Anda di halaman 1dari 32

OMNIBUS LAW dalam PERSPEKTIF

TEORI SOSIAL/HUKUM KRITIS

Oleh : Umar Sholahudin


Dosen FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya Seminar Nasional dan Refleksi Akhir tahun
Direktur Eksekutif Center for Social Study and Democrazy
(Cessda) Jawa Timur 2019 LKBH UMSIDA, 30 Desember 2019
OMNIBUS LAW INDONESIA :
 Presiden Jokowi menyebut istilah omnibus law dalam pidato pertama setelah dilantik
sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019.
Omnibus law terdiri atas dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan
Kerja dan UU Perpajakan.
 Kedua RUU Omnibus Law ini disiapkan untuk memperbaiki ekosistem investasi dan
daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan
perlambatan ekonomi global, dengan harapan pertumbuhan ekonomi meningkat
(6%).
 Pertama, Surplus regulasi sehingga menghambat Investasi. Omnibus law akan
menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang.
 Kedua omnibus law tersebut diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional
dengan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia dalam
menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.
Kondisi Ekonomi Nasional
 Kondisi pertumbuan ekonomi yg lemah atau stagnan (5%)
 Pertumbuhan Ekonomi dlm didongkrak melalui Investasi (D/L)
 Berdasarkan peringkat dalam Easy of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berusaha 2016
versi World Bank Group, Indonesia berada pada posisi 109 dari 189 negara.
 Sejak Mei 2018, pemerintah telah meluncurkan program one single submission (OSS) yang
merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 91 Tahun 2017 tentang
Percepatan Kemudahan Berusaha. Kebijakan dan semangat pemerintah ini memang perlu
ditangkap oleh daerah, salah satunya dengan membuat atau revisi produk hukum daerah
(baca: Perda) yang relavan.
 Investasi produktif membutuhkan kebijakan investasi yang friendly. Butuh regulasi yang
mendukung.
 Regulasi yang ada tumpang tindih dan sektoralistik. Surplus regulasi menghambat investasi
 Karena itu Butuh deregulasi (penyerdehanaan regulasi) dan debirokratiasi
Omnibus Law sebagai Resep pertumbuhan
Ekonomi via investasi
 Tumpang tindih aturan/hukum dapat diselesaikan
 Harmonisasi dan sinkronisasi aturam hukum dpt dilakukan
 Membuat hukum baru yang menjadi hukum payung bagi hukum-hukum yang
terkait.
 Mengubah berbagai regam hukum yang ada/terkait dan dimasukan dalam
satu payung hukum yang terintegrasi.
 Mengubah pasal-pasal dlm UU terkait yang dinilai menghambat investasi
 Omnibus Law akan melancarkan kran investasi masuk ke Indo.
 OL akan mengdongkrak pertumbuhan ekonomi, kurangi pengangguran, dan
devisi negara akan meningkat.
OMNIBBUS LAW untuk kepentingan Siapa?
 Untuk Kepentingan “bangsa dan negara”?
 Semakin memperkokoh kepentingan kaum pemodal kapitalis?
Apakan ini justru menjadi karpet merah buat kaum kapitalis.
 Untuk kepentingan masyarakat? Masyarakat yang mana yang
diuntungkan?
 Apakah dengan OL, dengan serta merta “harapan manis”; investasi
dan pertumbuhan ekonomi akan naik?
 Skenario positif dan negatif apa yang bisa diprediksi, jika OL
diberlakukan.
Apa itu Omnibus Law
 Menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, istilah omnibus law berasal dari omnibus
bill, yakni UU yang mencakup berbagai isu atau topik. Kata "omnibus" berasal dari
bahasa Latin yang berarti "segalanya“
 Omnibus law juga dikenal dengan omnibus bill. Konsep ini sering digunakan di
Negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat
regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk
mengamandemen beberapa UU sekaligus.
 Omnibus law atau omnibus bill diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) untuk mengamendemen beberapa UU sekaligus. Konsep omnibus law
sebenarnya berusia cukup tua, di Amerika Serikat (AS) tercatat UU tersebut pertama
kali dibahas pada 1840
 Secara proses pembuatan, pakar hukum menyebut bahwa tidak ada perbedaan
dengan proses pembuatan UU pada umumnya. Hanya saja, isinya tegas mencabut
atau mengubah beberapa UU yang terkait.
 HUKUM PAYUNG. Regulasi dengan membuat membuat satu undang-
undang baru untuk mengamanden beberapa undang-undang
sekaligus.
 Undang-Undang Cipta Lapangan Pekerjaan dan UU perpajakan/UU
Pemberdayaan UMKM
 Setidaknya ada 82 UU dan 1.194 Pasal terdampak dan akal
Diselaraskan dalam Omnibus Law
 Unuk memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia,
khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan
ekonomi global.
OMNIBUS SEBAGI RESEP?
Perspektif Teori Sosial/Hukum Kritis
 Teori, kajian dan analisis teori kritis dalam sosiologi ini
dimanfaatkan oleh para yuris dalam kajian ilmu hukum. Studi kritis
atas hukum merupakan kritik dan sekaligus perlawanan terhadap
paradigm dan mainstream hukum dominan yang positivistik.
 Para penggiat studi kritis atas hukum berusaha untuk memahami
dan berusaha membongkar secara mendalam struktur-struktur
hukum yang dominatif dan hierarkhis sebagai produk dari
masyarakat industry-kapitalis yang lebih mengedapankan
rasionalitas. Struktur sosial merupakan wujud ketidakadilan,
dominasi, dan penindasan.
 Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat dan teori kritis
dari Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse
dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an
dan dilanjut oleh Jurgen Habermas, dan lain-lain.
 Filasafat kritis adalah salah satu aliran filasat yang
berkembang dengan menggunakan pendekatan kritis
terhadap realitas sosial. Aliran ini diilhami oleh pemikiran
Hegel dan Karl Marx. Aliran ini berkembang mulai dari
Mahzab Frankfurt sampai dengan Post Modernisme
Kritik atas Positivisme Hukum
1. Studi kritis atas hukum tak bisa dialepaskan dari aliran positivism (hukum).
Studi kritis atas hukum berangkat dari kekecewaan terhadap aliran
positivism (hukum) yang dianggap gagal dalam memberikan rasa keadilan
dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
2. suatu teorisasi mengenai adanya suatu tatanan hukum yang kukuh dan
rasional merupakan obsesi dari aliran positivisme tersebut. Hukum harus
dapat dilihat sebagai sutu bangunan rasional, dan dari titik ini berbagai teori
dan pemikiran dikembangkan. Dalam teoritisi positivis tersebut terdapat
nama-nama besar, seperti Hans Kelsen, H.L.A.Hart, Lon Fuller dan Dworkin.
Kelsen misalnya, terkenal dengan Reine Rechtslehre dan Stufenbautheorie
yang berusaha untuk membuat suatu kerangka bangunan hukum yang dapat
dipakai di manapun.
 B. A. Sidharta (2004) mengatakan pemahaman dan penegakan hukum
legalistik-positivistik melahirkan adanya penafsiran hukum yang
monolitik oleh para fungsionaris atau aparat penegak hukum.
Penafsiran monolitik bermakna bahwa teks undang-undang hanya
memberi rentang ruang penafsiran yang sangat terbatas dan bersifat
limitatif. Kata “monolitik” bahkan mengisyaratkan ruang itu hanya ada
satu yang biasanya hanya mengidolakan penafsiran gramatikal, bahkan
cenderung leksikal.
 Pemahaman ini juga akan sangat rawan menimbullan subjektivitas dan
penafsiran tunggal hukum oleh pihak-pihak yang memegang otoritas
dan kekuasaan di lingkup negara
 Pemahaman hukum yang legalistik-positivistik akan berakibat pada
penerapan hukum yang monolitik. Sementara dalam konteks vis a vis
dengan kenyataan sosiologis, hukum tidak bisa diterapkan dengan
menggunakan paradigm “kaca mata” kuda yang menilai hukum harus
terbebas dari faktor-faktor non hukum.
 Dari sinilah, maka pembentukan hukum (making law) harus
memperhatikan aspek-aspek sosiologis dan nilai-nilai kemanusiaan
untuk melahirkan hukum progresif, sedangkan pelaksanaannya (law
implementation), hukum harus diposisikan sebagai alat dalam
mewujudkan keadilan sosial (social justice) dan ketertiban sosial
(social order), dan bukan manusia atau masyarakat dikorbankan demi
tegaknya hukum.
Positivisme Hukum H. L. A. Hart
(Satjipto Rahardjo (2009)

1. Hukum hanyalah perintah penguasa;


2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral dan
etika;
3. Analisa tentang konspesi-konsepsi hukum dibedakan
dari penyelidikan sejarah dan sosiologi;
4. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup dan diperoleh atas dasar logika, tanpa
memtimbangkan aspek sosial, politik, moral, maupun etik
Refleksi Kritis Positivisme Hukum
1. Legalistik-Positivistik : cara berhukum yang lebih mengedepankan aspek legal-formal,
didasarkan pada aturan hukum normatif (rule bound), dan berdasarkan undang-undang
tertulis
2. Rigid/kaku, dan Eksklusif (tertutup); legalistik-positivistik melahirkan adanya penafsiran
hukum yang monolitik oleh para fungsionaris atau aparat penegak hukum

3. Hakim Hanya Menjadi Corongnya UU (layaknya kaca matu kuda)

4. Mengejar kepastian hukum yang formalistik-proseduralistik: keadilan formil

5. Abai terhadap nilai etik dan moralitas hukum dan keadilan masyarakat

6. Tidak mampu menjawab problematika akut penegakan hukum, termasuk dalam kasus
“gurita korupsi”, khususnya lagi terkait dengan masalah keadilan hukum masyarakat
Otokrikritik Positivisme Hukum
1. CLS : positivism hukum dan pemahaman hukum legal-formal dianggap tdk mampu menjelaskan
pelbagai persoalan aktua dan faktual yang ditimbulkan dari proses perubahan dan dinamika
masyarkaat yang begitu cepat.
2. Soetandyo W (2002:160), di tengah perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa
hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan masyarakat.
3. Kelemahan substansial dari positivism hukum tersebut; Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai norma-
norma yang eksis secara eksklusif dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya,
kini hukum sebagai kekuatan sosial yang empiris wujudnya,namun terlihat secara sah , dan bekerja
untuk memola perilaku-periaku actual masyarakat (Wignjosoebroto, 2002: 161).
4. Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-2 yang sangat kaku, dan
eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dalam
dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan.
5. Pemahaman dan penerapan hukum legalistik-positivistik dinilai telah gagal dalam keadilan bagi
masyarakat. Koesno Adi, (2006), Dalam kenyataannya, pemahaman dan penerapan hukum positivistik
tersebut masih menjauh dr tujuan hukum itu sendiri (baca: keadilan) atau terjebak dalam keterpurukan.
 Menurut Ahli Kriminologi, I. S. Susanto, sebagaimana dikuitp Kudzaifah Dimyati (2010)
melihat fenomena hukum dalam perspektif kritis, yang menyatakan ; Analisis yang
kritis terhadap proses penegakan hukum maupun terhadap undang-undangan
(pidana) akan membuka perspektif baru dalam mengembangkan studi mengenai
fenomena kejahatan.
 Karena itu, aliran pemikiran kritis tidak berusaha untuk menjawab pertanyaan,
apakah perilaku itu bebas atau ditentukan, tetapi lebih mengarahkan pada
mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya. Lebih lanjut
Dimyati menyatakan, studi hukum kritis merupakan respon atas paradigm positivism
yang selama ini menjadi “kacat mata” dalam membaca hukum telah kehilangan
relevensinya dalam menjawab masalah hukum saat ini.
 Pemeriksaan secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-
pandangan hukum dominan (baca: positivism hukum dan hukum modern) perlu untuk
dilakukan.
Hukum dlm Pandangan Marxist
 Dalam bidang hukum, ada satu kredo yang berbunyi bahawa setiap orang
sama dihadapan hukum (equality before law), namun dalam kenyataannya,
kita mengalami ketidaksamaan. Dalam pandangan Marxis, hukum merupakan
produk dari kalangan elit tertentu, yakni mereka yang memiliki alat produk
dan akses ekonomi dan politik.
 Para kapitalis ini akan selalu memperoleh keuntungan dalam setiap kegiatan
ekonomi atau produksi. Kelas ini berusaha keras memeras kelas proletar atau
buruh melalui optimalisasi tenaganya.
 Para kapitalis selalu berupaya agar struktur produksi dan distribusi tetap
dipertahankan dan dilanggengkan. Disinilah hukum dimanfaatkan oleh para
kapitalis sebagai instrument untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi dan
politiknya
 Meskinpun hukum mengajarkan persamaan, namun dalam
praktiknya seringkali bertentangan atau mengalami perbedaan
perlakuan. Kelompok-sosial-ekonomi tertentu saja yang
mendapatkan akses dan perlakuan hukum yang lebih baik
dibanding dengan kelompok mayoritas lainnya, yakni mereka yang
memiliki status sosial-ekonomi lebih rendah.
 Karena itu, proses regislasi dan implementasi hukum dalam
masyarakat lebih cenderung mempertimbangkan status sosial-
ekonomi seseorang.
 hukum tak bisa dilepaskan dari relasi kelas sosial dalam masyarakat. Posisi
kelas sangat menentukan keberpihakan hukum.
 Secara politik, hukum pada hakekatnya adalah produk politik dari kepentingan
kelas yang berkuasa. Dalam artian hukum dibuat melalui proses politik oleh
sekelompok orang tertentu yang memiliki posisi kelas sosial tertentu, lebih
khusus lagi yang memiliki akses kekuasaan politik.
 Sehingga bisa dikatakan hukum merupakan representasi kepentingan
sekelompok orang atau elit. Dalam perspektif Marx, hukum dijadikan sebagai
instrument politik oleh kelas borjuis untuk merebut dan mempertahannkan
dan bahkan mengembangkan dihadapan kelompok lemah atau dalam bahasa
Marx; kelas proletar.
Pandangan Hukum Kritis
 Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum
tidak dipandang sebagau sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu”
yang diciptakan oleh suatu badang hukum dengan tujuan memberi
keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang
yang lain.
 Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan
menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas
pengorbanan kelompok lain.
 Dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang
sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan
dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata
kepentingan mereka yang berkuasa
Hukum dlm Pandangan Marxist
 Dalam perpektif teori Marx, bahwa negara pada hakekatnya merupakan negara kelas,
artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang
menguasai bidang ekonomi dan politik. Karena itu menurut Marx, negara bukanlah
lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas
berkuasa untuk mengamankan kekuasaan mereka.
 Wajah negara seperti itu sangat kapitalis, ia berusaha menjamin dan melindungi
kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elit kekuasaan, pada saat yang sama
negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah. Negara dalam
pandangannya Marx selalu berpihak dan mengangkat pada kelas berkuasa, dan
menekan kelas bawah atau masyarakat. Negara dianggap institusi yang memiliki
keabsahan secara moral dan hukum untuk berbuat apa saja, demi untuk menjamin
dan melindungi kebutuhan dan kepentingan kekuasaannya
Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
 Studi kritis tentang hukum yang didasari pada teori kritis, hadir untuk melawan dominasi
positivisme (hukum). Dalam pandangan teori kritis, hukum positif sebagai produk masyarakat
liberal menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi.
Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar
kehidupannya.
 Teori sosial kritis dalam kajian hukum membawa masyarakat, khususnya masyarakat
tertindas (baca: korban pembangunan kapitalistik) semakin memahami dan sadar atas
struktur sosial-hukum dalam masyarakat kapitalis yang sarat dengan penindasan dan
kekerasan atas nama hukum negara.
 Pemikiran masyarakat (korban hukum) semakin tercerahkan dan melakukan aksi-aksi
pemikiran transformatif untuk sebuah perubahan sosial-hukum yang lebih berkemanusiaan.
Perubahan sosial-hukum yang lebih partisipatori dan emansipatif, yakni struktur sosial-
hukum yang lebih memberdayakan potensi akal budi masyarakat. Dengan demikian, dengan
kesadaran dan sikap emansipatif dari masyarakat sebagai aktor, akan dapat memberi
kontribusi pada perubahan dan peribaikan struktur sosial-hukum yang lebih berkeadilan.
Teori Sosial/gukum Kritis

 Teori Kritis membawa kita berfikir untuk “menunda” untuk


tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan dan
keputusan, dan tidak melihat sesuatu (realitas sosial)
secara linier laiknya kaca mata kuda.
 Teori kritis juga membawa kita untuk terus menelanjangi,
dan karenanya kita dapat melihat dan memahami setiap
unsur-unsur pembentuk realitas tersebut yang sejatinya
tidak diterministik, ada makna, pesan dan kepentingan
yang terselubung
NONET dan SELZNICK
Tiga Tipe Hukum Dalam Masyarakat

Hukum • Hukum yg mengabdi dan pelayan pd kekuasaan dan


tertib sosial yg represif
Represif
Hukum • Hukum digunakan untuk mengawasi atau membatasi kekuasaan yg represif
dan melindungi integritas dirinya. Didukung PN yang menjalankan tugasnya yg

Otonom
bebas dr kekuasaan politik dan ekonomi, dg menegakkan keadilan
prosedural.

Hukum • Hukum yg melayani kebutuhan dan kepentingan sosial rakyat (sbg


fasilitator), pembuat uu merefleksikan hal2 yg terjadi di masy, dan

Responsif mengedepankan keadilan substansial.

Memadukan jurisprudence dan social science >>untuk mengatasi krisis hukum


atau seperti yg dikatakan Trubek ; is law dead?
Tipe Hukum (Nonet Dan Selznick)
Komponen Hukum Represif Hukum Otonom Hukum Responsif

Tujuan Ketertiban Legitimasi Kompetensi


Legitimasi Ketahanan Sosial & Tujuan Negara Keadilan Prosedural Keadilan Substantif

Pengaturan Keras, rinci, lemah thd pembuat hk Luas dan Rinci, mengikat Subordinat dr prinsip dan kebijakan
penguasa maupun yang dikuasai

Diskresi Sangat luas; oportunistik Moralitas kelembagaan Luas, tetapi sesuai dengan tujuan

Moralitas Moralitas komunal Dibatasi peraturan, delegasi yg Moralitas sipil


sempit
Politik Hukum subordinat politik kekuasaan Independen Terintegrasi aspirasi hk dan politik.
Keperpaduan kekuasaan
Harapan Ketaatan Tanpa Syarat (dianggap Penyimpangan peraturan yg Pembangkangan dilihat dr aspek bahaya
pembangkang) dibenarkan, mis. Menguji validitas substantif; Dipandang sbg gugatan thd
uu atau perintah legitimasi
Harapan Ketaatan Pasif, kritik dianggap tdk setia akses dibatasi prosedur baku; Akses diperbesar dengan integrasi
munculnya kritik atas hk. advokasi hukum dan sosial

Partisipasi Ketertiban Legitimasi Kompetensi


Seekanrio jika OMNIBUS LAW diterapkan
Bagi Kaum investor/pemilik Modal Masyarakat/buruh
 Menyambut baik adanya OL  Menolak, karena akan merugikan
 Kran investasi terbuka lebar buruh
 Menguntungkan kaum kapitalis  Memberi Menguntungkan pemilik

 Ada insentif pajak


modal/kapitalis
 Upah buruh murah
 Pertumbuhan potensi naik?
 Investasi padat modal,
 Pertumbuhan naik?
 Potensi tidak ramah lingkungan
 Pendapatan negara naik?
 Konflik agraria dan sosial
 Ketenagakerjaan akan
diperlonggar  Ketimpangan sosial
Omnibus law Jika diterapkan

 Tidak semua investasi itu berdampak baik bagi


masyarakat. Sebagian (bahkan mungkin sebagian besar)
investasi justru berdampak buruk bagi masyarakat jika
tidak dikendalikan.
 Investasi yang menabrak tata ruang wilayah misalnya,
seringkali justru menyebabkan bencana ekologis.
Investasi yang menabrak aturan lingkungan hidup juga
sama dampaknya bagi masyarakat, yaitu bencana ekologi.
 Konflik Agraria dan sosial, serta HAM
Dampak Sosial dan ekologis

 Mungkin pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa terjadi


tapi dengan mengorbankan manusia dan alam
 Industri ekstraktif akan meningkat
Prinsip Kebijakan investasi ramah ekologis
 Mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat;
 Lebih berorientasi pada pemberdayaan ekonomi daerah dan
nasional, tidak bergantung pada ekonomi asing;
 Insentif;
 Jaminan penanaman modal (baik jaminan keamanan maupun
kenyamanan;
 Tata kelola perusahaan yang baik, dan;
 Prinsip “Ramah Lingkungan”. Artinya kegiatan penanaman modal
yang mengeksplorasi dan mengeskploitrasi sumber daya alam,
harus memperhatikan ruang ekologis manusia dan alam.
Kebijakan Investasi yg ramah lingkungan
 Kita semua sepakat bahawa aktivitas penanaman modal yang
inklusif –baik itu penanaman modal asing maupun dalam negeri-
akan memberikan multiplayer efect bagi pembangunan daerah,
yakni pemerataan pembangunan ekonomi, pembukaan lapangan
pekerjaan, menciptakan daya saing daerah, dan akan
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
 Regulasi daerah dituntut untuk lebih friendly atau bersahabat,
memberikan kemudahan berusaha kepada para investor dengan
tetap menjaga dan melindungi kepentingan daerah. Penanaman
modal yang friendly dan ramah lingkungan.
Hatur Nuhun

Kalau burung terbang melayang, Nasi Goreng rasanya Gurih,


Kan hingga di pucuk batang, Dimakan di Kota Batu,
Kalau di hati ada rasa sayang, Ku Haturkan Terima kasih,
Walau jauh tetap datang.
Atas Semua perhatian Bapak/ibu.

Anda mungkin juga menyukai