Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FITOKIMIA

“TANIN”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
KELAS IV-C

VALENTINA NOVITA SARI BAGO (181501117)


ANGELICA RIVIERA BRERY GIRSANG (181501119)
LUISA THERESIA TRI OBERTA RUMAPEA (181501120)
NOVA NOVITA (181501121)
LISBETH JUNITA ANGGRAINI MARBUN (181501122)
SONIA ARYA NINGRUM (181501123)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Makalah..........................................................................................2
1.3 Tujuan Makalah..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Pengertian Tanin.............................................................................................3
2.2 Klasifikasi Tanin.............................................................................................4
2.3 Biosintesis Tanin............................................................................................6
2.4 Skrining Fitokimia Tanin................................................................................7
2.5 Gambar Tanaman Yang Mengandung Senyawa Tanin..................................8
2.6 Cara Ekstraksi dan Identifikasinya...............................................................10
BAB II KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................13
3.1 Kesimpulan...................................................................................................13
3.2 Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

i
BAB I
PENDAHULUAN
BAB IILatar Belakang

Dalam metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan


menghasilkan beberapa senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan
energi melainkan untuk menunjang kelangsungan hidupnya seperti untuk
pertahanan dari predaptor. Beberapa senyawa seperti alkaloid, triterpen dan
golongan phenol merupakan senyawa senyawayang dihasilkan dari
metabolisme skunder. Golongan fenol dicirikan oleh adanyacincin aromatik
dengan satu atau dua gugus hidroksil. Kelompok fenol terdiri
dariribuan senyawa, meliputi flavonoid, fenilpropanoid, asam fenolat,
antosianin, pigmenkuinon, melanin, lignin, dan tanin, yang tersebar luas di
berbagai jenis tumbuhan (Harbone, 1996).

Tumbuhan memiliki dua metabolisme yaitu metabolisme primer dan


sekunder. Proses metabolisme primer menghasilkan senyawa-senyawa yang
digunakan dalam proses biosintesis sehari-hari, yaitu karbohidrat, protein, lemak
dan asam nukleat. Sebaliknya proses metabolisme sekunder menghasilkan
senyawa dengan aktivitas biologis tertentu seperti alkaloid, terpenoid, flavonoid,
tannin dan steroid. Terkadang senyawa yang dikandung oleh satu tanaman dari
genus tertentu bersifat spesifik. Misalnya tanaman dari genus papaver, Papaver
somniferum dan Papaver septigerum yang menghasilkan morfin dan berkhasiat
menenangkan (Harbone, 1996).

Metabolit sekunder merupakan hasil metabolisme yang dikeluarkan


tanaman. Dalam metabolisme sekunder yang terjadi pada tumbuhan akan
menghasilkan beberapa senyawa yang tidak digunakan sebagai cadangan energi
melainkan untuk menunjang kelangsungan hidupnya seperti untuk pertahanan dari
predaptor. Beberapa senyawa seperti alkaloid, triterpen dan golongan fenol
merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan dari metabolisme sekunder yang
masing-masingnya memiliki fungsi. Senyawa hasil metabolisme sekunder yang
dikenal sebagai metabolit sekunder, diproduksi sebagai benteng pertahanan

1
tumbuhan dari pengaruk buruk lingkungan atau serangan hama (Hagerman,
2002).

1.2 Rumusan Makalah

1. Apa pengertian dari senyawa tanin?


2. Bagaimana klasifikasi dari senyawa tanin?
3. Bagaimana biosintesis yang dihasilkan dari senyawa tanin?
4. Apa skrinning dari senyawa tanin?
5. Bagaimana gambar simplisia yang mengandung senyawa tanin?
6. Bagaimana cara mengidentifikasi dan mengekstraksi senyawa tanin?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui pengertian senyawa tanin


2. Untuk mengklasifikasikan senyawa tanin
3. Untuk mengetahui biosintesis yang dihasilkan dari senyawa tanin
4. Untuk mengetahui skrinning dari senyawa tanin
5. Untuk mengetahui gambar-gambar simplisia yang mengandung senyawa tanin
6. Untuk mengidentifikasi dan mengekstraksi senyawa tanin

2
BAB III
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tanin

Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa


tanaman. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada tanaman dapat
resisten terhadap degradasi oleh enzim protease di dalam silo ataupun rumen
(Kondo et al., 2004).
Tanin selain mengikat protein juga bersifat melindungi protein dari degradasi
enzim mikroba maupun enzim protease pada tanaman, sehingga tanin sangat
bermanfaat dalam menjaga kualitas silase (Oliveira et al., 2009).
Tanin (dari  bahasa Inggris tannin; dari bahasa Jerman Hulu Kuno tanna, yang
berarti “pohon ek” atau “pohon berangan”) pada mulanya merujuk pada
penggunaan bahan tanin nabati dari pohon ek untuk menyamak belulang (kulit
mentah) hewan agar menjadi kulit masak yang awet dan lentur. Namun kini
pengertian tanin meluas, mencakup aneka senyawa polifenol berukuran besar
yang mengandung cukup banyak gugus hidroksil dan gugus lain yang sesuai
(misalnya karboksil) untuk membentuk perikatan kompleks yang kuat dengan
protein dan makromolekul yang lain (Harbone, 1996).
Sifat-sifat Tanin :
1. Dalam air membentuk larutan koloidal yang bereaksi asam dan sepat.
2. Mengendapkan larutan gelatin dan larutan alkaloid.
3. Tidak dapat mengkristal.
4. Larutan alkali mampu mengoksidasi oksigen.
5. Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut
sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik (Harbone, 1996).
Sifat kimia Tanin :
1. Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang sukar
dipisahkan sehingga sukar mengkristal.
2. Tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi.

3
3. Senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptic dan pemberi
warna (Harbone, 1996).
Identifikasi Tanin dapat dilakukan dengan cara :
1. Diberikan larutan FeCl3 berwarna biru tua / hitam kehijauan.
2. Ditambahkan Kalium Ferrisianida + amoniak berwarna coklat.
3.  Diendapkan dengan garam Cu, Pb, Sn, dan larutan Kalium Bikromat berwarna
coklat (Harbone, 1996).
Kegunaan Tanin :
1. Sebagai pelindung pada tumbuhan pada saat masa pertumbuhan bagian tertentu
pada tanaman, misalnya buah yang belum matang, pada saat matang taninnya
hilang.
2. Sebagai anti hama bagi tanaman sehingga mencegah serangga dan fungi.
3. Digunakan dalam proses metabolisme pada bagian tertentu tanaman.
4. Efek terapinya sebagai adstrigensia pada jaringan hidup misalnya pada
gastrointestinal dan pada kulit.
5. Efek terapi yang lain sebagai anti septic pada jaringan luka, misalnya luka
bakar, dengan cara mengendapkan protein.
6. Sebagai pengawet dan penyamak kulit.
7. Reagensia di Laboratorium untuk deteksi gelatin, protein dan alkaloid.
8. Sebagai antidotum (keracunan alkaloid) dengan cara mengeluarkan asam
tamak yang tidak larut.
Hidrolisa Tanin : Tanin apabila dihidrolisa akan menghasilkan fenol
polihidroksi yang sederhana. Hidrolisa :
1. Asam Gallat terurai pirogalol
2. Asam Protokatekuat Katekol
3. Asam Ellag dan Tenol-fenol lain (Asam Ellag dapat disamak kulit bentuk
bunga) (Harbone, 1996).
2.2 Klasifikasi Tanin

Senyawa tanin termasuk kedalam senyawa poli fenol yang artinya


senyawa yang memiliki bagian berupa fenolik. Senyawa tanin dibagi menjadi dua
yaitu tanin yang terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi. Klasifikasi tanin yaitu:
1. Tanin Terhidrolisis (hydrolysable tannins)

4
Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan membentuk
jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan menggunakan
asam sulfat atau asam klorida. Salah satu contoh jenis tanin ini adalah gallotanin
yang merupakan senyawa gabungan dari karbohidrat dengan asam galat. Selain
membentuk gallotanin, dua asam galat akan membentuk tanin terhidrolisis yang
bisa disebut Ellagitanins.Berat molekul galitanin 1000-1500,sedangkan Berat
molekul Ellaggitanin 1000-3000. Ellagitanin sederhana disebut juga ester asam
hexahydroxydiphenic (HHDP). Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam galic
jika dilarutkan dalam air. Asam elagat merupakan hasil sekunder yang terbentuk
pada hidrolisis beberapa tanin yang sesungguhnya merupakan ester asam
heksaoksidifenat (Hagerman, 2002).

2. Tanin terkondensasi (condensed tannins)


Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi dapat terkondensasi
meghasilkan asam klorida. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari polimer
flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Oleh karena adanya gugus fenol, maka
tannin akan dapat berkondensasi dengan formaldehida. Tanin terkondensasi
sangat reaktif terhadap formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi
Tanin terkondensasi merupakan senyawa tidak berwarna yang terdapat pada
seluruh dunia tumbuhan tetapi terutama pada tumbuhan berkayu. Tanin
terkondensasi telah banyak ditemukan dalam tumbuhan paku-pakuan. Nama lain
dari tanin ini adalah Proanthocyanidin. Proanthocyanidin merupakan polimer dari
flavonoid yang dihubungan dengan melalui C8dengan C4. Salah satu contohnya
adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari
epiccatechin dan catechin (Hagerman, 2002).

5
2.3 Biosintesis Tanin

Biosintesa dari Tanin secara umum :


Biosintesa asam galat dengan precursor senyawa fenol propanoid contoh :
- Asam gallat merupakan hasil hidrolisa tannin
- Dari jalur asam siklimat melalui asam 5-D-hidroksisiklimat
- Dengan precursor senyawa fenol propanoid. (Rhus thypina)
- Katekin dibentuk dari 3 molekul as. Asetat , as. Sinamat & as. Katekin
1. Tannin-terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap
terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (atau galotanin) yang
membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Ikatan
karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya
melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan memiliki 2 sampai 20 satuan
flavon. Nama lain untuktanin-terkondensasi adalah proantosianidin karena bila
direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung

6
satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Kebanyakan
proantosianidin adalah prosianidin, ini berarti bila direaksikan dengan asam akan
menghasilkan sianidin (Hagerman, 2002).
2. Tannin-terhidrolisiskan terutama terdiri atas dua kelas, yang paling
sederhana adalah depsida galoilglukosa. Pada senyawa ini, inti yang berupa
glukosa dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih. Pada jenis kedua, inti
molekul berupa senyawa dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat,
disini pun berikatan dengan glukosa. Bila dihidrolisis elagitanin ini
menghasilkan asam elagat. Tannin terhidolisiskan ini pada pemanasan dengan
asam klorida atau asam sulfat menghasilkan gallic atau ellagic. Hydrolyzable
tanin yang terhidrolisis oleh asam lemah atau basa lemah untuk menghasilkan
karbohidrat dan asam fenolat. Contoh gallotannins adalah ester asam gallic
glukosa dalam asam tannic (C76H52O46), ditemukan dalam daun dan kulit
berbagai jenis tumbuhan. Salah satu contoh tanaman yang mengandung senyawa
tannin adalah jambu biji (Hagerman, 2002).
2.4 Skrining Fitokimia Tanin

Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae


terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi
dengan proteina membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam
industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tanaman, yang mampu mengubah
kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya
menyambung silang proteina (Endarini, 2016).
Di dalam tanaman, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma,
tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakannya, maka reakis
penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai
oleh cairan pencernaan hewan. Pada kenyataannya, sebagian besar tanaman yang
banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tanaman karena rasanya yang
sepat. Kita menganggap salah satu fungsi utama tanin dalam tanaman adalah
penolah hewan pemakan tanaman (Endarini, 2016).
Secara kimia terdapat dua jenis tanin yang tersebar merata dalam dunia
tumbuhan. Tanin-terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam paku-pakuan
dan gymnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis

7
tanaman berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebarannya terbatas
pada tanaman berkeping dua; di Inggris hanya terdapat dalam suku yang nisbi
sedikit. Tetapi, kedua jenis tanin itu dijumpai bersamaan dalam tumbuhan yang
sama seperti yang terjadi pada kulit daun ek, Quercus (Endarini, 2016).
Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap
terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (atau galokatekin) yang
membentuk senyawa dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Ikatan
karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui
ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2 sampai 20 satuan flavon.
Nama lain untuk tanin terkondensasi adalah proantosianidin karena bila
direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung
satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Kebanyakan
proantosianidin adalah prosianidin, ini berarti bila direaksikan dengan asam akan
menghasilkan sianidin. Dikenal juga dengan prodelfinidin dan properlargonidin,
demikian juga campuran polimer yang menghasilkan sianidin dan delfinidin pada
penguraian oleh asam (Endarini, 2016).
Tanin terhidrolisiskan terutama terdiri dari dua kelas yang sederhana yaitu
depsida galoilglukosa. Pada senyawa ini, inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh
lima gugus ester galoil atau lebih. Pada jenis kedua, inti molekul berupa senyawa
dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat, disini pun berikatan dengan
glukosa. Bila dihidrolisis elagitanin ini menghasilkan asam elagat. Senyawa
dalam kedua golongan ini dapat dipilah lebih lanjut
berdasarkan biogenesisnya (Endarini, 2016).
Uji skrining tanin dapat dilakukan dengan 2 metode yaituuji gelatin FeCl3.
Untuk uji FeCl3, maka sebanyak 2 ml ekstrak air dari suatu bagian tanaman
ditambahkan ke dalam 2 ml air suling. Selanjutnya, larutan ekstrak tersebut
ditetesi dengan satu atau dua tetes larutan FeCl31%. Adanya kandungan tanin
ditandai dengan timbulnya warna hijau gelap atau hijau kebiruan (Endarini, 2016).
Suatu esktrak bagian tanaman mengandung tanin jika terbentuk endapan
putih, setelah diberi larutan gelatin 1% yang mengandung NaCl 10% (Endarini,
2016).

8
2.5 Gambar Tanaman Yang Mengandung Senyawa Tanin

1. Teh (Camellia sinensis)


Teh mengandung tanin yang bersifat
sebagai antibakteri dan astringen atau
menciutkan dinding usus yang rusak karena
asam atau bakteri. Oleh karena itu zaman
dahulu sebelum ada oralit, bayi mencret
diberi teh kental sebagai usaha mengatasi hal
itu (Sukasman, 1997). Senyawa kimia dalam
daun the secara umum dapat digolongkan
menjadi empat kelompok, yaitu ; 1). Substansi fenol yang terdiri dari
flavonol dan flavonol ; 2). Subsatansi bukan fenol diantaranya karbohidrat,
pektin, alkoloid, protein, lemak, asam amino, klorofil, asam organik,
vitamin dan mineral; 3). Substansi aromatik dan 4). Enzim (Bokuchava,
1969).
            Polifenol teh atau yang disebut dengan tanin merupakan zat
yang unik karena berbeda dengan tanin yang berada dalam tanaman lain.
Tanin dalam teh tidak bersifat menyamak dan tidak berpengaruh buruk
terhadap pencernaan makanan. Tanin dalam teh termasuk tanin
terkondensasi yang secara biosintetis terbentuk dari kondensasi katekin
tunggal yang membntuk senyawa dimet kemudian oligomer yang lebih
tinggi. Pada daun the segar terdapat sekitar 30 % senyawa tanin, yang
sebagian besar dari golongan katekin dan daun teh juga dilengkapi enzim
polfenol oksidase yang siap bekerja merubah tanin menjadi senyawa
turunan tanin yaitu, theaflavin dan thearubigin. Pada proses ini daun teh
berubah menjadi coklat muda lalu coklat tua (Bokuchava, 1969).
2. Kaliandra
Kaliandara adalah
tanaman leguminosa yang
digolongkan kedalam
subfamily
Mmmosoidae yang

9
ebrasal dari Amerika Tengah dan masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1936.
Kaliandara sebagai tanaman leguminosa mempunyai kandungan protein
yang cukup tinggi yaitu sebesar 22% berdasarkan bahan kering. Namun
kadar tanin cukup tinggi yaitu sekitar 10% menyebabkan kecernaannya
menjadi rendah yaitu sekitar 35-42% (Jayadi, 1991). Kaliandra yang
termasuk daun legum diketahui mengandung protein kasar yang cukup
banyak jumlahnya (Tangenjaja et al., 1992), sehingga dapat digunakan
sebagai suplemen bagi hijauan rendah protein (Mannetje dan Jones, 1992).
Pemanfaatan daun ini, baik dalam bentuk segar maupun kering telah lama
diketahui, terutama untuk ternak ruminansia. Sedangkan untunk unggas
belum berkembang karena daun kaliandra ini mengandung serat kasar
yang cukup tinggi (Tangenjaja dan Wina, 2000). Zat antinutrisi yang
terdapat pada kaliandra adalah tanin (National Research Council, 1983).
2.6 Cara Ekstraksi dan Identifikasinya

 Cara Kerja dikutip dari jurnal :


Daun belimbing wuluh yang muda dicuci bersih dengan air dan diiris
kecil-kecil kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 30-37 ºC selama 5 jam
dan diblender sampai diperoleh serbuk. Hasil yang diperoleh digunakan sebagai
sampel penelitian. Serbuk daun belimbing wuluh ditimbang sebanyak 50 gram
kemudian direndam dengan 400 mL pelarut aseton : air (7:3) dengan penambahan
3 mL asam askorbat 10 mM. Ekstrak tanin dipekatkan dengan menggunakan
vakum rotary evaporator dan pemanasan di atas waterbath pada suhu 40-50°C.
Cairan hasil ekstrak kemudian diekstraksi dengan kloroform (4x25 mL)
menggunakan corong pisah sehingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan kloroform
(bawah) dipisahkan dan lapisan air 1 (atas) diekstraksi dengan etil asetat (1x25
mL) dan terbentuk 2 lapisan. Lapisan etil asetat 1 (atas) dipisahkan dan lapisan air
2 (bawah) dipekatkan dengan vacum rotary evaporator (Sa'adah, 2010).
Pada pemisahan dengan KLT analitik digunakan plat silika G 60 F254
yang sudah diaktifkan dengan pemanasan dalam oven pada suhu 100 _C selama
10 menit. Masing-masing plat dengan ukuran 1 cm x 10 cm. Ekstrak tanin
ditotolkan pada jarak 1 cm dari tepi bawah plat dengan pipa kapiler kemudian
dikeringkan dan dielusi dengan fase gerak toluen : etil asetat (3:1) dengan

10
pendeteksi ferri sulfat (Yuliani, 2008), forestal (asam asetat glasial : H2O : HCl
pekat) (30:10:3) (Nuraini, 2002), etil asetat : metanol : asam asetat (6:14:1)
dengan pendeteksi aluminium klorida 5% (Olivina, 2005), n-butanol : asam
asetat : air (4:1:5), metanol : etil asetat (4:1) dengan pendeteksi AlCl3 1%
(Lidyawati, 2006), etil asetat : kloroform : asam asetat 10% (15:5:2). Setelah
gerakan larutan pengembang sampai pada garis batas, elusi dihentikan. Noda yang
terbentuk masing-masing diukur harga Rf nya, selanjutnya dengan
memperhatikan bentuk noda pada berbagai larutan pengembang ditentukan
perbandingan larutan pengembang yang paling baik untuk keperluan preparatif.
Noda yang terbentuk diperiksa dengan lampu UV-Vis pada panjang gelombang
254 nm dan 366 nm (Sa'adah, 2010).
Pada pemisahan dengan KLT preparatif digunakan plat silika G 60 F254
dengan ukuran 10 cm x 20 cm. Ekstrak pekat hasil ekstraksi dilarutkan dengan
aseton-air, kemudian ditotolkan sepanjang plat pada jarak 1 cm dari garis bawah
dan 1 cm dari garis tepi. Selanjutnya dielusi dengan menggunakan eluen n-butanol
: asam asetat : air (BAA) (4:1:5) yang memberikan pemisahan terbaik pada KLT
analitik. Setelah gerakan larutan pengembang sampai pada garis batas, elusi
dihentikan. Noda yang terbentuk masing-masing diukur nilai Rf nya. Noda-noda
diperiksa di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Isolat-
isolat yang diperoleh dari hasil KLT preparatif, dilarutkan dengan aseton : air dan
disentrifuge kemudian dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis merk
Shimadzu. Masing-masing isolat sebanyak 2 mL dimasukkan dalam kuvet dan
diamati spektrumnya pada bilangan gelombang 200-800 nm. Identifikasi
dilanjutkan dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2 M, AlCl3 5%, AlCl3
5%/HCl, NaOAc, NaOAc/H3BO3. Kemudian diamati pergeseran puncak
serapannya. Tahapan kerja penggunaan pereaksi geser adalah sebagai berikut:
a. Isolat yang dapat diamati pada panjang gelombang 200-800 nm, direkam dan
dicatat spektrum yang dihasilkan.
b. Isolat dari tahap 1 ditambah 3 tetes NaOH 2 M kemudian dikocok hingga
homogen dan diamati spektrum yang dihasilkan. Sampel didiamkan selama 5
menit dan diamati spectrum yang dihasilkan.
c. Isolat dari tahap 1 kemudian ditambah 6 tetes pereaksi AlCl3 5 % dalam
metanol kemudian dicampur hingga homogen dan diamati spektrumnya.

11
Sampel ditambah dengan 3 tetes HCl kemudian dicampur hingga homogen dan
diamati spektrumnya.
d. Isolat dari tahap 1 ditambah serbuk natrium asetat kurang lebih 250 mg.
Campuran dikocok sampai homogen menggunakan fortex dan diamati lagi
spektrumnya. Selanjutnya larutan ini ditambah asam borat kurang lebih 150 mg
dikocok sampai homogen dan diamati spektrumnya.
 Isolat hasil KLT preparatif yang diduga senyawa tanin diidentifikasi dengan
menggunakan spektrofotometer FTIR. 0,2 g pelet KBr ditambahkan dengan
satu tetes isolat yang diduga senyawa tanin, dikeringkan kemudian
diidentifikasi dengan spektrofotometer FTIR merk IR Buck M500 Scientific
dengan panjang gelombang 4000-400 cm-1 (Sa'adah, 2010).
 Identifikasinya
Identifiaksi dengan spektrofotometri inframerah (FTIR) hasil
pemisahan KLTP menunjukkan bahwa isolat 2 mengandung gugus fungsi seperti
rentangan asimetri O-H pada bilangan gelombang 3372,4 cm-1, sebagai akibat
dari vibrasi ikatan hidrogen intramolekul. Bilangan gelombang 2071,8 cm-1
menunjukkan puncak serapan C-H deformasi keluar bidang. Pada spektrum ini
tidak terlihat adanya pita serapan karbonil di daerah 1700 cm-1, tetapi terdapat
pita serapan agak melebar di bilangan gelombang 1625,8 cm-1 dimungkinkan
merupakan pita gabungan dari uluran C=O dan serapan ikatan rangkap C=C
aromatik. Hal ini mungkin dikarenakan kuatnya efek resonansi gugus karbonil
dengan cincin aromatik. Dugaan senyawa tanin diperkuat dengan adanya cincin
aromatik yang tersubstitusi pada posisi orto yang ditunjukkan dengan puncak
serapan pada bilangan gelombang 782,5. Puncak-puncak spesifik tersebut
merupakan puncak spesifik dari senyawa tanin, sehingga memperkuat dugaan
bahwa dalam isolat 2 hasil pemisahan senyawa tanin dengan KLTP mengandung
senyawa tanin. Jenis senyawa tanin yang diperoleh dari hasil pemisahan ekstrak
(isolat 2) daun belimbing wuluh dengan kromatografi lapis tipis diduga adalah
flavan-3,6,7,4',5'-pentaol atau flavan- 3,7,8,4',5'-pentaol (Sa'adah, 2010).

12
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan

Tanin merupakan salah satu senyawa polifenol dengan berat molekul lebih
dari 1000mg yang dapat diperoleh dari semua jenis tumbuhan. Tanin memiliki
sifat yang khas baik fisik maupun kimianya. Tanin biasanya dalam tumbuhan
berfungsi sebagai sistem pertahanan dari predaptor, contohnya pada buah yang
belum matang, buah akan terasa asam dan sepat, hal ini sama dengan sifat tanin
yang asam dan sepat. Selain itu tanin juga dapat mengendapkan protein, alkaloid,
dan gelatin. Tanin juga dapat membentuk khelat dengan logam secara stabil,
sehingga jika manusia kebanyakan mengkonsumsi makanan yang memiliki tanin
maka Fe pada darah akan berkurang sehingga menyebabkan anemia Tanin
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu tanin terhidrolisis dan tanin
terkondensasi. Masing-masing jenis memiliki struktur dan sifat yang berbeda.
Untuk tanin yang tehidrolisis memiliki ikatan glikosida yang dapat dihidrolisis
oleh asam. Kalau tanin terkondensasi biasanya berbentuk polimer.
3.2 Saran

Sebaiknya tanaman yang mengandung senyawa tanin perlu dibudidayakan


karena senyawa tanin banyak mengandung manfaat terutama dibidang kesehatan.

13
DAFTAR PUSTAKA
Bokuchava M.A, Skobeleva N.I. (1969). The Chemistry and Biochemistry of Tea
and Tea Manufacture, Advances in Food Research. New York London :
Academic Press.
Endarini, H.L. (2016). Farmakognisi dan Fitokimia. Jakarta Selatan: Pusdik
SDM Kesehatan.
Hagerman, A.E. (2002). Condensed Tannin Structural Chemistry. Department of
Chemistry and Biochemistry, Miami University, Oxford, OH 45056.
Harborne, J.B. (1996). Metode Fitokimia. Edisi ke-2. ITB : Bandung.
Kondo, M. ; Kita, K. ; Yokota, H. (2004). Feeding value to goats of whole-crop
oat ensiled with green tea waste. Anim. Feed Sci. Technol., 113: 71-81
National Research Council. (1983). Risk Assesment In The Federal Government:
Managing The Process. Washington (DC): National Academies Press
(US).
Oliveira, F. R. A. ; Oliveira, F. A. ; Guimarães, I. P. ; Medeiros, J. F. ; Oliveira,
M. K. T. ; Freitas, A. V. L. ; Medeiros, M. A. (2009). Emergency of
seedlings of Moringa oleifera Lam irrigated with water of different levels
of salinity. Biosci. J., 25 (5): 66–74.
Sa'adah, Lailis. (2010). Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Tanin Dari Daun
Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.). Skripsi. Fakultas Sains Dan
Teknologi Universitas Islam Negeri : Malang.

14

Anda mungkin juga menyukai