Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Cholelithiasis adalah pembentukan batu di dalam kandung empedu.

Cholelithiasis merupakan salah satu penyakit pada traktus digestif yang sering

terjadi.1

Cholelithiasis atau batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung

empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam

saluran empedu menjadi batu saluran empedu.2

Prevalensi cholelithiasis cukup tinggi di negara-negara barat,3 di Amerika

Serikat dari temuan otopsi diperoleh data 11-36% terdapat batu pada kandung

empedu,1 sedikitnya 20% wanita mengalami cholelithiasis dan 8% pada pria, rata-

rata ditemukan pada pria maupun wanita berusia diatas 40 tahun. 3 Diperkirakan

sekitar 20 juta penduduk Amerika Serikat mengalami cholelithiasis dan rata-rata 1

juta kasus baru bertambah setiap tahunnya.3 Angka kejadian di Indonesia tidak

berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
—-
A. Defenisi
Sinonim dari cholelithiasis adalah batu empedu, gallstones dan biliary

calculus. Cholelithiasis merupakan pembentukan batu di dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu terdiri dari gabungan beberapa unsur yang membentuk

suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.4,5

Gambar 1. Batu dalam kandung empedu


(diambil dari8)

B. Anatomi Kandung empedu

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk buah peer, berukuran

panjang sekitar 7-10 cm dengan kapasitas rata-rata 30-50 ml. Saat mengalami

obstruksi, kandung empedu dapat terdistensi dan mampu menampung kapasitas

sampai 300 ml.1 Kandung empedu terletak di fossa inferior dari permukaan hepar,

dimana membagi hepar secara anatomis menjadi lobus hepar dekstra dan sinistra.

Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum dan kolum. Fundus

2
bentuknya bulat, ujungnya buntu dan normalnya memanjang 1-2 cm dari batas

inferior hepar. Struktur fundus sebagian besar terdiri dari otot polos, berbeda

dengan bagian korpus yang lebih banyak terdiri dari jaringan elastis yang sesuai

dengan fungsinya sebagai tempat penyimpanan utama.1,6

Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah

bagian yang sempit dari kandung empedu.1,6 Kolum berbentuk saluran kecil

dengan kelengkungan yang sedikit membesar dan membentuk infundibulum atau

Hartman's pouch serta akan terhubungkan dengan duktus sistikus. Kolum terletak

pada bagian terdalam dari fossa kandung empedu dan meluas sampai tepi bebas

ligamentum hepatoduodenal.1

Gambar 2. Gambaran skematis anatomi kandung empedu


(diambil dari5)

3
Gambar 3. Anatomi kandung empedu dan saluran empedu.
a. Duktus hepatikus dextra. b. Duktus hepatikus sinistra. c. Duktus hepatikus komunis. d. Vena
porta. e. Arteri hepatika. f. Arteri gastroduodenalis. g. Arteri gastroepiploika dextra. h. Duktus
koledokus (common bile duct). i. Fundus kandung empedu. j. Korpus kandung empedu. k.
Infundibulum. l. Dukstus sistikus. m. Arteri sistikus. n. Arteri pancreaticoduodenalis superior.
(diambil dari1)

C. Fisiologi Kandung Empedu

Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya

antara 500-1000 ml/hari.1,3,7 Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml

empedu.6 Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam

kandung empedu, di sini empedu mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi

primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan

natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang

terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.5

Menurut Guyton&Hall, empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :7

4
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,

karena asam empedu melakukan dua hal, asam empedu membantu

mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih

kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas.

Selain itu asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak

yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk

buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari

penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel-

sel hati.

Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal

ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah

makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding

kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang

bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis ke

dalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh

serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik.

Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum

terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak

terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu tidak berlangsung baik,

tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung

empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam.7

5
Garam empedu, lesitin dan kolesterol merupakan komponen terbesar

(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak dan garam anorganik.

Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari

kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang

dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal jika diperlukan.4

D. Epidemiologi

Insiden cholelithiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka

kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. 4

Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi

yang disebut ”5 F” yaitu female (wanita), fertile (subur) khususnya selama

kehamilan, fat (gemuk), fair (kebanyakan pada ras Kaukasia) dan fourty (empat

puluh tahun).8

Cholelithiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun,

semakin banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk terjadinya

cholelithiasis.8,9 Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Genetik

Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan terbentuknya

batu empedu bisa terjadi dalam keluarga.10 Di negara Barat penyakit ini sering

dijumpai, di Amerika Serikat 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung

empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih

dibandingkan kulit hitam.5,11

2. Umur

6
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.4 Resiko

untuk terkena cholelithiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena cholelithiasis

dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda. 8,9 Diperkirakan pada

usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang mengalami

cholelithiasis.4

3. Jenis Kelamin

Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan

perbandingan 4 : 1. Di Amerika Serikat 10-20% laki-laki dewasa menderita batu

kandung empedu, sementara di Italia 20% wanita dan 14 % laki-laki. Sementara

di Indonesia jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki. 10 Hal ini

disebabkan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi

kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang menigkatkan kadar esterogen

juga meningkatkan resiko terjadinya cholelithiasis. Penggunaan pil kontrasepsi

dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung

empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.9

4. Obesitas

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadi cholelithiasis. Ini karenakan akibat tingginya BMI maka kadar

kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi dan juga mengurasi garam empedu

serta menurunkan kontraksi atau pengosongan kandung empedu.8,9

5. Makanan

7
Asupan yang rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti

setelah operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur

kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung

empedu.8

6. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga cholelithiasis mempunyai resiko lebih besar

dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.8,9

7. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya

cholelithiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit

berkontraksi.9,12

8. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan cholelithiasis adalah crohn

disease, diabetes, anemia sickle cell, trauma dan ileus paralitik.9,12

9. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak

terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada nutrisi yang melewati

intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam

kandung empedu.9,12

E. Patofisiologi

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan

berdasarkan bahan pembentuknya yaitu batu kolesterol, batu pigmen dan batu

8
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung

> 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50%

kolesterol). 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, dimana mengandung < 20%

kolesterol.3 Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah

keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak

sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.13,14

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang

terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin

dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu

menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol,

kalsium, bilirubin) akan mengalami kristalisasi dan membentuk nidus untuk

pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, lama-

kelamaan bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Faktor

motilitas kandung empedu, biliary stasis dan kandungan empedu merupakan

predisposisi pembentukan batu empedu.5,13

Klasifikasi batu empedu adalah sebagai berikut :

1. Batu kolesterol

Terbentuknya batu kolesterol dipengaruhi berbagai faktor, tetapi secara

garis besar diperlukan 3 faktor utama (1) Supersaturasi kolesterol dalam

empedu, (2) Nukleasi atau pembentukan nidus cepat dan (3) Perkembangan

batu.15

Khusus mengenai nukleasi cepat, sekarang telah terbukti bahwa empedu

pasien dengan cholelithiasis mempunyai zat yang mempercepat waktu

9
nukleasi kolesterol (promotor) sedangkan empedu orang normal mengandung

zat yang menghalangi terjadinya nukleasi.2

2. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika

Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu

kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel,

sangat keras dan berwarna hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut

mengandung kalsium bilirubinat dalam jumlah yang bervariasi, polimer

bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan

banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat

dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini

lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.10

Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan

mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan

pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris

merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen.10 Pasien dengan

peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim

membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu

kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam

saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris

Lumbricoides. E.coli membentuk B-glukoronidase yang dianggap

mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong

pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.3,11

10
3. Batu campuran

Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini

sering ditemukan hampir sekitar 90% pada penderita cholelithiasis. batu ini

bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran

mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.10

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang

pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan

pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan jelas, akan

tetapi faktor predisposisi yang paling penting kemungkinan adalah gangguan

metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu

dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan

yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan

kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat

meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan

unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian

dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan

pembentukan mukus.6

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada

kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan

batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol

adalah terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-

garam empedu dan lesitin dari empedu dan terlalu banyak sekresi kolesterol dalam

empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak

11
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu

produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah orang yang mendapat

diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami

perkembangan batu empedu.7

Gambar 4. Patogenesis batu kolesterol


(diambil dari8)

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui

duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut

dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau total sehingga

menimbulkan gejala kolik empedu. Jika batu berhenti di dalam duktus sistikus

karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada

disana sebagai batu duktus sistikus.4

F. Diagnosis
1. Anamnesis

12
Setengah sampai duapertiga penderita cholelithiasis adalah asimtomatis.

Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran

terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri

di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya

adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang

baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-

lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.4,5

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak

bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan

bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Jika terjadi cholelithiasis,

keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.4

2. Pemeriksaan Fisik

a. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan

komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau generalisata,

hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pangkreatitis. Pada

pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah

letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan

bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu

yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti

menarik nafas.3,4

b. Batu saluran empedu

13
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.

Kadang teraba hepar dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar

bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila

sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.4

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak

menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi

peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi,

akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus

koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan

oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan

mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali

terjadi serangan akut.3,4,5

b. Pemeriksaan radiologis

 Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas

karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat

radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu

berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan

akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung

14
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan

atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura

hepatika.1,4

Gambar 5. Foto rongent pada cholelithiasis


(diambil dari14)

Gambar 6. Foto polos abdomen memperlihatkan batu empedu (kalsium) di kuadran kanan atas

 Ultrasonografi (USG)

15
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat

dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau oedem yang

diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada

duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara

di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu

kandung empedu yang mengalami gangren lebih jelas daripada dengan

palpasi biasa.2

Gambar 7. USG pada kandung empedu yang menunjukkan adanya distensi kadung empedu dan
terdapat sebuah batu empedu yang disertai gambaran acoustic shadow.

16
Gambar 8. USG pada Kolelitiasis
Tampak multiple kolelitiasis (hiperekoik) dengan acoustic shadowing.
(diambil dari19)
 Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena

relatif murah, sederhana dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen

sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan

gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2

mg/dl, obstruksi pilorus dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan

tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral

lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.4

- CT-scan

Batu kolesterol murni tampak lebih hipodens (kehitaman) dibandingkan

empedu dan batu empedu kalsifikasi tampak lebih hiperdens dibandigkan

17
empedu. Beberapa batu empedu adalah isodens terhadap empedu dan ini

mungkin tidak dikenali dengan jelas pada CT-scan.20

Gambar 8. CT-scan pada cholelithiasis.


Tampak multiple kolelitiasis (hiperdens) pada kandung empedu.
(diambil dari20)

 ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)

Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus

dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam

duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung

stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian

distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk

membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus

hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga

dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-

18
pasien yang kandung empedunya sudah diangkat. ERCP ini berisiko

terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.

G. Penatalaksanaan

1. Konservatif

a. Lisis batu dengan obat-obatan

Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan

mengalami keluhan, dalam hal jumlah, besar, dan komposisi batu tidak

berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nantinya

timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi

disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan batu empedu kolesterol

dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga

dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka

kekambuhan 50% dalam 5 tahun.2,14

b. Disolusi kontak

Metode ini didasarkan pada prinsip PTBD (Percutaneous transhepatic

biliar drainage) dan instilasi langsung pelarut kolesterol ke kandung empedu.

Metode ini bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu alternatif untuk

mengatasi sepsis pada kolangitis berat atau mengurangi ikterus berat pada

obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Prosedur ini invasif dan

kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi.1

c. Litotripsi (Extracorvoral Shock Wave Lithotripsy = ESWL)

Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun

yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang

19
benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL

memerlukan terapi ajuvan asam ursodeoksilat.10,14

2. Operatif

a. Open kolesistektomi

Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu

empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah

kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang

terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan dan infeksi. Data baru-baru ini

menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada

tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari

65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka

kematian mencapai 0,5 %.1

Gambar 9. Teknik open cholesistectomy.


A. Kandung empedu dan duktus sistikus di isolasi dan arteri sistikus diligasi dan dipisahkan.
B. Kandung empedu dipisahkan dari hepar dan kateter dipasang pada ductus sistikus untuk
cholangiogram intraoperatif.
C. Kandung empedu dibuang secara keseluruhan dengan stump ductus sistikus dan stump
proksimal pada arteri sistikus yang tersisa.
D. Perut ditutup dengan saluran drainase yang ditempatkan melalui sayatan yang terpisah.
(diambil dari1)

20
b. Kolesistektomi laparoskopik

Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri paska operasi lebih minimal,

pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkat perawatan di

rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier

yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak

dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat

dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump

duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering

dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan

teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali

menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua

otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.14

Tabel 1. Indikasi Kolesistektomi laparoskopik (diambil dari1)


Indications for LC
Symptomatic cholelithiasis
  Biliary colic
  Acute cholecystitis
  Gallstone pancreatitis
Asymptomatic cholelithiasis
  Sickle cell disease
  Total parenteral nutrition
  Chronic immunosuppression
  No immediate access to health care facilities (e.g., missionaries, military personnel, peace corps
workers, relief workers)
  Incidental cholecystectomy for patients undergoing procedure for other indications
Acalculous cholecystitis (biliary dyskinesia)
Gallbladder polyps >1 cm in diameter
Porcelain gallbladder

Tabel 2. Kontraindikasi Kolesistektomi laparoskopik (diambil dari1)


Contraindications to LC

21
Absolute
Unable to tolerate general anesthesia
Refractory coagulopathy
Suspicion of gallbladder carcinoma
Relative
Previous upper abdominal surgery
Cholangitis
Diffuse peritonitis
Cirrhosis and/or portal hypertension
Chronic obstructive pulmonary disease
Cholecystoenteric fistula
Morbid obesity
Pregnancy

c. Kolesistektomi minilaparatomi.

Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih kecil

dengan efek nyeri paska operasi lebih rendah.16

Pemilihan Antibiotik

Antibiotik profilaksis direkomendasikan digunakan pada operasi-operasi

elektif traktus bilier atau berbagai prosedur pemeriksaan yang terdapat manipulasi

bilier seperti endoskopi atau pada kolangiografi perkutan. Pada pasien-pasien

dengan resiko tinggi (lansia, acute cholecystitis, open cholecystectomy yang

beresiko tinggi) perlu diberikan single dose cefazolin, cephalosporin generasi

pertama yang memiliki aktivitas melawan bakteri aerob gram negatif yang banyak

ditemukan pada isolat empedu dan flora kulit.15

Antibiotik terapeutik diberikan pada pasien dengan komplikasi acute

cholecystitis dan acute cholangitis. Pola kuman pada kedua keadaan tersebut

22
didominasi oleh bakteri aerob gram negatif dan sensitif terhadap golongan

cephalosporin generasi kedua dan ketiga, aminoglycoside, ureidopenicillin,

carbapenem dan fluoroquinolone. Ureidopenicillin, seperti piperacillin, juga

memiliki spektrum luas serta aktivitas antibakteri yang baik terhadap bakteri-

bakteri gram positif termasuk enterococci dan anaerob.15

Kombinasi piperacillin dengan golongan penghambat β-laktamase seperti

tazobactam memberikan aktivitas antibakteri yang lebih baik bahkan sensitif

terhadap bakteri-bakteri yang telah resisten dengan antibiotik golongan lainnya.

Sebagian besar fluoroquinolone seperti ciprofloxacin tidak efektif terhadap bakteri

anaerob dan harus dikombinasi dengan golongan lainnya seperti metronidazole.

Pseudomonas yang banyak menjadi penyebab meningkatnya frekuensi komplikasi

cholangitis, dapat dihambat aktivitasnya dengan menggunakan kombinasi

mezlocillin dan piperacillin. Melalui randomized trials pada pasien dengan

cholangitis, kedua kombinasi antibiotik tersebut sama baiknya dengan aktivitas

antibakteri golongan aminoglycoside.15

23
Gambar 13. Antibiotik rekomendasi untuk prosedur invasif pada traktus bilier.
(diambil dari1)

H. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : 3

24
1. Obstruksi duktus sistikus

2. Kolik bilier

3. Kolesistitis akut

- Empiema

- Perikolesistitis

- Perforasi

4. Kolesistitis kronis

- Hidrop kandung empedu

- Empiema kandung empedu

- Fistel kolesistoenterik

- Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang

tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus,

batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus

sistikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi

infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu

dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga

membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat

juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat

mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan

dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi

kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.3

25
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat

kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus

koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.

Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus

obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis 3

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui

terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan

ileus obstruksi.3

I. Prognosis

Cholelitiasis memiliki prognosis yang cukup bagus untuk sebagian besar

kasus. 60 – 80 % kasus tidak ada gejala simptomatis lanjutan. Batu yang kecil

sering melewati intestinal tanpa ada penyulit dan di eliminasi bersama feses.18

Pada pasca cholecystectomi, sebagian besar pasien memiliki prognosis

yang bagus dan jarang terjadi rekuren walaupun 5 – 10% dari beberapa pasien

memiliki masalah diare kronik , nyeri kolik, atau masalah motilitas usus atau

pembentukan batu berulang didalam kandung empedu. Kurang dari 0,5% dari

beberapa pasien meninggal setelah operasi cholecystectomi dan kurang dari 10%

terjadi komplikasi pasca operatif. Operasi emergensi memiliki tingkat mortalitas

yang sedikit meningkat sekitar 3-5% dan komplikasi yang lebih tinggi 30-50%.18

26
DAFTAR PUSTAKA

1. [Eds.] Brunicardi FC, et al. Gallbladder and the Extrahepatic Biliary System in
Scwartz’s Principles of Surgery. 8th Edition. New York : The McGraw-Hill
Companies, 2007, chapter 31 of chm file.
2. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
1. Edisi IV. [Eds.] Aru W. Sudoyo, et al. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006, pp. 481-484.
3. Greenberger NJ, Paumgartner G. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts
in Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition. [Eds.] Dennis L.
Kasper, Eugene Braunwald, Anthony S. Fauci, et al. New York : McGraw-
Hill, 2005, pp. 1880-91.
4. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005, pp. 570-579.
5. Maryan LF, Chiang W. Cholelithiasis. 2006. eMedicine [online] [cited July
27th, 2017]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/emerg/Gastrointestinal/topic97.htm
6. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis in Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC, 1995, pp. 430-444.
7. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu in Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC, 1997, pp. 1028-1029.
8. Webmaster. Cholelithiasis. 2007. Medline [online] [cited July 27th, 2017];
Avaliable from : URL: http://www.medlineplus.com

27
9. Clinic Staff. Gallstones. 2007. Mayo Clinic [online] [cited July 27th, 2017];
Avaliable from : URL: http://www.mayoclinic.com/health/digestive-
system/DG99999.htm
10. Sarr MG, Cameron JL. Sistem Empedu in Esentials of Surgery. Edisi 2.
Jakarta: EGC, 1996, pp. 121-123.
11. Garden J, et al. Gallstone in Principle and Practice of Surgery. China:
Elseiver, 2007, p. 23.
12. Latchie M. Cholelitiasis in Oxford Handbook of Clinical Surgery. Oxford
University, 1996, p. 162.
13. Heuman D, Mihas A. Cholelithiasis. 2006. eMedicine [online] [cited July
27th, 2017]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/emerg/Gastrointestinal/topic863.htm
14. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. 2005. New England Journal of Medicine
[online] [cited July 28th, 2017]; Avaliable from : URL:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1

15. Calculous Biliary Disease in Townsend: Sabiston Textbook of Surgery. 17th


Edition. Philadelphia: Elsevier, 2004, pp. 1606-09.

16. Ahmed A, Cheung R. Management of gallstones and their complication. 2008.


American Family Physician [online] [cited July 28th, 2017]; Avaliable from :
URL: http://www.aafp.org/afp/20000315/contents.html
17. Webmaster. The Laparascopic Gallbladder Surgery Procedure. 2008.
Laparoscopic Gallbladder Surgery Attorneys [online] [cited July 29th, 2017];
Avaliable from : URL: www.laparoscopicsurgeryinfo.com/procedure.htm
18. http://www.mdguidelines.com/cholelithiasis/differential-diagnosis [online]
[cited July 29th, 2017]
19. Dixon A. Cholelithiasis-Acoustic Shadowing. 2015. Radiopaedia [online]
[cited July 29th, 2017] Available from: URL:
https://radiopaedia.org/cases/cholelithiasis-acoustic-shadowing

28
20. Sorrentino S, Bell DJ. Gallstones. 2017. Radiopaedia [online] [cited July 31th,
2017] Available from: URL: https://radiopaedia.org/articles/gallstones-1

29

Anda mungkin juga menyukai