Secara teoritis semua pengusaha di setiap kegiatan ekonomi (demikian juga di Indonesia)
akan berusaha meminimalkan biaya perusahaannya dengan cara memberikan tanggapan rasional
terhadap struktur sinyal harga pasar yang berlaku untuk berbagai faktor produksi dan hasil
produksinya. Kalau saja harga pasar yang berlaku untuk berbagai faktor produksi menunjukkan
kelangkaan relative antar faktor, maka biaya produksi barang dan jasa yang dihasilkan
pengusaha akan menunjukkan nilai sesungguhnya dari pengorbanan faktor produksi yang
digunakan untuk menghasilkannya. Pengusaha akan meminimalkan biaya produksinya dengan
cara memilik teknik produksi yang paling efisien (teknik produksi yang tepat), yang ditentukan
oleh harga relative faktor produksi. Teknik produksi yang tepat ini adalah teknik produksi yang
menggunakan lebih banyak faktor produksi yang harganya relative lebih murah dengan
mengombinasikan lebih sedikit faktor produksi yang jarang (dan oleh karenanya harganya
mahal). Kalau semua harga-harga menunjukkan harga relative kelangkaannya, maka semua
faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang ada akan terserap seluruhnya dengan penggunaan
penuh (full employment) dan pendapatan dari pemilik faktor produksi mampu untuk menyerap
semua produksi barang dan jasa di pasar tanpa adanya tekanan inflasi.
Namun keadaan seperti yang digambarkan di atas tidak pernah terjadi dalam kenyataan.
Pemerintah setiap Negara mengenakan pajak baik terhadap barang akhir (konsumsi) maupun
terhadap bahan baku dan barang modal. Untuk Indonesia, hal yang demikian ini ditambah lagi
dengan pungutan-pungutan tidak sehingga dikatakan sebagai ekonomi biaya tinggi. Akibat dari
semuanya ini adalah bahwa harga-harga barang dan jasa di pasar tidak menunjukkan biaya
pengorbanan pemakaian faktor produksi untuk menghasilkan. Keadaan yang demikian ini
dikenal dengan adanya distorsi harga barang dan jasa. Distorsi harga juga terjadi pada pasar
faktor produksi. Dari dulu sampai sekarang kita sering mendengar bahwa pemerintah Indonesia
sangat membutuhkan pengusaha dan oleh karenanya memberikan berbagai fasilitas. Salah satu
fasilitas adalah adanya bunga modal yang lebih murah untuk investasi dibandingkan untuk tujuan
lain (konsumsi). Malah, kalau diperhitungkan tingkat inflasi yang terjadi, maka tingkat bunga
yang efektif mungkin negative (tingkat bunga modal lebih rendah dari tingkat inflasi).
Pemerintah juga memberikan kemudahan untuk memasukkan barang modal, seperti bebas bea
masuk ( atau bea memasukkan barang modal, seperti bebas bea masuk (atau bea masuk yang
rendah) untuk barang modal. Untuk menarik investor pemerintah juga sering memberikan bebas
pajak (tax holiday). Pada masa pemerintahan Orde Lama, pemerintah menentukan nilai rupiah
terlalu mahal dengan melaksanakan pengawasan terhadap harga devisa. Akibat dari semua
kebijaksanaan ini adalah bahwa harga modal tertekan turun, menjadi lebih murah dari
semestinya. Di lain pihak, pemerintah selalu menentukan upah minimum (regional/nasional),
yang mengakibatkan upah buruh lebih mahal dari seharusnya. Jadi harga untuk modal terlalu
murah dan harga tenaga kerja terlalu mahal di pasar, sehingga tanggapan rasional dari pengusaha
akan struktur harga pasar y ang berlaku adalah memilih teknik produksi yang padat modal
(teknik produksi 0A pada Peraga 1 di atas).
Jika dari kenyataan yang ada kita simpulkan bahwa Indonesia memiliki tenaga kerja yang
melimpah dan hanya memiliki modal financial atau modal fisik yang sangat terbatas, maka wajar
saja kalau kita berpikir bahwa teknik produksi yang akan digunakan bersifat padat karya. Hasil
neto dari distorsi harga faktor adalah adanya dorongan penggunaan teknik produksi padat modal
yang sangat mekanis yang tidak layak di sektor pertanian maupun sektor manufaktur. Traktor-
traktor besar dan mesin-mesin permanen mewarnai pemandangan pedesaan di Sumatera, Jawa,
Sulawesi dan pulau lainnya, sementara banyak orang tidak mempunyai kerja dan hanya
menonton produksi yang mekanis berlangsung. Pabrik-pabrik baru yang dihiasi dengan mesin-
mesin dan perlengkapan yang laing modern dan canggih merupakan ciri-ciri yang umum ditemui
pada industry-industri di perkotaan, dan semestara itu penganggur berkerumum di luar gedung
pabrik. Pemandangan banyaknya para pencari kerja(penganggur) di Indonesia bnukalah
disebabkan oleh kurangnya rasionalitas ekonomi dari para pengusaha. Kebijaksanaan pemerintah
yang dirancang untuk memberikan harga yang benar (menghilangkan distorsi harga faktor) akan
menghasilkan kesempatan kerja yang lebih luas dan juga penggunaan yang lebih baik atas modal
yang langka melalui pemilihan teknik produksi yang lebih tepat.