Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tanaman Sawi

Tanaman sawi merupakan salah satu jenis sayuran yang kaya

vitamin dan nutrisi sehingga banyak dikonsumsi sebagai sayuran

penyeimbang gizi makanan. Menurut Haryanto et al. (2003) bahwa

taksonomi untuk tanaman sawi adalah:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dycotyledonae

Ordo : Rhoeadales

Famili : Cruciferae

Genus : Brassica L.

Spesies : Brassica juncea (L.)

Sawi termasuk familia Brassicaceae, daunnya panjang, halus, tidak

berbulu, dan tidak berkrop. Tumbuh baik di tempat yang berhawa panas

maupun berhawa dingin, sehingga dapat diusahakan dari dataran rendah

sampai dataran tinggi, tapi lebih baik di dataran tinggi. Daerah penanaman

yang cocok adalah mulai dari ketinggian 500-1.200 meter diatas permukaan

laut. Namun biasanya dibudidayakan di daerah ketinggian 100-500 m dpl,

dengan kondisi tanah gembur, banyak mengandung humus, subur dan

drainasenya baik (Edi dan Bobihoe, 2010). Curah hujan yang sesuai dengan

pembudidayaan sawi adalah 1000-15000 mm/ tahun, tetapi sawi tidak tahan
terhadap air tergenang (Cahyono, 2003). Kondisi iklim untuk tanaman sawi

adalah daerah yang mempunyai suhu malam hari 15,60C dan siang harinya

21,10C serta penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari. Meskipun

demikian, beberapa varietas tanaman sawi yang tahan (toleran) terhadap

suhu panas, dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah yang

suhunya 270C - 320C (Rukmana, 2007).

Benih sawi hijau berbentuk bulat, berukuran kecil, permukaannya

licin dan mengkilap, agak keras, dan berwarna coklat kehitaman. Umumnya

penanaman sawi di lahan biasa menggunakan bedengan dengan ukuran

lebar 120 cm dan panjang sesuai dengan ukuran petak tanah. Tinggi bedeng

20-30 cm dengan jarak antar bedeng 30 cm. Untuk jarak tanam sawi dalam

bedengan ini biasa menggunakan jarak tanam antara 40x40 cm, 30x30 cm,

dan 20x20 cm (Cahyono, 2003).

Sistem perakaran tanaman sawi memiliki akar tunggang (radix

primaria) dan cabang-cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silindris)

menyebar ke semua arah dengan kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini

berfungsi sebagai menyerap air dan zat makanan di dalam tanah, serta

menguatkan batang tanaman (Heru, 2003).

Menurut Rukmana (2002) bahwa batang tanaman sawi pendek dan

beruas-ruas sehingga hampir tidak kelihatan. Batang ini berfungsi sebagai

alat pembentuk dan penopang daun. Sawi berdaun lonjong, halus, tidak

berbulu, dan tidak berkrop (Sunarjono, 2004). Tanaman sawi umumnya

berbunga dan berbiji secara alami. Struktur bunga sawi tersusun dalam

tangkai bunga (inflorescentia) yang tumbuh memanjang (tinggi) dan


bercabang banyak. Tiap kuntum bunga sawi terdiri atas empat helai daun

kelopak, empat helai daun mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat

helai benang sari dan satu buah putik yang berongga (Rukmana, 2002).

2.2 Pertanian Organik

Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang

mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.

Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan

teknik tersebut adalah padi dan tanaman hortikultura, khususnya sayuran

dan buah. Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan,

ekologi, keadilan dan perlindungan. Prinsip kesehatan dalam pertanian

organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan

peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi dan manusia sebagai

satu kesatuan karena semua komponen tersebut harus saling berhubungan

dan tidak terpisahkan. Pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus

dan sistem ekologi kehidupan. Pertanian organik juga harus memperhatikan

keadilan baik antar manusia maupun dengan makhluk hidup lain di

lingkungan (Sutanto, 2002).

Sistem pertanian organik merupakan “hukum pengembalian (low of

return)” berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua

jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah

pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan member makanan

pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah

mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang

selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil


that feeds the plant), dan bukan member makanan langsung pada tanaman

(Sutanto, 2002).

Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat disebabkan

karena penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak

proporsional. Dampak negatif dari penggunaan agrokimia antara lain berupa

pencemaran air, tanah, kesehatan petani, menurunnya keanekaragaman

hayati. Solusi alternatif adalah pertanian ramah lingkungan dengan

menerapkan pertanian organik dalam pembangunan pertanian. Diharapkan

dengan adanya penjelasan ini makan akan timbul kesadaran pada diri kita

semua bahwa pertanian organik merupakan pertanian masa depan sebagai

usaha manusia menjaga kesehatan tubuh dan kelestarian alam dan

lingkungan akan di dapat sumber air yang aman untuk kita konsumsi

(Fariadi, 2013).

Masyarakat Indonesia sekarang mulai memilih untuk mengkonsumsi

makanan organik, hal ini mengingat bahaya yang diakibatkan oleh bahaya

penggunaan pestisida yang berlebihan. Menurut Yustina (2013) bahwa

bahaya penggunaan pestisida secara berlebihan adalah keracunan mendadak,

meningkatkan resiko penyakit parkinson, merusak sel otak, kecerdasan

menurun, disorientasi seksual serta penyakit lainnya. Menurut data WHO

yang dipublikasikan pada tahun 1990, dampak dan risiko penggunaan

pestisida kimia selama ini 25 juta kasus dan meningkat pada tiap tahunnya.

Data lain dari ILO pada tahun 1996 menunjukkan 14% pekerja di pertanian

terkena bahaya pestisida dan 10% terkena bahaya yang fatal. Fenomena

seperti ini juga terjadi di sentra pertanian Indonesia seperti Brebes dan
Tegal. Penelitian FAO pada tahun 1992 menunjukkan ada 19 gejala

keracunan yang disebabkan pestisida pada petani cabai dan bawang. Di

perkebunan Luwu, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa 80-100% petani

yang memeriksakan dirinya ke rumah sakit mengindikasikan keracunan

pestisida (Wikipedia, 2016).

2.3 Pupuk Organik

Permentan No.2 tahun 2006, pupuk organik didefinisikan sebagai

pupuk yang sebagian atau seluruhnya berasal dari tanaman atau hewan yang

telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang

digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia

dan biologi tanah.

Menurut Hamidah (2012) bahwa pupuk organik adalah pupuk yang

tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman,

hewan dan manusia. Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang

digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

Pupuk organik mempunyai beragam jenis dan varian. Jenis-jenis

pupuk organik dibedakan dari bahan baku, metode pembuatan dan

wujudnya. Bahan baku ada yang terbuat dari kotoran hewan, hijauan atau

campuran keduanya. Dari metode pembuatan ada banyak ragam seperti

kompos aerob, bokashi, dan lain sebagainya. Sedangkan dari sisi wujud ada

yang berwujud serbuk, cair maupun granul atau tablet (Risnandar, 2012).

Menurut Najata (2013) bahwa pupuk organik memeliki kelebihan

yakni mengandung unsur hara yang lengkap, baik unsur hara makro maupun

unsur hara mikro. Kondisi ini tidak dimiliki oleh pupuk anorganik. Pupuk
organik juga mampu mengaktifkan mikroorganisme tanah yang mempunyai

pengaruh sangat baik terhadap perbaikan sifat fisik tanah dan terutama sifat

biologis tanah. Selain itu dapat memperbaiki, menjaga struktur tanah dan

menjadi penyangga pH tanah, membantu menjaga kelembaban tanah, aman

dipakai dalam jumlah besar dan berlebih sekalipun serta tidak dapat

merusak lingkungan.

2.4 Good Agriculture Practice (GAP)

Menurut Permentan No.48/ Permentan/ OT.140/ 10/ 2009 pada era

perdagangan global yang tidak lagi mengandalkan hambatan tarif tetapi

lebih menekankan pada hambatan teknis berupa persyaratan mutu,

keamanan pangan, sanitary dan phytosanitary. Kondisi ini menuntut

Negara-negara produsen untuk meningkatkan daya saing produk antara lain

buah dan sayur. Menghadapi tuntutan persyaratan tersebut dan dalam rangka

menghasilkan produk buah dan sayur aman konsumsi, bermutu dan

diproduksi secara ramah lingkungan serta menindaklanjuti amanat Pasal 4

ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan,

Mutu dan Gizi Pangan, maka perlu disusun ketentuan cara berproduksi buah

dan sayur yang baik, mengacu kepada ketentuan Good Agriculture Practices

(GAP) yang relevan dengan kondisi Indonesia (Indo-GAP). GAP mencakup

penerapan teknologi yang ramah lingkungan, pencegahan penularan

Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), penjagaan kesehatan dan

meningkatkan kesejahteraan petani, dan prinsip penelusuran balik

(traceability).
Era globalisasi, perdagangan komoditas pertanian akan menghadapi

persaingan yang semakin ketat. Penerapan praktik pertanian yang baik

merupakan suatu alternatif untuk memproduksi komoditas pertanian yang

bermutu tinggi, terjamin, aman, efisien, berwawasan lingkungan, dan dapat

dirunut kembali (traceability) asal usul dan proses yang dilalui sebelum

diperdagangkan dan digunakan. Produk praktik pertanian yang baik atau

Good Agriculture Practices (GAP) dapat menjawab tantangan isu

internasional perdagangan komoditas pertanian (Saribu, 2014).

Saribu (2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa pedoman GAP

merupakan seperangkat prinsip dan prosedur yang digali dari tradisi

pertanian yang ada dan adopsi gagasan dan inovasi teknologi untuk

pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pedoman GAP

disusun untuk dijadikan acuan praktis prinsip dan tata cara pencapaiannya

mulai dari: (1) Bahan tanaman (varietas, identitas botani). (2) Budidaya,

termasuk pemilihan lahan dan pemupukan, pengairan, pemeliharaan, dan

pengendalian organisme pengganggu. Secara umum tindakan harus diambil

untuk mencegah gangguan terhadap lingkungan.

Menurut Permentan No.48/ Permentan/ OT.140/ 2009 tujuan

penerapan pedoman budidaya sayur berdasarkan GAP yakni untuk

meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman, meningkatkan mutu

hasil termasuk keamanan konsumsi, meningkatkan efisiensi produksi,

memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam, mempertahankan

kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang

berkelanjutan, mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap


mental yang bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan, kesehatan

dan keamanan diri dan lingkungan, meningkatkan daya saing dan peluang

penerimaan oleh pasar internasional maupun domestik, memberi jaminan

keamanan terhadap konsumen, dan meningkatkan kesejahteraan petani.

2.5 Bio-slurry

Bio-slurry atau ampas biogas merupakan produk dari hasil

pengolahan biogas berbahan campuran kotoran ternak dan air melalui proses

tanpa oksigen (anaerobik) di dalam ruang tertutup. Biogas dari kotoran sapi

diperoleh dari dekomposisi anaerobik dengan bantuan mikroorganisme.

Pembuatan biogas dari kotoran sapi harus dalam keadaan anaerobik

(tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan gas yang sebagian besar

adalah berupa gas metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) dan

karbondioksida, gas inilah yang disebut biogas. Proses fermentasi untuk

pembentukan biogas maksimal pada suhu 30-550C, dimana pada suhu

tersebut mikroorganisme mampu merombak bahan organik secara optimal.

Pembentukan biogas terjadi di dalam reaktor biogas. Reaktor biogas

berfungsi mengubah kotoran hewan, kotoran manusia dan materi organik

lainnya, menjadi biogas. Konsumsi biogas untuk skala rumah tangga antara

lain digunakan sebagai bahan bakar memasak dan lampu untuk penerangan

(Biru, 2012). Ilustrasi produksi Bio-slurry disajikan pada Gambar 2.1.


Gambar 2.1. Ilustrasi produksi Bio-slurry (Biru, 2012)

Teknologi reaktor yang digunakan adalah reaktor kubah beton

(fixed-dome). Bangunan kubah beton biogas ini dapat bertahan minimal 15

tahun dengan penggunaan dan perawatan benar. Terdapat 6 bagian utama

dari reaktor yaitu: Inlet (tangki pencampur) tempat bahan baku kotoran

dimasukkan, reaktor (ruang anaerobik/ hampa udara), penampung gas

(kubah penampung), outlet (ruang pemisah), sistem pipa penyalur gas dan

lubang penampung ampas biogas atau lubang pupuk kotoran yang telah

terfermentasi (Biru, 2012).

Tim Biru lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa tahap pembuatan

biogas adalah sebagai berikut; kotoran sapi dicampur dengan air hingga

terbentuk lumpur dengan perbandingan 1:1 pada bak penampungan

sementara. Pada saat pengadukan sampah dibuang dari bak penampungan.

Pengadukan dilakukan hingga terbentuk lumpur dari kotoran sapi.

Kemudian lumpur tersebut dialirkan ke digester (bangunan utama dari

instalasi biogas yang berfungsi untuk menampung gas metan hasil

perombakan bahan organik oleh bakteri), pengisian pertama harus penuh.


Penambahan starter diberikan sebanyak 1 liter dan isi rumen segar sebanyak

5 karung untuk kapasitas digester 3,5-5,0 m2. Setelah digester penuh, kran

gas ditutup supaya terjadi proses fermentasi. Gas metan sudah mulai

dihasilkan pada hari 10 sedangkan pada hari ke-1 sampai ke-8 gas terbentuk

adalah CO2. Komposisi CH4 54% dan CO2 27% biogas akan menyala. Hari

ke-14, sudah bisa dihasilkan energi biogas yang selalu terbarukan. Digester

terus diisi lumpur kotoran sapi secara kontinu sehingga dihasilkan biogas

yang optimal.

Bio-slurry memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan

kotoran hewan segar atau pupuk kandang biasa. Adapun keunggulan

tersebut antara lain Bio-slurry bermanfaat untuk: 1) Menyuburkan tanah

pertanian, dapat menambahkan humus sehingga tanah lebih bernutrisi dan

mampu menyimpan air, serta mampu mendukung aktivitas perkembangan

cacing dan mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman, 2) Kandungan

nutrisi Bio-slurry terutama nitrogen (N) lebih baik dibandingkan pupuk

kandang/ kompos aatau kotoran segar. Hal ini disebabkan kandungan

nitrogen (N) dalam Bio-slurry lebih banyak dan mudah diserap oleh

tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, 3) Bio-slurry

bebas bakteri pembawa penyakit pada tanaman karena proses fermentasi

kohe (kotoran hewan) di reaktor biogas dapat membunuh organisme yang

menyebabkan penyakit pada tanaman, 4) Penggunaan Bio-slurry sebagai

pupuk bagi tanaman dapat mengusir rayap perusak tanaman (Biru, 2012).

Bio-slurry merupakan produk akhir dari pengolahan limbah kotoran

hewan dan air menjadi biogas melalui proses anaerobik atau fermentasi.
Kotoran hewan yang biasa digunakan yaitu kotoran sapid an kotoran babi.

Adapun keluaran yang dihasilkan berupa kotoran hewan yang sudah

tercampur dengan air menjadi Bio-slurry basah atau cair dan keluaran yang

sudah dipisahkan dari air atau dikeringkan yaitu Bio-slurry kering atau

padat.

Bio-slurry cair maupun padat dikelompokkan sebagai pupuk organik

karena seluruh bahan penyusunnya berasal dari bahan organik yaitu kotoran

ternak dan telah berfermentasi. Kandungan bio-slurry menurut Biru terbagi

menjadi 2 analisis yaitu analisis berbasis basah dan analisis berbasis kering.

Analisis berbasis basah pada jenis bio-slurry (babi) memiliki kandungan C-

organik: 52,28%, N-total: 2,72%, C/N: 21,43%, P2O5: 0,55% dan K2O:

0,35% dan jenis bio-slurry (sapi) memiliki kandungan C-organik: 47,99%,

N-total: 2,91%, C/N: 15,77%, P2O5: 0,21% dan K2O: 0,26%. Analisis

berbasis kering pada jenis bio-slurry (babi) memiliki kandungan bahan

organik: 65,88%, C-organik: 15,60%, N-total: 1,57%, C/N: 9,97%, P2O5:

1,92% dan K2O: 0,41%; jenis bio-slurry (sapi) memiliki kandungan bahan

organik: 68,59%, C-organik: 17,87%, N-total: 1,47%, C/N: 9,09%, P2O5:

0,52% dan K2O: 0,38%; dan jenis kompos (bio-slurry sapi) memiliki

kandungan bahan organik: 54,50%, C-organik: 14,43%, N-total: 1,60%,

C/N: 10,20%, P2O5: 1,19% dan K2O: 0,27%. Analisis berbasis basah

merupakan analisis yang ditujukan untuk mengetahui kandungan nutrisi

dalam bentuk cair, analisis berbasis kering merupakan analisa yang

ditujukan untuk mengetahui kandungan nutrisi dalam bentuk padatan. C-

organik memiliki kandungan karbon (C) di dalam bahan organik. C/N rasio
merupakan perbandingan antara kandungan karbon (C) organik dengan

nitrogen (N) total.

2.6 Sifat Fisik Tanah

2.6.1 Tekstur

Tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir (2 mm-

50µ), debu (2 µ-50 µ) dan liat (<2 µ) di dalam fraksi tanah halus. Ukuran

relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur yang mengacu pada

kehalusan atau kekasaran tanah (Hardjowigeno, 2007).

Menurut Hanafiah (2007), tanah yang didominasi pasir akan banyak

mempunyai pori-pori makro (besar) disebut lebih pareus, tanah yang

didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso (sedang) agak

pareus, sedangkan yang didominasi liat akan mempunyai pori-pori mikro

(kecil) atau tidak pareus.

Menurut Hardjowigeno (2007) tanah dengan tekstur pasir banyak

mempunyai pori-pori makro sehingga sulit menahan air. Menurut Hanafiah

(2007), berdasarkan kelas teksturnya maka tanah digolongkan menjadi

beberapa kelas yakni: tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir

(mengandung minimal 70% pasir) bertekstur pasir atau pasir berlempung;

tanah bertekstur halus atau kasar berliat (mengandung minimal 37,5% liat)

atau berstektur liat, liat berdebu, liat berpasir; tanah bersteksur sedang atau

tanah berlempung, terdiri dari: tanah berstekstur sedang tetapi agak kasar

meliputi tanah yang berstekstur lempung berpasir (sandy loam) atau

lempung berpasir halus, tanah berstekstur sedang meliputi yang berstekstur


berlempung berpasir sangat halus, lempung (loam), lempung berdebu (silty

loam) atau debu (silt) dan tanah berstekstur sedang tetapi agak halus

mencakup lempung liat (clay loam), lempung liat berpasir (sandy clay

loam), atau lempung liat berdebu (sandy silt loam).

2.6.2 Struktur Tanah

Struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil alami dari

tanah, akibat melekatnya butir-butir primer tanah satu sama lain. Satu unit

struktur disebut ped (terbentuk karena proses alami). Struktur tanah

memiliki bentuk yang berbeda-beda yaitu Lempung (plety), prismatik

(prismatic), tiang (columnar), gumpal bersudut (angular blocky), gumpal

membulat (subangular blocky), granular (granular), remah (crumb)

(Hardjowigeno, 2003).

Arsyad (2005) mengemukakan bahwa struktur adalah kumpulan

butir-butir tanah disebabkan terikatnya butir-butir pasir, liat dan debu oleh

bahan organik, oksida besi dan lain-lain. Struktur tanah yang penting dalam

mempengaruhi infiltrasi adalah ukuran pori dan kemantapan pori. Pori-pori

yang mempunyai diameter besar (0,06 mm atau lebih) memungkinkan air

keluar dengan cepat sehingga tanah beraerasi baik, pori-pori tersebut juga

memungkinkan udara keluar dari tanah sehingga air dapat masuk.

Istilah tekstur digunakan untuk menunjukkan ukuran partikel-

partikel tanah. Apabila ukuran partikel tanah sudah diketahui maka

digunakan istilah struktur. Struktur menunjukkan kombinasi atau susunan

partikel-partikel tanah primer (pasir, debu dan liat) sampai pada partikel-

partikel sekunder atau (ped) disebut juga agregat. Unit ini dipisahkan dari
unit gabungan atau karena kelemahan permukaan. Struktur suatu horizon

yang berbeda satu profil tanah merupakan satu cirri penting tanah, seperti

warna, tekstur atau komposisi kimia.

Ada dua jenis tanah tanpa struktur, yakni butir tunggal (single grain)

dan massive. Butir tunggal adalah apabila partikel-partikel tanah dalam

keadaan lepas (tidak terikat) satu sama lainnya. Keadaan ini sering dijumpai

pada tanah-tanah yang banyak mengandung pasir. Untuk tanah yang

massive apabila partikel-partikel tanah dalam keadaan terikat satu sama

lainnya (Hakim et al. 1986).

Gradasi dari struktur merupakan derajat agregasi atau perkembangan

struktur. Istilah-istilah untuk gradasi struktur adalah sebagai berikut: Tidak

mempunyai struktur: agregasi tidak dapat dilihat atau tidak tertentu batasnya

dan susunan garis-garis alam semakin kabur. Pejal jika menggumpal,

berbutir tunggal jika tidak menggumpal; lemah: Ped yang sulit dibentuk,

dapat dilihat dengan mata telanjang; sedang : Ped yang dapat dibentuk

dengan baik, tahan lama dan jelas, tetapi tidak jelas pada tanah yang tidak

terganggu; kuat : Ped yang kuat, jelas pada tanah yang tidak terganggu satu

dengan yang lain terikat secara lemah, tahan terhadap perpindahan dan

menjadi terpisah apabila tanah tersebut terganggu (Foth, 1995).

2.7 Sifat Kimia Tanah

2.7.1 pH Tanah

Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral atau alkalin. Hal

tersebut didasarkan pada jumlah ion H+ dan OH- dalam larutan tanah.
Reaksi tanah yang menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah

dinilai berdasarkan konsentrasi H+ dan dinyatakan dengan nilai pH. Bila

dalam tanah ditemukan ion OH-, maka disebut masam (pH < 7) (Hakim et

al. 1986). Pengukuran pH tanah dapat memberikan keterangan tentang

kebutuhan kapur, respon tanah terhadap pemupukan, proses kimia yang

mungkin berlangsung dalam proses pembentukan tanah, dan lain-lain

(Hardjowigeno, 2003).

Nilai pH berkisar dari 0-14 dengan pH 7 disebut netral sedangkan

pH kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis.

Walaupun demikian pH tanah umumnya berkisar dari 3,0-9,0. Di Indonesia

pada umumnya tanah bereaksi masam dengan pH berkisar antara 4,0-5,5

sehingga tanah dengan pH 6,0-6,5 sering telah dikatakan cukup netral

meskipun sebenarnya masih agak masam. Di daerah rawa-rawa sering

ditemukan tanah-tanah sangat masam dengan pH kurang dari 3,0 yang

disebut tanah sangat masam karena banyak mengandung asam sulfat. Di

daerah yang sangat kering kadang-kadang pH tanah sangat tinggi (pH lebih

dari 9,0) karena banyak mengandung garam Na. Menurut Hakim et al.

(1986) bahwa faktor yang mempengaruhi pH antara lain: Kejenuhan basa,

sifat misel (koloid), macam kation yang terserap.

2.7.2 C-Organik

Bahan organik adalah segala bahan-bahan atau sisa-sisa yang berasal

dari tanaman, hewan dan manusia yang terdapat di permukaan atau di dalam

tanah dengan tingkat pelapukan yang berbeda (Hasibuan, 2006). Bahan

organik merupakan bahan pemantap agregat tanah yang baik. Sekitar


setengah dari Kapasitas Tukar Kation (KTK) berasal dari bahan organik

(Hakim et al. 1986).

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor

yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya tanaman. Hal

ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika

maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan

berdasarkan jumlah C-organik. Selain itu, menurut Mulyani (1997); Kohnke

(1968) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai berikut: (i)

sumber makanan dan energy bagi mikroorganisme, (ii) membantu keharaan

tanaman melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran

humusnya, (iii) menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan

pemantapan agregat-agregat tanah. (iv) memperbaiki kapasitas mengikat air

dan melewatkan air, (v) serta membantu dalam pengendalian limpasan

permukaan dan erosi.

Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen

abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Mustofa (2007) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk

C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari 2%, agar

kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat

proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu pengolahan tanah

penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan

bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK (Kapasitas

Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian bahan
organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang

dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah.

Secara umum karbon dari bahan organik tanah terdiri dari 10-20%

karbohidrat, terutama berasal dari biomassa mikroorganisme, 20% senyawa

mengandung nitrogen seperti asam amino dan gula aminom 10-20% asam

alifatik, alkane, dan sisanya merupakan karbon aromatik. Karena fungsinya

yang sangat penting, maka tidak mengherankan jika dikatakan bahwa faktor

terpenting yang mempengaruhi produktifitas baik tanah yang dibudidayakn

maupun tanah yang tidak dibudidayakan adalah jumlah dan kedalaman

bahan organik tanah (Paul et al. 1989).

2.7.3 N-Total

Nitrogen adalah unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman

dalam jumlah yang banyak, diserap tanaman dalam bentuk ammonium

(NH4+) dan nitrat (NO3+). Pada umumnya nitrogen merupakan faktor

pembatas dalam tanaman budidaya. Biomassa tanaman rata-rata

mengandung N sebesar 1-2% dan mungkin sebesar 4-6%. Dalam hal

kuantitas total yang dibutuhkan untuk produksi tanaman budidaya, N

termasuk keempat diantara 16 unsur essensial (Gardner et al. 1991).

Unsur nitrogen penting bagi tanaman dan dapat disediakan oleh

manusia melalui pemupukan. Nitrogen umumnya diserap oleh tanaman

dalam bentuk NO3- dan NH4+ walaupun urea (H2NCONH2) dapat juga

dimanfaatkan oleh tanaman karena urea secara cepat dapat diserap melalui

epidermis daun (Leiwakabessy, 2003). Menurut Hardjowigeno (2007),

nitrogen di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein (bahan
organik), senyawa-senyawa amino, ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-).

Bentuk N yang diabsorpsi oleh tanaman berbeda-beda. Ada tanaman yang

lebih baik tumbuh diberi NH4+ ada pula tanaman yang lebih baik diberi

NO3- dan ada pula tanaman yang tidak terpengaruh oleh bentuk-bentuk N ini

(Leiwakabessy, 2003).

Menurut Leiwakabessy (2003), pemberian N yang banyak akan

menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlangsung cepat dan warna daun

menjadi hijau tua. Kelebihan N dapat memperpanjang umur tanaman dan

memperlambat proses pematangan karena tidak seimbang dengan unsur

lainnya seperti P, K, dan S. Fungsi N adalah untuk memperbaiki

pertumbuhan vegetatif tanaman (tanaman yang tumbuh pada tanah yang

cukup N akan berwarna lebih hijau) dan membantu proses pembentukan

protein. Kemudian gejala-gejala kebanyakan N lainnya yaitu batang menjadi

lemah, mudah roboh dan dapat mengurangi daya tahan tanaman terhadap

penyakit (Hardjowigeno, 2007).

Anda mungkin juga menyukai