayangan meloncat keluar jendela. Kini
Cempani telah memperoleh bukti yang dicarinya. Kini Waja Cempani telah
menyadari bahwa kata-kata kakak2nya betul belaka.
Demikian kakinya menginjak tanah ia terus berlari, berlari , berlari

57
meninggalkan rumah terkutuk itu, berlari meninggalkan segala-galanya
yang ada dirumah itu. Tempat yang ditujunya adalah rumah Empu Krepa.
Belum berapa lama ia berlari dari muka terlihat seseorang berlari
mendatanginya. Ketika diperhatikan ternyata adalah Panji Jatmika.
„Bapa guru! Hendak kemanakah, bapa".
Waja Cempani tidak mnenyaut melainkan terus berlari. Panji
Jatmika merasa heran melihat tingkah gurunya yang aneh itu. Kenapakah
tengah malam begini sang guru berlari-lari bagaikan orang gila.
Namun Waja Cempani tidak memperhatikan apa yang sedang
dipikirkan oleh sang murid. Ia terus berlari, secepat angin. Sedangkan
Panji Jatmika terus mengekor dibelakang. Tak berapa lama kemudian
Panji Jarmika mulai dapat menduga arah yang dituju oleh gurunya.
Kiranya sang guru menuju ketemat kediaman Empu Krepa. Ia merasa
girang. Dikirannya gurunya akan melabrak Empu Krepa. Tak disangkanya
sama sekali bahwa dugaannya itu meleset. Ketika ia sedang berfikir itu
gurunya telah berlari jauh meninggalkannya.
Alangkah terkejutnya Waja Cempani ketika ia sampai dirumah
Empu Krepa. Yang dijumpai olehnya hanya puing-puing dari rumah yang
habis terbakar. Apakah gerangan yang telah terjadi? Waja Cempani
segera memeriksa keadaan dipekarangan itu. Namun ia tidak
mendapatkan apa yang dicarinya. Pekarangan rumah Empu Krepa
terpendam dalam kesunyian. Kemanakah gerangan kak Krepa? Demikian
katanya dalam hati. Maka pergilah Waja Cempani menanyakan pada
seorang penduduk yang berumah didekat situ. Penduduk yang ditanya
lantas menceriterakan apa yang telah terjadi. Tetapi ketika ditanya
kemanakah Empu Krepa pergi orang itu tidak dapat menjawab. Diantara
mayat-mayat yang bergelimpaingan disitu, tidak terdapat mayat Empu
Krepa beserta keluarganya.
Dengan lesu Waja Cempani segera berbalik kembali kerumahnya. Ia
bermaksud untuk mengambil si putih kuda kesayangannya. Ia bertekad
untuk mencari kakak-kakaknya bersama dengan kuda putih itu. Ketika ia
sedang berlari menuju rumahnya sekali lagi dijumpainya muridnya.
Melihat gurunya berlari kembali ia merasa heran. Tentu saja ia segera
memutar tubuh untuk berlari mengikuti gurunya dengan penuh tanda
tanya. Tetapi baru saja ia melangkahkan kakinya terdengar sang guru
berteriak:
„Panji Jatmika! Mulai sekarang kamu bukan muridku lagi. Aku jijik
melihat wajahmu. Lekas pergi''. Mendengar bentakan itu tidak beranilah
Panji Jatmika membantah. Ia segera pergi meninggalkan gurunya dengan
dendam berkobar-kobar. Ia sama sekali tidak insyaf terhadap
kesalahannya.
Kini kita ikuti perjalanan Empu Krepa dalam usahanya untuk
membebaskan diri.
Mereka terus melarikan kudanya dengan pesat. Setelah melewati

58
lima buah desa mereka segera berhenti untuk beristirahat. Kebetulan
didesa yang terakhir ini Empu Krepa mempunyai sahabat yang karib
sehingga mereka dapat mengaso dirrumah sahabat itu. Setelah dirasanya
cukup lama beristirahat maka Empu Krepa dengan ketiga orang putranya
beserta Jaka Prasetya. Suta dan Naya segera melanjutkan perjalanan.
Selama beristirahat itu Empu Krepa tampak membisu.
Mereka kembali memacu kuda mereka supaya berlari lebih cepat.
Dalam saat yang seperti itu Jaka Prasetya teringat akan kuda putihnya
yang telah direbut oleh pamannya karena kesalah fahaman. Kalau kuda2
yang mereka pergunakan itu seperti kuda putihnya alangkah mudahnya
menghindarkan diri dari kejaran musuh.
Mereka terus terus melanjutkan perjalanan menempuh sepanjang
malam.

59
Ketika ayam jantan terdengar berkokok disebuah desa yang dilalui
tiba-tiba Bambang Sutejo yang berada dibarisan yang paling belakang
berteriak:

60
„Celaka! Orang Belambangan itu ternyata dapat mengejar kita …..”
Jaka Prasetya dan yang lain-lain segera menoleh ke belakang.
Pada waktu itu fajar mulai menyingsing. Cahaya kemerah-merahan
terlihat disebelah timur. Dengan samar-samar terlihat oleh Jaka Prasetya,
bahwa dibelakang mereka terlihat beberapa penunggang kuda. Betulkah
mereka itu Prajurit Belambangan?
Tiba-tiba terdengar suara yang melengking tajam menusuk-nusuk
telinga.
„Empu Krepa. Lekas kembali".
Mendengar suara itu Empu Krepa segera berseru:
„Lekas pacu kuda. Mereka betul-betui prajurit2 Belambangan".
„Paman", terdengar Jaka berkata. „Mengapa tidak kita lawan saja
mereka. Dengan mendengarkan, bunyi telapak kuda mereka dapat saya
pastikan bahwa jumlah mereka tidak lebih dari sepuluh orang".
„Jaka. Jumlah mereka tidak seberapa tetapi tidakkah kamu dengar
suara yang melengking tajam itu. Dia adalah Raden Cinde Seta.
Kesaktiannya tidak boleh diremehkan".
„Raden Cinde Seta???"
Pada waktu itu Empu Krepa terus-menerus mencambuk kudanya.
Kuda itu berlari dengan pesat diikuti oleh ketiga orang anaknya beserta
Jaka Prasetya, Suta dan Naya.
Mereka terus melarikan kudanya. Namun kuda-kuda mereka sudah
mulai payah. Kuda-kuda itu tidak sekuat yang dipergunakan prajurit
Belambangan. Jarak antara mereka dengan prajurit2 Belambangan
bukannya semakin jauh, tetapi bahkan semakin dekat.
Tiba-tiba terdengar teriakan mengaduh dari belakang Jaka Prasetya
segera menoleh kebelakang. Apa yang dilihatnya? Jaka Prasetya melihat
Suta menebah dadanya. Sebuah anak panah menancap didadanya.
Apa yang sebetulnya telah terjadi? Suta dan Naya yang melihat
bahwa jarak orang2 Belambangan itu dengan mereka semakin dekat
bersepakat untuk menahan gerakan musuh itu. Mereka segera
menyiapkan busumya beserta anak panahnya. Kuda mereka segera
dipacu berbalik. Jarak antara Suta dan Naya dengan orang2 Belambangan
itu semakin dekat. Suta dan Naya segera memencang busur. Dua batang
anak panah se gera meluncur. Dan ……. terdengar pekikan tadi. Tetapi
pekikan itu datangnya justru datangnya dari Suta. Kenapa? Anak panah
yang meluncur kearah orang2 Belambangan itu dapat disambar oleh
Raden Cinde Seta dan tanpa menggunakan busur anak panah itu
dilempar kembali kearah sipemanah. Meskipun demikian anak panah itu
meluncur dengan pesatnya. Sebelum Suta dan Naya menyadari hal itu
anak panah tadi telah datang. Untung bagi Naya Dia sempat menghindar.
Tetapi Suta yang belum sembuh dari lukanya agak lambat dan ….. anak
panah itu menancap didadanya. Seketika itu Suta menebah dadanya dan
jatuhlah ia dari kudanya. Ketika Jaka menoleh pemandangan itulah yang

61
dilihatnya.
Jaka Prasetya segera menarik les kudanya dan memutar kuda itu
kembali. Dan kemudian melarikannya kearah Suta dan Naya berada.
Ketika melihat Suta jatuh dari kudanya Nayapun segera datang
mendekat. Naya segera meloncat dari kuda untuk menolong temannya.
Pada saat itulah prajurit jaraknya. Naya terancam keselamatannya.
Sampai di-Belambangan yang datang mengejar semakin dekat dekat
Naya terdengar Raden Cinde Seta berseru:
„Tangkap orang itu!"
Dua orang prajurit Belambangan meloncat turun dari kuda. Disaat
itulah Jaka datang. Cambuknya se-
Tetapi tiba-tiba tangan yang memegang cambuk itu bergetar.
Cambuk yang dipegang oleh Jaka Prasetya hampir terlepas dari
pegangan. Apa yang telah terjadi?
Raden Cinde Seta melihat dua orang prajuritnya terancam oleh
cambuk Jaka Prasetya. Dengan sepenuh tenaga ia segera mencentikkan
dua buah jarinya. Jentikan itu tepat pada sasarannya. Itulah yang
menyebabkan tangan Jaka Prasetya tergetar.
Jaka Prasetya segera mengalihkan serangannya kearah Raden
Cinde Seta.
„Jaka!“ Terdengar seruan. „Dia bukan tandinganmu. Mundurlah”.
Seruan itu adalah seruan Empu Krepa yang telah menyusul.
„Empu Krepa! Memang kamulah yang kucari!” kata Raden Cinde
Seta sambil menahan serangan cambuk Jaka Prasetya. Sekali lagi tangan
Jaka Prasetya bergetar. Maka tahulah ia bahwa kata2 Empu Krepa tadi
benar adanya. Maka mundurlah ia untuk memberi kesempatan pada
Empu Krepa.
Disaat itu terdengar Dewi berteriak :
„Kak Jaka! Lekas tolonglah Naya!” Jaka Prasetya segera menoleh
kearah yang ditundjuk oleh Dewi. Naya telah diikat prajurit Belambangan
tadi.
„Santa Jaya! Tangkap dua orang pemuda itu!" terdengar perintah
Raden Cinde Seta pada Santa Jaya. Jaka Prasetya tahu, bahwa yang
dimaksud dengan dua orang pemuda itu adalah dia dan Bambang Suteja.
Betul juga dugaannya. Santa Jaya dengan prajurit2 Belambangan itu
menyerbu kearah mereka. Andaikata Jaka Prasetya dan Bambang Suteja
tidak melindungi Dewi dan Candra maka serbuan dari beberapa prajurit
Belambangan itu bukan merupakan masalah yang penting bagi mereka.
Namun demikian Jaka Prasetya tetap tabah. Ia segera bertindak.
Dilarikannya kudanya kedekat Bambang Suteja.
„Bambang! Lindungilah saudara2mu! Biar kulawan mereka!”. Tanpa
menanti jawaban Bambang Suteja dia segera meloncat dari kudanya. Dan
diturunkannya dari punggung kuda. Kemudian dengan cambuk
ditangannya ia menghadang Santa Jaya yang datang menyerang dengan

62
anak buahnya. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat.
Jaka Prasetya dengan kecepatan yang sukar dilukiskan menggerak-
gerakkan cambuknya. Setiap prajurit yang dekat dipukul dengan
cambuknya.
Sementara itu pertempuran antara Raden Cinde Seta dengan Empu
Krepa juga berlangsung dengan hebat.
Mereka beldua menggunakan tangan kosong. Mula-mula mereka saling
serang menyerang dipunggung kuda. Tetapi oleh karena merasa kurang
bebas kemudian turun dari kuda dan melanjutkan pertempuran itu diatas
tanah. Pertempuran semakin menghebat. Dengan segala kesaktian yang
ada pada mereka, mereka berjuang untuk merebut kemenangan. Tetapi
lama kelamaan serangan Raden Cinde Seta semakin hebat. Tiba2 Raden
Cinde Seta membentak:
„Butalah kamu!"
Apa yang terjadi kemudian? Tangan Raden Cinde Seta yang
ditamparkan kemuka Empu Krepa mengeluarkan asap yang berwarna
ungu dan …… asap itu mengenai mata Empu Krepa. Terdengar suara
keluhan Empu Krepa. Saat itu Empu Krepa merasakan kepedihan yang
amat sangat pada matanya. Disaat itu Raden Cinde Seta melancarkan
pukulan dengan sepenuh tenaga.
„Kak Bambang. Lekas tolong ayah". Terdengar Dewi berteriak pada
kakaknya. Padahal jarak antara mereka dengan ayah mereka cukup jauh.
Disaat yang genting itu tiba-tiba sesosok bayangan yang bergerak luar
biasa cepatnya menerjang kearah Raden Cinde Seta. Pukulan yang
dilancarkan oleh Raden Seta ditahan oleh bayangan itu. Dan Raden Seta
merasakan tangannya seolah-olah lumpuh. Kemudian sebuah dorongan
pada dadanya membuatnya terhuyung-huyung.
„Raden Cinde Seta, kalau kamu akan menuntut balas pada
pembunuh ayahmu selidikilah dahulu masa lampau ayahmu. Adakah
perbuatan2 yang dilakukan ayahmu dimasa lampau pantas kamu bela".
Terdengar suara yang halus tetapi berpengaruh.
„Paman Samun. Adakah kamu yang datang?" teriak Empu Krepa.
Kala itu matahari menjelang terbit. Keadaan disekitar tempat itu
sudah mulai terang.
„Kak Bambang. Lihatlah Kakek Samun yang datang”. Terdengar
Dewi berseru.
Adapun Raden Cinde Seta menyadari, bahwa kakek yang
dihadapinya itu bukan lawannya. Pada pikirnya jika melawan percuma.
Maka segera ia berseru :
„Santa Jaya! Berhentilah bertempur! Musuh bukan lawan kita”.
Santa Jaya beserta anak buahnya mematuhi perintah itu dan segera
mengundurkan diri. Kemudian Cinde Seta berkata:
„Baiklah Empu Krepa. Akan kuselidiki dahulu tentang kematian
ayahku. Adakah ayahku yang bersalah ataukah kamu. Lain kali kita

63
bertemu kembali".
Sehabis demikian ia segera meloncat kepunggung kuda dan diikuti
oleh Santa Jaya beserta anak buahnya. Naya yang dalam keadaan terikat
juga mereka tinggalkan.

64
Sepeninggal pradiurit2 Belambangn itu maka Jaka Prasetya segera
menghampiri Empu Krepa. Ia merasa heran melihat kehadiran orang
yang pernah menolongnya. Saat itu dilihatnya pak Samun sedang sibuk
merawat Empu Krepa.
„Paman Samun. Apa yang terjadi atas diri paman Krepa?”
Ki Samun menoleh pada Jaka Prasetya sambil berkata :
„Nak Jaka, pamanmu Krepa telah dilukai matanya oleh Raden Cinde
Seta. Luka itu akan membawa akibat yang tidak baik bagi mata
pamanmu. Tetap, kamu tidak usah khawatir. Karena beruntung bahwa
aku datang tepat pada waktunya". Ki Samun berhenti sejenak „Bila aku
tidak melihat pukulan jaing dilancarkan oleh pemuda Belambangan itu tak
akan dapat aku menyembuhkannya”.
Memang ki Samun, orang yang baru datang itu mempunyai
hubungan keluarga yang erat dengan Empu Krepa. Dia adalah adik dari
mertua Empu Krepa, yaitu Resi Mandraguna. Dismping pengetahuan yang
luas dalam dunia ketabihan ternyata dia memiliki tenaga batin yang
sudah sampai dipuncaknya. sehingga Raden Cinde Seta dapat diusir
dengan mudah.
Jaka Prasetya sangat girang mendapat jawaban yang
menyenangkan itu. Kemudian dia mendekati Naya untuk menolongnya
dan ….. dilihatnya Suta yang terlentang ditengah jalan dengan anak
panah menancap didadanya. Jaka segera mendekati Suta. Diperiksanya
tubuh yang malang itu. Maka mengeluhlah ia.
„Bagaimana raden? Dapatlah ia ditolong". Terdengar Naya berkata
dalam keadaan masih terikat. Jaka mendekati Naya untuk membuka
ikatannya.
„Sudahlah, Naya. Relakan dia. Dia telah pergi.” Mendengar jawaban
itu Naya menggigit bibir untuk menahan keluarnya air mata.
Sementara itu Ki Samun sibuk menolong Empu Krepa. Candra
dengan saudara2nya memperhatikan dengan penuh rasa khawatir. Oleh
karena luka yang dideritanya itu maka mata Empu Krepa terpaksa
dibebat. Menurut nasehat Ki Samun bebat itu baru boleh dibuka selang
dua hari.
Sehabis memberikan pertolongan berkatalah Ki Samun pada Empu
Krepa:
„Krepa! Lekas pergi kedesa Butuh! Kakakmu Anggara yang
menyembunyikan diri disitu kini sedang terancam bahaya”.
Jaka Prasetya agak terkejut mendengar berita itu.
„Bahaya apakah gerangan yang mengancam diri ayah?”
„Nak Jaka! Jadi Anggara ayahmu”.
„Betul paman. Didesa Butuh ia dikenal dengan nama Ki Rangga.
Dahulu ketika paman menanyakan tentang diri ayah saya belum
mengetahui bahwa Anggara adalah sama dengan Ki Rangga itu …. bahaya
apakah yang mengancam ayah''.

65
„Jaka”. Demikian Empu Krepa berkata. „Sebetulnya aku sudah tahu
bahaya apakah yang dimaksud oleh paman Samun. Tetapi jangan
mengkhawatirkan hal itu. Pada saat ini Kyai Candra Ketu dengan dua
orang muridnya datang kedesa Butuh. Dia akan mengatur siasat untuk
merobohkan kak Anggara. Telah lama kak Anggara dicari oleh Kyai
Candra Ketu. Tetapi seperti tadi telah kukatakan tak usah khawatir,
karena gerak-geriknya Kyai Candra Ketu telah dibayangi oleh seorang
berilmu. Kepandaian orang itu cukup untuk menghadapi Kyai Candra Ketu
beserta murid2nya".
„Siapakah orang itu, paman?"
„Nanti kamu akan mengetahui sendiri. Sabarlah''.
„Dan sekarang marilah kita segera meninggalkan tempat ini. Paman
Samun adakah paman juga bermaksud kedesa Butuh?''
„Tentu! Tetapi sayang saya tak dapat pergi bersama dengan kalian
Saya masih mempunyai sedikit urusan. Pergilah dulu. Saya akan segera
menyusul setelah menyelesaikan urusan saya'', jawab Ki Samun.
Saat-saat berikutnya merupakan saat-saat prihatin yaitu ketika Ki
Samun memimpin upacara penguburan jenazah Suta yang telah membela
Empu Krepa tanpa menghiraukan keselamatan dirinya. Candra dan Dewi
menangis terisak-isak. Hubungan mereka dengan Suta sangat akrabnya.
Kini orang itu meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Pengawal
yang setia itu dikubur disebuah belukar ditepi sebuah jalan. Kuburannya
sangat sederhana. Setelah tanda sekedarnya pada kuburan itu mereka
segera melanjutkan perjalanan.
Kali ini Empu Krepa berkuda disamping Naya. Dan Jaka Prasetva
serta Bambang Suteja berkuda bersama dengan Dewi dan Candra seperti
semula. Sedang kuda si Suta diserahkan pada Ki Samun.
Jaka Prasetya melakukan perjalanan ini dengan peruh kekhawatiran
terhadap keselamatan ayahnya. Sesekali ia ingat akan si Putih kuda
kesayangannya. Kalau kuda itu masih ada padanya maka dapatlah ia
mempercepat perjalanannya. Tetapi walaupun demikian berkuda bersama
Dewi kekhawatirannya banyak berkurang.
Desa Butuh ……
Keadaan rumah Ki Rangga tetap seperti dahulu. Tak ada suatu
perubahanpun dirumah itu. Wajah Penghuni penghuninyapun tetap tanpa
suatu perubahan. Wajah-wajah yang masam tanpa senyum tetap
menghiasi rumah itu.
Sejak Jaka Prasetya pergi meninggalkan desa Butuh, maka sikap Ki
Rangga bertambah aneh. Ia jarang keluar rumah. Tetangga-tetangga
disekelilingnya semakin heran.
Apa sebetulnya dikerjakan Ki Rangga? Semenjak Jaka Prasetya
pergi pekerjaan Ki Rangga hanyalah bersemedi dan berlatih
mempermainkan ilmu keris. Diwaktu pagi hingga sore hari ia bersemedi
untuk mempertinggi tenaga batinnya. Sedangkan diwaktu malam ia giat

66
menyempurnakan ilmu keris yang diciptakannya. Begitulah yang
dikerjakan setiap hari. Ia merasa seperti kekuatan gaib yang
mendorongnya untuk melakukan semua hal itu. Dalam hatinya seperti
ada yang membisikkan bahwa jerih payahnya itu akan berguna.
Dengan tanpa disadari dua bulan telah berlalu.
Malam ini bulan sabit menghias angkasa. Keadaan desa Butuh sunyi
senyap. Tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tiada satupun
yang dilihatnya.
Ia meneruskan latihannya.
Sekonyong-konyong didaun telinganya bergetar suatu suara yang
memanggil-manggilnya.
„Anggara ….. Anggara …… Anggara .....”
Alangkah terkejutnya Ki Rangga. Pertama ia dipanggil dengan
nama Anggara. Kedua suara panggilan itu sangat halus tetapi sangat
aneh bunyinya. Suara itu seakan-akan mengandung kekuatan gaib dan
bergetar lama didaun telinganya. Diperhatikannya arah datang suara itu.
„Anggara ….. Anggara ….. Anggara ……”
Sungguh aneh. Setiap panggilan itu datang dari tempatnya. Tetapi
sesudah ia tidak mendengar lagi suara panggilan itu. Ia meneruskan
latihan dengan hati yang tidak tenang.
Sesudah malam itu setiap malam ia selalu mendapat ganggguan
dari suara aneh itu. Suara yang menganggu latihannya. Suara yang selalu
mengganggu ketenangan jiwanya. Karena kini ia mulai mengenal siapa
gerangan orang yang telah mengganggunya.
Pada suatu hari ketika ia sedang bersemedi tiba-tiba, ia mendengar
suara memanggil-manggilnya, Ia terkejut. Ketika ia membukakan
matanya ternyata Nyi Rangga yang berdiri dihadapannya.
„Kak Anggara …….”
„Ada apa …… Nyi ……..”
Nyi Rangga tidak menjawab melainkan menangis terisak-isak. Ki
Rangga terkejut bercampur heran.
„Apa gerangan yang telah terjadi. Jawablah yang jelas. Bila kamu
tidak berkata dengan jelas bagaimana aku dapat mengetahui
kesukaranmu”.
Dengan menahan tangisnya Nyi Rangga mulai ber-kisah:
„Tadi ketika aku sedang mencuci ditepi sungai aku seperti
mendengar suara orang memanggilku. Ketika kutoleh tak ada seorangpun
yang berada disekitar tempat itu. Padahal arah datangnya suara itu
sangat dekat, tetapi kak, yang kutakutkan bukan itu.” Nyi Rangga behenti
berkata sambil menangis terisak-isak. Kemudian sambungnya :
„Suara panggilan itu memanggilku …. dengan nama kecilku …. Aku
takut kak …. Aku takut…..Ketakutanku menjadi-jadi ketika aku kembali
dari sungai dalam perjalanan kerumah. Ah kak …. tak dapat aku
menceriterakannya .. ….”

67
„Kuatkan hatimu. Ceriterakan, apa yang telah terjadi''. Desak Ki
Rangga.
„Kak ….. Apa yanq kulihat disepanjang jalan …. Menjadikan diriku
merana. Setiap….. setiap orang …. Yang kujumpai dijalan …..
memandangku dengan aneh …. dan ….. tanpa menyapaku …. mereka
meludah dihadapanku……”
Nyi Rangga berhenti sebentar untuk menyaksikan reaksi Ki Rangga.
Ki Rangga tampak mengerutkan dahinya mendengar laporan isterinya.
„Kak …. Aku takut kak ….. Jangan-jangan rahasia kita sudah
ketahuan oleh mereka…… Dan aku semakin takut …… mereka salah
faham …….
Kalau mereka menyangka yang tidak tidak tentang diri kita berdua …..”
Mendengar semua kata-kata Nyi Rangga maka tertegunlah Ki
Rangga. Pada saat itu terbayanglah diruang matanya semua
pengalamannya dimasa lampau. Pengalaman yang pahit. Pengalaman
yang getir. Pengalaman yang digenangi oleh tetesan air mata. Tiba-tiba ia
ter-ingat sesuatu.
„Lastri …….”. Tanpa disadarinya ia berseru. Berseru dengan
menyebut nama kecil Nyi Rangga.
„Kenapa kak …..
„Aku tahu siapa yang telah menggodamu dengan panggilan itu. Dan
ketahuilah bahwa suara memanggil-manggil itu juga telah menggangguku
selama beberapa malam
„Jadi kakak juga mengalami hal seperti itu …. dan siapa orang itu
menurut dugaan kakak?"
„Nanti akan kau ketahui duga hal ini. Dan sekarang tenangkanlah
hatimu". Demikian kata Ki Rangga. Nyi Rangga tidak mendesak.
Keduanya terbungkam dalam kesunyian. Dalam saat yang seperti itu,
tiba-tiba Sari masuk dalam ruangan itu. Kedua orang tuanya menoleh
mtenghadapi sang anak. Demikian pandangan mereka bertemu dengan
pandangan mata Sari terkejutlah mereka. Muka Sari merah padam. Tiba-
tiba menghamburlah Sari kedalam pelukan ibunya.
„Ibu …… Ayah….. Berterus teranglah padaku. Katakan padaku.
Apakah yang sebetulnya telah terjadi. Apa sebabnya mereka
memandangku seperti itu. Dosa apa yang kita tanggung terhadap
mereka. Ayah …… ibu ….. Saya tidak tahan terhadap hinaan
„Sari … Anakku …. Tenanglah nak. Ceritakanlah apa yang baru kau
alami”.
Setelah meredakan tangisnya berceriteralah Sari. Ternyata
pengalamannya sama dengan pengalaman ibunya. Ketika ia sedang
berada ditengah ladang tiba-tiba ia mendengar suara memanggil-manggil
namanya „Sari……. Sari ….. Sari ……” Ketika ia menoleh kekiri dan
kekanan tak dilihatnya seorangpun yang berada disitu. Ia segera
melanjutkan pekerjaaanya, Tiba-tiba ia mendengar suara panggilan.

68
Panggilan itu sangat menyakitkan hatinya.
„Sari anak haram ...... Sari anak haram ……” Ia menoleh dan
melihat kekiri dan kekanan dan sekali lagi ia tidak mendapatkan
seorangpun berada disekitar itu. Ia segera mengelilingi ladanginya. Tetapi
tak seorangpun dijumpainya. Ia mulai takut. Ini diluar kebiasaannya.
Biasanya ia tidak mudah takut. Namun kali ini ia merasakan ketakutan
itu.
„Sari anak haram ….. Sari anak haram …..”
Sekali lagi ia mendengar suara itu. Dengan menggigit bibir ia
menuju kearah datangnya suara tadi tetapi sekali lagi ia mendapatkan
tempat kosong. Tak ada seorangpun diketemukan disitu. Dengan
setengah berlari ia segera pulang dan …. ditengah perjalanan itullah ia
menjumpai sesuatu yang lebih menyebabkan-nya merana. Ditengah
perjalanan ke rumah, setiap orang yang didjumpainya memandang
dengan sinar mata yang aneh. Ada yang meludah dan ada yang
membicarakannya dengan tertawa-tawa. Dengan mengeraskan hati ia
terus berjalan kerumah.
Itulah yang dialami Sari. Mendengarkan cerita anaknya sang ibu tak
dapat nenahan tangisnya.
„Ibu ……Ayah ….. Betulkah aku ….. anak ….. seperti yang telah
disebutkan oleh suara yang kudengar itu …….”
„Sari!” Tiba-tiha Ki Rangga berseru. Suaranya bercampur kepiluan
hati. „Dengarlah. Sekali-kali jangan percayai hal itu. Semua itu hanya
fitnahan belaka. Nah sekarang tenangkan hatimu, Sari".
Sari merasa berkurang kesedihannya mendengar kata-kata
ayahnya. Tangisnya menjadi agak reda. Nasib apa yang telah menimpa
keluarga itu? Apa yang sebetulnya telah terjadi?
Malam itu ketika kesunyian merejainya terlihat seseorang dengan
langkah yang gesit keluar dari pekarangan Ki Rangga. Orang itu tak lain
dari pada Ki Rangga yang bertekad bulat untuk mencari orang yang telah
mengganggu ketenteraman rumah tangganya. Ia bermaksud mencari
keseluruh pelosok desa itu. Ia yakin bahwa orang yang dicarinya itu
bersembunyi disalahsebuah rumah penduduk.
Setiap rumah didatanginya tanpa sepengetahuan penghuninya,
Tetapi orang yang dimaksud tak dijumpainya. Tiba-tiba ia berhenti
berjalan. Ia mendengar suara memanggil-manggilnya.
„Anggara …. Anggara …. Anggara …..”
Pada hari-hari yang belakangan ini ia telah memperhatikan dan
mempelajari sifat-sifat dari ilmu mengirim getaran dari orang yang
memanggil-manggilnya itu. Maka pada waktu ia mendengar suara
panggilan itu ia dapat mengira-kira dimana lawannya berada. Secepat
kilat ia berlari kearah datangnya suara itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara orang mencaci maki. Suara itu
datangnya dari tanah lapang yang sering digunakan untuk mengembala

69
ternak pada siang harinya.
„Setan alas! Berani benar kamu menggangguku!"
Ki Rangga segera mempercepat langkahnya menuju ketempat
datangnya suara itu. Apa yang dijumpainya? Ditanah lapang itu
dijumpainya dua orang yang sedang bertempur dengan hebatnya. Ki
Rangga segera mendekati dua orang itu. Mereka bertempur dengan
tangan kosong. Seorang dari padanya adalah seorang yang sudah agak
lanjut usianya. Dari cahaya bulan yang remang-remang terlihat betapa
rambut orang itu telah mulai memutih. Ki Rangga memandang orang itu
dengan beringas. Kenapa? Orang itu adalah orang yang paling
dibencinya. Orang itu adalah orang yang pernah merusakkan
kebahagiaan hidupnya. Orang itu adalah orang yang disangkanya telah
mengganggunya pada akhir-aihir ini. Dia tak lain dan tak bukan adalah
Kyai Candra Ketu. Tetapi siapakah orang yang bertempur dengan Kyai
Candra Ketu itu? Orang itu mengenakan pakaian yang serba hitam.
Rambutnya dibiarkan tidak terurus dan seluruh mukanya ditumbuhi
rambut sehingga wajahnya sukar dikenal.
„Siapa kamu sebenarnya …..” kata Kyai itu sambil melancarkan
sebuah pukulan. Pukulan itu mengeluarkan asap yang berwarna hitam.
„Candra Ketu! Terlalu banyak orang yang menjadi korban karena
keganasanmu. Pantas kalau kamu tidak mengenal salah seorang dari
padanya". Orang itu menjawab sambil menangkis pukulan Kyai Candra
terhuyung-huyung. Sedangkan orang aneh itu tetap tegak berdiri.
Alangkah terkejutnya Ki Rangga menyaksikan kejadian itu. Sebab ia tahu
bahwa tenaga pukulan yang dipergunakan Kyai Candra Ketu adalah
tenaga hitam yang luar biasa dahsyatnya dan orang aneh itu berani
menangkisnya dengan tangan, bahkan dia dapat mendorong Kyai itu
beberapa langkah kebelakang. Kesaktian itu tak dapat diukur tingginya.
Siapakah sebenarnya orang itu? Selama hidupnya Ki Rangga belum
pernah melihat orang itu. Apalagi mengenalnya.
Sebetulnya apa yang disaksikan Ki Rangga itu bukan suatu
pertempuran, karena semua serangan datangnya dari Kyai Candra Ketu
sedangkan orang aneh itu hanya menghindari atau menangkis. Ia tidak
melakukan serangan pembalasan. Namun Kyai Candra Ketu tak dapat
berbuat banyak pada orang itu. Setiap serangan Kyai Candra Ketu dapat
dipatahkan dengan mudah oleh orang itu.
Serangan Kyai Candra Ketu semakin ganas. Setiap serangan
dilakukan dengan cepat dan mengarah tempat-tempat yang mematikan.
Namun kesemuanya itu dapat dipatahkan dengan mudah oleh orang aneh
itu dengan gerakan-gerakan yang aneh serta membingungkan lawan.
Ki Rangga terkejut menyaksikan kemajuan Kyai Candra Ketu. Kalau
dia yang menghadapinya sukarlah untuk memperoleh kemenangan,
meskipun kemajuannyapun tak kurang pesatnya.
Kini dia menyaksikan sendiri bahwa Kyai Candra Ketu dengan

70
mudah dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya. Sementara itu
serangan Kyai Candra Ketu semakin hebat. Tiba-tiba orang itu berteriak :
„Candra Ketu. Sudah puaskah kamu. Kini tiba giliranku untuk
menyerangmu”.
Orang itu berkata sambil menghindar dan menangkis serangan Kyai
Candra Ketu.
„Pukulan pertama untuk membalaskan dendam dari bayi-bayi yang
telah menjadi korban kebiadabanmu yang menjadi korban dari usahamu
mompelajari ilmu hitam”.
Kyai Candra Ketu mendengus sambil melancarkan serangan
mematikan.
„Lihat pukulan pertama!"
Dengan gerakan yang aneh dan sukar diduga orang itu
melancarkan sebuah pukulan kearah Kyai itu. Ki Rangga merasakan angin
yang sangat dingin menyambar mukanya. Kyai Candra Ketu mencoba
menghindari tetapi pukulan itu sangat anah gerakannya dan ……
terdengar jeritan tertahan. Dan dilain saat Ki Ranggga melihat Kyai
Candra Ketu meloncat kebelakang hendak melarikan diri.
„Candra Ketu! Jangan lari!”
Dengan gerakan yang sangat cepat orang itu mengejar Kyai Candra
Ketu menerobos kedalam hutan yang terdapat didekat lapangan itu.
Orang aneh itu dengan tanpa ragu ragu mengejar kedalam hutan itu. Ki
Rangga mula-mula agak ragu-ragu tetapi hanya sebentar, kemudian
segera mengikuti kedua orang itu.
Namun ia telah kehilangan jejak. Kedua orang itu bagaikan lenyap
kedalam hutan. Lama dia berlari-lari didalam hutan itu untuk mencari
mereka. Ternyata bahwa usahanya tak berhasil. Ki Rangga berhenti
dibawah pohon randu untuk beristirahat. Kini ternyata bahwa dugaannya
tentang orang yang mengganggunya setiap malam ternyata betul. Dia
menduga bahwa orang itu adalah Kyai Candra Ketu. Orang itulah yang
menyebarkan kabar yang memburukkan namanya. Dan rakyat didesanya
terpengaruh oleh Kyai itu.
Sayup-sayup sampai ia mendengar ayam jantan berkokok. Ia
terkejut. Tanpa dirasainya semalam suntuk telah ia lewati dengan
mengejar-ngejar musuh besarnya. Ki Rangga memutuskan untuk pulang.
Ia segera berjalan keluar dari hutan. Tiba-tiba ia mendengar suara saling
mencaci. Ia segera mempercepat langkahnya. Ditengah sebuah jalan
ditepi hutan itu melihat seseorang bertempur melawan tiga orang musuh.
Orang yang dikeroyok itu ternyata adalah orang aneh yang
dilihatnya tadi malam. Yang mengeroyok adalah Kyai Candra Ketu dengan
dua orang yang belum pernah dikenalnya.
Meskipun orang aneh itu sangat tinggi kepandaiannya tetapi
pengeroyoknya adalah orang2 yang tak boIeh dipandang ringan. Ia
melihat bahwa orang aneh itu agak kewalahan.

71
„Jangan kuatir sahabat. Aku akan membantumu”. kata Ki Rangga.
la segera menyiapkan cambuknya dan terjun kemedan perkelaian.
„Tuluh Braja bereskanlah si Anggara manusia haram itu. Bersama
dengan Candra Mawa aku cukup kuat untuk melawan orang ini.”
terdengar Kyai Candra Ketu berseru.
Seorang yang bertubuh jangkung menghadang Ki Rangga. Orang
inilah kiranya yang dipanggil dengan nama Tuluh Braja. Dia adalah murid
kedua Kyai Candra Ketu. Orang ini bersenjatakan golok, Diayunkannya
cambuknya kearah Tulur Braja.
Gerakan Ki Rangga sangat cepat sehingga Braja terpaksa
menghindar dan tak dapat melanjutkan serangan. Seketika ditempat itu
terjadi pertempuran yang maha hebat.
Pada saat itu disebelah timur langit sudah mulai bersinar merah.
Kyai Candra Ketu bersama muridnya yang pertama bertekad untuk
membunuh orang aneh itu. Segala macam kepandaian yang telah
dipelajari dikeluarkan sedangkan Candra Mawa muridnya juga membantu
gurunya dengan sepenuh hati.
Namun setelah pengeroyokan berkurang seorang maka orang aneh
itu dapat bergerak dengan leluasa. Apalagi Kyai Candra Ketu sudah
terluka oleh sebuah pukulan orang aneh itu.
Adapun pertempuran antara Tuluh Braja dengan Ki Rangga
berlangsung dengan seimbang.
Pertempuran dikedua kalangan itu terus berlangsung dengan
serunya, Tiba-tiba dari sebelah Timur terlihat beberapa penunggang
kuda. Pada saat itu suasana sudah agak terang. Seorang dari
penunggang2 kuda itu berlari mendahului teman2nya.
„Ayah! Jangan khawatir! Jaka datang membantu!" Terdengar orang
tadi berteriak. Memang penunggang kuda yang mendahului teman2nya
itu adalah Jaka Prasetya. Dan rombongan penunggang kuda itu adalah
rombongan Empu Krepa.
Mendengar teriakan itu tahulah Ki Rangga. bahwa anaknya datang.
Sesaat serangannya agak kendor. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Tuluh Braja untuk melarikan diri.
Melihat Tuluh Braja melarikan diri Candra Mawa menjadi tidak
bersemangat. Ia segera mengikuti adik seperguruan itu melarikan diri,
Tentu saja Kyai Candra Ketu sangat marah melihat pengkhianatan para
muridnya.
„Murid pengecut! Berhenti!” Tetapi kedua orang orang muridnya itu
telah menerobos kedalam hutan.
„Ha … ha …. ha …. Candra Ketu. Rasakanlah pembalasanku”.
Terdengar orang aneh itu tertawa dan dengan bertubi-tubi melancarkan
pukulan2 yang aneh.
Sementara itu Ki Rangga yang ditinggalkan lari lawannya semula
akan mengejar, tetapi segera dibatalkannya. karena ia merasa belum

72
kenal pada musuhnya tadi. Tak ada gunanya menguber-uber orang yang
belum jelas kejahatannya.
„Ayah! Anak datang bersama paman Krepa”. Terdengar Jaka
Prasetya berkata pada ayahnya.
Ki Rangga seakan-akan tidak mendengar. Saat itu perhatiannya
sedang tertuju pada pertempuran yang terjadi dihadapannya. Demikian
pula orang2 yang baru datang itu. Candra, Bambang Suteja dan Dewi
serta Naya juga memperhatikan peteempuran itu, Hanya Empu Krepa
yang tak dapat menyaksikan perisiwa dihadapannya. Luka dimatanya
belum sembuh
Kyai Candra Ketu tidak berdaya menangkis serangan- serangan
orang aneh itu. Segala macam ilmunya seakan-akan tidak mempan
dipergunakan untuk menjatuhkan lawannya. Ia bermaksud melarikan diri
tetapi jalan untuk itu tertutup.
Keadaan Kyai Candra Ketu seperti tikus yang dipermainkan kucing.
Kemarahan terhadap kedua orang muridnya yang telah melarikan diri
mengurangi kewaspadaannya.
Tiba-tiba orang aneh itu mengayunkan sebuah pukulan yang luar
biasa dahsyatnya. Angin yang menderu-deru membarengi pukulannya.
Dan …… terdengar jeritan yang ngeri. Kyai Candra Ketu nampak
terhuyung-huyung kebelakang dan kemudian jatuh terlentang. Jatuh
terlentang tanpa berkutik.
„Ayah …… Ibu …… ananda telah membalaskan dendammu". Orang
aneh itu terdengar berseru dengan nada yang pilu. Kemudian segera
berlari meninggalkan tempat itu tanpa menghiraukan keadaan
sekelilingnya.
Baik Ki Rangga maupun Jaka Prasetya dan semua yang ada disitu
merasa heran terhadap sikap yang aneh dari orang itu. Siapa gerangan
dia?
„Akhirnya jahanam itu telah memetik buah dari perbuatannya yang
jahat", demikian terdengar Ki Rangga berkata seorang diri. Ia terpaku
menyaksikan tubuh Kyai Candra Ketu yang terlentang tak berkutik
dihadapannya. Kyai Candra Ketu orang yang paling dibencinya kini telah
mati. Sayang bukan binasa dibawah tangannya. Walau demikian ia
merasa lega bahwa dengan meninggalnya Kyai Candra Ketu berkuranglah
sebuah kejahatan.
Tiba-tiba Ki Rangga tersadar bahwa ia tidak seorang diri disitu. Ia
cepat-cepat menoleh. Mula-mula nya anaknya kemudian …..
„Krepa …. adikku …. Kiranya kamu yang datang”.
„Kak Anggara betul katamu. Sayalah yang datang mengunjungimu.
Saya amat rindu padamu.
„Hai kenapa matamu …..” kata Ki Rangga ketika melihat mata adik
angkatnya yang dibebat. Kemudian Jaka Prasetya segera menceriterakan
apa yang telah mereka alami bersama pamannya.

73
Empu Krepapun segera memperkenalkan ketiga orang anaknya.
„Dan mana ……. Sariwati'', kata Ki Rangga tiba-tiba. Yang dimaksud
adalah isteri Empu Krepa. Ketika itu teringatlah ia pengalamannya dimasa
lampau. Tadi ketika ia melihat Candra dia mengira itulah Sariwati. Tetapi
ternyata bukan. Ketika Empu Krepa ditanya tentang Sariwati maka
berkatalah ia dengan lesu:
„Sariwati telah tiada lagi. Ia telah pergi meninggalkan daku
bersama ketiga orang anaknya. Dan ……”
„Sudahlah Krepa nanti sajalah hal itu kau ceriterakan padaku.
Sekarang marilah kita bersama-sama kerumahku. Jaka, bereskanlah
mayat Kyai jahanam ini”.
Demikianlah Ki Rangga segera menggandeng tangan adik
angkatnya. Orang yang pernah ditinggalkannya. orang yang pernah
melukai hatinya. Mereka berjalan bersama menuju kerumah Ki Rangga
diikuti oleh Candra dan Dewi. Adapun Bambang Suteja dan Naya
membantu Jaka Prasetya mengubur jenazah Kyai Candra Ketu.
Sehabis mengubur jenazah kyai itu Jaka Prasetya beserta Bambang
Suteja dan Naya segera berjalan menuju kerumahnya.
Pada saat itu matahari sudah mulai terbit. Desa itu mulai sibuk.
Petani2 sudah mulai berbondong-bondong pergi kesawah.
Sudah agak lama Jaka Prasetya meninggalkan desanya. Ia merasa
rindu pada penghuni desa itu. Oleh karena itu disapanya setiap orang
yang dijumpainya.
Disaat itulah ia merasakan suatu keanehan. Setiap kali ia menyapa orang
yang dijumpainya orang itu selalu memalingkan muka dan meludah.
Betapa heran dan kecut perasaan Jaka Prasetya. Mengapa mereka
bersikap demikian? Apa gerangan sebabnya?
Jaka Prasetya segera mempercepat langkahnya menuju kerumah
untuk segera menanyakan hal itu pada ayahnya.
Sesampai dirumahnya Jaka Prasetya melihat ayahnya sedang asyik
berbicara dengan pamannya, Disaat ia hendak menanyakan keadaan
yang aneh itu tiba-tiba ia melihat seorang penunggang kuda
menghentikan kudanya dimuka halaman rumahnya.
Jaka Prasetya segera memperhatikan si penunggang kuda itu.
Betapa gembira hatinya ketika mengetahui bahwa penunggang kuda itu
ternyata adalah Ki Samun. Jaka Prasetya segera memberitahukan
kedatangan Ki Samun pada ayahnya. Betapa girang Ki Rangga
mendengar kedatangan Ki Samun. Dengan cepat menyambut kedatangan
Ki Samun dukun sakti itu.
Setelah bercakap sejenak dengan Ki Rangga berkatalah Ki Samun
pada Empu Krepa.
„Krepa,hari ini tiba saatnya kamu membuka bebat matamu.
Bukankah kamu ingin melihat wajah kakakmu”.
„Betul katamu, paman, Aku betul-betul ingin melihat wajah kak

74
Anggara. Dan akupun sangat ingin melihat wajah kakak iparku".
Tiba-tiba Ki Rangga nampak gemetar. Tetapi tidak diperhatikan oleh
semua orang yang hadir disitu. Nyi Rangga yang berada disitupun agak
gemetar.
Ki Samun segera bertindak. Dibukanya bebat yang menutupi mata
Empu Krepa.
Kini terbukalah sudah tutup mata itu. Empu Krepa memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Matanya menjadi silau menghadapi cahaya
matahari pagi yang menyerang matanya. Agak sejenak ia menguasai
pandangan matanya setelah itu berkatalah ia pada Jaka Prasetya.
„Jaka, mana ibumu?”
Itulah yang ditanyakan pada Jaka Prasetya. Jaka Prasetya merasa
heran. Bukankah ibunya ada dimuka pamannya?
„Dialah ibuku", kata Jaka sambil menunjuk ibunya. Empu Krepa
memperhatikan arah yang ditunjuk. Dan tiba wajahnya berubah.
„Jaka, jangan bergurau ……..”
„Mengapa saya mesti bergurau. Dialah Ibuku”.
Tiba-tiba Ki Rangga mencela „Krepa, betul apa yang dikatakan oleh
Jaka. Jaka Prasetya tidak pernah bergurau''.
Dan disaat itu diwajah Empu Krepa terlihat raut keheranan.
Ditatapnya wajah Nyi Rangga.
„Kak Anggara …… apakah artinya ini”.
„Krepa, apa yang kau herankan. Dialah ibu Jaka Prasetya''.
Tiba-tiba Empu Krepa berkata setengah berteriak: „Kak Anggara …..
tidak tulikah saya ….. Atau mataku yang salah melihat orang".
„Tidak! Sekali-kali tidak!”
Empu Krepa menatap wajah Ki Rangga dan Nyi Rangga silih
berganti. Ki Rangga melawan tatapan Empu Krepa dengan tabah, tetapi
Nyi Rangga tunduk tak berani memandang Empu Krepa. Mukanya
nampak kemerah-merahan. Pemandangan diruangan itu menimbulkan
rasa heran pada sekalian hadirin. Kesunyian mencekam ruangan itu.
,,Ayah! Apakah artinya semua ini?'' terdengar cetusan kata dari
mulut Jaka Prasetya.
Tiba-tiba terdengar sedu yang tertahan.
„Krepa! Janganlah memandangku seperti ini. Kak Anggara mengapa
kau tak membunuhku saja. Bunuhlah saya kak! Karena sayalah kamu
menderita”. Demikian kata Nyi Rangga sambil menahan tangisnya.
„Lastri! Tenangkan hatimu! Aku akan mencoba untuk menerangkan
hal ini pada Krepa”.
Tetapi sebelum Ki Rangga membuka mulut untuk memulai
keteranaannya tiba-tiba dari arah luar terdengar suara sorak-sorai.
Semua orang yang ada didalam rumah itu segera bangkit menuju
pintu rumah. Apa yang mereka lihat betul-betul mengejutkan. Dari jalan
dimuka pekarangan itu mereka melihat berpuluh-puluh orang petani yang

75
memandang mereka dengan sinar mata yang berapi-api. Mereka
berteriak-teriak sejadi-jadinya.
„Usir manusia haram itu!"
„Rangga jahanam. Enyah kamu dari sini!"
„Rangga! Enyah kamu dari rumah yang telah kamu kotori”.
„Bunuh saja binatang itu!"
Alangkah marahnya Jaka Prasetya mendengar caci maki yang
ditujukan pada ayahnya itu. Dengan sigap ia segera meloncat kearah
gerombolan orang itu.
„Hai diam! Apakah kamu semua telah menjadi gila?”
„Ha, ha, ha, ha, ha …… Ha ha ha ….. Orang desa yang berkumpul
didepan rumah Ki Rangga itu tertawa bersaut-sautan.
„Amboi …… Lihat anak haram itu …… Tentu saja ia membela
ayahnya …… Ha ha ha ha ……. ha ha ha …..”
Bermacam-macamlah olok-olok petani2 itu pada Jaka. Kemarahan
Jaka tak dapat ditahan lagi. Dia segera meloncat kearah orang yang
paling ceriwis. Ditamparnya orang itu.
„Apa yang kamu katakan. Lekas ulangi!”
Melihat temannya ditampar oleh Jaka Prasetya petani2 itu menjadi
marah. Mereka bergerak untuk mengeroyok pemuda itu.
Pada saat dari jauh terlihat dua orang penunggang kuda yang
melarikan kudanya dengan pesat kearah rumah Ki Rangga. Melihat
keributan dimuka rumah Ki Rangga tiba-tiba salah seorang dari padanya
berteriak.
„Berhenti! Berhenti! Apakah kamu semua telah gila".
Suara itu bagaikan geledek kerasnya dan berwibawa. Semua orang
segera menoleh kearah suara itu. Seorang dari pada penunggang kuda itu
sangat aneh nampaknya. Rambutnya tak terurus. Sebagian besar dari
mukanya ditumbuhi rambut. Dialah orang aneh yang membunuh Kyai
Candra Ketu.
Yang seorang lagi seorang yang usianya sudah setengah umur.
Wajahnya sangat berwibawa. Matanya bersinar tajam. Dialah orang yang
berteriak tadi.
Tiba-tiba Jaka Prasetya berlari kearah orang itu dan kemudian
menyembah berkata:
„Gusti Pangeran Hamba Jaka Prasetya berdatang sembah”.
Siapakah gerangan orang itu? Orang itu adalah Pangeran. Danureja
seorang pangeran dari Mataram. Pangeran tadi memandang Jaka
Prasetya dengan tajam. Jaka Prasetya merasakan pandangan yang aneh
dari sinar mata Pangeran itu. Ia terpaksa menunduk tak berani beradu
pandang dengan mata Pangeran itu. Orang2 yang berkumpul disitu
memandang kedua orang itu dengan keheranan. Mengapa? Wajah kedua
orang itu —wajah Pangeran Danureja dengan wajah Jaka Prasetya sangat
mirip. Meraka hanya berbeda dalam usia. Tetapi ksemuanya itu tak

76
diperhatikan oleh sang Pangeran. Dengan nada tajm ia berkata
„Apakah kamu semua sudah gila? Apa yang kamu perbuat atas
pemuda ini? Tidak ingatkah kamu pada jasanya. Tak adakah diantaramu
yang mengenal siapa Jaka Prasetya itu? Kiranya kamu balas air susu
dengan air tuba”.
Keadaan dipekarangan itu sunyi senyap. Sunyi seperti dikuburan,
Semua petani2 tadi tunduk tak berani memandang Pangeran Danureja.
„Lekas minta ampun pada pemuda itu”. Terdengar teriakan yang
menggeledek.
„Ampun gusti pangeran. Ampunilah kami yang bodoh ini”. Demikian
terdengar salah seorang dari petani2 itu berdatang sembah. Kemudian
sambungnya. „Tetapi berilah kami keadilan pada orang yang telah
mengotorkan desa kami”.
Mendengar kata2 itu timbullah rasa heran dihati Danureja. Ia
segera membuka mulut untuk menanyakan hal itu. Tetapi sebelum ia
sempat berkata terdengar suara menyaut:
„Danureja! Pandai betul kamu memilih waktu untuk datang kesini.
Sungguh tepat kamu memilih waktu. Betul-betul tepat”.
Semua orang heran mendengar nada ucapan Ki Rangga yang
seperti memandang rendah pangeran Danureja. Pangeran Danureja
seperti tidak menghiraukan kata2 yang diucapkan oleh Ki Rangga. Ia
segera turun dari kuda dan berjalan mendekati Ki Rangga.
„Kak Anggara. Mana Lastri?
„Apa maksudmu menanyakan dia”.
„Aku ingin mengatakan sesuatu padanya".
Ki Rangga menyambut kata2 Pangeran Danureja dengan wajah
tawar.
„Lastri”. Terdengar Ki Rangga memanggil Nyi Rangga. Nyi Ragaga
nampak muncul diambang pintu dan …. bertemulah pandangan matanya
dengan pandangan mata Pangeran Danureja. Dengan cepat ia berbalik
kembali kedalam rumah.
„Lastri……. kasihanilah aku”. Terdengar Pangeran Danureja berkata
dengan nada memohon tanpa menghiraukan martabatnya sebagai
seorang pangeran yang diagung-agungkan dibumi Mataram. Semua
orang heran menyaksikan tindak tanduk Pangeran Danureja yang aneh
itu.
Lastri berhenti melangkah tetapi tidak menoleh.
„Apa yang akan kamu katakan padaku“.
„Sebetulnya tak ada muka bagiku untuk bertemu dengamu Tetapi
sekali ini aku harus memberanikan diri''.
Pangeran itu berhenti sejenak.
„Lastri apa yang akan kukatakan padamu hanyalah ……Berilah
ampun terhadap semua dosaku padamu". Sekali lagi Pangeran itu berkata
dengan nada memohon.

77
Sekali lagi Pangeran itu berkata tanpa menghiraukan martabatnya
sebagai seorang Pangeran. Sekali lagi semua orang nampak keheranan.
„Ampun? Mengapa kamu memintanya padaku' .
„Demi Allah, Lastri. Ampunilah segala dosaku padamu”.
„Mengapa kamu meminta ampun padaku. Dosaku belum mendapat
ampun, kini kau datang meminta ampun padaku''.
Pangeran Danureja terdiam.
Jaka Prasetya heran mendengar percakapan itu. Ki Rangga tegak
berdiri disamping isterinya. Semua orang yang ada disitu mendengarkan
semua percakapan itu dengan tidak mengerti.
Tiba-tiba terdengar Jaka Prasetya berkata setengah berteriak.
„Ayah. Apakah artinya semua ini? Jangan biarkan anakmu menjadi
gila menyaksikan semua ini”.
Ki Rangga tetap diam. Dia tetap berdiri tegak disamping Nyi
Rangga. Perhatian semua orang dicurahkan padanya. Kesunyian tetap
mencekam pekarangan rumah itu.
Tiba-tiba terdengar Ki Rangga berkata. Suaranya menggeledek.
„Betul katamu, Jaka. Kini tiba saatnya aku akan menjelaskan
semua hal ini padamu. Rahasiaku, rahasia ibumu dan rahasia kita”.
Ki Rangga diam sejenak. Kemudian :
„Jaka. Ketahuilah olehmu, Sebetulnya ….. aku …. bukan ayahmu
......”
„Apa kata ayah?”
„Aku bukan ayahmu”.
„Ayah ……..”
„Tulikah kamu Tidak mendengarkah kamu Ataukah suaraku yang
kurang keras".
„Ayah ……..”
„Aku bukan ayahmu”.
Jaka Prasetya bagaikan orang yang linglung. Ia tidak percaya pada
pendengarannya. Ia memandang sekelilig seakan-akan hendak bertanya
pada setiap orang yang hadir disitu.
„Jaka”. Terdengar Ki Rangga memecahkan kesunyian.
„Tahukah kamu siapa dia?" Berkata begitu sambil menunjuk pada
Nyi Rangga. Nyi Rangga tetap tidak beranjak dari tempat berdirinya.
„Dia. Lastri. Ibumu. Adalah adik kandungku".
Jaka Prasetya semakin bingung mendengar kata2 ayahnya yang
terakhir ini.
Kemudian sambil menunjuk pada orang2 yang habis memaki-
makinya Ki Rangga berkata :
„Inilah sebabnya mengapa mereka memandangmu dengan aneh.
Inilah sebabnya mengapa mereka mencaci makimu. Jaka, kalau Kyai
jahanam itu masih hidup ingin benar aku merobek-robek mulutnya.
Dialah yang menyebarkan kabar beracun ini, Huh. kiranya aku tiada

78
mengetahuinya. Dia mengatakan bahwa aku sampai hati ….. hidup ……
sebagai ….. suami isteri ….. dengan …… adikku — adik kandungku
sendiri”.
Ki Rangga diam sejenak. Kemudian : „Kyai jahanam itu
menghambur-hamburkan fitnahannya dengan mengatakan pada mereka
bahwa kamu dengan adikmu Sari adalah hasil dari perkawinan kami
kakak beradik. Mereka percaya. Mereka percaya pada setiap kata yang
diucapkan oleh Kyai keparat itu …….”
Kata-kata Ki Rangga itu betul-betul mengombang-ambingkan
perasaan Jaka Prasetya. Jika perasaan Jaka Prasetya dapat diumpamakan
sebuah perahu maka kata Ki Rangga itu bagaikan ombak bagaikan
gelombang samudra yang mempermainkan perahu tadi. Berbagai
perasaan silih berganti merajai diri Jaka Prasetya. Bigung, heran, terkejut
dan marah bercampur aduk jadi satu.
Sementara itu Ki Rangga masih terus berbicara dengan suara yang
tetap menggeledek.
„Sekarang kamu telah mengetahui mengapa mereka memanggil
„anak-haram” padamu”. Berhenti sebentar.Kemudian sambungnya
dengan nada yang rendah:
„Jaka. Kalau kamu ingin tahu sipa ayahmu yang sejati. Dialah
orangnya ……..”
Jaka Prasetya memandang arah yang ditunjuk olaeh Ki Rangga.
Betapa terkejutnya. Orang yang ditunjuk oleh Ki Rangga itu tak lain dan
tak bukan adalah Pangeran Danureja.
Jaka Prasetya memandang ayahnya dengan bingung.
„Dialah ayahmu yang sejati”. Demikian kata Ki Rangga selanjutnya.
„Dialah ayahmu yang sejati ….. Dialah ayahmu yang sejati……..
Dialah ayahmu yang sejati ……….” Demikian kata-karta itu terngiang-
ngiang didaun telinga Jaka Prasetya. Betulkah kata-kata yang
didengarnya itu. Sekali lagi ia tak percaya pada pendengarannya
„ Jaka! Mengapa tidak lekas-lekas kamu memberi hormat pada
ayahmu”.
Keadaan disekitar itu bertambah hening. Semua perhatian
dicurahkan pada adegan itu.
Jaka Prasetya tak tahu apa yang akan diperbuatnya. Dipandangnya
Pangeran Danureja, Dilihatnya Pangeran itu bagaikan orang yang
termenung. Jaka melihat wajah yang aneh pada Pangeran itu. Tak
tahulah ia perasaan apa yang terkandung didalamnya. Dengan langkah
yang ragu dia berjalan kedekat Pangeran itu.
„ Ayah …… Ayah ……. Terimalah sembah sungkemku”.
Jaka Prasetya berkata berlutut dihadapan Pangeran Danureja.
Tetapi pangeran itu tidak menunjukkan suatu reaksipun. Dari wajahnya
terlukis suatu perasaan yang hampa.
„Ayah? Kamu panggil ayah padaku” Jawab Pangeran Danureja.

79
Suara itu demikian perlahan sangat perlahan. Kalau pada saat itu
disekeliling tempat itu tidak sunyi senyap dan semua perhatian ditujukan
pada kedua orang itu maka suara itu tentu tiada terdengar.
„ Jaka!” Tiba-tiba Pangeran Danureja berkata dengan keras.
Suaranya berwibawa.
„Kamu orang tolol. Kau panggil ayah padaku? Salah! Sama sekali
salah. Bukankah seorang ayah itu harus memberi didikan pada anaknya?
Bukankah seorang ayah itu harus membceri bimbingan pada anaknya?''
Pangeran Danureja berhenti sejenak. Suasana tetap hening.
„Apa yang telah kuberikan padamu? Didikan? Bimbingan? Tidak.
Tidak Jaka. Tak satupun kuberikan padamu. Hanya derita dan air mata
yang kuberikan padamu. Kamu terlalu suci untuk memanggilku ayah.
Menyingkirlah. Jangan dekat-dekat padaku. Kalau tidak badanmu yang
suci itu akan dikotori oleh badanku yang penuh dosa ini …….”
Tiba-tiba pangeran mencabut keris yang diselipkan dipinggangnya.
Sebuah bayangan yang laksana kilat cepatnya bergerak menyambar keris
itu.
„Gusti Pangeran. Mengapa Gusti mengambil jalan sependek ini?"
Demikian bayangan tadi yang tak lain adalah orang aneh itu berkata.
„Mengapa kau halang-halangi maksudku? Bukankah tak berguna
lagi hidupku didunia inir”
„Gusti. Pendapat Gusti sama sekali tak benar. Bukankah tenaga
Gusti masih dibutuhkan oleh Sri Sultan Agung. Bila Gusti Pangeran
mengambil jalan yang sependek ini maka Sri Sultan Agung akan merasa
kehilangan. Bukan. Bukan hanya Sri Baginda. Bahkan seluruh Mataram
akan merasa kehilangan”.
Pangeran Danureja termenung mendengar kata-kata itu. Akhirnya
berkatalah beliau.
„Terima kasih, nak. Kamu telah membangkitkan kembali
semangatku”.
Kemudian berkatalah pangeran itu pada Ki Rangga:
„Kak Anggara. Peliharalah Jaka Prasetya seperti anak kakak sendiri.
Aku tidak cukup berharga untuk menjadi ayahnya. Demikian juga Sari
anakku yang kedua. Nah selamat tinggal, kak. Sampai berjumpa lagi”.

80
Kemudian tanpa menoleh lagi Pangeran Danureja berjalan menuju
kekudanya dan segera meloncat punggung kuda itu. Setelah itu
dipacunya kudanya untuk berlari meninggalkan desa Butuh.
Kemudian orang aneh itu segera membangkitkan Jaka Prasetva
masih berlutut.
„ Kartika. Sudahilah sandiwaramu”. Tiba-tiba terdengar Empu Krepa
berkata.
Mendengar perkataan Empu Krepa itu, orang aneh itu segera
mengusap-usap mukanya dan ……. muka yang penuh rambut itu seketika
menjadi bersih. Semua rambut yang „tumbuh" dimuka itu rontok.
Kemudian rambut dikepalanya diaturnya. Seketika disitu berdiri seorang
pemuda yang gagah dan berwajah tampan.
Tiba-tiba terdengar Dewi berkata : „Kak Kartika. Tega benar kamu
mempermainkan kak Candra”.
„Maafkan Dewi. Bukan maksudku untuk mempermainkannya”.
Ternyata pemuda itu adalah Kartika, tunangan Candra.
Jaka Prasetyapun terkejut.

81
„Oh kiranya kakak Kartika. Alangkah besarnya rasa terima kasihku
padamu. Kamu telah menolong ayah dari ancaman Kyai Candra Ketu".
„Sudahlah, adik. Jngan kita sebut-sebut soal budi''.
Sementara itu orang2 dari desa Butuh semula bermaksud mengusir
Ki Rangga sekeluarga karena hasutan Kyai Caindra Ketu kini telah mulai
memahami duduknya perkara. Mereka segera meminta maaf pada Ki
Rangga. pada Lastri dan pada Jaka Prsetya. Tentu saja Ki Rangga
menyambut permintaan maaf itu dengan ramah. Kemudian mereka
segera bubaran.
Malam harinya……
Rumah kediaman Ki Rangga nampak meriah. Para tetangga Ki
Rangga berdatangan di rumah pendekar itu. Disamping menyatakan
perasaan bersalahnya mereka juga bermaksud menjamu tamu Ki Rangga
yang datang dari Brang Wetan. Alangkah gembira mereka demi
mengetahui bahwa tamu itu tidak lain daripada saudara angkat Ki
Rangga.
Sari, Candra dan Dewi dengan dibantu oleh gadis2 didesa Butuh
sibuk menyiapkan santapan malam untuk dipenjamukan malam itu.
Sungguh berlainan suasana malam itu jika dibandingkan dengan
suasana pagi tadi. Dibandingkan dengan hari-hari kemarin Ki Rangga
nampak lebih gembira. Agaknya Ki Rangga merasa sedikit lega karena
beban yang menghimpitnya selama bertahun-tahun telah mulai
terungkap. Kabut yang meliputi diri Ki Rangga telah menipis. Dan apa
yang diceriterakan Ki Rangga malam itu akan mempertipis kabut itu.
Awal dari cerita Ki Rangga kepada para tetangganya sama dengan
apa yang pernah diceritakan pada Jaka Prasetya. Dan marilah kita ikuti
lanjutannya.
Kepedihan hati Anggara tak terkirakan. Kenyataan yang
dihadapinya betul-betul menyiksa dirinya. Sungguh tak pernah terpikir
olehnya, bahwa saingannya dalam bercinta justru laki-laki yang sangat
disayanginya.
Dengan pikiran yang tiada menentu pergilah ia menuruti kehendak
langkahnya. Hari demi hari dilampaunya diperantauan. Ia mengembara
terus mengembara selama luka dihatinya belum sembuh.
Pada suatu hari ketika sedang berjalan disebuah jalan didekat desa
Butuh Anggara melihat seorang wanita yang sedang duduk dibawah
sebuah pohon ditepi jalan itu. Entah karena apa ia merasa tertarik untuk
memperhatikan keadaan wanita ittu. Anggara segera berjalan mendekati
wanita tadi. Wanita itu ternyata sedang menyusui anaknya yang
nampaknya baru berusia beberapa bulan. Disamping wanita itu terbaring
tubuh seorang anak laki-laki. Anak itu menyandarkan kepalanya diatas
pangkuan wanita itu.
Keadaan wanita itu menimbulkan rasa haru dihati Anggara.
Diperhatikannya wanita itu. Tetapi betapa terkejutnya. Ia tak percaya

82
pada pandangan matanya. Selagi diperhatikannya wanita itu. Wanita itu
merasa kalau sedang diperhatikan. Iapun menengadah memandang
Anggara. Bertemulah pandang mareka, Dan kedua-duanya nampak
terkejut.
„Lastri ….. Adikku ……”
„Kak Anggara. Betulkah kamu ini kak?"
Wanita itu segera bangkit berdiri tanpa menghiraukan anaknya
yang sedang tidur nyenyak dipangkuannya. Dengan mengemban anaknya
yang baru disusuinya ia hendak berjalan mendekati Anggara. Anggara
segera mencegah.
Pertemuan sungguh mengejutkan mereka berdua. Wanita itu
ternyata adalah Lastri adik kandung Anggara. Anggara amat heran
bercampur terkejut menyaksikan keadaan adiknya.
Ia ingat perpisahan dengan adiknya tiga tahun yang telah lalu.
Lastri dipinang oleh seorang putra pangeran. Ia bernama Raden
Danureja. Tak lama sesudah itu kawinlah kedua orang muda-mudi itu.
Lastri dibawa ke Karta. Tetapi mengapa sekarang ia ada disini dalam
keadaan seperti itu.
Tetapi rasa heran itu segera berubah menjadi kemarahan setelah
mendengar cerita Lastri.
Setahun setelah Lastri hidup bersama-sama dengan Raden
Danureja ia dianugerahi Tuhan seorang putra. Tetapi disaat ia sedang
mengandung putranya yang kedua datanglah malapetaka baginya.
Raden Danureja mengambil seorang selir. Selir ini sangat jahat
sifatnya. Ia telah difitnahmja. dikatakan oleh selir itu bahwa anak yang
dikandungnya adalah hasil perhubungan gelap antara dia (Lastri) dengan
laki-laki lain. Entah karena apa Raden Danureja mempercayai fitnahan
itu. Raden Danureja sangat marah pada Lastri. Ia segera diusir oleh
Raden Danureja.
Dalam keadaan hamil tua ia segera berjalan pulang kedesa tempat
kelahirannya. Tetapi rumah itu ternyata dalam keadaan kosong. Tidak
hanya rumahnya saja bahkan rumah para tetangganya dalam keadaan
kosong.
Kiranya desa itu telah diserbu perampok. Cepat-cepat ia segera
meninggalkan desa itu dan bermaksud mencari kakaknya.
Segala macam penderitaan dialaminya disepanjang jalan. Tetapi
semua itu tak dihiraukannya. Hasratnya untuk berjumpa dengan
kakaknya sangat besar. Disebuah dusun ia mendapat pertolongan
seorang laki-laki untuk menginap dirumahnya.
Disitulah ia melahirkan putranya yang kedua. Bayi itu seorang
perempuan. Laki-laki itu sangat baik sikapnya. Tetapi ketika laki-laki itu
bermaksud mengambilnya sebagai isterinya maka malam harinya
bersama kedua orang anaknya dengan diam-diam ia meninggalkan laki-
laki itu. Dan kiranya Tuhan mempertemukan kedua orang kakak beradik

83
itu.
Alangkah sedihnya Anggara mendengar kisah adiknya itu. Maka
bersama-sama dengan adiknya beserta kedua orang kemenakannya, ia
segera menuju kedesa didekat tempat itu. Dan desa itu adalah desa
Butuh.
Mereka mengaku sebagai suami isteri. Anggara mengaku bernama
Rangga.
Pada suatu hari Anggara berjasa mengusir serombongan perampok.
Maka oleh kepala desa Butuh dihadiahi sebuah rumah. Selama duapuluh
tahun Anggara berdiam didesa Butuh. Dan selama itulah ia dapat
menyimpan rahasia tentang dirinya.
„Aku terpaksa mengaku Lastri sebagai isteriku. Hal ini terutama
untuk kepentingan Jaka Prasetya dan Sari. Lastri sangat takut kalau
anaknya menanyakan ayahnya. Untuk menjaga kemungkinan itu maka
aku harus mengaku sebagai suaminya. Aku harus mengaku sbagai bapak
dari anak-anak itu”. Demikian Ki Rangga menutup cerita.
Malam itu perjamuan dilanjutkan dengan penuh kegembiraan.
Setelah larut malam maka pulanglah para tetangga itu.
Setelah para tetangga pulang maka bertanyalah Ki Rangga tentang
Sariwati pada adik seperguruannya.
Karena Ki Rangga merasa tidak leluasa untuk menanyakan hal itu dimuka
para tetangga.
„Kak Anggara", demikian Empu Krepa memulai ceriteranya. „Tak
kusangka sama sekali kak bahwa kamu meninggalkan aku karena
Sariwati. Namun hal itu telah lampau dan sekarang Sariwati sudah tiada
lagi.
„Semenjak perkaiwinanku dengan kami hidup berumah tangga
dikaki gunung Kawi. Kami dianugerahi Tuhan tiga orang putera. Dialah
Candra, Bambang dan Dewi. Kami merasakan suatu keluarga yang
bahagia.
Tetapi datanglah mala petaka menimpa keluargaku. Pada suatu hari
didesa itu lewat sepasukan prajurit Belambangan. Mereka sedang dalam
keadaan marah. Agaknya pasukan itu habis dipukul mundur oleh tentara
Mataram. Pemimpin pasukan itu bernama Pangeran Cinde Kusuma.
Pada waktu itu Sariwati sedang berada ditepi sungai. Pangeran
Cinde Kusuma terkenal sebagai pangeran yang mata keranjang. Melihat
wajah Sariwati tertariklah ia. Tanpa sepengetahuanku Sariwati mereka
culik.
Dapatlah kau bayangkan betapa kemarahanku. Aku segera
menyusul ke Belambangan. Tetapi sesampai di Belambangan aku
mendengar kabar bahwa Sariwati telah membunuh diri ketika dipaksa
oleh Cinde Kusuma untuk dijadikan isteri.
Pada mulanya aku akan mendatangi gedung Pangeran Cinde
Kusuma. tetapi pada saat itu saya ingat bahwa pangeran mata keranjang

84
itu memiliki kekebalan yang hanya dapat dipecahkan oleh senjata yang
berasal dari wesi Belambangan. Maka tindakan itu segera kubatalkan.
Mulai saat itu aku segera berusaha untuk mendapatkan wesi aji itu.
Bertahun-tahun usahaku selalu gagal. Baru tahun yang lalu aku berhasil
memperolehnya. Aku membuatnya menjadi keris dan beberapa anak
panah. Baru saja keris itu selesai kubikin, datanglah seorang pemuda
dengan dendam kesumat yang berkobar-kobar didadanya. Dia juga
bermaksud membunuh Pangeran Cinde Kusuma. Pemuda itu juga
menjadi korban kebandotan Pangeran Cinde Kusuma. Sedang ayahnya
mati secara mengenaskan disebabkan memakan racun buatan Kyai
Candra Ketu atas perintah Pangeran Cinde Kusuma.
Dengan rela kuserahkan keris itu padanya untuk melaksanakan
pembunuhan itu, Usahanya berhasil. Tetapi apa lacur Kyai Candra Ketu
yang pada waktu itu kebetulan ada di Belambangan mengetahuinya. Ia
segera menghasut Raden Cinde Seta putra Pangeran Cinde Kusuma untuk
membunuhku dan membunuh pemuda tadi. Oleh karena itulah aku
terpaksa pergi meninggalkan desa dikaki gunung Kawi itu. Cerita
selanjutnya tanyakan pada Jaka”.
„Mengapa kamu rela menyerahkan keris yang kau bikin selama
bertahun-tahun itu pada pemuda tadi?" tanya Ki Rangga.
„Karena pemuda itu adalah Kartika”.
„Kartika?"
„Ya. Kartika. Calon menantuku", kata Empu Krepa. Dia diam
sejenak. Kemudian :
„Kartika beruntung bertemu dengan Resi Candra Kusuma kakak
Kyai Candra Ketu. Meskipun saudara kandung tetapi Resi Candra Kusuma
tidak menyetujui sepak terjang adiknya. Oleh karena tidak tega
berhadapan dengan adiknya maka resi yang malang itu menurunkan
semua kepandaiannya pada Kartika. Kartikalah yang disuruh menghadapi
Kyai Candra Ketu. Dan jerih payah Resi Candra Kusuma itu tiada sia-sia.
Kartika berhasil menyingkirkan Kyai Candra Ketu''.
Tiba-tiba bertanyalah Ki Rangga pada Kartika.
„Kartika. Aku merasa heran mengapa Danureja dapat mengetahui
bahwa aku berdiam disini. Dan aku merasa heran mengapa ia datang
hanya untuk meminta ampun. Peristiwa apakah yang mendorong dirinya
untuk berbuat hal yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang
bangsawan.
„Paman Anggara. Peristiwa ini kujumpai dengan tidak terduga-duga.
Selama beberapa hari yang akhir-akhir ini saya selalu mengikuti gerak-
gerik Kyai Candra Ketu. Pada mulanya saya mengira kalau dia akan
menuju kerumah paman. Dugaanku itu ternyata meleset. Dia menuju ke
Karta. Apa gerangan yang akan diperbuatnya disana? Aku sangat heran.
Tetapi setelah aku mengetahui apa yang diperbuatnya di Karta
terkejutlah saya”.

85
Sesampai di Karta Kyai Candra Ketu segera mendatangi gedung
Pangeran Danureja. Disana, ia langsung menjumpai Raden Ayu Sarwitri.
Hal yang mengejutkan saya ialah bahwa mereka merencanakan untuk
membunuh Pangeran Danureja. Mendengar maksud mreka itu aku segera
memberi kisikan pada Pangeran Danureja. Pada saat itu saya jumpai
Pangeran sedang melatih prajurit2nya. Beliau segera kubawa ketempat
kedua orang pengkhianat itu berunding. Untunglah perundingan itu belum
selesai. Alangkah marahnya Pangeran Danureja mendengar perundingan
itu. Hari itu juga beliau segera mengusir isterinya yang busuk itu. Adapun
Kyai Candra Ketu mula-mula akan melawan tetapi saya tidak tinggal
diam. Dia berhasil kuusir dan kukejar hingga sampai didesa ini.
Kartika diam sejenak. Setelah itu berkatalah ia :
„Semua peristiwa didesa ini saya ikuti. Selanjutnya paman
mengetahui sendiri. Namun saya masih tetap heran mengapa Gusti
Pangeran Danureja mengetahui bahwa bibi Lastri berada disini”.
„Akulah yang memberitahukan padanya", sela Ki Samun dengan
tiba-tiba.
Kini jelaslah sudah jalan peristiwa yang berbelit-belit itu. Jelas bagi
semua orang yang hadir disitu. Kabut yang meliputi keluarga Ki Rangga
telah musnah.
Keesokan harinya.
Suara ringkik kuda yang memecahkan kesunyian dipagi harl itu
betul-betul mengejutkan Jaka Prasetya. Ketika itu ia sedang berlatih
dengan Bambang Suteja.
Dia segera berlari kearah suara ringkik kuda itu. Ringkik kuda itu sudah
sangat dikenalnya. Dipekarangan dengan rumahnya Jaka Prasetya segera
berhadapan dengan seorang penunggang kuda. Orang itu mengendarai
seekor kuda yang berbulu putih. Alangkah terkejutnya Jaka Prasetya
demi mengetahui bahwa penung-gang kuda itu tak lain dan tak bukan
dari pada pamannya Waja Cempani.
Sementara itu ia melihat „ayahnya" muncul diambang pintu rumah
dibelakangnya terlihat Sari mengikuti.
„Putih ….. Oh Putih. Akhirnya kita berjumpa pula". Sari berlari
kearah kuda itu.
„Sari berhenti". Terdengar Ki Rangga membentak. Sari berhenti
berlari. Dipandangnya penunggang kuda putih itu. Mukanya segera
menjadi kemerah-merahan ketika ternyata bahwa penunggang kuda itu
belum dikenalnya.
Sementara itu Waja Cempani telah turun dari kuda putih itu.
„Biarkan dia melepaskan rindunya pada kuda ini kak".
„Apa maksudmu datang kesini.”.kata Ki Rangga dengan keras.
„Kak Anggara. Bila kakak masih mau menerimaku sebagai adik
maka akan kujalani sisa hidupku ini menurut nasehat kakak. Saya telah
memperoleh keyakinan bahwa semua kata2 kakak yang dulu itu benar

86
belaka”.
Ki Rangga terharu mendengar kata2 Waja Cempani.
„Waja Cempani. Bukankah dulu aku berkata padamu bahwa setiap
waktu aku bersedia menerimamu kembali?"
Mendengar jawab Ki Rangga segeralah Waja Cempani berlari
mendapatkan kakak seperguruannya itu. Sesampai dimuka Ki Rangga ia
segera merobohkan diri untuk memeluk kaki Ki Rangga.
„Kak Anggara. Saya tahu, kak. Bahwa dosaku ini tiada ampun.
Tetapi rupanya kakak masih mau memberi kesempakan untuk menebus
dosaku.itu".
„Waja Cempani. Tuhan adalah Maha Asih. Dia selalu memberi
penerangan kepada mahluknya yang tersesat untuk kembali kejalan yang
benar”. Terdengar Empu Krepa berkata. Agaknya dia telah terbangun
mendengar keriuhan pagi hari itu.
„Kak Krepa kiranya kamupun berada disini”.
Demikiainlah hari itu tiga saudara seperguruan yang dulu telah
bercerai-berai kini telah berkumpul kembali.
Hari-hari berikutnya rumah Ki Rangga yang tadinya sunyi kini selalu
diliputi oleh suasana yang gembira. Pendekar2 besar pada jaman itu
berkumpul dirumah itu.
Waja Cempani mengutarakan maksudnya untuk mengabdikan diri
pada Mataram. Hal ini disambut dengan gembira oleh Jaka Prasetya.
Keinsyafan Waja Cempani untuk berjuang membela negara akan
merupakan sumbangan yang tidak kecil bagi kekuatan pasukan Mataram.
Sementara itu baik Ki Rangga maupun Empu Krepa mengetahui
bahwa antara Jaka Prasetya dan Dewi terjalin hubungan asmara. Kedua
orang itu segera berunding untuk menentukan nasib kedua remaja itu.
Pendek kata Ki Rangga mengajukan lamaran pada Empu Krepa untuk
menjodohkan Dewi dengan Jaka Prasetya. Lamaran itu diterima dengan
gembira oleh Empu Krepa. Dan sudah barang tentu kedua muda-mudi
itupun menyetujuinya.
Dan berdasarkan persetujuan kedua belah fihak maka hubungan
antara Bambang dan Sari pun dibicarakan. Keputusan terakhir Bambang
dipertunangkan dengan Sari. Hal inipun disetujui oleh kedua orang muda-
mudi itu.
Sekali lagi suasana gembira meliputi rumah Ki Rangga. Mereka
betul-betul merasakan kegembiraan Kegembiraan yang mereka peroleh
setelah mengarungi berbagai-bagai kegetiran.

—TAMAT—

87

Anda mungkin juga menyukai