5. Abai terhadap nilai etik dan moralitas hukum dan keadilan masyarakat
6. Tidak mampu menjawab problematika akut penegakan hukum, termasuk dalam kasus
“gurita korupsi”, khususnya lagi terkait dengan masalah keadilan hukum masyarakat
Otokrikritik Positivisme Hukum
1. CLS : positivism hukum dan pemahaman hukum legal-formal dianggap tdk mampu menjelaskan
pelbagai persoalan aktua dan faktual yang ditimbulkan dari proses perubahan dan dinamika
masyarkaat yang begitu cepat.
2. Soetandyo W (2002:160), di tengah perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa
hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan masyarakat.
3. Kelemahan substansial dari positivism hukum tersebut; Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai norma-
norma yang eksis secara eksklusif dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya,
kini hukum sebagai kekuatan sosial yang empiris wujudnya,namun terlihat secara sah , dan bekerja
untuk memola perilaku-periaku actual masyarakat (Wignjosoebroto, 2002: 161).
4. Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-2 yang sangat kaku, dan
eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dalam
dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan.
5. Pemahaman dan penerapan hukum legalistik-positivistik dinilai telah gagal dalam keadilan bagi
masyarakat. Koesno Adi, (2006), Dalam kenyataannya, pemahaman dan penerapan hukum positivistik
tersebut masih menjauh dr tujuan hukum itu sendiri (baca: keadilan) atau terjebak dalam keterpurukan.
Menurut Ahli Kriminologi, I. S. Susanto, sebagaimana dikuitp Kudzaifah Dimyati (2010)
melihat fenomena hukum dalam perspektif kritis, yang menyatakan ; Analisis yang
kritis terhadap proses penegakan hukum maupun terhadap undang-undangan
(pidana) akan membuka perspektif baru dalam mengembangkan studi mengenai
fenomena kejahatan.
Karena itu, aliran pemikiran kritis tidak berusaha untuk menjawab pertanyaan,
apakah perilaku itu bebas atau ditentukan, tetapi lebih mengarahkan pada
mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya. Lebih lanjut
Dimyati menyatakan, studi hukum kritis merupakan respon atas paradigm positivism
yang selama ini menjadi “kacat mata” dalam membaca hukum telah kehilangan
relevensinya dalam menjawab masalah hukum saat ini.
Pemeriksaan secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-
pandangan hukum dominan (baca: positivism hukum dan hukum modern) perlu untuk
dilakukan.
Hukum dlm Pandangan Marxist
Dalam bidang hukum, ada satu kredo yang berbunyi bahawa setiap orang
sama dihadapan hukum (equality before law), namun dalam kenyataannya,
kita mengalami ketidaksamaan. Dalam pandangan Marxis, hukum merupakan
produk dari kalangan elit tertentu, yakni mereka yang memiliki alat produk
dan akses ekonomi dan politik.
Para kapitalis ini akan selalu memperoleh keuntungan dalam setiap kegiatan
ekonomi atau produksi. Kelas ini berusaha keras memeras kelas proletar atau
buruh melalui optimalisasi tenaganya.
Para kapitalis selalu berupaya agar struktur produksi dan distribusi tetap
dipertahankan dan dilanggengkan. Disinilah hukum dimanfaatkan oleh para
kapitalis sebagai instrument untuk melanggengkan kekuasaan ekonomi dan
politiknya
Meskinpun hukum mengajarkan persamaan, namun dalam
praktiknya seringkali bertentangan atau mengalami perbedaan
perlakuan. Kelompok-sosial-ekonomi tertentu saja yang
mendapatkan akses dan perlakuan hukum yang lebih baik
dibanding dengan kelompok mayoritas lainnya, yakni mereka yang
memiliki status sosial-ekonomi lebih rendah.
Karena itu, proses regislasi dan implementasi hukum dalam
masyarakat lebih cenderung mempertimbangkan status sosial-
ekonomi seseorang.
hukum tak bisa dilepaskan dari relasi kelas sosial dalam masyarakat. Posisi
kelas sangat menentukan keberpihakan hukum.
Secara politik, hukum pada hakekatnya adalah produk politik dari kepentingan
kelas yang berkuasa. Dalam artian hukum dibuat melalui proses politik oleh
sekelompok orang tertentu yang memiliki posisi kelas sosial tertentu, lebih
khusus lagi yang memiliki akses kekuasaan politik.
Sehingga bisa dikatakan hukum merupakan representasi kepentingan
sekelompok orang atau elit. Dalam perspektif Marx, hukum dijadikan sebagai
instrument politik oleh kelas borjuis untuk merebut dan mempertahannkan
dan bahkan mengembangkan dihadapan kelompok lemah atau dalam bahasa
Marx; kelas proletar.
Pandangan Hukum Kritis
Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum
tidak dipandang sebagau sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu”
yang diciptakan oleh suatu badang hukum dengan tujuan memberi
keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang
yang lain.
Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan
menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas
pengorbanan kelompok lain.
Dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang
sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan
dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata
kepentingan mereka yang berkuasa
Hukum dlm Pandangan Marxist
Dalam perpektif teori Marx, bahwa negara pada hakekatnya merupakan negara kelas,
artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang
menguasai bidang ekonomi dan politik. Karena itu menurut Marx, negara bukanlah
lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas
berkuasa untuk mengamankan kekuasaan mereka.
Wajah negara seperti itu sangat kapitalis, ia berusaha menjamin dan melindungi
kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elit kekuasaan, pada saat yang sama
negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah. Negara dalam
pandangannya Marx selalu berpihak dan mengangkat pada kelas berkuasa, dan
menekan kelas bawah atau masyarakat. Negara dianggap institusi yang memiliki
keabsahan secara moral dan hukum untuk berbuat apa saja, demi untuk menjamin
dan melindungi kebutuhan dan kepentingan kekuasaannya
Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
Studi kritis tentang hukum yang didasari pada teori kritis, hadir untuk melawan dominasi
positivisme (hukum). Dalam pandangan teori kritis, hukum positif sebagai produk masyarakat
liberal menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan hierarkhi.
Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar
kehidupannya.
Teori sosial kritis dalam kajian hukum membawa masyarakat, khususnya masyarakat
tertindas (baca: korban pembangunan kapitalistik) semakin memahami dan sadar atas
struktur sosial-hukum dalam masyarakat kapitalis yang sarat dengan penindasan dan
kekerasan atas nama hukum negara.
Pemikiran masyarakat (korban hukum) semakin tercerahkan dan melakukan aksi-aksi
pemikiran transformatif untuk sebuah perubahan sosial-hukum yang lebih berkemanusiaan.
Perubahan sosial-hukum yang lebih partisipatori dan emansipatif, yakni struktur sosial-
hukum yang lebih memberdayakan potensi akal budi masyarakat. Dengan demikian, dengan
kesadaran dan sikap emansipatif dari masyarakat sebagai aktor, akan dapat memberi
kontribusi pada perubahan dan peribaikan struktur sosial-hukum yang lebih berkeadilan.
Teori Sosial/gukum Kritis
Otonom
bebas dr kekuasaan politik dan ekonomi, dg menegakkan keadilan
prosedural.
Pengaturan Keras, rinci, lemah thd pembuat hk Luas dan Rinci, mengikat Subordinat dr prinsip dan kebijakan
penguasa maupun yang dikuasai
Diskresi Sangat luas; oportunistik Moralitas kelembagaan Luas, tetapi sesuai dengan tujuan