Anda di halaman 1dari 463
Orang Ketiga 1 Bagian 1 Patah. Aku menyaksikan sendiri bagaimana Adi memperlakukan Melati begitu lembut dan penuh cinta. Berbeda dengan caranya memperlakukanku. Sangat berbeda. Ya, kami ... aku-Anyelir, Adi dan Melati terikat dalam sebuah pernikahan yang sah secara hukum dan agama. Jika kalian bertanya siapa istri pertama Adi? Akulah istri pertamanya. Namun, siapa yang dicintai Adi? Maka jawabannya adalah Melati. Mengapa bisa begini? Semua berawal dari perjodohan yang dicetuskan oleh orang tua Adi dan orang tuaku. Akulah orang ketiga di hubungan Adi dan Melati. Aku hadir di antara kisah cinta mereka yang telah terjalin bertahun-tahun. Aku pun yang pada akhirnya dengan sadar mengizinkan Adi menikahi Melati, meski sejujurnya Adi tak benar-benar membutuhkan izinku. Lalu ... apa kabar dengan hatiku? Di suatu sore tiga bulan lalu. Tepat sebulan setelah pernikahanku dan Adi berlangsung, Adi menemuiku di kamar. Kami memang tidur terpisah, meski telah berstatus suami istri. Dan selama sebulan itu tak ada kontak fisik di antara kami, hingga detik ini. Entah, rumah tangga macam apa yang sedang kami jalani saat ini. "Anye, aku mau bicara," ucapnya saat itu. Wajahnya seperti biasa, datar tanpa ekspresi. Dua bulan aku mengenalnya sejak pertama kali bertemu, sebulan aku hidup dengannya, belum pernah sekalipun ia tersenyum padaku. Aku menghentikan kegiatanku membaca novel. Kutatap wajahnya sekilas, lalu beralih menatap jendela kamar yang mulai basah terkena percikan air hujan. "Ada apa?" "Aku akan menikahi Melati." Kata- katanya meluncur dengan lugas tanpa beban. Aku sudah tahu siapa sosok Melati itu. Saat pernikahan kami berlangsung, ia datang. Sepupu Adi yang memberitahuku betapa berharganya wanita itu bagi Adi. Aku kembali menatapnya. Kali ini sedikit lebih lama. Mencoba menggali celah keraguan di sana. Ah, tapi setelahnya aku sadar, Adi bukan sedang bertanya melainkan membuat pernyataan yang tak membutuhkan jawaban. "Nikahi saja dia," jawabku kemudian. Aku sadar, aku baru saja mengatakan hal yang mungkin untuk sebagian wanita begitu menyakitkan. Dimadu. Meski Allah memang memperbolehkan. Namun, dengan cinta Adi yang begitu besar pada Melati, jelas akan membuat sikapnya lebih condong pada Melati. Dan hari-hariku akan dihiasi dengan sikap ketidakadilannya pada kami. Tapi aku bisa apa? Selain setuju. Saat Ayah dan Bunda mengutarakan niatan mereka untuk menjodohkanku dengan Adi. Aku hanya bisa terdiam. Meski hati memberontak, namun bibir mengatup rapat. Karena aku sadar siapa diri ini di keluarga mereka. Aku-Anyelir yang saat ini menginjak umur 22 tahun dan menyandang gelar sarjana ekonomi, hanyalah anak angkat. Ayah dan Bunda yang selama ini kukira adalah orang tua kandungku, ternyata bukan. Mereka yang memiliki hati seputih kertas, dua puluh tahun lalu mengadopsiku dari sebuah panti asuhan. Dan keputusanku menerima perjodohan ini, kuanggap sebagai salah satu balas budiku pada Ayah dan Bunda, selaku orang tua angkatku. Orang tua yang dengan ikhlas dan penuh kasih membesarkanku hingga aku bisa berdiri tegak dan sanggup menghidupi diriku sendiri. "Dengan atau tanpa ijinmu, aku akan tetap menikahinya. Kamu tentu tahu, sebelum pernikahan bodoh ini terjadi, kami sudah menjalin hubungan bertahun-tahun. Jadi ... aku harap kamu mengerti posisimu." Aku masih menatapnya. Tidakkah Adi berbelas kasihan padaku sedikit saja? "Aku mengerti ... hanya saja aku memikirkan ke dua orang tua kita. Mereka pasti ...." Adi dengan cepat memotong perkataanku. "Rahasiakan ini dulu dari orang tuamu. Mereka tidak akan tahu jika kamu tidak mengatakannya. Untuk orang tuaku, biar aku yang mengurusnya." Aku mengangguk samar. Tak mampu lagi berkata-kata. "Melati juga akan tinggal di sini. Jadi, aku minta kamu bisa bersikap baik padanya." Setelah mengatakan itu, Adi pergi. Meninggalkanku dengan perasaan yang aku sendiri tak mampu menggambarkan. Kami baru saja menikah sebulan lalu karena perjodohan. Dan suamiku baru saja mengatakan akan menikahi kekasihnya. Meski belum ada cinta di antara kami, tapi bolehkah aku mengatakan jika aku terluka? Melati dengan telaten menyuapi Adi yang tengah terbaring di ranjang. Suami kami itu sudah terbaring selama tiga hari. Penyakit lambungnya kambuh. Berawal dari seringnya ia telat makan dan stres yang lalu membuatnya tumbang. Kami sudah menyarankan agar ia dirawat saja, namun ia bersikeras untuk tetap di rumah. Memilih memanggil dokter untuk memeriksanya dan perawat untuk mengganti botol infusnya jika habis. “Sudah cukup." Itu suapan kelima dari tangan Melati. Adi mungkin sudah merasa kenyang atau mungkin saja mulutnya belum enak makan. “Tapi ini baru sedikit, Di." Melati memprotesnya. "Aku kenyang, Sayang." Aku mendengarnya, karena aku memang duduk di sofa dekat jendela kamar mereka. Mengamati gerak-gerik suamiku dan maduku sejak tadi. Sayang... Kata ajaib yang entah kapan Adi akan mengucapkannya untukku. Sakit? Jangan tanyakan lagi. Sudah tiga bulan kami menjalani pernikahan poligami ini. Aku mungkin sudah terbiasa dengan rasa sakit yang aku tahu tanpa sengaja mereka ciptakan. Melati wanita baik. Kami hidup rukun sejauh ini. Wanita itu, dengan tinggi lebih sepuluh senti dariku, wajahnya ayu, pandai memasak dan selalu tersenyum. Aku mengaguminya. Aku mendengar sendiri bagaimana ia meminta Adi untuk tidur denganku. Meminta Adi untuk sedikit perhatian denganku. Namun, Adi tetaplah Adi. Ia adalah pria keras kepala. Ia tak akan menyentuh apa pun yang tak di sukainya. Termasuk aku, mungkin. "Sudah selesai ya." Aku beranjak, mendekati Adi dan Melati. "Biar aku bawa ke dapur." Aku mengambil piring dari tangan Melati. "Makasih, Nye." Aku mengangguk sekilas lalu pergi dari kamar itu. Kucuci piring bekas makan Adi tadi. Meletakkannya di rak piring. Kemudian berjalan menuju kamar mereka lagi. Langkahku melambat dan terhenti. Samar-samar aku mendengar pembicaraan Adi dan Melati. “Di, jangan terlalu acuh dengan Anye. Dia juga istrimu." Itu suara Melati. "Kamu tahu kan Mel, aku tidak mencintainya." Aku menyandarkan tubuhku di dinding kamar. Mendengarkan baik-baik percakapan mereka. "Iya, tapi syarat poligami itu salah satunya harus bisa bersikap adil. Dan kamu sekarang ini sedang tidak bersikap adil. Aku takut terkena dosanya juga, karena tidak bisa menasihatimu, Di." Lihatlah, betapa bijaksananya Melati. Pantas saja Adi begitu mencintainya. Aku memilih pergi dari kamar itu, melangkah menuju kamarku sendiri. Kami tinggal di sebuah rumah berlantai dua. Orang tuaku dan orang tua Adi sama- sama tinggal di Bandung. Kami sendiri tinggal di Bekasi. Aku memang merantau ke kota ini sejak awal lulus kuliah. Adi sendiri sibuk dengan usaha distro dan kafenya yang beberapa cabangnya sudah tersebar di Bandung, Bekasi dan Jakarta. Kulepaskan kerudung yang menutupi kepalaku, yang meski di dalam rumah selalu kupakai termasuk di depan Adi. Kupandangi wajahku yang ditumbuhi beberapa butir jerawat di dahi dan pipiku. Aku merabanya, jerawat besar yang tidak disentuh pun akan terasa sakit. Menambah poin ke tidak-cantikkan di wajahku kian meninggi. Tanganku kemudian bergerak mengambil obat jerawat yang teronggok di meja rias di depanku. Untuk selanjutnya mengoleskannya pada butiran-butiran jerawat yang sudah setia menemaniku sejak haid pertamaku saat aku masih duduk di bangku SMP. "Anye." Melati melongokkan wajahnya dari sebalik pintu. "Iya Mel?" Aku segera memakai kembali kerudungku. Melati melangkah mendekatiku. "Aku mau pergi, ada urusan sebentar. Titip Adi ya," katanya. Aku mengamati penampilannya yang telah rapi. Wanita cantik dengan pipi mulus tanpa noda itu, menggunakan gaun terusan selutut warna kuning. Kakinya dialasi flatshoes dengan warna senada dengan baju. Rambutnya dibiarkan tergerai. Tas kecil yang bertaburan mute yang tersampir di lengan kanannya, melengkapi penampilannya. Satu kata untuknya. Cantik. "Iya," aku menjawab singkat. "Ya sudah. Aku pergi." Melati melangkah pergi meninggalkanku di kamar ini dengan perasaan iri bercokol di hati. Aku segera mengambil gawai dan novelku lalu melangkah menuju kamar mereka. Kamar di mana Adi tengah berbaring. Kamar di mana suami dan maduku tidur bersama. Aku mendapati Adi tengah tertidur pulas. Mungkin efek dari obat yang baru saja diminumnya. Aku melirik jam yang terpasang di dinding kamar. Masih pukul delapan pagi. Dan sekarang adalah weekend, jadwalku libur kerja. Sejujurnya aku ingin pergi, sekedar makan di luar untuk menyegarkan pikiran. Tapi apalah daya, nyatanya keadaan membuatku harus bertahan berada di satu ruangan dengan pria yang statusnya sebagai suamiku namun tak pernah menganggapku istrinya. Begitu yang kurasakan selama ini. Kubuka gawaiku. Membaca pesan yang baru saja masuk. Marta Nye, besok ada meeting jam 7 pagi. Pesan dari Marta, rekan kerjaku. Aku segera membalasnya, OK. Aku bekerja sebagai staf gudang di sebuah pabrik garmen. Sudah satu tahun aku bekerja di sana. Dan Marta adalah satu- satunya sahabatku. Kami sering menghabiskan waktu bersama, untuk sekedar nongkrong dikafe atau pun bergelung di balik selimut saat weekend setelah malamnya kami menonton drakor secara maraton. Aku kembali menekuri novel milik Bunda Asma Nadia berjudul Surga Yang Tak Dirindukan. Kisah yang mungkin hampir sama dengan kisah pernikahanku. Setidaknya aku butuh referensi di kehidupan rumah tanggaku. Meski yang paling tepat kita mencontoh kehidupan Rasulullah, tapi tak apa kan kita membaca kisah yang ditulis oleh manusia biasa? Setidaknya aku punya gambaran. Jam sudah bergerak menunjuk pukul sembilan pagi. Dan itu artinya aku sudah menemani orang tidur selama satu jam. Aku sendiri masih fokus dengan novelku. Merasa netraku mulai lelah, aku beralih menatap pekarangan rumah bagian belakang. Di sana terhampar taman mungil di samping kolam renang. Lalu mengamati sudut taman di mana terdapat gazebo yang menjadi tempat favoritku selama di rumah ini. Tempat di mana aku sering menghabiskan waktu seorang diri. Menangis, tertawa, bahkan tak jarang aku sering ketiduran di sana. Aku menoleh pada Adi yang samar kulihat bergerak kecil. Pria itu menggeliat. Dia lantas membuka matanya perlahan. "Apa yang bisa kubantu?" Adi terlihat memosisikan dirinya bersandar di kepala ranjang. Aku masih diam di tempatku, hanya mengamatinya. "Melati mana?" Bahkan menjawab pertanyaanku saja, dia enggan. "Belum pulang." Hening. Aku masih di tempatku dan Adi entah tengah memikirkan apa, ia hanya menatap langit-langit kamar. Kali ini aku membuka gawai. Melihat akun IG-ku. Entah ingin melihat apa, jariku hanya menggulir layar dengan gerakkan naik turun dan sesekali bergeser ke kanan maupun ke kiri. Saat bersama Adi, aku mendadak menjadi wanita pendiam. Lagi pula percuma juga bicara jika diacuhkan. Adi menurunkan kakinya. Ia berdiri perlahan. "Mau ke mana?" Adi masih diam. Tapi, langkahnya perlahan menuju kamar mandi yang masih menyatu dengan kamar. Aku berjalan mendekati, hendak membantunya. Namun, belum juga tanganku menyentuhnya, aku melihat gerakkan tangannya yang tak ingin dibantu. Aku diabaikan lagi. Aku mematung di tempat, membiarkannya menuju kamar mandi seorang diri. Aku masih saja berdiri di tempat tadi Adi menolakku, entah apa salah dan dosaku hingga mendapatkan suami macam Adi. Adi tidak kasar secara verbal dan fisik. Hanya ia terlalu abai terhadapku. Membuatku seperti sosok tak kasat mata di hadapannya. Adi keluar. Perlahan melangkahkan kaki menuju ranjangnya. Ia kembali menyandarkan tubuhnya. Mengabaikanku, yang masih memperhatikannya sejak tadi. "Melati yang memintaku menjagamu." Akhirnya aku bicara. Mencoba setenang mungkin, menahan gejolak amarah yang mulai merongrong rongga dadaku. "Aku bisa sendiri." Adi menjawab tanpa melihatku. "Baik." Aku berbalik menuju sofa. Mengambil gawai dan novelku lalu meninggalkan kamar, berjalan ke kamarku yang berada tepat di samping kamarnya. Brakk! Kututup pintu dengan kasar. Seolah ingin memberi tahu pada Adi tentang kemarahanku. Meski aku tahu, itu percuma. Bagian 2 Braakk! Kututup pintu dengan kasar. Seolah ingin memberi tahu pada Adi tentang kemarahanku. Meski aku tahu, percuma. Aku tertidur hingga kudengar suara azan zuhur berkumandang setelah menahan kemarahanku pada Adi. Ah, mengingat laki-laki itu membuatku frustrasi. Haruskah aku mengatakan tentang semua ini pada Ayah dan Bunda? Aku menggelengkan kepala. Meyakinkan diri untuk tetap melanjutkan pernikahan yang- kata-Adi-bodoh ini. Biarlah aku merana asal orang tuaku bahagia. Hidup bukan sekedar membahagiakan diri sendiri bukan? Aku beranjak melangkah menuju kamar mandi. Membasuh muka, berkumur, menatap pantulan wajahku di cermin sebentar lalu mulai berwudu. Aku bukan wanita super religius tapi aku tahu kewajibanku sebagai Muslimah. Shalat membuatku merasa lebih tenang dan damai. Yang di akhir salam aku bisa mencurahkan segala bentuk masalah yang tengah kuhadapi pada Sang Pemilik Hidup- Allah. Selesai melipat mukena lalu meletakkannya kembali di atas nakas. Aku keluar kamar bermaksud mengambil minum. Baru saja kakiku menginjak tangga nomor pertama, sebuah pemandangan yang tak mengenakkan menyapaku. Adi tengah tiduran di pangkuan Melati. Sedang Melati dengan lembut membelai rambutnya. Kuhembuskan napas berat, menyiapkan hati untuk melanjutkan langkah menuju dapur yang harus melewati dua sosok di ruang tengah ini. Melati melihat ke arahku begitu menyadari kehadiranku. Ia tersenyum. "Nye." "Sudah pulang, Mel?" "Sudah, aku beli makanan untukmu. Makanlah." Aku yang masih berdiri di samping sofa melihat sekilas ke arah meja makan yang tak jauh dari sini. Ada bungkusan plastik terdampar di sana. "Makasih." Tanpa menunggu jawaban dari Melati, kulangkahkan kaki menuju lemari pendingin. Mengambil sebotol air. Meraih gelas di rak lalu menuju meja makan. Sekilas kulihat Adi dan Melati yang saat ini sudah merubah posisi. Adi sekarang duduk bersandar di sofa. Dan baruku sadari, selang infus sudah tak terpasang lagi di tangannya. Mungkin sudah dilepas tadi sewaktu aku tidur tadi. Turut senang karena Adi ternyata telah sembunh. Itu artinya aku akan kembali mendengar suara khas Melati di malam hari. Suara yang membuat bulu kudukku merinding. Kalian tahu maksudku kan? Kubuka bungkusan di hadapan. Ayam goreng kalasan, lengkap dengan lalapan dan sambal. Setelah minum, kumakan juga makanan yang dibelikan maduku ini. "Aku mau teh, Sayang." Kudengar Adi berbicara. "Sebentar ya." Itu suara Melati. la beranjak dari duduknya. Melangkah menuju dapur. Aku diam, pura-pura saja tak mendengar percakapan mereka. "Nye, kamu mau teh juga?" Melati menawariku. Kulihat tangannya tengah sibuk memotong lemon. Adi memang suka lemon tea. "Nggak, Mel. Makasih," tolakku. Hening. Melati telah selesai membuatkan pesanan Adi. Aku sendiri telah selesai makan. Setelah membuang bungkus makanan, meletakkan kembali botol minum lalu mencuci tangan dan gelas. Aku kembali melewati dua orang yang sejak tadi kudengar tertawa dengan renyah. "Sini Nye!" Melati memintaku bergabung dengannya dan Adi. Aku melirik Adi sekilas. Pria itu fokus menatap layar yang tengah memutar adegan romantis film Titanic. Film kesukaan Melati. Entah sudah berapa kali maduku itu menontonnya. "Aku mau pergi." "Mau ke mana?" "Menenangkan pikiran," jawabku jujur. Kutinggalkan dua orang itu, tanpa menunggu tanggapan mereka. Masih bisa kudengar Adi berbicara rencananya ingin memiliki anak. "Kita akan punya anak lima." Tanpa bisa kucegah, ada yang berdenyut nyeri di dalam sana. "Besok jangan sampai telat, nanti kamu kena semprot si bos lagi." Marta mengingatkanku. Kami tengah duduk berdua di kafe yang menyatu dengan gedung toko buku terbesar di kota ini. Tidak sengaja ketemu, aku sedang mencari novel yang menurutku menarik saat tiba-tiba seseorang menepuk bahuku pelan. Marta, gadis ayu dari Medan yang menjadi rekan kerja sekaligus sahabatku, tersenyum. Dan setelahnya kami duduk di sini sekarang. Tadinya aku berpikir akan duduk sendiri di kafe ini. Berteman novel. Dan hujan yang masih intens menyapa bumi. Tapi Tuhan mengirimku seseorang. Marta si gadis semampai dengan rahang dan suara keras. Darah bataknya mengalir sempurna di tubuhnya. "Iya tahu," jawabku sembari menyomot donat yang tersaji di meja. Lalu memasukkannya ke mulut. "Bang Simon melamar aku kemarin, Nye." Marta mengatakannya dengan wajah berbinar. Aku pun tak kalah senang mendengarnya. "Alhamdulillah!" responsku antusias. "Kelihatannya, dia orang yang tanggung jawab." "Semoga." Aku menggenggam tangannya erat. Berusaha meyakinkan tentang pilihannya. Jika Simon memang benar-benar berbeda, dalam arti kata lebih baik dari Adi. "Masih mau bertahan?" Marta tahu semuanya tentang pernikahanku. Aku selalu bercerita apa pun padanya. "Apa ada pilihan lain. Apa aku boleh egois, Ta?" Ada rasa keputus-asaan di ucapanku. Marta mengembuskan napas pelan. "Terkadang memikirkan perasaan sendiri itu perlu, Nye. Kamu berhak bahagia." “Dengan mengorbankan perasaan orang tuaku?" Di kampungku perceraian adalah aib. Aku tentu tak ingin mengotori wajah orang tuaku. "Mereka pasti akan mengerti. Bicaralah dengan orang tuamu. Jangan pikul beban ini sendiri, Nye." Aku mengerti Marta menginginkanku bahagia. Sore itu aku pulang ke rumah dengan ucapan Marta yang masih terngiang-ngiang di kepala. Hingga malam saat mataku, kupaksa terpejam. tik Hari-hari berikutnya masih sama. Aku sibuk bekerja dan Melati pun sama. Maduku itu bekerja di sebuah bank swasta. Sedangkan Adi, sudah dua hari ini, suami kami itu berada di Bandung. Mengawasi cabang baru kafenya. Kalau untuk itu, aku turut senang. Sejauh ini, Adi selalu memberiku nafkah lahir secara cukup. Itu salah satu alasan aku masih bertahan di sisinya. "Nanti sore Adi pulang," ucap Melati memberi tahu. Kami sedang sarapan bersama. Pukul 6.30 pagi saat ini. Aku melihat Melati sekilas. Lalu kembali fokus pada nasi goreng di depanku. “Aku mungkin akan pulang malam." Aku memilih tak menanggapi ucapan Melati tentang kepulangan Adi. Buatku itu bukan sesuatu yang perlu atensi berlebih, karena seperti yang sudah-sudah, Adi hanya akan membelikan buah tangan untuk Melati. “Mau ke mana?" Melati menatapku penasaran. "Ada perlu," jawabku singkat. "Hati-hati saja, kalau gitu." Aku melihatnya, berkata sembari tersenyum. Sejujurnya aku benci saat Melati memperlakukanku dengan baik seperti ini. Tidakkah ia ingin memiliki Adi seutuhnya dan menyingkirkanku? Wanita itu selalu bersikap baik. Meski aku secara sadar sering berkata dingin padanya. kek Aku memarkirkan motor di rumah Adi tepat saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Sepulang kerja aku menemani Marta berbelanja keperluan pernikahannya. Semua atas permintaan Simon. Dan aku dengan senang hati melakukannya, tentunya. Jadilah, hingga malam aku baru tiba di rumah. "Dari mana?" Suara berat itu menyapaku tepat saat aku akan memasuki pintu kamar. “Pergi dengan Marta. “Sampai malam begini?" Aku menatapnya heran. Kuyakin dahiku saat ini tengah berkerut indah. Tumben sekali Adi menanyaiku seperti ini. "Iya." Aku berbalik badan, bersiap masuk, saat detik berikutnya ucapan Adi menahan lajuku. "Aku belum selesai bicara." Aku menoleh. Menatapnya dengan penuh tanda tanya. “Besok kita pulang ke Bandung. Ibu sakit." Ibu yang dimaksud adalah Ibu mertuaku. "Sakit apa?" “Darah tingginya kambuh." Adi menjawab dengan pelan. "Besok kita berangkat pagi. Jadi, siapkan barang-barangmu malam ini juga." “Melati juga ikut?" Meski ragu akhirnya kulontarkan juga pertanyaan ini. Adi menatapku tajam. "Apa perlu aku jawab?" "Aku hanya memastikan. Karena setauku, istrimu itu dia. Aku di sini bukan siapa- siapa." Aku mengucapkan apa yang selama ini mengganjal di hati. Adi terdiam. Kami saling melempar tatapan tajam. "Aku akan pulang ke rumah Mama. Sudah waktunya mereka tahu tentang semua ini." "Jangan bertingkah. Ibuku sedang sekarat, kamu ingin melihatnya meregang nyawa!" Kilat amarah tergambar jelas di wajah Adi. "Dan kamu ingin aku mati perlahan karena terus menerus tidak dianggap istri olehmu, begitu?" Adi terdiam. Perlahan tatapan tajamnya memudar. Meski masih sama dinginnya. "Kenapa diam?" “Kamu ingin aku anggap sebagai istri?" Kali ini Adi tersenyum menyeringai. Senyuman yang menurutku menyeramkan. “Apa maksudmu?" Adi mendorongku masuk ke kamar. Masih dengan seringainya ia mengunci memutar kunci perlahan. "Kamu yang memaksaku melakukan ini." Aku berdiri mematung tak jauh dari Adi. Hingga pria itu berjalan mendekat. Menarik tubuhku cepat menempel ke tubuhnya. Otakku mendadak buntu tanpa berusaha mencegah saat Adi kemudian menempelkan bibirnya di bibirku dengan kasar. Aku mengerjap beberapa kali. Tak percaya dengan apa yang Adi perbuat. Lalu, tangan Adi yang kini meraba dadaku membuatku tersadar akan apa yang terjadi. Mendadak aku merasa takut, Adi akan mengambil haknya secara paksa. Meski selama ini aku memimpikannya, tapi jelas saat ini aku tak rela, karena kutahu Adi sedang emosi. Aku ingin kami melakukannya atas dasar cinta. Aku mendorongnya sekuat tenaga, meski hal itu tak membuatnya menjauh dariku. "Mmmmmppphhh ...." Aku ingin bicara di tengah ciuman kasar Adi. Tapi yang kudengar justru suaraku yang mirip dengan suara-suara Melati di malam hari. Kucoba menghalangi gerakan tangannya yang semakin bergerilya dengan liar. Kancing kemejaku bagian atas sudah terlepas. Kini tangannya benar-benar menyentuh tubuhku. Tubuhku merespons, ada perasaan menolak sekaligus menerima secara bersamaan. Adi mendorongku jatuh ke ranjang. Bibir kami masih bertautan. Kurasakan tangannya kini sudah sampai ke perut. Semakin ke bawah. Mencari kancing celana bahanku. Tanganku seketika mencoba menghentikannya. Namun gagal. Adi berhasil membuka dan menurunkan hingga sebatas paha. Kucoba menghentikan aksinya dengan menarik rambutnya keras. Berhasil. Adi melepaskan ciumannya. Kami saling menatap. Kulihat gairah telah mengurungnya. Aku menggeleng pelan. Mataku telah basah, menahan air mata yang ingin melesak keluar. Adi memejamkan mata. Lalu bangkit dari atas tubuhku dan duduk di bawah kakiku. Seketika perasaan lega menghampiriku. Aku mengikutinya duduk. Meraih selimut untuk menutupi tubuhku yang terbuka karena ulahnya. "Aku tidak ingin kamu melakukannya karena emosi. Terlebih lagi tanpa cinta," kataku lirih. Adi menatapku sekilas lalu meremas rambutnya kasar. "Karena jika sampai aku mengandung anakmu dan ternyata kamu belum mencintaiku, itu hanya akan membuatku semakin terluka." "Kamu mau aku bagaimana?" “Tanyakan itu ke hatimu. Seberapa penting aku di hidup kamu?" Bagian 3 Tepat pukul tujuh pagi Aku dan Adi telah bersiap menuju Bandung. Selesai sarapan bersama, Melati mengantar kami hingga ke teras. "Hati-hati ya," pesannya pada kami dengan senyum yang tak pernah luput ia tampilkan. Adi memeluknya erat. Seperti tak ingin berpisah dengan istri kesayangannya itu. Aku? Tentu saja aku merasa sedikit kesal. Melati mengurai pelukan mereka lebih dulu. Mungkin karena merasa tak enak dengan wajahku yang mulai cemberut. "Kamu juga hati-hati di rumah. Kabari aku segera kalau ada apa-apa," pesan Adi. Tangannya masih menggenggam jemari Melati. Melati mengangguk patuh. Kemudian pandangannya beralih padaku, "Nye, titip Adi ya." Aku sebal Melati mengatakan kalimat itu lagi. Seolah-olah aku ini babysitter-nya Adi. "Tergantung orangnya," jawabku. "Terakhir kamu bilang begitu waktu dia sakit. Nyatanya dia nggak butuh bantuanku. Jadi kali ini, aku yakin dia juga nggak butuh bantuanku, karena dia benar-benar sehat," ujarku menatap Adi kesal kala mengingat kejadian waktu itu. Adi menatapku tak suka. Sementara Melati masih saja tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin heran atau apa dengan sikapku dan Adi yang seperti bocah. "Di ... ingat dia juga istrimu." Aku tersenyum getir mendengar kalimat itu. "Hm." "Ya sudah, sana berangkat. Kasihan Ibu sudah menunggu." Aku dan Adi akhirnya berangkat menuju kota kembang. Kota di mana aku terlahir dan dibesarkan. Aku telah menghubungi bosku, meminta cuti dua hari untuk perjalanan ini. Satu jam perjalanan kami sama-sama terdiam. Aku menyibukkan diri dengan gawai di genggaman. Membuka sosmed, membalas pesan dari bosku dan Marta lalu beralih berselancar di youtube. Sesekali kulirik Adi yang fokus kejalanan. Adi memang memesona. Kulitnya putih bersih. Hidungnya tegak berdiri. Mata kecokelatan dengan alis tebal yang hampir menyatu. Badannya memang tidak sixpack tapi cukup ideal. Bahunya yang lebar dengan bobot tubuh yang pas membuatnya terlihat maco. Setidaknya, begitu menurutku. "Kenapa? Aku tampan ya," katanya penuh percaya diri. Ia menatapku sekilas lalu kembali fokus ke jalanan. Aku menghentikan aksiku memandanginya. Kualinkan kembali wajahku pada layar gawai tanpa membalas ucapannya. "Kenapa diam saja?" "Nggak apa-apa.” "Kamu lapar?" Aku menatapnya heran. "Nggak." Please Di, kamu nggak perlu pura-pura peduli. "Nanti ... bersikaplah sewajarnya seperti seorang istri." Adi menasihatiku seolah dirinya tanpa cacat. Lupakah dia, bagaimana dia memperlakukanku selama ini? "Bukannya kamu yang selama ini nggak menganggap keberadaanku.”Aku balik menyerangnya. "Berhenti menyela saat aku sedang bicara, Anyelir. Tidak bisakah kamu menjawab iya!" "Tidak bisakah kamu menganggapku sebagai istri sungguhan? Apa kamu tahu rasanya berkali-kali diabaikan? Kamu itu egois, Adi! Kamu memperlakukan Melati begitu baik. Tapi denganku kamu..." "Cukup!" Bentaknya lagi. "Kamu laki-laki nggakberperasaan yang pernah kutemui. Aku semakin yakin akan mengurus perceraian kita." "Jangan macam-macam kamu!" "Sebutkan alasan yang tepat untukku mempertahankan pernikahan bodoh ini." Aku menatapnya tajam. "Setidaknya tunggu sampai Ibu pulih, Anyelir." "Baik. Selama aku menunggu aku akan kos sendiri. Sudah cukup rasanya aku menyaksikan keromantisan kalian." Tak disangka, Adi tersenyum. Senyum mengejek lebih tepatnya. "Jadi, kamu cemburu?" "Cemburu terlalu mahal kulakukan untukmu. Aku hanya tidak suka diperlakukan berbeda." "Kamu tentu tahu alasannya mengapa aku begini." Aku tahu ... Adi hanya mencintai Melati, namun tidak denganku. "Baik. Aku pastikan kita akan bercerai secepatnya." Aku berkata penuh keyakinan. Lagi, Adi tersenyum mengejek. "Lakukan sesukamu, tapi tunggu sampai Ibu benar- benar pulih." Dua setengah jam perjalanan kami sampai di rumah Ibu mertuaku. Kami turun dengan membawa serta barang bawaan kami. "Selamat siang A adi, Teh Anye." Teh Fitri, ART di rumah Ibu menyambut kami ramah. Tangannya dengan cekatan mengambil alih barang bawaan kami. Membawanya masuk ke dalam. Aku dan Adi bergegas memasuki kamar Ibu setelah mencuci tangan dan kaki. Terlihat Ibu tengah berbaring dengan mata terpejam. Tangan kanannya terdapat selang infus. Di sampingnya Bapak tertidur dengan posisi duduk dengan kepala bersandar di kasur. "Kenapa tidak dirawat di rumah sakit saja?" tanyaku pada Adi. "Bapak maunya dirawat di rumah." Bapak terbangun mendengar kedatangan kami. Berdiri dari duduknya, ia memeluk kami bergantian sembari tersenyum. "Istirahat dulu. Kalian pasti lelah," saran Bapak yang kembali duduk di samping Ibu. "Nanti. Pengin lihat Ibu dulu, Pak." Adi berdiri di samping Bapak lalu mencium kening Ibu lembut. "Maafin Adi, Bu. Adi baru sempat kesini," ucapnya lirih. Baru kali ini aku melihat wajah sedih Adi. Sisi lain dari Adi yang membuatku tersentuh tapi sama sekali tidak mempengaruhi keputusanku untuk berpisah darinya. "Bapak sudah makan?" Bapak menatapku sembari tersenyum kecil, "sudah, Neng," jawabnya pelan. "Neng istirahat dulu saja. Nanti kalau Ibu bangun, bisa kesini lagi." Aku mengangguk patuh. Lalu meninggalkan kamar Ibu, menuju kamar di mana Teh Fitri meletakkan barang bawaanku. Tentu saja akan menjadi kamar tidurku dan Adi selama dua malam ke depan. Tidak mungkin juga kami tidur terpisah. Aku memutuskan untuk tidur. Perjalanan 2,5 jam cukup membuatku merasa kelelahan. Belum lama rasanya aku terlelap, terdengar pintu dibuka oleh seseorang. Enggan rasanya membuka mata, aku memilih melanjutkan tidur. Sampai aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku. Kubuka mata perlahan dan mendapati sebuah wajah yang begitu kukenal berada tepat di depan wajahku. "Mau apa kamu?" Aku terlonjak kaget. Duduk seketika dan menjauh darinya. Adi berdecak dengan raut wajah masih tak bersahabat. "Tidur di sofa. Ini ranjangku." Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidurku. Mengerjap tak percaya dengan pendengaranku. "Cepatlah, aku ingin istirahat. Tunggu apa lagi," usirnya lagi. "Maksud kam--" "Ck. Kamu belum paham juga? Maksudku kamu tidur di sofa sana." Adi mengarahkan dagunya pada sofa di dekat jendela. "Ini ranjangku, jadi yang berhak tidur di sini tentu saja aku." Aku menatap tak percaya pada pria di depanku ini. Sungguh Adi benar-benar pria tak berperasaan. Baiklah, aku mengerti ia tak menginginkanku dihidupnya, tapi bukan berarti ia menyuruhku tidur di sofa, sedangkan ia dengan nyaman tidur di ranjangnya. Jika Adi tak menganggapku sebagai istrinya, anggaplah aku sebagai seorang wanita yang mungkin akan merasa tidak nyaman tidur di sofa. Aku memilih diam tak menanggapi ucapannya dan segera beranjak menuju sofa. Dan tanpa bisa kutahan lagi. Butiran bening meluncur bebas dari sepasang mataku. Iya ... selemah ini memang diriku. Aku menyuapi dengan telaten Ibu mertuaku. Beliau sudah lebih baik sekarang. Sudah bisa duduk dan berbicara meski kurang begitu jelas. Adi duduk di bibir ranjang di bawah kaki Ibu. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali sinetron kesukaan Ibu, Tukang Ojek Pengkolan. Aku memilih menjadi pendengar. Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Adi pada Ibu, pasti aku tak percaya jika orang lain mengatakannya. Aku merasa Adi memiliki kepribadian ganda. Yang sewaktu-waktu sikapnya bisa berubah seketika. Pukul sembilan malam, setelah makan malam dan salat Isya, kami memasuki kamar. Aku yang tahu diri langsung saja duduk di sofa dan menyibukkan diri dengan gawaiku. Dan Adi kulihat tengah duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Jemarinya sibuk menari-nari di layar gawainya. Bisa kutebak, saat ini Adi sedang ber- chat ria dengan Melati. Aku meng-up/oadsebuah foto siluet diriku di pantai saat melihat sunset ke akun sosmedku. Mengetikkan sebuah caption yang memang menggambarkan isi hatiku malam ini. Jika tak bisa membuatnya bahagia. Setidaknya jangan membuatnya menangis Setelahnya aku memilih meletakkan ponsel di nakas dan berbaring. Berharap esok hari semua kesakitan ini akan menghilang. Aku terbangun pukul tiga pagi. Hawa dingin begitu menusuk hingga ke tulang, membuatku enggan melangkahkan kaki untuk mengambil wudu. Setelah berperang dengan diri sendiri, akhirnya dengan langkah berat, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Melewati ranjang di mana Adi tertidur, sekilas kulirik pria itu yang tengah terlelap dengan memeluk guling. Dengkuran halus terdengar di pendengaranku. Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Gosok gigi, lalu mengambil wudu. Selesai salat aku bertadarus. Membaca surat Ar-Rahman membuat batinku gerimis. Surat yang bermakna seolah menamparku untuk tetap bersyukur dalam keadaan apa pun. Bersyukur ketika masih diberi hidup layak meski tak sering diabaikan oleh Adi. "Sodaqallahul'adzim." Kupeluk dan kuciami penuh syahdu mushaf ber-cover keemasan ini. Obat dari segala kegundahan, penawar dari segala kesulitan. "Sudah bangun?" Suara Adi menahan tanganku untuk membuka mukena. Aku menoleh, pria itu sudah duduk bersandar di kepala ranjang, tengah menatapku. "Iya." Aku menjawab singkat. Seketika aku ragu akan melepas mukena di depannya. Bukan apa-apa, hanya sering diabaikan membuatku menganggap Adi seperti orang asing. Jadi, aku merasa enggan menampakkan kepalaku tanpa kerudung. "Belum selesai?" Adi bertanya dengan bingung. Mungkin karena melihatku yang justru melamun. "Sudah." "Kenapa tidak dilepas?" Aku menggigit bibir bawahku. Bingung harus menjawab apa. Rasanya tak mungkin aku bilang malu pada suamiku sendiri memperlihatkan kepalaku tanpa tertutupi kerudung. "Ttu ...." "Malu karena ada aku?" tebaknya. Adi beranjak dari ranjang dan berjalan menghampiriku. "Aku suamimu, bukan?" tegasnya saat sudah di depanku. Aku menatapnya. Adi Hutomo Putra, ia tengah tersenyum kecil padaku. "A—ku...." Bibirku mendadak kaku untuk berkata-kata. "Aku berhak melihatnya bukan?" Aku mencoba mengartikan perkataan Adi. Ah, mungkinkah ia sedang diselimuti gairah? Mendadak aku bergidik ngeri. Hampir setiap malam yang kutahu Adi melakukannya dengan Melati. Mungkinkah ia kini ingin melakukannya denganku karena tak ada Melati di sisinya? "Di atas kertas dan atas nama pernikahan, kamu memang berhak melihatku tanpa kerudung bahkan tanpa sehelai benang pun. Tapi itu hanya akan terjadi ketika kamu menganggapku sebagai istri," kataku dengan tenang. Adi meraup wajahnya kasar. "Ini masih terlalu pagi untuk berdebat, Anyelir." "Kalau begitu tutup matamu atau keluar sebentar selama aku memakai kerudung," usirku. Adi membelalakkan mata. Menggeleng pelan lalu hendak berbicara tapi aku menyela lebih dulu. "Pergi." Air muka Adi berubah kesal. "Kamu pikir aku nggak bisa memasakmu melepaskan ini?" Adi berusaha melepaskan mukena dari kepalaku secara paksa. "Adi ...." Aku mendesis kesal mencoba menahan tangan Adi yang dengan lancang berusaha melepas mukena yang tengah kupakai. Adi mencengkeram kedua tanganku agar tak mengahalangi niatnya. Dengan sekali sentakan, mukena yang kukenakan terlepas dari kepalaku. Memperlihatkan rambut panjangku yang tergerai bebas. PLAK! Reflek aku menampar keras pipi sebelah kanan Adi. "Lancang kamu!" umpatku. Meski Adi suamiku, tapi aku tak terima dengan kelakuannya tadi. Adi terlihat murka. Tangannya melayang diudara hendak menamparku balik, aku diam saja, menunggu. Jika tangan itu berhasil menyentuh pipiku, kupastikan hari ini juga akan menggugatnya cerai. Diluar dugaanku, tangan Adi hanya berhenti di udara. Kedua tangannya mengepal erat. "Percuma kam salat malam tapi kelakuanmu seperti ini," sindirnya. Berdiri dengan wajah memerah dan menatapku tajam. "Kamu. sendiri yang membuatku semakin enggan bersikap baik padamu. Jadi, tunggu saja sampai Ibu pulih, akan kukabulkan permintaan ceraimu,” ucapnya penuh tekanan. Adi berbalik dan meninggalkanku di kamar. Sejenak aku menyesali perbuatanku. Aku telah lancang menamparnya. Padahal Adi berhak atas tubuhku. Tapi kemudian aku meyakinkan diri, bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Adi yang lebih dulu mengabaikanku. Jadi kupikir, aku berhak menolaknya untuk sekedar melihat rambutku. Pun dengan bagian tubuhku yang lain. Bagian 4 Seminggu sejak kejadian penamparan itu, hubunganku dengan Adi kian menjauh. Mungkin aku memang bersalah karena telah lancang menamparnya, hanya karena Adi ingin melepas mukena yang sedang kupakai. Tapi rasanya aku enggan untuk meminta maaf terlebih dulu. Biarlah ia dengan sikap dinginnya dan aku dengan sikap keras kepalaku. Biarkan seperti ini saja. Toh sebelum kejadian itu, sikap Adi padaku sudah tak bersahabat. Aku masih bertahan di rumah Adi. Niatku untuk pergi dari sini belum terkabul karena sampai detik ini aku belum bisa menemukan kosan yang nyaman dan dekat dengan tempat kerjaku. Pagi ini seperti biasa kami bertiga sarapan bersama. Dan kembali aku harus menahan sesak di dalam sana melihat adegan di depanku. Melati nampak biasa melayani Adi, mengambilkan nasi dan lauk. Memang seperti itu setiap hari. Namun berbeda dengan Adi, yang menurutku pagi ini sangat berlebihan. Kupikir ia sengaja memanas-manasiku. Pria itu dengan sok mesra menyuapi Melati. Aku benar-benar muak melihatnya. Jika bukan karena aku menghargai masakan Melati, sudah sejak tadi aku meninggalkan meja ini. Melati sendiri nampak kurang nyaman dengan perlakuan Adi. Beberapa kali ia tersenyum canggung padaku. Dan mencoba menyudahi sikap sok mesra Adi. "Aku makan sendiri saja, Di," pinta Melati. "Aku ingin menyuapimu, Sayang." Adi kembali mengarahkan sendok pada mulut Melati. Ia melirikku, sudut bibirnya terangkat sedikit. Sungguh aku merasa benar-benar muak melihatnya. Untunglah makanan di piringku telah habis. Aku segera minum dan bersiap pergi. "Mel, aku berangkat dulu. Terima kasih untuk sarapan lezatnya." Aku segera berdiri meninggalkan pemandangan di meja tadi yang membuatku dadaku nyeri. "Ta, pulang kerja temani aku ya?" tanyaku pada Marta. Kami sedang makan siang bersama di kantin pabrik. Marta menghentikan kunyahannya, menatapku penasaran. "Kemana?" "Pasti lupa deh. Cari kosan, Ta." "Ah iya, aku lupa," Marta menepuk kening pelan. "Serius kamu mau kos sendiri?" tanyanya penuh khawatir. Gadis bermata sipit itu tahu jika aku adalah gadis penakut. "Iya, Ta. Aku gak kuat kalau harus terus- terusan di sana. Aku juga sedang berpikir untuk mengakhiri ini, Ta. Sakit, Ta... diabaikan terus." Aku merasa mataku memanas. Ada genangan yang siap meluncur dari mataku. Marta menggenggam erat sebelah kanan tanganku. Mencoba memberi dukungan. "Pikirkan baik-baik dulu, Nye. Jangan gegabah. Aku tau, aku paham yang kamu rasakan. Tapi sekali lagi pikirkan baik-baik." Aku tersenyum mendengarnya. Bersyukur memiliki sahabat se-care Marta. Perbedaan keyakinan tidak membuat kami merasa berbeda. Kami saling mendukung satu sama lain. Membantu sebisanya jika salah satu di antara kami tengah mengalami kesulitan. "Makasih, Ta." "Hai Anye, Marta." Kami menoleh pada sumber suara. Lelaki dengan lesung pipit di wajahnya tersenyum pada kami. "Ferdi! Kamu kapan datang?" Marta nampak terkejut dengan kedatangan laki-laki yang kini telah duduk di sampingku. "Semalem," jawabnya tersenyum lebar. Laki-laki itu lalu menatapku, tatapan yang tak bisa ku artikan. "Nye, apa kabar?" suaranya melembut. Dan itu sukses membuat Marta berdeham sambil menahan tawanya. Aku sendiri merasa tak nyaman. Aku mencoba mengatur irama jantung yang entah mengapa berdetak lebih kencang. Ferdi, lelaki dari tanah padang merupakan rekan kerja kami. Hanya saja kami berbeda bagian. Aku dan Marta ditempatkan di bagian staf gudang. Mengawasi masuk dan keluarnya barang. Sedangkan Ferdi bisa dibilang orang penting di tempat kami bekerja. Laki-laki berkulit sawo matang itu merupakan staf design. Ia yang men-desain logo untuk kemudian di bordir pada lembaran kain dari klien kami. "Alhamdulillah aku baik. Kamu bagaimana?" "Aku baik. Hanya kangen..." "Kangen siapa nih?" Marta dengan menahan senyumnya memotong kalimat Ferdi. Ferdi mengusap tengkuk, ia tersenyum canggung. "Kangen pabrik ini lah." Ya, Ferdi sempat dimutasi ke cabang pabrik ini di daerah Subang selama satu tahun. Dan menurut kabar yang kudengar, mulai hari ini Ferdi kembali bekerja di tempat kami. "Yakin nih? Bukan karena kangen seseorang kan?" Marta semakin gencar menggoda Ferdi yang kini salah tingkah. "Tapi sayang sekali, wanita idamanmu itu sudah menjadi milik orang lain. Kamu telat. Kelamaan mikir sih." Senyum malu-malu yang tadi ditampilkan Ferdi menyurut begitu mendengar ucapan Marta. Aku sendiri merasa tak enak pada Ferdi, karena perempuan yang dimaksud Marta adalah aku. Ya...aku. Beberapa bulan yang lalu sebelum pernikahanku dan Adi terjadi, di sore hari yang cerah Adi menemuiku di kosan. Laki-laki bertinggi 175 cm itu dengan malu-malu mengungkapkan niatnya untuk menjalin hubungan serius denganku. Saat itu aku tak memberi kepastian. Yang kukatakan padanya kala itu hanya tak akan menjalin hubungan apa pun dengan seorang pria, sebelum pria itu melamarku. Bukan aku sok suci, aku hanya menjaga diri. Hidup di perantauan membuatku belajar banyak. Banyak di antara teman-temanku yang memanfaatkan kesempatan berjauhan dari orang tua untuk berhubungan dengan lawan jenis sesukanya. Sering kumendengar banyaknya janin tumbuh di rahim mereka, sebelum pernikahan terjadi. Aku hanya menjaga diri sekaligus menjaga hati. Menjaga hati agar tak mencintai lelaki yang belum tentu menjadi suamiku. Ferdi memaklumi, ia berjanji setelah uang ditabungannya terkumpul ia akan segera meminangku. Namun, takdir berkehendak lain. Sebelum niat itu terwujud, Tuhan lebih dulu mengirimkan Adi untuk menjadi suamiku melalui proses perjodohan. Ferdi menoleh padaku, menatapku lekat menuntut penjelasan. Aku melihatnya, ada luka di sepasang mata hitam pekatnya. "Nye, Sorry." Marta menyadari perubahan sikap Ferdi. Ia tampak menyesal dengan kelancangan mulutnya. "Nye, apa maksud Marta?" Lirih, lirih sekali Ferdi bertanya. Dan itu membuat batinku tercubit. Aku merasakannya. Luka yang menderanya. Karena nyatanya aku tengah merasakan apa yang Ferdi rasa. Ditolak dan diabaikan. Waktu belum mengizinkan Ferdi untuk mengetahui kenyataan sebenarnya. Bel masuk berdengung di seluruh penjuru gedung, menjeda perbincangan kami. Aku menunggu Marta yang sedang ke toilet di parkiran. Duduk di atas motor, sambil memainkan ponsel. Tak ingin menunda waktu lagi, sore ini juga aku akan mencari kostan di sekitar pabrik dengan ditemani Marta. Hingga sebuah suara membuat jantungku kembali berpacu tak terkendali. "Nye." Tubuh Ferdi menjulang tinggi di depanku. Masih bisa kulihat sorot kekecewaan di matanya. "Ya." "Jadi ... benar kamu sudah menikah?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibirnya. Aku tak sanggup menatap lelaki di depanku. Dengan wajah menunduk aku menjawab pelan. "Iya, aku sudah menikah." "Kenapa? Aku minta kamu untuk menunggu. Kenapa kamu tega!" Suaranya bergetar. Ah, sakit sekali aku mendengarnya. Aku menatapnya, laki-laki yang terbiasa tersenyum ramah, kini nampak rapuh. Membuatku semakin diselimuti rasa bersalah. "Kami dijodohkan." Ferdi mengepalkan kedua tangannya, mungkin mencoba meredakan gejolak kekecewaan di hatinya. "Mengapa sesakit ini, Nye? Mengapa sesakit ini mencintai seseorang." "Maaf, Fer. Maaf." Ferdi meremas rambutnya. Matanya mulai berkabut. Aku benar-benar merasa semakin bersalah padanya. Tanpa kata, Ferdi akhirnya meninggalkanku. Mengapa harus seperti ini? Mengapa Tuhan justru menjodohkanku dengan pria yang bahkan tak menganggap kehadiranku. Mengapa bukan Ferdi saja yang Tuhan jodohkan denganku? Melihat dari matanya, aku sedikit tersentuh dengan kesungguhannya. Harapan tinggal harapan karena jodoh sudah menemukan jalannya sendiri. "Nye." Marta menepuk bahuku pelan. Seperti biasa sambil tersenyum dan menampakkan gigi gingsulnya. “Eh, udah?" Aku tersadar dari lamunan. Tersenyum kecil padanya. Marta mengangguk. "Jadi gak cari kostan? Keburu sore nih." "Jadi, Ayo." Selepas maghrib akhirnya aku sampai di rumah, setelah mengantar Marta ke kostannya dan menumpang sholat di sana. Aku telah mendapatkan kos-kosan yang aku inginkan. Berjarak sekitar dua kilo dari tempatku bekerja dan satu kilo dari tempat tinggal Marta. Rencananya besok sore aku akan pindah ke sana. Tak peduli Adi dan Melati melarangku. Tekadku sudah bulat. Mobil Adi dan motor Melati terlihat sudah terparkir cantik di halaman rumah. Aku berjalan santai memasuki rumah karena memang aku membawa kunci sendiri. Rumah terlihat sepi. Melewati ruang tamu kemudian ruang makan, tak terlihat dua sosok yang juga menghuni rumah ini. Aku masuk ke kamar, ingin segera mandi lalu beristirahat, setelah seharian beraktivitas membuat nyeri di sekujur badan. Selesai mandi, aku turun ke ruang makan, bermaksud untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. "Dari mana saja kau jam segini baru pulang?" Aku menoleh ke sumber suara. Tak jauh dari tempatku, Adi berdiri dengan tangan bersedekap, menatapku tak suka. "Kerja." Aku kembali menuangkan mi rebus ke dalam mangkok karena memang sudah matang. "Aku melihatmu tadi berkeliaran di jalanan," Jadi tadi Adi melihatku? "Jangan mentang-mentang ada Melati yang mengurus rumah, kamu bisa seenaknya pulang malam. Tolong tahu diri sedikit jadi orang!" Kupejamkan mata, mencoba menetralisir hawa panas yang menyelusup di dada. Marah? Tentu saja, suamiku sendiri yang mengatakan jika aku manusia yang tak tahu diri. Memang benar selama ini Melati yang lebih banyak mengurus rumah. Menyuci, menyapu, mengepel, memasak dan menyetrika. Tapi tentu saja pakaianku, kucuci dan kusetrika sendiri. Aku memutar badan. Menatap jengkel pada pria yang tengah menatapku tajam. Auranya memancarkan kemarahan. Tapi sama sekali tak membuatku takut. Dan sekuat tenaga aku menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Kata- kata Adi kembali menggoreskan luka yang memang masih menganga. "Iya aku memang tak tahu diri." Aku menyadari suaraku bergetar. "Tapi satu hal yang perlu kamu ingat Adi. Kamu tidak pernah menghargai usahaku saat aku mencoba membereskan rumah. Semua yang kulakukan di matamu selama ini salah. Kamu .." Aku tak meneruskan kalimatku. Buliran bening yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh juga. Adi terdiam. Mematung dengan wajah yang tak bisa kubaca. Kuseka kasar air mataku. Berjalan tergesa memasuki kamar. Aku menangis. Ini terlalu sakit. Sakit sekali. Rasa lapar yang tadi menghampiri sudah lenyap, terganti dengan pedih yang menyayat hati. Dengan tergesa dan diiringi tangis, aku memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Tak perlu menunggu besok aku pindah, malam ini juga akan keluar dari rumah terkutuk ini. Sudah cukup rasanya Adi menginjak-injak harga diriku. Satu koper besar dan satu tas berukuran sedang, kubawa bergantian menuju teras rumah. Adi dan Melati tak terlihat, mungkin keduanya telah beranjak tidur. Aku tak peduli. Justru membuatku tenang karena tak perlu menjawab pertanyaan Melati jika ia muncul. Kupesan mobil melalui aplikasi untuk membawakan barang bawaanku. Aku sendiri akan mengendarai motor. Setelah meletakkan koper dan tas di luar gerbang lalu mengeluarkan motorku. Kukunci gerbang setinggi dua meter di depanku ini. Tak lama mobil pesananku datang. Dan membawaku meninggalkan rumah yang beberapa bulan ini menjadi saksi ketidakadilan Adi sebagai suami. Aku pergi Mengikis harap Menghapus rasa Biar rasa ini cukup aku yang rasa Selamanya, memang hanya dia yang 'kan kau puja Aku pergi Dengan hati yang telah kau sakiti berkali-kali Anyelir Send @Anyelirsecret. Bagian 5 Sudah sebulan ini aku hidup sendiri di sebuah kos-kosan berukuran 3x4 meter. Hanya Marta yang menemani kesendirianku. Gadis berkulit seputih porselen itu sering menginap di tempatku. Terutama saat weekend, di mana kami mendapat jatah libur dari kantor. Biasanya kami menghabiskan waktu bersama untuk menonton drama Korea terbaru atau pun sekedar mengobrol tentang berbagai hal. Tapi tidak untuk weekend kali ini. Marta akan mempersiapkan keperluan pernikahannya dengan Simon. Kami berpelukan sewaktu di parkiran tadi dan gadis itu meminta maaf karena tidak bisa menemaniku kali ini. Aku mengatakan jika aku akan baik-baik saja meski kurasa akan kesepian di dalam kamar kos seorang diri. Salahkan aku yang tumbuh menjadi si introver. Yang lebih suka menutup diri dari pada berbaur dengan teman satu kos. Hujan turun cukup deras membasahi tiap jengkal tanah yang menguarkan aroma khas. Kilatan petir bersahutan di langit yang kian menggelap. Hari masih sore tapi cuaca gelap awan membuatnya seperti malam. Aku baru saja sampai di kos, tepat saat hujan turun menyapa bumi. Setelah membersihkan badan dan mengisi perut, aku berbaring menatap langit-langit kamar, ditemani suara gemercik air hujan yang entah mengapa mengantarkanku pada kesedihan mendalam. Di sini, di ruangan sempit ini, aku sendiri. Benar-benar merasa sendirian. Tak ada yang tahu aku tinggal di tempat ini. Orang tuaku, mertuaku, Adi maupun Melati. Mereka tak ada yang tahu. Hanya Marta. Aku sengaja tak memberitahu orang tua kami. Dan Adi yang konon statusnya suamiku, sama sekali tak menghubungiku sejak pertengkaran kami malam itu. Sedangkan Melati beberapa kali menghubungiku, memintaku untuk pulang ke rumah dan meminta maaf atas nama Adi. Aku tak menggubrisnya. Untuk apa aku kembali ke sana, sedangkan suamiku sendiri sama sekali tak mencari keberadaanku. Akhirnya rasa kantuk menyerang. Aku tertidur dengan air mata yang telah mengering untuk beberapa saat. Dan sebuah suara ketukan pada pintu kamar membangunkanku. Siapa? "Assalammu'alaikum." Dengan malas aku membuka mata. "Assalammu'alaikum." Suara laki-laki yang tak asing di telingaku kembali mengucap salam. Aku meraih kerudung lalu memakainya. Dan melangkah menuju pintu. Kuputar lubang kunci dan menarik gagang pintu. Detik selanjutnya pintu terbuka. Ferdi. Laki-laki yang di beberapa bagian bajunya basah berdiri di depanku dengan badan menggigil. "Ferdi. Ka-kamu ngapain di sini?" "Aku ingin bicara." Setelah mempersilakannya duduk di teras. Aku masuk ke dalam untuk membuatkannya teh hangat dan memberikannya handuk. Tempat kosku terdiri dari enam belas pintu dengan kamar saling berhadapan. Dan lorong di depan kos kami memang dijadikan teras untuk menerima tamu. Sehingga, tamu tidak perlu masuk ke kamar. Dan di sini kami sekarang. Duduk bersisian dengannya di sebuah kursi panjang terbuat dari anyaman bambu. Hujan telah berganti dengan gerimis kecil. Kami masih sama-sama diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Suasana kos nampak lengang. Hanya terlihat dua gadis yang tadi sempat menyapa kami. Mereka baru saja pulang kerja. "Ada apa?" tanyaku memecah keheningan di antara kami. Setelah Ferdi menyesap tehnya dan mengeringkan rambut dengan handuk yang kupinjamkan. "Kenapa gak cerita?" tanyanya seraya menatapku lekat. "Tentang apa?"Aku tahu arah pertanyaannya, tetapi entah mengap justru aku kembali bertanya padanya, bukannya justru menjawab. "Tentang rumah tanggamu yang justru membuatmu terluka." Adi menatapku iba. Aku melengos, tak ingin lama-lama bersitatap dengannya. Bagaimana pun aku seorang istri. Duduk berdua dengannya saja sudah membuatku merasa bersalah pada Adi. Tapi aku tak tega mengusir lelaki di sampingku yang akhir- akhir ini tampak begitu kacau. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya seorang Istri lakukan. Rasanya kurang pantas kalau aku membicarakan perihal rumah tanggaku pada laki-laki lain." "Kenapa harus seperti ini? Kenapa saat itu kamu gak berusaha menolaknya?" Aku menghembuskan napas. Berusaha mengurai sesak yang mengimpit dada. Aku tahu rasanya terluka, Fer. Aku tahu! "Ada perasaan orang tuaku yang harus kujaga, Fer. Kadang ... takdir memang sekejam ini. Menjodohkan kita dengan orang yang tidak kita cintai, pun dengan orang yang tidak mencintai kita." Bibir Adi terbuka hendak bicara. Namun kugerakkan tanganku ke bibirku, menyuruhnya diam. "Jangan temui aku lagi. Jika tanpa sengaja kita bertemu, anggap saja kita gak saling kenal. Carilah wanita lain yang lebih baik segalanya dariku. Aku gak pantas untuk kamu cintai sedalam ini, Fer." Demi Allah aku berusaha untuk tegar. Mengatur intonasi suara agar terdengar setenang mungkin. Adi menatapku sendu. Kilatan luka dan iba melebur jadi satu. Inginnya mungkin memintaku berpisah dengan Adi. Tapi ia tak sampai hati mengatakannya. Aku tahu, Ferdi bukan lelaki yang mengambil kesempatan dalam keruhnya biduk rumah tangga seseorang. "Baik. Anggap kita gak saling kenal." Ferdi tak sungguh-sungguh mengatakannya. Aku tahu itu. Matanya berbicara lain, seolah memintaku untuk tetap di sisinya apa pun statusku saat kini. Berteman sedih Berkawan rindu Aku merindukannya Kamu yang membuatku merana Send to @anyelirsecret. Masih dengan perasaan yang sama, aku melanjutkan hidup meski terseok-seok. Di sudut kota industri ini, aku menatap langit yang bertabur ribuan kerlip bintang. Malam ini langit nampak begitu megah. Aku duduk di depan kos di bangku panjang sendirian. Memainkan gawaiku, sekedar mengusir waktu. Ini malam minggu, sebagian besar penghuni kos memilih menghabiskan waktunya dengan jalan-jalan atau sekedar hangout di kafe langganan. Atau bahkan hanya menghabiskan malam di taman kota. Sebuah pesan masuk di IG-ku. Melati : Pulanglah. Ada yang diam-diam merindukanmu di sini. Aku membeliakkan mata. Berusaha mencerna pesan yang baru saja dikirimkan maduku itu. Siapa yang merindukanku? Jangan- jangan Bapak sama Ibu ada di rumah Adi. Me: Bapak sama Ibuku di sana, Mel? Datang kapan? Kamu gak bilang kalau aku ngekos kan? Lima menit berlalu, belum ada jawaban dari Melati. Cemas aku dibuatnya. Lalu sebuah panggilan masuk ke ponselku. Nama Adi berkelip-kelip di layar ponsel. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Barangkali mataku salah melihat nama yang tertera di sana. Tapi benar, itu nomor Adi, suamiku. Ada apa dia menghubungiku? Dengan ragu aku menggeser lencana hijau di layar ponsel. Kudekatkan benda pipih buatan negeri oppa-oppa tampan itu ke telingaku. "Assalammu'alaikum." Hening. Tidak ada sahutan dari lawan bicaraku. "Mel."Aku tak terlalu percaya diri menyebut nama Adi. Bukan apa-apa, terlihat mustahil rasanya Adi tiba-tiba menghubungiku. "Ini aku." Tetapi justru suara bariton Adi yang terdengar di seberang sana. "A—adi?” Aku spontan berdiri saking tidak menyangkanya. "Jadi kamu di sini?" Suara Adi tidak seperti di telepon. Suaranya terdengar nyata ada di sini. Mungkinkah? Dari ekor mataku aku menangkap siluet tubuh di dekat gerbang utama. Seketika aku menoleh ke arah jalanan di sebelah kananku. Dan aku melihat Adi, tengah berdiri bersandar di pintu mobil dengan ponsel masih di genggaman. Ia tersenyum kecil padaku. Aku melongo dibuatnya. Untuk sesaat aku hanya terpaku di tempatku berdiri. Memastikan jika ini bukanlah mimpi. Adi tahu aku tinggal di sini? Adi melangkah kearahku dengan langkah lebar dan penuh percaya diri, seperti biasa. Jantungku bertalu-talu tak beraturan. Sekian lama tidak bertemu dengannya, membuatku salah tingkah. Relax, Anye. Adi ke sini bukan berarti dia mencintaimu. "Kita pulang sekarang." Adi berkata pelan setelah sampai di depanku. Tubuhnya menjulang tinggi. "A—aku tidak bisa." "Ayo kemasi barangmu." Adi menggenggam tanganku, menuntunku masuk ke dalam kamar. "Biarkan terbuka pintunya." Aku tak ingin menimbulkan prasangka orang. Penghuni kos di sini mengenalku sebagai Anyelir si gadis jomblo. Memang sengaja aku menyembunyikan tentang statusku. Untuk apa juga aku pamerkan? Toh ini hanya pernikahan menyedihkan. Tak ada kebahagiaan sama sekali di dalamnya. Aku berdiri termangu menatap pria yang sibuk memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Ada apa dengan Adi? "Ayo bantu aku!" titahnya memandangku sekilas lalu kembali melanjutkan aktivitas yang seharusnya aku yang melakukan. "Aku mau di sini." Adi menghentikan gerakan tangannya. Ia menatapku. Kali ini dengan air muka yang berbeda. Tak seramah saat pertama kali datang. "Kalau begitu aku yang akan menginap di sini,” putusnya. Adi mengatakannya dengan sungguh- sungguh. Tapi aku sadar bukan karena dia mencintaiku. Entahlah, aku hanya curiga pria di depanku ini sedang merencanakan sesuatu. Maafkan aku Tuhan, karena sudah berprasangka buruk. "Kita bisa dikira pasangan kumpul kebo, Di. Aku tidak ingin membuat masalah." "Aku bisa menjelaskannya pada mereka. Kita suami istri yang sah di mata agama dan negara." Adi berjalan menuju pintu. Menutupnya cepat kemudian menguncinya. "Di ...." Aku masih termangu. Belum mengerti dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba berubah, tak sedingin biasanya. Adi melepas kemeja dan celana jeans- nya. Menyisakan kaos putih dan celana pendek di atas lutut. Kupalingkan wajah menatap ke tempat lain. Ada gelenyar aneh yang seketika menerjangku, melihat Adi memakai pakaian itu. Bagaimana pun Adi pernah menyentuhku. Meski mulut dan otakku menolak. Tapi saat kejadian itu tubuhku merespons lain. Aku menikmati ketika jemari kokoh Adi menguasaiku. Dan saat ini kami hanya berdua saja di dalam kamar sempit ini. Hawa panas yang memang terbiasa kurasakan setiap hari karena memang tak ada AC di sini, membuatku semakin merasa kepanasan. Anye, jangan berpikir terlalu jauh! Aku duduk di atas kasur. Menyalakan tv tanpa menontonnya. Pikiranku sibuk berkelana. Bertanya-tanya dengan perubahan sikap Adi. Berspekulasi tentang kemungkinan yang membuatnya tiba-tiba muncul di depanku. Aku mengirimi pesan pada induk semangku. Menjelaskan padanya jika malam ini suamiku menginap di kamarku. Mengirimkan foto pernikahan sebagai bukti. Meski awalnya sang induk semang terkejut, tapi kemudian beliau percaya. Urusan izin menginap selesai. Beralih ke urusan tidur, tidak mungkin aku tidur dengan Adi di atas kasur yang sama. Ukuran kasurnya yang terlalu sempit dan .... Aku menutup mata. Adi tidak mungkin melakukannya, Anye! Pintu kamar mandi terbuka. Adi keluar terlihat lebih segar dengan rambut sedikit basah. "Ada handuk?" Aku beranjak menuju lemari plastik, mengambil handuk baru lalu memberikan padanya. "Sudah makan?" "Sudah." "Mau minum apa?" "Adanya apa?" "Teh sama susu." "Teh saja." Aku bergegas membuatkan teh untuknya. "Ini." Aku memberikannya pada Adi yang kini tengah duduk di atas kasur. "Terima kasih." Aku memilih duduk di karpet. Sedikit menjauh darinya. "Duduklah di sini." Adi menepuk kasur di sampingnya. "Kamu tidak pulang? Melati sendirian." Adi bergeming. Matanya lurus ke arah TV, sedang mulutnya menyesap perlahan teh yang kubuat tadi. "Di. Mengapa kamu kemari?" "Apa ada larangan menemui istri sendiri?" Mungkinkah kepala Adi kepentok sesuatu sebelum kesini? "Kamu tidak mau tidur?" Adi beranjak meletakkan tehnya di samping dispenser lalu membaringkan tubuhnya di kasur sempitku. kuhela napas panjang. Mengalah, akhirnya aku memilih berbaring di atas karpet di sebelah kasur. "Jangan tidur disitu. Kemarilah. Kasur ini cukup untuk kita berdua." "Aku di sini saja." Adi berdecak kesal. Ia beranjak menghampiriku. Tangannya bersiap mengangkat tubuhku. Aku melotot dibuatnya. "Aku bisa sendiri, Di." Aku menyerah, berpindah ke kasur. Adi ikut berbaring di sampingku. Kami berbaring saling memunggungi. "Maaf." Aku masih terdiam. Masih tak percaya dengan perubahan sikap Adi yang justru membuatku bergidik ngeri. "Maaf untuk sikapku selama ini." Adi kembali mengutarakan permintaan maafnya. Aku bingung harus menjawab apa. Di satu sisi aku bahagia, Adi tiba-tiba menemuiku dan meminta maaf. Tapi disisi lain ada kecurigaan dikepalaku. Ya, aku curiga jika ada sesuatu dengan Adi yang membuatnya rela datang kemari. Aku tak mau percaya diri kalau saat ini Adi telah membuka hati untukku. Impossible! Melati terlalu sempurna jika dibandingkan denganku. Jadi, aku yakin ini karena sesuatu dan itu berhubungan dengan Melati. "Nye." "Hm." "Besok kita pulang ya," bujuknya lagi. “Aku sudah nyaman di sini." Aku merasakan pergerakan di belakangku. Kemudian sebuah tangan telah berada di pinggangku. Memelukku erat. Hampir saja aku memekik jika tak ingat pria itu adalah suamiku. Perlahan aku mencoba memindahkan tangan Adi dari pinggangku. Aku risi. Bayangan Adi akan meminta haknya memenuhi kepalaku. Aku belum siap. Sungguh. Namun Adi tak memedulikan penolakanku. Pria berambut lurus dengan kulit kekuningan dan mata sipit bak oppa Korea itu justru semakin mempererat pelukannya. Bukan hanya tangannya, tubuhnya juga kini menempel ke tubuhku. "Di. Jangan." "Diamlah. Aku hanya akan memelukmu." Akhirnya aku membiarkan Adi memelukku. Aku mencoba memejamkan mata demi menghalau desiran aneh yang menyelusup di dada. Ini memang bukan pertama kali Adi menyentuhku, tapi perlakuannya yang lembut membuat hatiku menghangat seiring dengan debaran jantung yang berpacu lebih cepat. Cinta mungkin belum bersambut Rindu mungkin belum jua berbalas Tapi lakunya telah membuat hati yang hampir mengeras ini, melembut Semoga ini bukanlah sekedar bunga tidur Yang esok hari berganti dengan kenyataan lebih menyakitkan @anyelirsecret Kuunggah sebuah tulisan di Instastory untuk mengungkapkan isi hatiku saat ini, setelah mendengar dengkuran halus dari pria yang tengah memelukku dari arah belakang. Aku tersenyum lalu memejamkan mata perlahan. Malam yang indah. Bagian 6 Hari ini sungguh melelahkan. Beberapa kali aku dan Marta mendapat omelan dari Bu Laras—atasan kami, karena kurangnya ketelitian kami membuat laporan. Terlalu banyak missed antara barang masuk dan barang keluar. Belum lagi driver kami yang salah mengirim barang, membuat kami kena dampaknya. Karena memang aku dan Marta juga sebagai penanggung jawab pengiriman barang. "Lain kali tolong di cek lebih dulu, Anyelir, sebelum mengirimkannya ke Mr. Yoo. Beliau marah besar, karena ini adalah brand ternama," tekan Bu Laras yang tengah membahasemail yang kukirimkan pada bos besar ternyata banyak yang keliru. Dan aku hanya mengangguk pasrah. Tanpa diberitahu lagi aku sudah tahu jika Victoria Secret adalah brand terkenal. Aku melangkah keluar dari ruangan Bu Laras tanpa gairah. Ini bukan sepenuhnya salahku tapi tetap saja aku terkena imbasnya. Beruntungnya Marta yang sedang ke toilet sewaktu Bu Laras menghubungiku untuk ke ruangannya barusan. Sehingga ia tak kena omelan lagi. "Jadi makan siang di luar?" Marta sudah di depanku. Mengernyitkan dahinya mendapati wajahku yang mendadak lesu. "Kenapa?" "Capek banget rasanya kerja ya," keluhku. "Kalau lagi begini, aku pengin jadi ibu rumah tangga aja di rumah. Ngurus anak, ngurus suami, ngurus rumah. Enak kayanya, gak harus kena omelan bos tiap hari," lanjutku lagi. "Namanya kerja sama orang, Nye. Pasti kena omel kalau kitanya salah. Tapi gak boleh jadi beban juga. Bu Laras negur kita kan supaya kedepannya kita lebih teliti lagi. Kalau salah terus gak bagus juga buat kesehatan pabrik ini," papar Marta berusaha membesarkan hatiku. Aku tersenyum simpul menanggapi pernyataan Marta. Kami menaiki motor menuju tempat makan yang baru saja buka di dekat tempat kerja kami. Bukan karena kami pecinta kuliner yang hobi hunting makanan-makanan terbaru. Kami memutuskan makan di sini karena rumah makan yang bangunannya didominasi kayu ini sedang mengadakan diskon 30%. Bagi anak rantau seperti kami ini termasuk hal langka dan menggiurkan. Sayang kalau dilewatkan. Kami duduk di meja dekat pintu masuk. Jam makan siang begini sudah dipastikan meja akan penuh oleh pengunjung yang kelaparan. Apalagi tempat ini sedang mengadakan diskon besar-besaran sekalian untuk promosi. "Serius kamu mau jadi fu/lmom? Ngurusin baju kotor tiap hari dan bau bawang." Marta mulai membuka percakapan, begitu pelayan pergi setelah mengantarkan pesanan kami. Wajahnya terlihat serius. Kami memesan menu yang sama. Ayam bakar madu dan es jeruk. "Kalau suamiku baik, tanggung jawab dan setia aku dengan ikhlas akan jadi fullmom. Biar saja badan bau bawang yang penting rumah keurus. Anak dan suami kenyang," jawabku sungguh-sungguh. "Tapi nyatanya suamiku nganggep aku aja enggak, Ta." Aku mendesah pelan. Meski semalam aku dan Adi tidur bersama dalam artian tidur yang sebenarnya, tapi aku masih meragukan sikapnya yang mendadak berubah. "Sabar ya. Mungkin Adi memang perlu waktu sedikit lama untuk menerima perjodohan kalian. Semoga suatu saat Adi bisa terbuka hatinya." "Amin." Obrolan kami terjeda karena pelayan mengantarkan pesanan kami. Segera kami meminum es jeruk yang seketika membasahi tenggorokan. "Ngomong-ngomong. Kamu yang cerita ke Ferdi tentang masalah rumah tanggaku, Ta?" tanyaku disela menikmati makanan kami. Jujur aku tak suka Marta menceritakan perihal rumah tanggaku pada orang lain. Apalagi pada lelaki itu. Marta menghentikan gerakan tangannya yang akan menyuapkan makanan ke mulut. Wajahnya nampak gugup, mungkin merasa tak enak padaku. "Maaf, Nye," sesalnya. "Tapi, aku gak cerita semuanya kok. Aku cuma bilang Adi punya istri selain kamu," jelasnya. "Lain kali jangan ya. Aku gak mau rumah tanggaku jadi omongan orang." Marta mengangguk lalu kami melanjutkan makan. "Aduh kenyang banget. Porsinya mantul banget, Nye. Puas banget aku." "Iya, ayamnya juga gede," sahutku. Kami selesai makan. Marta sibuk dengan ponselnya. Aku memilih mengamati bangunan rumah makan ini, sembari mengulur waktu. Suasananya masih ramai, pengunjung silih berganti keluar masuk. Ekor mataku kemudian menangkap sosok yang kukenal. Pria dan wanita tengah menikmati makan siangnya sambil sesekali tertawa. Adi dan Melati. Entah siapa yang memasuki tempat ini lebih dulu, aku atau mereka. Yang pasti aku mulai tak nyaman dengan pandangan di depanku saat ini. Adi belum menyadari keberadaanku. Pria itu dengan mesra membelai pipi dan rambut Melati yang tergerai indah. Hal yang tidak pernah Adi lakukan padaku! "Nye, kamu kenapa?" Marta menyadari keterdiamanku. Tak menanggapi pertanyaannya, mataku memanas menatap pasangan itu. Luka yang tak kasat mata, tapi begitu menyiksa. Seharusnya aku tidak secemburu ini. Adi sedang bersama istrinya, bukan selingkuhannya. Jangan baper, Nye! "Itu Adi kan?" Marta mengikuti arah pandanganku juga. "Sabar Nye." Digenggamnya tanganku oleh gadis itu, mencoba memberi dukungan padaku. Sekian menit berlalu. Adi akhirnya menyadari tengah diawasi oleh kami. Ia cukup terkejut melihat keberadaanku. Sedangkan Melati masih tak menyadari keberadaanku karena memang posisinya yang memunggungi kami. "Harusnya aku gak boleh cemburu kan, Ta. Melati kan juga istri Adi. Tapi di sini sakit, Ta. Sakit." Aku menunjuk ke arah dada. "Kita balik aja yuk!" Kami kembali ke pabrik. Kali ini Marta yang berada di depan mengendarai motorku. Perasaanku campur aduk. Tempat makan itu dekat dengan pabrik tempatku kerja. Seharusnya Adi juga turut serta mengajakku makan di sana bukan, kalau memang dia menganggapku istrinya. Tapi faktanya? Maafkan aku Ya Allah yang terlalu pencemburu. "Iya Bu. Anye sehat kok, Bu. Iya InshaAllah nanti bulan depan Anye pulang." "Wa'alaikumsalam." Aku menatap sendu pada layar ponsel yang baru saja menghubungkanku berbicara pada wanita yang telah merawatku sedari kecil. Aku rindu beliau. Meski Bapak dan Ibu yang membuatku harus menjalani rumah tangga menyedihkan ini, tapi aku tetap merindukan mereka. Pukul sembilan malam. Aku memilih menggosok gigi lalu bersiap tidur. Masa bodo dengan Adi. Aku tak peduli pria itu akan kembali kesini atau tidak. Untungnya aku masih bertahan di kos, andai aku menurutinya untuk kembali ke rumah. Sudah pasti aku akan kembali menjadi obat nyamuk bakar untuk pasangan itu. Menyaksikan adegan romantis mereka secara /ive. Menyedihkan! "Assalammu'alaikum." Baru saja aku berbaring. Seseorang yang ingin kulupakan mengucap salam di depan pintu kamar. "Wa'alaikumsalam." Meraih kerudung dan memakainya, akhirnya dengan malas kubuka juga pintunya. Tanpa menatap dan menyapanya kubiarkan pria itu memasuki kamarku. Aku memilih kembaili tidur. "Nye." Adi di belakangku menyapa. Entah duduk atau berdiri aku tak tahu pasti karena posisiku yang memunggunginya. "Bersih-bersih dulu baru tidur!" ucapku dingin. Kudengar Adi memasuki kamar mandi dan selanjutnya terdengar gemercik air. Aku memaksa mataku untuk terpejam yang ternyata susah sekali. Bayangan Adi dan Melati tadi siang masih berputar di kepalaku. Membuatku susah tidur tentu saja. Terdengar pintu kamar mandi terbuka. Lalu sebuah tangan kembali berada di pinggangku. "Singkirkan itu dari badanku," kataku masih dengan memejamkan mata. "Biarkan seperti ini." "Di, lepas!" Adi tak bergerak sama sekali. Kini bukan tangannya, napasnya juga terasa menyapu leherku yang masih berbalut kerudung. "Di, cukup!" Aku bangkit dan dengan sedikit keras menepis tangan Adi. Adi turut bangkit. Kami duduk saling berhadapan dengan mata saling menatap tajam. "Mau kamu apa sebenarnya?" "Mau aku?" Adi mengernyitkan dahinya. "Oke. Aku sadar kalau selama ini sikapku ke kamu salah. Jadi, aku ingin kita mulai semuanya dari awal." Aku memicingkan mata, menatapnya penuh selidik. Semakin yakin kalau ada yang tak beres dengan Adi. Maaf Tuhan kalau aku sudah su'udzon dengan makhluk satu ini. "Kamu tahu salah satu syarat poligami itu apa?" Adi kembali mengernyitkan alisnya. Entah sedang berpikir atau apa. "Adil," jelasku. "Aku tanya sama kamu, selama ini apa kamu sudah bersikap adil sama aku dan Melati?" Wajah Adi berubah masam. Mungkin tersinggung karena pertanyaanku barusan. "Belum kan?" Kulihat sorot matanya melembut. Memejamkan mata sejenak, akhirnya Adi berkata, "Kamu gaktau rasanya... ketika hati kita sedang cinta-cintanya pada seseorang kemudian dipaksa menikah dengan orang lain." Suaranya pelan, namun entah mengapa bagai sembilu yang mencincang sebongkah hati di dasar sana. Beruntungnya Melati dicintai Adi sedalam ini! How poor you are, Anye! Bergeming, aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. Di sana, di mata elangnya aku melihat ada luka. Luka yang mungkin sama sakitnya denganku. Ah, pasti lebih sakit aku. Karena selama ini Adi selalu tersenyum bahagia. Egois kini merajai diriku. Adi kini merubah posisi duduknya. Bersandar pada tembok, ia menatap lurus ke depan. "Aku mencintainya. Melati adalah cinta pertamaku. Kami saling mencintai dan sedang merencanakan pernikahan hingga perjodohan ini hampir saja menghancurkan impian kami." Adi mulai bercerita. Sisi lain dari Adi yang juga baru kuketahui. Pria itu rapuh karena cinta. Adi menoleh, menatapku dalam. "Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri denganmu, Anyelir. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," ucapnya meyakinkanku yang entah mengapa aku menyangsikannya, meski juga tak menampik sedikit tersanjung. Menghela napas panjang, aku menatapnya lekat. "Dimulai dari bersikap adil. Aku ingin kamu adil. Kalau kamu membelikan Melati berlian, jangan membelikanku tembaga." "Tembaga?" "Ya pahitnya begitu. Daripada aku bilang emas. Terlalu mustahil bukan?" "Loh loh. Mas kawin yang kuberikan juga emas murni loh itu. Jangan bilang mustahil, aku sudah memberikannya jauh sebelum kamu meminta," sanggah Adi tak terima. Wajahnya terlihat kesal. "Ini kan perumpaan Adi. Oke aku ganti. Kalau kamu membelikan Melati steak, jangan membelikanku tempe. Harus sama." Adi nampak berpikir. "Ya ya, aku minta maaf untuk kejadian yang lalu dan kejadian di rumah makan tadi." Peka juga dia, rupanya. "Aku cuma tidak ingin orang berpikir buruk tentang rumah tangga kita. Teman- temanku selain Marta tidak ada yang tahu kalau kamu menikah lagi. Dengan kamu makan siang di sana bareng Melati, orang akan berasumsi lain. Dan...." "Oke aku mengerti. Udah ya cukup. Tidak usah dibahas lagi. Sekarang kita tidur." Adi mulai berbaring dan memejamkan mata. "Besok kita pulang ke rumah. Aku gak kuat terus-terusan tidur tanpa AC. Hareudaneg, Anye!" katanya lagi. Esoknya setelah sarapan bersama dengan nasi uduk yang kubeli di depan kos, kami berangkat bersama. Untuk pertama kalinya sepanjang pernikahan kami—selama enam bulan ini—Adi mengantarku ke tempat kerja. Aku sempat menolaknya, karena rasanya masih canggung terlalu lama berduaan dengannya. "Pulang jam berapa?" tanyanya setelah memarkirkan mobilnya di depan pabrik. "Jam 4." "Tunggu sampai aku datang. Kita pulang bersama." Hah! Lagi, aku dibuat speechless olehnya. "Mau ikut aku ke kafe?" tanyanya yang masih melihatku belum beranjak keluar dari mobilnya. Aku menggeleng cepat lalu segera turun. Jangan tanya apa kabar dengan detak jantungku yang mendadak berdisko ria. Sungguh, aku sudah berusaha untuk tidak baper dengan perlakuan Adi. Tapi mau bagaimana lagi, makhuk PMS macam kita memang ditakdirkan untuk baper meski hanya mendapat perhatian seujung kuku, bukan? Benar saja, begitu aku keluar dari pintu gerbang, mobil Adi sudah terparkir manis di sini. "Tumben banget Adi jemput." Marta menoleh padaku menuntut penjelasan. "Sebenernya, udah dua malem ini Adi tidur di kos." "Serius?" Marta tak mampu menutupi keterkejutannya. "Dan kamu baru cerita sekarang ke aku? Baiklah." Sedikit kesal Marta membuang muka ke arah lain. "Bukan gitu, besok aku jelasin. Aku jalan dulu ya. Bye." Aku bergegas menghampiri Adi yang sudah melambaikan tangannya, memintaku segera masuk ke mobil. Marta hanya mengangguk. Kutinggalkan Marta dengan perasaan bersalah karena merahasiakan perubahan sikap Adi padanya. Ia pasti merasa tidak dianggap sebagai sahabat karena kabar menghangatnya sikap Adi, kusembuyikan darinya. Bagian 7 "Aku belum mau pulang," kataku sesaat setelah mobil yang Adi kendarai membaur dengan kendaraan lain. Adi terdiam, pandangannya fokus ke jalanan. Sementara seperti biasa wajahnya datar sedatar papan tripleks. Aku mengembuskan napas pelan. Rasanya butuh asupan oksigen saat berhadapan dengan manusia salju macam Adi. "Antar aku ke kosan." Adi masih tak menyahut. Tapi jalan yang ia pilih memang menuju ke kos. Setidaknya ia mengikuti keinginanku. Masih sama-sama terdiam, kami turun dari mobil dan memasuki kamar. "Bereskan barang-barangmu. Kita pulang sekarang," ucapnya kemudian setelah lama terdiam. Matanya menyorot tajam padaku membuatku takut akan kemarahannya. "Aku mau di sini," kataku kekeuh. Adi berjalan menuju lemari. Mengambil koper, dengan cepat memasukkan pakaianku. Aku sendiri hanya terdiam mematung menyaksikan ulah Adi. "Di. Aku masih mau di sini," sentakku mencoba merebut koper dari tangannya, setelah sadar seluruh bajuku selesai di masukkan olehnya. Adi berdiri. Matanya memindai tubuhku dari ujung kepala hingga kaki. Seketika aku merinding. Kedua tanganku refleks menyilang ke tubuhku yang masih berbalut pakaian kerja. Adi semakin mendekat. Kilat gairah kini tergambar jelas di matanya. Aku semakin takut, Adi akan berbuat nekat seperti waktu itu. "Di" Adi masih tak menyahut, namun tubuhnya semakin mendekat. Sementara tubuhku sudah menabrak dinding, membuatku tak bisa mundur untuk menghindarinya. Tubuh Adi kini berdiri tepat di depanku. Nafasnya memburu menyapu mukaku. Kedua tangannya bersangga pada dinding mengurungku posesif. "Aku akan membuatmu menjadi milikku seutuhnya, saat ini juga." Tubuhku meremang mendengar suara seraknya. Adi benar-benar telah dikuasai gairah. Aku semakin takut dibuatnya. Menggeleng pelan, aku berusaha meminta Adi untuk tak melanjutkan niatnya. Ia mengendus pipiku perlahan lalu terhenti tepat di depan bibirku. Mata kami beradu. Dalam sekejap kurasakan cecapannya yang lembut, membuatku terhanyut. "Diili ...." Aku terengah di antara deru napas kami. "Kita pulang sekarang. Atau...." Aku mengangguk cepat. "Oke, kita pulang.” Tak ingin Adi bertindak lebih jauh padaku, akhirnya aku menuruti kemauannya. Adi menjauhkan dirinya. Masih menatapku lekat, kulihat jelas ia mengembuskan napas berat. "Ya sudah, kamu siap-siap. Aku tunggu di luar," ucapnya kemudian. Kuembuskan napas pelan. Seketika kelegaan menghampiriku. Mengambil koper lantas kembali memasukkan seluruh barang- barangku. Aku keluar perlahan. Kudapati Adi tengah berbicara dengan pemilik kos. Aku menghampiri mereka, hendak berpamitan dengan Bu Yati—pemilik kos baik hati. "Mba Anyelir beneran mau pindah dari sini?" tanyanya seraya menatapku. "Iya Bu. Terima kasih atas kebaikan Ibu selama saya di sini," ucapku tulus. Kupeluk tubuh berisi Bu Yati. "Sama-sama ya. Main kesini kalau ada waktu. Jangan lupa sama Ibu." Kami melepaskan pelukan. Kutatap wajah yang masih terlihat ayu di usia senjanya. Seraya tersenyum aku berkata, "InsyaAllah nanti Anye main ke sini kalau libur, Bu." Setelahnya, aku dan Adi memasuki mobil. Masih tak percaya pada apa yang sekarang terjadi. Mengapa aku harus ikut Adi pulang ke rumahnya. Dan mengapa sikap Adi tiba- tiba berubah. Kutatap wajah tampan yang tengah fokus menatap jalanan. Tersenyum getir, kala menyadari betapa beruntungnya Melati dicintai oleh Adi. Pada dasarnya Adi adalah lelaki baik. Dia begitu tanggung jawab pada kami dalam hal materi dan pada orang tuanya juga. Selama aku tinggal di rumahnya, aku tahu ia tak pernah meninggalkan salat. Terlebih suaranya yang merdu saat bertadarus yang sempat membuatku meneteskan air mata. Hanya, mungkin ketika ia dipaksa oleh keadaan dan orang tuanya untuk menikah denganku merubahnya menjadi pria dingin dan menyebalkan, meski itu hanya berlaku untukku. "Belum puas menatapku?"Suara bariton Adi membuyarkan lamunanku. Seketika aku mengalihkan pandanganku ke samping, menyembunyikan rona kemerahan di pipi. "Aku tampan?" Oh, percaya diri sekali Adi. "Biasa saja," sanggahku tanpa menoleh padanya. Kudengar Adi tergelak. "Jangan khawatir kita akan tinggal serumah lagi. Jadi, kamu bisa puas memandangiku." Aku menatap tak percaya pada pria yang kini tersenyum lebar. Bisa-bisanya dia sebegitu percaya dirinya. "Benar begitu?" Adi mengernyitkan dahi. "Tentu saja." "Kenapa?" Adi terdiam tak menjawab pertanyaan terakhirku. Pandangannya fokus pada jalanan yang nampak lengang. Sedang aku memilih menutup mulut. Mengutuk diri, untuk apa menanyakan hal tadi. Memang apa yang aku harapkan? Berharap Adi mengatakan cinta padaku? Begitukah Nye? Kupejamkan mata demi mengusir rasa yang entah di hati. "Nye, makan malam udah siap." Suara lembut Melati terdengar dari luar kamar. "Iya, sebentar," jawabku seraya meraih kerudung lalu memakainya. KLEK. Pintu kubuka dan menampilkan wajah cantik dengan rambut basah. "Ayo, turun." Aku mengekori Melati menuruni tangga. Dapat kulihat Adi tengah duduk manis di ujung meja sambil memainkan ponsel. "Nye." "Ya?" Kutatap maduku yang juga tengah menatapku dengan ekspresi sungkan. Melati terdiam sejenak, mungkin sedang merangkai kata yang ingin ia ucapkan. Sedangkan Adi masih fokus pada makanannya. Ia hanya melirik kami bergantian. Melati berdehem dan kemudian kembali berkata, "Di, sebaiknya kamu yang bicara." Kulirik Adi yang telah meletakkan sendoknya. Lantas ia minum dan mengelap mulutnya dengan tisu. Aku menunggu dengan penasaran. Dan setelahnya mendadak tubuhku menegang mendengar kalimat yang terucap dari bibir Adi. "Mulai malam ini, aku akan tidur di kamar kalian secara bergantian. Seminggu di kamar kamu dan seminggu di kamar Melati." Apa aku tidak salah dengar? Aku membelalakkan mata. Ku yakin wajahku seperti orang bodoh saat ini. "Mulai malam sampai enam hari ke depan Adi akan tidur di kamar kalian." Kali ini Melati yang bicara. Aku masih terdiam mencoba mencerna perkataan suami dan maduku. Seminggu tidur sama Adi? @ Aku berdiam di kamar mandi. Duduk di atas kloset sembari mengatur degub jantung yang sejak makan malam tadi berdetak tak beraturan. Seminggu dan ini akan terjadi entah sampai kapan aku akan tidur dengan Adi. Seharusnya aku merasa senang karena mungkin Adi hanya ingin bersikap adil pada ke dua istrinya. Tapi ada rasa takut yang menyelusup seiring perubahan sikap Adi padaku. "Nye, kamu masih di dalam?" Suara Adi terdengar dari luar kamar mandi. Kubasuh muka cepat lalu segera membuka pintu. "Ada apa?" tanyaku sesaat setelah pintu terbuka. "Kamu dari tadi di kamar mandi, aku kira ketiduran." Adi berkata seraya menelisik wajahku. Dahinya mengernyit dalam. "Oh itu... aku mules. Waktu siang tadi makan sambal kebanyakan," jawabku berbohong. Adi mengangguk, "Sudah malam. Ayo tidur," katanya lalu berbalik dan berjalan ke ranjang. "Ayo," katanya lagi yang melihatku belum beranjak dari pintu. Aku melangkah pelan ke arah ranjang, sementara Adi sudah berbaring dan menyelimuti tubuhnya. "Aku tidur di mana?" tanyaku memastikan. Tak ingin kejadian di Bandung terulang lagi. Di mana aku di usir dari ranjangnya. "Di sini saja." Bagian 8 Malam sudah semakin larut. Jam di atas nakas sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi sepasang mataku ini belum juga bisa terpejam. Sementara dapat kudengar dengkuran halus dari Adi yang sudah tertidur sejak tadi di sampingku. Kuhela napas lalu mengembuskannya perlahan. Ternyata tidur seranjang dengan Adi membuat pikiranku justru berkelana ke mana-mana. Khawatir Adi akan meminta haknya itu yang paling kupikirkan saat ini. Akhirnya kuputuskan untuk berwudu. Salat malam lebih baik, pikirku. "Kamu belum tidur?" Suara Adi mengagetkanku yang baru saja menyelesaikan salat. "Belum ngantuk," jawabku sembari melepas mukena lalu memakai kerudungku dan menoleh padanya yang saat ini tengah duduk bersandar pada kepala ranjang. "Sini." Adi menepuk sisi kanannya. Memintaku duduk di sana. Masih dengan posisi duduk di atas sajadah, aku menatap Adi yang entah mengapa terlihat lebih tampan saat baru bangun tidur. Anyelir, mikir apa sih kamu! "Anyelir." Lagi, suara Adi terdengar lembut memanggilku. Aku berdiri, meletakkan mukena di atas sofa lalu duduk di samping Adi sesuai permintaannya. Jantungku kembali berdebar tak berirama. Aku hanya bisa menundukkan wajah. Teramat canggung duduk bersisian dengannya, di tengah malam yang senyap ini. Adi meraih tanganku. Menggenggamnya lembut. Kutatap netra hitam pekat yang juga tengah menatapku. Adi tersenyum tipis. Senyum yang jarang sekali kulihat selama pernikahan kami. "Maaf. Maaf untuk sikapku selama ini yang mungkin menyakiti kamu," ucapnya terdengar tulus namun entah mengapa aku menyangsikannya. "Aku gaktahu kamu kenapa sampai tiba-tiba berubah begini. Aku senang meski juga khawatir kamu hanya sedang pura-pura." Air muka Adi berubah. Ada gurat kekesalan di sana. Nah kan bener, bisa aja dia pura- pura baik padaku, bukan? Adi membuang napas pelan. Masih menatapku lekat dan berkata, "Aku sadar selama ini sikapku keterlaluan sama kamu. Sekarang aku sedang berusaha bersikap adil pada kalian." Aku mengangguk. "Tapi ... bukan berarti kita akan ...," sulit sekali melanjutkan kalimatku. Malu sejujurnya membahas ini. Adi tersenyum. "Tidak, sampai kamu benar- benar siap," jelas Adi yang mengerti maksudku. Dan setelahnya kurasakan bibirnya menyentuh puncak kepalaku. "Selamat tidur," ucapnya lagi seraya tersenyum. @ "Jadi sekarang kamu dan Melati tidur bergiliran sama Adi?" Marta kembali memastikan ucapanku. Sementara tangannya sibuk mengaduk mi ayam yang sudah diberi saus dan sambal. Kami sedang makan siang di kantin pabrik. Duduk berdua di meja paling ujung. Sengaja memilih tempat ini karena aku ingin bercerita banyak hal pada Marta. Aku mengangguk. "Iya." "Kok aku jadi curiga sama mereka berdua. Dan kenapa Adi tiba-tiba bisa berubah sikapnya begitu? Jangan-jangan ...." "Jangan netthinkdeh, Ta," kataku mengingatkan. Meski aku tak menampik berpikir ke arah sana. "Buktinya, Adi tiba-tiba baik sama kamu. Bukannya pas itu dia bilang bakal ceraiin kamu, kalau Ibunya udah sembuh?" Aku terdiam mencoba mengingat percakapanku dengan Adi sewaktu perjalanan kami menuju ke Bandung. Adi memang tidak secara gamblang mengucapkan akan menceraikanku jika Ibunya telah sembuh. Tapi ia seolah mengizinkanku boleh menuntut cerai padanya saat ibunya benar-benar sembuh. Dan... dengan perubahan sikapnya sekarang ini, pantaskah aku masih meminta berpisah dengannya? "Entahlah Ta. Aku sendiri juga bingung." "Kamu cinta sama Adi?" tembak Marta. Cinta? Aku terenyak. Menatap Marta yang juga tengah menatapku dengan wajah penuh tanda tanya. "A-aku juga gaktahu, Ta." "Gak apa-apa kalau kamu cinta sama Adi. Dia suami kamu. Cuma aku gak mau kamu nantinya terluka lagi pas tahu cinta kamu ternyata gak berbalas. Adi dan Melati menurutku pasangan abadi. Keduanya rela mengorbankan dirinya dibenci keluarga demi bisa bersama." Ah Marta benar. Pernikahan mereka memang sempat ditentang oleh kedua orang tua mereka. Tapi akhirnya meski masih keberatan, kedua orang tua mereka merestui. Cinta mereka memang sedalam itu. Seharusnya aku memang menolak perjodohan ini. Adi: Aku tunggu di depan. Aku tertegun mendapati pesan singkat dari Adi. Aku sedang membereskan meja kerjaku saat tiba-tiba terdengar bunyi pesan masuk. "Kenapa Nye?" Marta yang juga tengah membereskan mejanya, bertanya penuh rasa penasaran. "Adi di depan." "Cieee, dijemput suami." Goda Marta dengan senyum jahilnya. "Apa sih, Ta." "Bentar lagi kayaknya bakal ada yang belah duren nih." "Marta!" tegurku dengan nada pura-pura marah dan menahan senyum. "Udah sana samperin. Biar aku yang beresin. Takut berubah pikiran dia, kalau nunggu kelamaan." "Gak ah," tolakku masih memasukkan memilah fife lalu menyatukannya sesuai tanggal. "Udah sana." Marta merebut file di tanganku. "Anggap kalian baru menikah, lupain yang dulu-dulu. Jadi nikmati aja perhatian dari Adi," ucapnya lagi sembari tersenyum. "Udah makan?" tanya Adi begitu mobil melaju. "Udah." "Temani aku makan, mau?" Aku menoleh, menatap Adi. Heran. "Memangnya kamu belum makan?" "Tadi siang gak sempat." "Melati gimana?" "Dia pulang telat. Ada acara kantor." Aku mengangguk tanda setuju. ee "Mba saya pesan sup iga, nasi dan es teh manis," katanya pada pelayan wanita yang sejak tadi matanya tak lepas memandang Adi, membuatku geli sendiri. Apa sebegitu tampankah Adi di mata wanita lain? "Kamu pesan apa, Nye?" tanya Adi padaku. "Aku ... pesan latte sama roti bakar aja, Mba." Pelayan itu mencatat pesanan kami. Setelah mengucapkan terima kasih dan meminta kami menunggu sekitar lima belas menit, ia undur diri. "Kenapa gak pesan makan?" "Masih kenyang. Siang tadi kan baru makan," jawabku. Lalu setelahnya kami saling diam. Memilih menikmati makanan pesanan kami. Aku mengamati cara makan Adi. Pria di depanku ini makan dengan tenang. Pandangannya fokus pada makanan di depannya. Padahal tak jauh dari tempat kami duduk, tiga abege sejak tadi memperhatikan Adi. Mereka yang berpakaian terbuka sesekali tertawa cukup keras sambil memandang Adi. Sikap Adi yang acuh pada mereka membuatku tersentuh. Sosok Adi si manusia salju ternyata bukan pria tebar pesona. Syukurlah. Kami pulang setelah hidangan di piring kami tandas. Adi menyalakan radio agar suasana mobil tak terlalu hening. Suara merdu AndmeshKamaleng yang menyanyikan lagu Cinta Luar Biasa memecah keheningan di antara kami. Adi bersenandung lirih, begitu juga denganku. Kami tersenyum saat kami sama-sama menoleh dan pandangan kami bertemu. Semburat merah di pipi, tak mampu kututupi. Sementara jantungku berdegup tak berirama, mendapati senyum merekah Adi. Untuk saat ini biarkan seperti ini dulu. Menikmati kebersamaanku dengan Adi. Semoga memang semua ini menjadi awal yang indah. Bagian 9 Malam ini merupakan malam terakhir kami tidur bersama. Itu artinya selama seminggu ke depan Adi akan tidur bersama Melati. Meski aku belum yakin tentang perasaanku padanya, namun satu yang pasti aku merasa kehilangan dan cemburu, tentu saja. Adi adalah suamiku yang kemudian menikah lagi dengan Melati. Tapi masalahnya di sini Adi tak mencintaiku atau mungkin belum? Aku tersenyum sendiri mengingat kemungkinan itu. Adi kelak akan mencintaiku, benarkah? Aku sedang berdiri di balkon kamar. Menatap pekatnya langit yang ditaburi bintang-bintang. Setelah makan malam tadi, aku bergegas masuk ke kamar. Memberi waktu pada Adi dan Melati untuk menghabiskan waktu berdua. Meski hati tak rela tapi toh aku tetap melakukannya. Setidaknya aku berkaca pada Melati yang selalu berusaha mendekatkan Adi padaku. "Adi, Anye juga istrimu. Suapin dia juga dong." "Adi, nanti jangan lupa jemput Anye." Ya, Melati sosok wanita yang rela berbagi suami. Entah terbuat dari apa hatinya. Yang pasti aku mengagumi sekaligus cemburu dengannya. "Belum tidur?" Adi tiba-tiba sudah berada di sampingku. Turut menatap langit di atas sana. "Kamu juga belum tidur." "Ayo tidur." Ajak Adi lantas mengulurkan tangannya. Aku menatap tangannya ragu. Namun akhirnya meraihnya juga. Kami berjalan dengan jemari saling menggenggam. Beriringan memasuki kamar. "Besok aku ada meeting pagi, jadi maaf gak bisa antar kamu. Tapi aku berangkat bareng Melati, karena kami searah," ujarnya setelah kami duduk bersisian di ranjang dengan tubuh bersandar pada kepala ranjang. Adi masih menggenggam tanganku. Erat. "Iya gak apa-apa." Dan malam ini ditutup dengan kecupan ringan pemberian Adi di bibirku. - Benar. Paginya, Adi dan Melati berangkat lebih dulu. Selang lima belas menit aku pun berangkat menuju tempat kerjaku. "Pagi, Marta." "Pagi, Anyelir," balasnya. "Jadi ada berita pagi ini? Kayaknya lagi happy banget deh." Marta memang paling bisa membaca ekspresiku. "Biasa aja kok, gak ada yang spesial." Ya memang tidak ada yang spesial. Hanya perlakuan manis Adi akhir-akhir ini padaku membuat hidupku berwarna. Aku seperti menemukan semangat baru. "Yakin nih. Itu muka berseri terus Iho semenjak bobo bareng sama Pak Su." Tuh kan bener ujung-ujungnya godain. Aku menutup wajah dengan ke dua telapak tangan. Malu rasanya. "Aku ikut senengdeh kalau gitu." Dan pekerjaan yang menumpuk akhirnya membuat kami harus menghentikan sesi curhat pagi ini. Saat jam istirahat kami memutuskan untuk makan siang bersama di rumah makan padang di depan pabrik. "Makan yang banyak biar makin kuat menerima kenyataan," gumamku sesaat setelah si Uda meletakkan pesanan kami. "Kenyataan apa nih?" ucap Marta dengan seringai jahilnya. Aku mencondongkan tubuh ke arah Marta. "Kenyataan kalau aku dimadu. Puas kamu!" sahutku kemudian, setengah berbisik karena malu jika terdengar orang lain. Marta hampir meledakkan tawanya. Namun bisa kucegah dengan pelototan tajamku. Dia tersenyum simpul sambil mengangkat jari tangannya membentuk huruf V. "Bisa kita bicara?" Aku hendak memutar kontak motor matic-ku saat sebuah suara menginterupsiku. Ferdi, lelaki itu telah berdiri tepat di samping motorku, menatapku sendu. Sudah berhari-hari kami memang tidak bertemu. Hanya sesekali melihat sekilas saat di mushola atau di kantin. Selebihnya kami tidak pernah bertegur sapa. Aku lebih suka seperti ini. Karena tak mau juga menimbulkan fitnah jika terlalu dekat dengan Ferdi. Dan di sinilah akhirnya kami berada. Di sebuah kafe bergaya retro tak jauh dari tempat kerja kami. Kami terdiam beberapa saat hingga minuman yang kami pesan tersaju di hadapan kami. "Ada apa?" tanyaku kemudian. "Sudah pindah lagi ke rumah?" Aku mengangguk, "iya." Terdengar helaan napas Ferdi. "Aku melihat suami kamu dengan wanita lain beberapa kali." Ferdi memberi jeda, memandangku, mencoba melihat seperti apa ekspresiku. Namun, aku hanya menampilkan senyum tipis. Tak terkejut karena aku bisa menebak siapa wanita itu. "Mungkin yang kamu lihat adalah Melati. Istri keduanya," jelasku. Ferdi terperangah. Kelopak matanya melebar, menandakan betapa terkejutnya ia mendengar penjelasanku. "Istri kedua?" "Iya, sebulan setelah pernikahan kami, dia menikahi Melati. Aku pikir malam sewaktu kamu ke kos, kamu sudah tahu mengetahui hal itu." "Aku kira kamu hanya bertengkar dengannya makanya kamu pergi dari rumah dan menyewa kamar kos. Ternyata ...." Aku tersenyum, " Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik saja, sekarang dia sedang berusaha bersikap adil pada kami." "Kamu ... mencintainya?" Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Ya Tuhan kenapa Ferdi harus menanyakan itu. Aku memilih mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tak ingin menatap balik Ferdi yang sejak pertama kali sampai di kafe terus menatapku lekat. "Anyelir." "Apa salah kalau pada akhirnya aku mencintai suamiku?" Ferdi tersenyum tipis. "Baiklah. Itu artinya aku memang harus mulai membuang perasaan ini. Semoga kamu bahagia di pernikahan kalian." Aku terdiam, ragu untuk menjawab. "Kita pulang sekarang?" ajaknya kemudian. Rumah masih sepi dan lampu masih gelap saat aku pulang. Di garasi mobil Adi juga tak nampak. Mungkinkah Adi dan Melati pergi bersama? Ke mana mereka pergi sampai semalam ini? Kunyalakan lampu di setiap sudut rumah. Setelahnya aku memilih mandi lebih dulu. Lelah sekali rasanya hari ini. Seusai mandi kulangkahkan kaki menuju dapur untuk membuat susu hangat. Menuju ruang tengah kunyalakan TV. Bukan untuk menonton sinetron tapi untuk mengisi kesunyian rumah lantai dua ini. Sementara jari-jariku bergerak lincah menggulir layar ponsel. Membuka akun sosmed atau mencari bacaan di aplikasi baca berlogo W. Sampai akhirnya tepat saat jam dinding mengarah pada pukul sepuluh suara deru mobil memasuki garasi. Tak lama terdengar salam dari dua orang yang juga menghuni rumah ini. "Wa'alaikumsalam," jawabku. Adi dan Melati memasuki ruang tengah di mana aku tengah duduk. "Nye," sapa Melati. Aku mengangguk. Saat ini pandanganku tertuju pada penampilan mereka berdua. Adi memakai kemeja biru dan celana kain slim fit dan sepatu loafers. Rambutnya di rapihkan ke belakang. Tak lupa jam tangan ber-merk di pergelangan tangannya. Sementara Melati memakai dress berbahan brokat senada dengan kemeja Adi. Benar-benar pasangan serasi! "Kalian ...." "Kami habis ke pesta sepupunya Melati," jelas Adi. Aku mengangguk. "Kami ke kamar dulu ya," pamit Melati. Aku kembali duduk. Sebersit rasa cemburu kemudian muncul. Ya, aku cemburu melihat betapa serasinya Adi dan Melati. Bagian 10 Esok pagi seperti biasa kami sarapan bersama. Melati yang menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Sandwich dan jus sayur. "Aku mau lagi, Sayang," pinta Adi menoleh pada Melati. Melati dengan telaten mengambilkan lagi roti dengan irisan daging di tengahnya. Saat itu mataku tertuju pada jari manis Melati, di sana telah tersemat cincin emas putih dengan permata di bagian tengahnya, yang kuyakini itu sebuah berlian. Karena kilaunya berbeda. "Cincinnya bagus, Mel." Pujiku. Memang kenyataannya cincin yang dipakainya bagus. Simpel tetapi elegan. Melati dan Adi saling melirik. Aku mengerutkan kening, bingung pada sikap keduanya yang mendadak gugup. Ada apa ? "Ini ...." Melati hendak menjawab. "Hadiah dari Tantenya sewaktu pernikahan kami. Cuma baru di pakai sekarang," sahut Adi memotong kalimat Melati. Hadiah pernikahan semewah itu? Inginku tak percaya, tapi tak enak hati. Akhirnya aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Kami melanjutkan makan pagi dalam diam. Setelahnya kami berangkat bersama. Adi mengantarku lebih dulu lalu setelahnya mengantar Melati. "Anyelir, bisa ke ruangan saya sebentar," Bu Laras berbicara masih di ambang pintu ruanganku. Aku berpandangan dengan Marta sebentar. Mendadak dadaku berdebar, untuk apa tiba- tiba memanggilku ke ruangannya? "Saya Bu?" tanyaku memastikan. "Iya. Ayo, ada yang ingin saya bicarakan." Sekali lagi aku menoleh pada Marta. Gadis berkemeja motif bunga itu, mengangguk dan tersenyum tipis. Memberi semangat. Sepanjang jalan menuju ruangan beliau, pikiranku berkelana. Mengingat-ingat barangkali aku sudah melakukan kesalahan tetapi terlambat menyadarinya. Hingga akhirnya kami sampai di ruangan beliau. "Ada apa, Bu?" tanyaku setelah kami duduk berhadapan dengan terhalang meja kayu berlapis kaca. Bu Laras meraih gawainya, lalu detik berikutnya menyerahkan padaku. "Ini ... betul suamimu?" tanyanya ragu- ragu. Aku mengambil gawai dari tangan berkulit seputih susu itu. Netraku mengarah pada sebuah foto yang terpampang di layar gawai. Mataku seketika melebar melihat pada dua sosok yang ada di sana. Meski lampu di ruangan yang kutebak seperti di sebuah restoran tidak begitu terang, namun dapat kupastikan ke dua orang di foto tersebut adalah Adi dan Melati. Terlihat dari pakaian yang dikenakan mereka semalam. Entah apa yang sebenarnya terjadi semalam, Adi bilang mereka baru saja menghadiri pesta sepupunya Melati, namun di foto itu ... lagi-lagi harus kurasakan nyeri di dasar sana. Bahkan ketika kuperhatikan lagi, ada sebuah kue tart dengan lilin berbentuk angka 23 yang bertuliskan Happy Birthday Melati. "Betul itu suami kamu?" Kutelan saliva susah payah. Inginku mengatakan bukan tapi Bu Laras sudah pernah bertemu dengan Adi, sewaktu syukuran pernikahanku dengannya, juga saat family gathering. Ingin mengiyakan tapi aku merasa malu. Bukan malu karena aku dimadu, tapi karena sikap tak adil Adi kepadaku dan Melati. "Anyelir, saya bukan orang lain untukmu bukan? Kamu bisa cerita apa pun ke saya kalau mau." Aku mengangguk.Malu juga sedih. Adi sudah berjanji akan bersikap Adil pada kami. Tetapi kenyataannya? Melati pun ... aku tidak habis pikir mereka berdua akan membohongiku sedemikian rupa. Ya Tuhan, sakit sekali rasanya! Mulutku mendadak terkunci. Susah payah mengatur napas agar air mataku tidak tumpah di hadapan Bu Laras. "Anye, siapa perempuan yang bersama suamimu semalam?" desak Bu Laras. "Di-dia madu saya, Bu," jawabku tergagap. "APA?!" Bu Laras bahkan berdiri dengan mata melotot mendengar jawabanku. Sementara aku, entah mengapa sulit sekali menahaan titik-titik bening yang akhirnya memaksa mengaliri pipi. Bu Laras menghampiriku, memelukku erat yang kini justru menangis tersedu. Akhirnya waktu satu jam kuhabiskan untuk bercerita banyak padanya. Semuanya, tanpa ada yang kututupi. Ya, Bu Laras dibalik sosoknya yang tegas dan terkesan galak, ia adalah atasan sekaligus pendengar yang baik. Adi tidak menjemputku sore ini, beberapa menit lalu ia mengirim pesan jika tak bisa menjemput karena sedang ada pertemuan dengan klien. Aku sampai di rumah bertepatan dengan Melati yang juga baru saja sampai. "Macet gak Nye?" tanyanya. "Sedikit, Mel." Kulirik lagi cincin di jarinya. Dugaanku cincin itu adalah hadiah uang tahunnya dari Adi semalam. Ya Tuhan, kenapa bisa semenyesakkan ini. Ulang tahunku sebulan lalu, bahkan Adi tak mengingatnya. Apalagi mengajakku dinner spesial dan memberiku kado. Anyelir, jangan mimpi! "Mau masak apa untuk makan malam nanti?" Pertanyaan Melati membuyarkan lamunanku. "Terserah aja, Mel. Aku ikut aja. Toh Adi lebih suka masakan kamu daripada masakanku." "Ah gak juga kok. Adi pernah bilang ke aku kalau dia kangen sama capcay buatan kamu." Aku menatap Melati penuh tanya. "Gak mungkin!" gumamku tapi masih bisa terdengar olehnya yang kemudian jawabannya membuatku merasa sedikit tersanjung. "Iya. Kata Adi capcay buatan kamu enak. Dia pengindimasakin lagi, tapi merasa sungkan mau bilang." Tiba-tiba aku merasa tertampar karena sudah terlalu lama tidak memasak untuk Adi. Eh tunggu! Aku sekarang sedang marah padanya bukan? Karena Adi dan Melati sudah berbohong tentang makan malamnya kemarin malam. Jadi, kamu gak perlu merasa bersalah, Nye! Kami makan malam bersama. Adi banyak bercerita tentang usahanya. Suami kami itu tengah merencanakan untuk melebarkan cabang kafenya di Bali. Aku tersenyum simpul menanggapinya. Sementara Melati tersenyum lebar, ia bahkan sudah membayangkan akan bisa sering liburan ke Bali. "Aku duluan ya," kataku mengakhiri makan malam kami. Lalu segera melangkah pergi menuju dapur. "Boleh nitip?" Adi tiba-tiba sudah di dekatku mengulurkan piring kotor dan aku menerimanya tanpa menatap wajahnya. "Anye maaf ngrepotin ya. Meja makan sudah aku bereskan. Aku ke kamar dulu, ada kerjaan." Aku menoleh dan mengangguk pelan pada Melati. "Sayang, aku ke kamar dulu ya." Pamitnya pada Adi. Hanya tinggal kami berdua di dapur ini. Adi masih berdiri di sisiku, dengan tubuh bersandar pada kitchenis/and. Aku berdeham untuk mengurangi rasa gugup berdekatan dengannya. Bukan kutak tahu sejak tadi Adi menatapku. Dan aku memilih mengacuhkannya. POV Adi Selesai menyantap makan malam, kususul istri pertamaku ke dapur. Selain membawa piring kotor, juga untuk mengobrol dengannya meski hanya sebentar. Anyelir memang lebih banyak diam semenjak aku memutuskan untuk menikahi Melati. Namun aku tak ambil pusing. Ia hanya cemburu dan kuyakin dengan berjalannya waktu ia akan menerima kenyataan bahwa istriku bukan hanya dia satu-satunya. Namun sejak sekembalinya Anyelir dari kos aku berhasil membuat senyumnya kembali dan membuatnya tidak lagi pendiam. Meskipun masih irit bicara. Namun malam ini ia kembali diam. Bahkan saat aku dan Melati membicarakan tentang Bali, ia hanya tersenyum tipis tak menanggapi percakapan kami. "Boleh nitip?" Kusandarkan tubuh pada kitchenisland sembari menyerahkan piring kotor padanya. Ia menerimanya dengan wajah menunduk tanpa menatapku. Aku hendak bicara saat sebuah suara kemudian menahan ucapanku. "Anye maaf ngrepotin ya. Meja makan sudah aku bereskan. Aku ke kamar dulu, ada kerjaan yang harus diselesaikan." Melati sedikit berteriak mengatakannya. "Sayang, aku ke kamar dulu ya." Aku mengangguk pelan. Lalu kulihat tubuh Melati menghilang menaiki tangga dan masuk ke kamar. Tinggallah kami berdua di ruangan ini. Aku masih menatapnya. Memperhatikan gerakkan tangannya menyabuni dan membilas piring. Kudengar ia berdeham, entah karena apa. Masih tanpa menatapku ia mengeringkan tangannya lalu berbalik. Beranjak meninggalkanku sendirian di ruangan ini tanpa menyapaku sama sekali. "Kenapa dia tiba-tiba mengabaikanku?" Bagian 11 Adi Sudah seminggu aku dan Anyelir tidak bertegur sapa. Bahkan pada Melati pun dia sedikit menjaga jarak. Aku juga merasa enggan bertanya mengapa dia mendiamkanku. Bahkan saat aku mengantar jemputnya tak terlontar dari bibirnya ucapan terima kasih untukku seperti biasa. Sempat aku bertanya pada Melati tentang diamnya Anyelir pada kami, tapi istri keduaku itu hanya menggeleng tidak tahu menahu. Sore ini aku kembali mengarahkan kemudi menuju tempat kerja Anyelir. Menjemputnya seperti biasa. Sudah sepuluh menit aku menunggu sambil melihat grafik penjualan kafe cabang di Bandung yang menukik tajam, membuat kepalaku berdenyut nyeri. Kualihkan pandanganku dari Mac Book ke kaca mobil, begitu mendengar seseorang mengetuknya dari luar. Seorang gadis yang kuketahui sebagai teman Anyelir berdiri di samping mobilku. Akhirnya aku keluar menghampiri gadis itu. "Mas." Gadis yang kuketahui bernama Marta itu mengangguk sopan seraya tersenyum. Aku pun membalas tersenyum padanya. "Sore, Marta. Anyelirnya mana?" tanyaku yang tak melihat sosok istriku di samping gadis ini. Biasanya mereka selalu keluar bersama meskipun mengendarai motor sendiri-sendiri. "Anyelir sudah pulang, Mas. Baru saja." Anyelir benar-benar menghindariku. Aku mengangguk. "Bisa kita bicara sebentar?" Banyak hal yang ingin kutanyakan pada Marta. "Kalau Mas Adi mau tahu jawabannya kenapa Anyelir pergi, kejar dia Mas. Bukan justru tanya sama saya." Aku terenyak mendengar jawaban gadis berkaca mata ini. Sedikit rasa bersalah menghampiriku karena justru mendiamkan Anyelir yang mendiamkanku. "Tapi ...." "Kejar Anyelir, Mas. Sudah beberapa hari ini dia murung." Selesai Marta mengatakan itu, aku segera mengarahkan kemudi menuju rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku diliputi perasaan bersalah juga penasaran dengan penyebab diamnya Anyelir. Bersyukur saat aku sampai, motor milik Anyelir sudah terparkir di garasi rumah. Rumah tampak lengang begitu kuinjakkan kaki ke dalam. Aku bergegas menuju kamar karena di ruang tengah tak nampak sosok yang tengah kucari. Entah karena apa aku menyusulnya diiringi perasaan khawatir. Biasanya aku tak peduli apa pun yang terjadi dengannya. Seperti saat dia memilih mengekos, jika bukan karena Melati yang merengek agar aku menyusulnya, tak akan aku menjemputnya dan memintanya pulang ke rumah. Aku menuju kamarnya, untuk memastikan keberadaan Anyelir. Dan tepat saat kubuka pintu kamarnya, aku disuguhi pemandangan yang membuatku meneguk saliva. Berat. Anyelir Sudah seminggu aku mendiamkan Adi dan hanya berbicara seperlunya pada Melati. Aku marah? Ya. Aku marah, cemburu dan iri. Marah pada keadaan yang menjadikan kami sebagai rumah tangga berpoligami. Cemburu dan iri karena lagi-lagi Adi hanya menunjukkan rasa sayangnya pada Melati. Sungguh bukan aku tidak menyetujui poligami. Tetapi aku hanya tak menyukai sikap Adi yang cenderung sayang hanya pada salah satu istrinya. Sore ini Adi kembali menjemputku. Mobil Pajero putihnya sudah terparkir di depan gerbang tempat kerjaku, saat aku keluar.Namun aku memilih pulang sendiri dan meminta pada Marta untuk memberitahunya. Sesampai di rumah milik Adi, aku segera menuju kamar. Memilih duduk di sofa untuk meregangkan otot tubuh yang kelelahan sembari mendengarkan merdunya suara Nissa Sabyan. Kuputuskan mandi setelah tubuh lebih re/ax. Melepas kerudung lalu melepaskan ikatan rambut dan perlahan kutanggalkan kemeja motif polkadot yang sejak tadi pagi kukenakan. Menatap pantulan diri pada cermin di depanku dengan hanya menggunakan Bra. Tepat saat itu, pintu terdorong dari luar. Aku terlonjak kaget saat kudapati sosok Adi dengan kelopak mata membesar berdiri di ambang pintu kamarku. "Kamul" hardikku. Kuraih selimut untuk menutupi tubuh atasku yang terekspos. © Adi Tubuh bagian atas Anyelir terpampang nyata di depanku. Kulitnya yang kuning langsat dengan rambut hitam legam tergerai membuat naluri kelelakianku bereaksi. Aku memang sudah terbiasa melihat tubuh polos wanita. Ya, tubuh siapa lagi kalau bukan tubuh Melati. Tapi ini berbeda, Anyelir wanita berbeda karena selama ini selalu memakai pakaian tertutup termasuk saat berada di hadapanku. "Kamul" "Maaf!" ucapku begitu melihatnya terkejut dan segera menyambar selimut untuk menutupi tubuh bagian atasnya. "Ka-kamu ngapain ke sini?" tanyanya semakin merapatkan selimut ditubuhnya. "Aku mau bicara." "Aku mau mandi." "Ya sudah kamu mandi dulu. Aku tunggu." "Ya sudah, silakan keluar,” usirnya. "Aku tunggu di sini," ucapku datar. Dan suka sekali kumelihat ekspresinya yang terkejut dengan kelopak mata yang melebar. "Tunggu di luar!" Aku tak menghiraukan perkataannya. Justru langkah kakiku kini semakin memasuki kamar, mendekat ke arahnya. Sudah bisa kutebak selangkah aku mendekat, Anyelir akan mundur selangkah juga. Malu-malu kucing, saat kucium bahkan dia tak menolakku sebelum ngambek-nya datang. Tak kurasa sebuah lengkungan ke atas terbentuk di bibirku. Anyelirku. "Ngapain senyum-senyum!" "Sudah sana mandi. Aku mau bicara,” ktaku yang memilih duduk di bibir ranjang. Anyelir berdecap kesal. Mengentakkan kakinya, lantas melangkah menuju kamar mandi di dalam kamar ini. ~ Anyelir Aku benar-benar kesal pada Adi. Saat aku tengah memandangi tubuhku di cermin, sosoknya tiba-tiba muncul. Berdiri memandangku dengan wajah super aneh. Untung saja aku segera menyambar selimut, sehingga pria es—yang setengah meleleh— itu tak terlalu lama menelanjangi tubuhku melalui tatapannya. Bisa kurasakan, debaran jantung yang berdetak tak berirama. Antara takut dan malu melebur jadi satu. Takut jika Adi akan berbuat terlalu jauh. Dan malu karena ini untuk pertama kalinya dia melihat bagian tubuhku selain wajah, kaki dan tangan. Aku masih belum bersedia menyerahkan kesucianku padanya. Bukan karena aku ingin menjadi istri durhaka, tapi sungguh aku hanya belum sanggup jika aku telah menyerahkan segalanya, Adi ternyata tidak bisa mencintaiku. Sudah sejam aku di dalam kamar mandi. Dan sudah sejak setengah jam lalu aku selesai membersihkan tubuhku. Tapi aku belum ingin beranjak dari sini. Enggan rasanya berhadapan dengan Adi. "Anyelir, kamu sudah selesai?"Suara Adi menggema dari luar kamar mandi. Aku berdecap kesal. Tapi akhirnya kubuka juga pintunya. Dan begitu pintu terbuka, aku begitu saja melewati tubuhnya yang berdiri di ambang pintu. Untung saja aku tak lupa membawa baju ganti sebelum memasuki kamar mandi. "Tadi aku jemput kamu," katanya yang sudah berada di sampingku yang tengah melipat selimut. "Aku bisa pulang sendiri," ujarku tanpa menoleh padanya. "Anyelir, linat aku!" Suara Adi bertambah dingin, membuatku seketika dihinggapi rasa takut. Akhirnya aku berbalik dan kutatap enggan wajahnya yang tanpa senyum itu. "Cepat katakan apa yang mau kamu sampaikan." "Kenapa akhir-akhir ini kamu menghindari kami?" Aku tertawa sumbang mendengar pertanyaannya. Kami? Jadi dia mengkhawatirkanku karena menghindari Melati bukan karena menghindarinya. "Bukannya sejak awal menikah hubungan kita memang seperti ini?" "Nye, please. Aku sedang berusaha adil sama kalian." "Adil seperti apa yang kamu maksud kalau kamu mengajak Melati dinner dan memberinya cincin, tapi berbohong padaku." Kulihat Adi terkejut. "JAWAB! ADIL YANG BAGAIMANA YANG KAMU MAKSUD, DI?!" Bagian 12 Author POV “JAWAB! ADIL YANG BAGAIMANA YANG KAMU MAKSUD?!" Anyelir menatap nyalang pada Adi yang juga tengah menatapnya. Pria itu terkejut, tak menyangka Anyelir telah mengetahui fakta tentang makan malamnya dengan Melati tempo hari. “Aku salah apa, Di? Aku salah apa, sampai kamu setega ini?” Kali ini suara Anyelir melunak. Matanya nampak berkaca- kaca. “Kalau kamu memang gakmenginginkanku jadi istri, kenapa gak dari awal kamu menolak perjodohan kita? Kenapa?” Setetes cairan bening akhirnya meluncur dari netra wanita itu. Adi tetap bergeming. Ingin ia menjelaskan tentang malam itu, namun bibirnya terasa kelu. Sebersit rasa kasihan hadir direlung hatinya melihat wanita di depannya begitu rapuh dan terluka. Namun egonya lebih mendominasi, ia tak ingin terlihat perduli pada istri pertamanya itu yang mungkin saja akan membuatnya baper. Sementara tanpa mereka sadari, di sebalik pintu kamar seseorang mematung memandang sendu pada keduanya. Melati baru saja pulang dan bergegas memasuki rumah begitu mendengar teriakan Anyelir dari luar rumah. Ia hanya mematung dengan hati tak kalah nelangsa menyaksikan madunya meluapkan amarah terlukanya. “Pergi dari sini!” Kata Anyelir setelah mencoba meredakan tangis dan kemarahannya. “Anye....” “Aku bilang per—gida—risi—nil!” katanya lagi penuh penekanan. “Maaf.” Hanya itu yang mampu Adi ucapkan sebelum meninggalkan kamar yang selama ini ditempati Anyelir. Suasana makan pagi itu terasa canggung. Ketiganya makan dalam diam, tak ada yang membuka pembicaraan lebih dulu. Sesekali Adi melirik ke dua istrinya yang duduk di kedua sisinya. Sesekali pandangannya bertemu dengan Melati. Istri keduanya yangmengisyaratkan dengan netranya, memintanya untuk menyapa Anyelir lebih dulu. Namun Adi tetap bergeming, egonya terlalu tinggi untuk bertanya lebih dulu pada Anyelir. Meski ia sadar..tindakannya telah melukai wanita yang kini hanya menatap hidangannya tanpa minat. “Anye, nanti bisa temani aku belanja bulanan?” Melati mencoba mencairkan suasana yang sejak tadi hening sekaligus mencoba mendekatkan dirinya lagi dengan sang madu. Ia sendiri merasa tak enak hati telah turut andil membohongi wanita yang usinyaterpaut beberapa bulan dengannya. Anyelir mendongak, menatap Melati dengan wajah datar. Jika biasanya wanita itu akan tersenyum ringan pada istri kedua Sang Suami, namun kali ini tidak. Tak ada senyum meski hanya senyum yang dipaksakan. “Aku gak bisa,” tolak Anyelir. “Aku berangkat dulu,” pamitnya kemudian seraya berdiri dan meninggalkan dua orang yang menghela napas panjang secara bersamaan. “Di, kitanggak bisa begini terus. Kamu harus bisa bujuk Anyelir. Aku jadi merasa bersalah,” lirih Melati penuh sesal. “Aku nggak bisa.Biar saja seperti ini terus. Toh kemarin-kemarin kamu yang maksaaku buat bersikap baik sama dia.” “Di...” “Aku nggak bisa terus-menerus pura- pura baik sama dia. Aku sayang sama kamu, Mel,” ujar Adi sembari menggenggam tangan Melati. Tatapannya lembut pada wanita itu membuat sang wanita merasa begitu dicintai. Anyelir Aku mendiamkan Adi dan Melati sejak seminggu yang lalu. Aku jelas marah pada mereka berdua yang telah membohongiku. Terlebih pada Adi yang telah mengingkari janjinya. Pria itu pernah berjanji akan bersikap adil padaku dan Melati. Tapi lihatlah, ia kembali melukaiku dengan tindakannya yang lebih perhatian pada Melati. Setelah sarapan bersama, kuputuskan berangkat kerja lebih dulu. Meninggalkan dua orang yang sejak tadi hanya saling melirik. Melati mencoba membuka percakapan dengan mengajakku pergi berbelanja bersama, tapi sudah kutolak. Aku masih enggan berada di dekatnya. “Kenapa tuh wajah, tiap hari ditekuk terus?” Marta yang baru masuk ke warehouse bertanya. Aku memaksakan senyumku padanya. “Nih senyum.” “Masih marahan sama mereka?” selidik Marta yang sudah tahu masalahku. Aku mengangguk. “Aku kekanakkannggak sih?” Marta menggeleng. “Nggak kok. Wajar kamu marah sih karena lagi-lagi Mas Adi ingkar sama janjinya yang katanya mau adil sama kamu dan Melati,” Marta sengaja menjeda kalimatnya, melihat ekspresi sahabatnya itu. Sementara Anyelir hanya menatap Marta penasaran. “Seenggakknya Adi memilih menikahi Melati ketimbangterus berhubungan sama dia d ibelakang kamu.” Aku terhenyak mendengar perkataan Marta. Sejenak aku berpikir dan hati kecilkumengiyakan perkataannya. “Jadi ...? “Jadi semua terserah kamu. Kalau kamu memang masih mau mempertahankan pernikahan kalian. Coba sekali lagi berusaha mengambil hati Adi.” “Awal-awal pernikahan aku udah coba, Ta. Tapi gagal,” keluhku. Teringat wal-awal pernikahan kami, akusudah berusaha menjadi istri yang baik.Mengurus keperluan Adi dari pakaian hingga makanan pria itu. Namun sikap Adi tetap saja sedingin es. Marta tersenyum hangat, “Cobalah sekali lagi. Kalau kamu merasa udahnggak sanggup, kamu berhak mengakhirinya.” Kupeluk Marta erat. Beruntung aku memiliki sahabat seperti dirinya. Kami melanjutkan pekerjaan kami yang sempat tertunda oleh sesi curhatku. Sudah tiba waktunya makan malam, namun aku masih enggan keluar kamar, meski Melati sudah dua kali mengetuk pintu kamarku. Aku masih menatap langit di balkon kamar, memikirkan perkataan Marta siang tadi. “Seenggakknya Adi memilih menikahi Melati ketimbang terus berhubungan sama dia di belakang kamu.” Ada benarnya juga Marta berkata demikian. Setidaknya Adi tidak selingkuh, ia lebih memilih menikahi Melati. Haruskah aku merasa beruntung karena hal itu? Aku menggeleng frustasi. Antara hati dan otakku tidak sejalan. Otakku memaklumi keputusan Adi yang menikah lagi dari pada ia harus menjalin hubungan diam-diam dibelakangku. Tapi hatiku meronta, karena sakit yang Adi torehkan sebab ketidak— adilannya membuatku hampir putus asa dengan pernikahan ini. Suara ketukan kembali terdengar. “Anyelir, boleh aku masuk?" Suara Melati terdengar dari balik pintu. Kuhampiri pintu, kubuka kuncinya lalu kutarik handle dan setelah pintu terbuka, terlihat Melati berdiri di depanku dengan nampan di tangannya. Nampan berisi nasi dengan lauk pauk dan segelas air putih. “Makan dulu.” Ia mengulurkan nampan berisi makanan itu padaku. Aku menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. Hening sejenak hingga kemudian Melati berbicara. “Makan dulu, setelah itu aku mau bicara” “Sekarang saja,” pintaku. Lalu aku berbalik dan Melati mengikutiku masuk ke dalam kamar. Kami duduk bersisian di sofa, di bawah jendela yang menghadap ke kolam renang. Kulihat wajah gugupnya, namun kemudian berganti dengan wajah serius. Aku sendiri turut penasaran hal apa yang akan di bahas oleh maduku ini. “Soal cincin itu ....” Melati nampak ragu- ragu mengatakannya. “Aku tahu, itu adalah kado ulang tahunmu,” sahutku berusaha berbicara sebiasa mungkin. Padahal gerak jantungku berdebar hebat antara marah dantakut. Entah takut seperti apa, aku tak tahu pasti. “Maafkan aku, Nye,” cicitnya dengan wajah tertunduk. “Nggak apa-apa. Hanya saja kenapa kalian harus berbohong?” “Kami nggak bermaksud bohongin kamu, Nye. Waktu itu aku udah ingatkan Adi untuk membeli dua cincin untuk kamu juga. Tapi dia bilang, tabungannya menipis. Jadi dia hanya beli satu cincin untukku,” jelasnya dengan air muka serius. Benarkah begitu? “Nye, maaf karena pada akhirnya kehadiranku buat kamu tersakiti. Aku juga sakit saat pertama kali tahu Adi menikahi kamu. Kami saling mencintai dan sama-sama nggak siap kehilangan. Jadi, saat Adi memintaku jadi istri keduanya, aku meyanggupi," ucapnya dengan sorot mata terluka dan berkaca-kaca. Aku masih terdiam, menyimak setiap perkataannya. “Aku memaklumi Adi sebagai anak yang ingin berbakti pada orang tua, sehingga saat dia dijodohkan denganmu, aku hanya bisa menangis tanpa bisa melarangnya.” Hening, hingga kemudian terdengar isakan lirih dan guncangan di bahunya. Aku menghela napas untuk mengurangi sesak yang menghimpit dada. Sakit yang berbeda kurasakan melihatnya juga ternyata terluka sepertiku. “Tapi Adi mencintaimu.” Melati menghapus air matanya pelan. Lalu menatapku sendu. “Kita akan buat Adi mencintaimu juga," ucapnya dengan seulas senyum di wajah cantiknya. Bagian 13 Aku mengikuti saran Melati untuk membantunya menyiapkan keperluan Adi. Seperti katanya, ia akan membantuku membuat Adi mencintaiku. Entahlah, aku sendiri tidak yakin dengan rencana ini. Tetapi tidak ada salahnya mencoba bukan? Pagi ini, aku menyiapkan sarapan untuk kami berupa nasi goreng seafood dan jus wortel. Pukul lima pagi selesai salat, aku sudah berkutat di dapur, menyiapkan bahan-bahan yang akan kumasak. Melati turun saat aku sedang menumis bumbu. "Harum banget, Anye. Jadi, masak nasi gorengnya?" tanyanya begitu berdiri di sampingku. "Iya, habisnya bingung mau masak apa," jawabku yang masih sibuk mengaduk bumbu supaya tidak gosong. "Aku bantu apa?" tanya Melati menawarkan diri. “Enggak perlu, biar aku saja,” tolakku. “Adi sudah bangun?" tanyaku balik. "Sudah, lagi mandi." Aku melihat penampilan Melati sekilas. Ah, rupanya rambutnya basah. Itu artinya terjadi sesuatu dengan mereka tadi malam. Diam-diam ada gelenyar sakit yang menyusup ke rongga hatiku. Kamu nggak boleh cemburu, Anyelir. Aku kembali fokus pada masakanku. Udang aku masukkan, sambil terus mengaduknya. "Tadi kamu kasih cabai berapa, Nye?" tanya Melati. "Oh, tadi aku cuma kasih lima kok." "Baguslah. Adi memang nggak terlalu suka pedas soalnya. Aku mengangguk paham. Hidup beberapa bulan dengannya, meski ada jarak yang membentang di antara kami, tak lantas membuatku tidak tahu menahu tentang suami kami itu. "Ya sudah, kalau nggak ada yang bisa kubantu, aku ke belakang ya. Cucian kayaknya udahnumpuk." Melati melangkah ke belakang begitu aku menyahutinya. Aku kembali sibuk dengan masakanku yang sebentar lagi matang. Nasi sudah kumasukkan beberapa menit yang lalu. Kecap asin, sedikit saus tomat juga garam sudah kutambahkan. Tinggal menunggu beberapa menit lagi, agar bumbu terserap sempurna. Selesai memasak, kini aku berganti mengupas wortel. Memasukkannya ke juicer setelah ditambahkan susu, kemudian aku memblendernya. Suara blender yang berdesing nyaring mengisi kesunyian dapur yang didominasi warna pastel ini, hingga membuatku tak sadar dengan kedatangan Adi di sampingku. Adi terlihat sudah rapi dengan balutan kemeja denim dan celana chino berwarna krem. Rambutnya basah sesuai dugaanku tadi, saat melihat rambut Melati juga basah. Mereka.... ya, begitulah. Adi menuang segelas air putih dari dalam teko. Membawanya ke meja makan, dan ia duduk di sana. Aku hanya mengawasinya dengan ekor mataku. Jus yang kubuat sudah tercampur sempurna, kumatikan blender lalu segera menuangnya pada tiga gelas yang telah kusediakan. Aku berbalik dan mendapati Adi kini sedang memainkan ponselnya. Merasa diperhatikan, Adi mengangkat wajah. Tatapan kami kemudian bertemu. Adi menampilkan senyum menawannya. Sementara aku setengah canggung berada di ruangan yang sama dengannya, berdua saja, meski bukan untuk yang pertama kali. Aku hanya mampu tersenyum tipis. Terlebih setelah aksi diamku padanya dan Melati beberapa hari kemarin, membuatku salah tingkah. Adi mungkin akan menganggapku egois, atau apa lah. Tapi aku memang benar- benar iri pada perhatian Adi ke Melati. "Sudah selesai masaknya?" tanya Adi kemudian. "Sudah." "Boleh aku coba?" Senyum di wajahku semakin merekah mendengar penuturan Adi. Rasa marah yang sempat hinggap lebur seketika, berganti dengan sebuah harapan membuat Adi berubah mencintaiku. Kuambilkan nasi goreng dan minuman untuk kami bertiga. Setelah menghidangkannya di atas meja, aku duduk di sisi kirinya. "Sepertinya enak," ujar Adi. Aku tak menjawab. Netraku awas mengamati tangga menunggu kemunculan Melati. Tetapi sosok Melati tak kunjung turun. Apa Melati masih mencuci di belakang? Adi terbatuk begitu suapan pertamanya. Aku segera memberinya segelas air putih yang lantas langsung diminum olehnya. "Kamu kasih cabai berapa sih, Nye?" Adi terlihat kesal. Wajahnya yang putih memerah karena menahan pedas, membuatku merasa bersalah seketika. Tubuhku lunglai seketika. Hari pertama mencoba meraih perhatian Adi sudah gagal, setelah selama ini aku mencoba abai. Aku ingin menangis saja, tapi aku tidak boleh terlihat cengeng di hadapannya. "Kamu tahu kan, kalau aku nggak bisa makan yang terlalu pedas begini!" Adi menaikkan sedikit volume suaranya. Matanya menyorot tajam kepadaku.

Anda mungkin juga menyukai