Anda di halaman 1dari 12

Kawistara, Vol. 1, No.

3, Desember 2011: 213-224

PENGANTAR
Kerusakan hutan dan degradasi
lingkungan merupakan persoalan terbesar 10,2 juta diantaranya dianggap miskin
yang harus ditangani oleh Indonesia. Selama (Wollenberg, 2004: 4). Dari data tersebut bisa
kurang lebih 50 tahun, hutan alam di Indonesia kita bayangkan apa yang dapat dengan jelas
mengalami penyusutan secara drastis. dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk
Diperkirakan hilangnya tutupan hutan di membantu sekitar 10,2 juta rakyat miskinnya
Indonesia telah mengalami percepatan dalam yang menggantungkan hidupnya dari hasil
kurun waktu 20 tahun terakhir. Total jumlah hutan.
luas hutan merosot tajam dari 124.476.000 Berbagai implementasi kebijakan
ha pada tahun 1980 menjadi 109.791.000 ha pemerintah seringkali gagal melindungi
di tahun 1995. Selanjutnya pada akhir tahun hutan maupun menekan jumlah masyarakat
1999, total jumlah luas hutan di Indonesia miskin, fenomena tersebut menunjukkan
terus berkurang menjadi tinggal 98 juta ha bahwa masalah ini memiliki variabilitas
saja. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dimensi yang sangat kompleks. Persoalannya
terdapat 26,4 juta ha tutupan hutan yang bukan hanya karena lemahnya pengawasan
hilang selama masa 19 tahun (Dephut, 2004). dan penegakkan hukum terhadap eksploitasi
Kebijakan pemerintah di masa lalu juga hutan dan lingkungan yang destruktif, tetapi
merupakan faktor pendorong terjadinya lebih dari itu karena ketidakmampuan rezim
proses deforestasi dan degradasi hutan. pemerintah untuk mengelola kekayaan
Keterkaitan tersebut dapat ditarik dari sumberdaya secara arif dan berkelanjutan.
model kebijakan pemerintah yang menganut Sebab lainnya adalah akibat terbatasnya sumber
paradigma timber management, paradigma daya alam yang masih tersedia, sehingga tidak
ini merasa yakin bahwa kayu adalah satu- ada kebijakan politik yang bisa memuaskan
satunya yang mendatangkan uang sebagai semua pihak secara optimal, selalu ada pihak
sumber devisa negara yang paling penting, yang diuntungkan dan yang lebih dirugikan
hasil hutan lainnya ikut tidak menjadi oleh suatu kebijakan pemerintah karena motif
perhatian serius. Atas dasar tersebut, maka dan kepentingan yang melatarbelakanginya.
deforestasi dan degradasi hutan tidak dapat Pada akhirnya kemiskinan sebagai akibat
dihindarkan karena pemerintah memerlukan dari ketidakadilan distribusi manfaat hutan
devisa yang berasal dari sumber daya hutan. menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah
Hal yang sangat merisaukan adalah untuk merumuskan kebijakan yang cukup
dampak dari kerusakan hutan dan degradasi tepat dalam upaya pengentasan kemiskinan
lingkungan yang telah menyebabkan (pro-poor) dan mewujudkan ke-sejahteraan
berbagai bencana sosial dan lingkungan masyarakat sebagaimana yang telah
(seperti banjir, tanah longsor, dan kemarau diamanatkan dalam UUD 1945.
panjang), peningkatan kemiskinan struktural Kajian tentang kerusakan hutan dan
kemiskinan masyarakat telah banyak
di masyarakat akibat monopoli pengusahaan
dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu
lahan oleh negara dan pihak swasta,
yang substansi hasilnya relevan dengan
serta terjadinya konflik pertanahan yang
kajian ini antara lain penelitian Peluso (1992),
berkepanjangan. Berdasarkan observasi
Angelsen dan Kaimowitz (2001), Ellen (2002),
CIFOR (Center for International Forestry
dan Chomitz (2007). Dalam Rich Forest, Poor
Research) dari sekitar 220 juta populasi
penduduk, terdapat 48,8 juta diantaranya
tinggal di kawasan hutan negara dan sekitar

214
Deddy Winarwan -- Kebijakan Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural dan Perlawanan Masyarakat

People: Resource Control and Resistance in Java, and Environment in the Tropical Forests,
yaitu menggunakan pendekatan ekologi Chomitz (2007) menggunakan pendekatan
politik bahwa kajian yang menitikberatkan ekonomi dengan metode penelitian survei.
pada perubahan lingkungan, skema Fokus penelitian ini pada dilema tarik-
pembangunan yang berpusat pada negara, menarik antara pengentasan kemiskinan
dan tendensi perlawanan masyarakat petani dan perlindungan lingkungan. Hasilnya
di sekitar hutan (Peluso, 1992: 17; Lounela, menawarkan suatu kerangka sistematis
2009: 24). Dengan pendekatan ini, negara untuk mengintegrasikan manajemen hutan
dapat dilihat sebagai kekuatan pengendali dengan pembangunan masyarakat desa
wilayah-wilayah perkebunan dan hutan, dalam suatu cara yang saling mendukung
sementara resistensi dipandang muncul di satu sama lain.
kalangan petani lokal akibat sangat kerasnya Dari penjelasan di atas, dapat diketahui
kehidupan ekonomi dan budaya yang mereka bahwa beberapa penelitian tersebut
jalani dalam situasi yang berdekatan dengan mempunyai persamaan maupun perbedaan
perkebunan yang dikelola dan dikendalikan dengan kajian ini. Walau obyek utama
oleh negara. Dalam konteks itu, masyarakat penelitian ini adalah kebijakan pengelolaan
petani lokal sekitar hutan cenderung hutan, kemiskinan struktural, dan perlawanan
akan mengalami kesulitan memperoleh masyarakat, perspektif dan metodologi
penghidupan (livelihood) karena lahan- serta fokus kajian dan lokasi penelitiannya
lahan amat luas yang dikuasai oleh negara berbeda. Kesamaannya terletak pada tiga
mempersempit atau bahkan cenderung hal, yaitu (1) pembicaraan tentang hutan
meniadakan ruang gerak sosial, ekonomi, dan deforestasi; (2) analisis ketergantungan
dan politik masyarakat petani lokal. masyarakat miskin pada sumberdaya hutan;
Dalam Agricultural Technologies dan (3) pembahasan konflik kepentingan
and Tropical Deforestation, Angelsen dan pengelolaan sumber daya hutan. Sementara
Kaimowitz (2001) lebih menekankan pada itu, perbedaannya terletak empat hal,
kajian ekonomi dan sedikit pada kajian sosial yaitu (1) perspektif sosiologi kebijakan; (2)
dengan metode penelitian survei. Fokus penekanan pada metode fenomenologi; (3)
utama kajian ini adalah pada pengaruh fokus kajian pada deforestasi, kemiskinan,
kegiatan pertanian terhadap deforestasi. Hasil dan resistensi sosial dalam hubungannya
kajian menemukan bahwa input teknologi dengan kebijakan negara dalam pengelolaan
sangat mempengaruhi tingkat deforestasi hutan; dan (4) lokasi penelitian ini adalah di
di sebuah negara. Sedangkan dalam Desa Atar Lebar kawasan hutan konservasi
Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi TNBBS Kabupaten Lampung Barat. Pada
Hutan: Ketidakpastian Politik, Sejarah Ekologi, intinya, kajian-kajian terdahulu sifatnya
dan Renegosiasi terhadap Alam di Seram Tengah, hanya berkaitan saja dengan kajian ini, tetapi
Ellen (2002: 205-246) menerapkan metode tidak ada satu pun yang mengupas secara
penelitian deskriptif dengan pendekatan tuntas tentang hubungan struktural antara
antropologi. Fokusnya adalah pada pengaruh kebijakan pengelolaan hutan, kemiskinan
perusahaan pemanfaat hutan terhadap masyarakat, dan perlawanan sosial di
deforestasi dan kerusakan lingkungan di kawasan hutan konservasi.
Nuaulu Seram. Hasil kajian ini menunjukkan Kebijakan pengelolaan hutan di Taman
bahwa dampak kebijakan pemerintah pusat Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
yang memberikan izin eksploitasi hutan pada mengatur kawasan hutan konservasi TNBBS
perusahaan swasta menyebabkan deforestasi yang tertutup untuk aktivitas dan interaksi
dan sumber penghidupan masyarakat lokal antara manusia dengan sumber daya hutan
dari hutan yang ada menjadi hilang. kecuali hanya untuk pariwisata, penelitian,
Selanjutnya dalam At Loggerheads? dan pelestarian alam. Dengan penetapan
Agricultural Expansion, Poverty Reduction, kawasan hutan konservasi TNBBS, maka

215
Kawistara, Vol. 1, No. 3, Desember 2011: 213-224

pemerintah melakukan penataan kawasan konservasi TNBBS Kabupaten Lampung


tersebut sehingga menyebabkan beberapa Barat; (2) Mencari penjelasan mengenai
lahan hutan yang sebelumnya merupakan kondisi kemiskinan struktural masyarakat
bagian wilayah desa maupun milik hak Atar Lebar akibat pengelolaan hutan
ulayat masyarakat dinyatakan sebagai konservasi oleh negara dan; (3) Mencari
kawasan hutan konservasi dan terlarang penjelasan mengenai bentuk-bentuk
bagi masyarakat untuk mengelola dan perlawanan masyarakat terhadap kebijakan
memanfaatkannya. Akan tetapi, dalam pengelolaan hutan di kawasan hutan
kenyataannya terjadi resistensi dari konservasi tersebut serta mengetahui
kelompok-kelompok masyarakat yang telah alternatif kebijakan sebagai solusi bagi
bertahun-tahun mendiami kawasan itu, permasalahan tersebut.
bahkan jauh sebelum Pemerintah Orde Baru Dalam kajian ini, peneliti melihat
menetapkan kawasan tersebut sebagai hutan bahwa persoalan hutan di Indonesia pada
konservasi. umumnya adalah persoalan diskriminasi
Mengingat unik dan menariknya yaitu kurangnya keberpihakan negara pada
fenomena pengelolaan hutan yang sangat masyarakat lokal. Kajian-kajian yang pernah
diskriminatif oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh Dove (1985) dan Pelzer (1985)
atas kawasan hutan konservasi TNBBS memperlihatkan temuan bahwa pada tahun
dan perlawanan sosial yang dilakukan 1970-an masyarakat sekitar hutan tidak
masyarakat setempat di dalam dan di miskin dan mereka hidup terintegrasi dengan
pinggir kawasan hutan konservasi tersebut, ekosistem hutan. Namun, dalam konteks
maka perlu dilakukan kajian mendalam kekinian, terdapat fakta bahwa masyarakat
yang terkait dengan permasalahan di dalam atau sekitar hutan mengalami
tersebut. Kajian ini berlokasi di Desa Atar gejala kemiskinan struktural dan beberapa
Lebar Kawasan Hutan Konservasi TNBBS di antara mereka melakukan perlawanan
Kabupaten Lampung Barat. Hal-hal yang sosial terhadap pengelolaan hutan oleh
perlu diidentifikasi dalam kajian ini antara negara, sehingga secara teoritis adanya
lain tentang karakteristik penduduk yang diskriminasi kebijakan dalam pengelolaan
tinggal di kawasan Atar Lebar dan pola-pola hutan oleh negara menjadi sumber segala
pemanfaatan hutan oleh masyarakat Atar rupa ketegangan dan persoalan sosial hutan.
Lebar serta interaksinya dengan kawasan
hutan TNBBS, kemudian perlu dijelaskan PEMBAHASAN
mengenai kecenderungan kebijakan Hutan bukanlah sekedar lokasi yang
pengelolaan kawasan hutan TNBBS serta dipenuhi dengan flora dan fauna, tetapi
kemiskinan struktural yang ditimbulkan lebih dari itu, dari perspektif ekonomi-
oleh kebijakan tersebut. Selanjutnya politik dan kebijakan, hutan  adalah sistem
berdasarkan identifikasi masalah tersebut, yang menyangkut hajat hidup orang banyak
maka dapat disusun rumusan masalah dan harus dikelola dengan memperhatikan
umum dari penelitian ini sebagai berikut: prinsip keadilan sosial di antara stakeholder
Bagaimana model kebijakan pengelolaan pemanfaat hutan. Kebijakan pemerintah
hutan di TNBBS Kabupaten Lampung Barat? dalam pengelolaan sumber daya hutan
Kemudian bagaimana kondisi kemiskinan merupakan rencana-rencana rasional
struktural masyarakat yang diakibatkan oleh pemerintah yang pada dasarnya melakukan
kebijakan tersebut serta mengapa muncul generalisasi rencana-rencana yang kemudian
perlawanan masyarakat terhadap negara? diimplementasikan di semua wilayah
Berdasarkan rumusan masalah di tanpa ada pengecualian. Dalam praktiknya,
atas, maka tujuan penelitian ini yaitu (1) kebijakan tersebut cenderung tak mengakui
Mengetahui model kebijakan pengelolaan adanya bentuk-bentuk sosial yang berbasis
hutan oleh negara pada kawasan hutan lingkungan, seperti kekayaan umum,

216
Deddy Winarwan -- Kebijakan Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural dan Perlawanan Masyarakat

manajemen komunitas, dan pengetahuan lokalisme karena menganut perspektif


lokal. Dalam hal ini, pendekatan kebijakannya kebijakan yang berpusat pada negara
adalah pendekatan yang berpusat pada (state-centered policy), di dalam pengelolaan
kekuasaan. Penerapan pendekatan kekuasaan kawasan hutan konservasi, tidak diakui
ini cenderung menimbulkan disharmonisasi adanya bentuk-bentuk sosial yang berbasis
hubungan antara masyarakat, negara, dan lingkungan, seperti kekayaan umum,
hutan. Kebijakan yang ada belum mampu manajemen komunitas, dan pengetahuan
mengadopsi kepentingan dan kebutuhan lokal. Untuk memahami kebijakan
masyarakat lokal. Di satu sisi, negara ingin pemerintah, sebuah konsep yang ditawarkan
agar masyarakat mengalami kemakmuran, oleh Scott (1998: 87-89) sangat relevan
tetapi di sisi lain, praktik sering menunjukkan diterapkan pada kajian ini, yaitu konsep
bahwa masyarakat cenderung mengalami mengenai high modernism. Pandangan ini
apa yang disebut sebagai kemiskinan menyatakan bahwa pemerintah menetapkan
struktural. Kebijakan pemerintah yang rencana-rencana rasional untuk mengelola
berorientasi pada high modernism cenderung negara melalui penataan administratif
akan menggerakkan konstruksi sosial atas alam dan masyarakat, sedemikian
yang menimbulkan kemiskinan struktural rupa sehingga rencana-rencana yang
di masyarakat, sehingga akhirnya dapat dibuat mencapai tingkat yang jauh lebih
memicu terjadinya perlawanan masyarakat komprehensif dan ambisius. Persoalannya
yang mengalami jenis kesadaran ideologis bukan hanya karena lemahnya pengawasan
untuk melawan kebijakan pemerintah. dan penegakkan hukum terhadap eksploitasi
Perlawanan itu sebenarnya merupakan hutan yang destruktif, tetapi lebih dari
kristalisasi dari berbagai macam keresahan itu adalah persoalan kehutanan seringkali
masyarakat yang sudah berjangka lama ditimbulkan oleh faktor yang datangnya
terhadap kebijakan dan tata-aturan negara justru jauh dari hutan itu sendiri. Pada
tentang pengelolaan sumber daya hutan. akhirnya kemiskinan sebagai akibat dari
ketidakadilan distribusi manfaat hutan
Model Kebijakan Pengelolaan Hutan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah
Berbagai kebijakan untuk pelestarian untuk merumuskan kebijakan yang cukup
hutan dan penanggulangan kemiskinan yang tepat dalam upaya pengentasan kemiskinan
diambil oleh pemerintah seringkali gagal (pro-poor).
melindungi hutan dan mengurangi jumlah Pada tahun 1982 tepatnya, tanggal
masyarakat miskin di sekitar hutan. Fenomena 14 Oktober 1982 kawasan Bukit Barisan
tersebut menunjukkan bahwa masalah ini Selatan dikukuhkan sebagai Taman Nasional
memiliki variabilitas dimensi yang sangat melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian
kompleks. Kebijakan pemerintah dalam No. 736/Mentan/X/ 1982. Kemudian pada
pengelolaan sumber daya hutan merupakan tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan
rencana-rencana rasional pemerintah yang No. 185/Kpts-II/ 1997 tanggal 31 Maret 1997,
memiliki kecenderungan muluk-muluk, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan
dengan keyakinan bahwa kebijakan tersebut Selatan (TNBBS). Pada dasarnya, wilayah,
merupakan cara mengelola hutan yang paling dan batas kawasan TNBBS tidak pernah
baik yang kemudian diimplementasikan berubah sejak pertama kali ditetapkan
di semua wilayah tanpa ada pengecualian. sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1935.
Sebagai suatu kebijakan, rencana-rencana Padahal jauh sebelum kawasan tersebut
tersebut digeneralisir dan diterapkan di ditetapkan sebagai kawasan hutan larangan
semua lini yang beragam dengan hasil yang pada zaman penjajahan belanda, dalam
cenderung menimbulkan kegagalan. kenyataannya ada kelompok masyarakat
Dalam praktiknya, rencana rasional lokal yang sudah bertahun-tahun mendiami
pemerintah tersebut cenderung tak mengakui kawasan itu. Dengan penetapan kawasan

217
Kawistara, Vol. 1, No. 3, Desember 2011: 213-224

hutan tersebut otomatis mengabaikan Izin yang diperoleh oleh PT Tanjung


eksistensi masyarakat yang telah mendiami Jati merupakan bagian dari model kebijakan
kawasan itu sebelumnya sehingga memicu pemerintah di masa Orde Baru yang
timbulnya perlawanan sosial dari masyarakat menganut paradigma manajemen kayu
lokal. Kebijakan penetapan kawasan hutan (timber management) bahwa hutan dipandang
konservasi TNBBS yang selama ini dilakukan sama dengan kayu. Dengan paradigma
oleh pemerintah tanpa memperhatikan ini, pemerintah merasa yakin bahwa kayu
keadaan dan perkembangan masyarakat adalah satu-satunya barang komoditas yang
setempat inilah yang dikemudian hari mendatangkan uang sebagai sumber devisa
memunculkan banyak masalah dan konflik negara paling penting, sementara hasil
yang pelik antara negara dan masyarakat. hutan ikutan tidak menjadi perhatian serius.
Sebelum tahun 1950-an, wilayah ini Kebijakan pemerintah berbasis paradigma
masih hutan lebat. Pada mulanya, pendatang itu membuka peluang penanaman modal
dari Sumatera Selatan datang ke wilayah asing, termasuk PT Tanjung Jati dari
ini pada dekade 1950-an dengan membuka Malaysia. Rezim yang berkuasa saat itu
kawasan hutan untuk dijadikan sebagai ingin segera memperbaiki kondisi ekonomi
pemukiman, perladangan, dan perkebunan melalui pengembangan investasi dalam
kopi. Sebelumnya kawasan ini sudah dihuni negeri. Sektor kehutanan yang memiliki
oleh penduduk lokal Lampung pada 1850- potensi sumber daya alam seluas 143 juta ha
an. Kawasan ini kemudian semakin ramai menjadi tumpuan untuk dijadikan sebagai
pada medio 1970-an. Pada tahun-tahun komoditas ekonomi negara dengan cara
ini pembukaan kawasan hutan untuk membuka penanaman modal dari Jepang,
dieksploitasi semakin banyak, terutama Inggris, Amerika, Korea, Malaysia, dan lain-
dengan dikeluarkannya izin HPH pada PT lain. Investasi itu ditujukan pada unit usaha
Tanjung Jati untuk mengeksploitasi kayu dari hutannya dalam bentuk Hak Pengusahaan
kawasan hutan tersebut. Pada dekade 1970- Hutan (HPH) maupun investasi dalam
an, pembukaan kawasan hutan di wilayah pembangunan infrastruktur industri
Provinsi Lampung untuk dieksploitasi perkayuan (Awang, 2006: 17-18).
semakin banyak. Pemungutan hasil hutan Proses eksploitasi kayu perusahaan
dengan sistem HPH ini dilaksanakan sejak tersebut biasanya tak diikuti reboisasi atau
awal sampai akhir dekade 1970-an pada masa penghutanan kembali, sehingga kondisi
Orde Baru dengan tujuan menghasilkan hutan itu menjadi rusak. Proses tersebut
devisa besar bagi negara baik pemerintah terus berlangsung di mana-mana, dan pada
pusat maupun daerah. Di kawasan hutan 1979 HPH Tanjung Jati akhirnya ditutup
lindung Register 39 Kota Agung Utara karena sudah sedikitnya jumlah kayu yang
yang berbatasan langsung dengan kawasan dapat dieksploitasi. Pada akhir 1979 pula,
hutan konservasi TNBBS, eksploitasi penduduk mulai banyak berdatangan ke
dilakukan oleh pihak swasta terutama kawasan ini dengan tujuan untuk bermukim
dengan dikeluarkannya izin HPH kepada dan berkebun kopi. Kesuburan lahan daerah
PT Tanjung Jati untuk mengeksploitasi ini memang mengundang minat masyarakat
kayu dari kawasan hutan tersebut. Proses untuk tinggal di sini. Masyarakat masuk ke
eksploitasi kayu oleh perusahaan swasta itu daerah ini dan menempati lahan eks HPH
ternyata pada pelaksanaannya di lapangan Tanjung Jati.
tidak hanya berada di areal kawasan hutan Konflik antara masyarakat petani
lindung tetapi melebar jauh ke dalam dengan institusi kehutanan, baik di
kawasan hutan konservasi TNBBS. Dampak tingkat pusat maupun daerah dalam
dari beroperasinya perusahaan tersebut memperebutkan sumberdaya alam hutan
adalah luasan hutan (rimba) mulai berkurang telah berlangsung sangat lama di Provinsi
secara drastis. Lampung. Pada masa pemerintahan Orde

218
Deddy Winarwan -- Kebijakan Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural dan Perlawanan Masyarakat

Baru kekuasaan pemerintah pusat sangat pandangan bahwa kawasan itu bisa mereka
besar karena karakter dasarnya sentralistik. kelola, sebagaimana bersikukuhnya negara
Dalam konteks semacam itu, sebagian dalam asumsi bahwa setiap kawasan hutan
besar pembangunan ekonomi-politik yang yang sudah diklaim pemerintah tidak boleh
dijalankan diorientasikan pada kepentingan dikelola oleh masyarakat. Penyingkiran akses
pemerintah pusat dan mengabaikan masyarakat atas kawasan tersebut semakin
eksistensi dan kepentingan pemerintah lama semakin menimbulkan kondisi-
daerah, apalagi masyarakat setempat. kondisi kemiskinan yang semakin parah
Akibatnya, banyak muncul tindakan represif dan mengarah pada timbulnya kemiskinan
dari oknum aparat terhadap masyarakat struktural, yang dapat memicu timbulnya
setempat termasuk di Desa Atar Lebar yang bentuk-bentuk perlawanan struktural.
ditetapkan oleh negara termasuk ke dalam
wilayah hutan konservasi TNBBS. Pada era Kemiskinan Masyarakat dan Dimensi
1980-an ketika kawasan hutan konservasi Strukturalnya
TNBBS mulai digalakkan. Masyarakat Masyarakat Desa Atar Lebar selama
Atar Lebar sudah mulai terkena tindakan pada dasarnya telah menjalani kehidupan
represif yang dilakukan aparat pemerintah dengan interaksi intensif di kawasan hutan
dalam bentuk penghancuran pemukiman, konservasi. Hal ini karena posisi kehidupan
perusakan perkebunan, pemusnah-an mereka selalu berada di lingkungan
tanaman dan penghapusan status desa. hutan yang membuat mereka harus selalu
Mereka tidak diakui sebagai penduduk, menyesuaikan diri dengan lingkungan
tidak memiliki KTP, tidak mendapatkan tempat tinggalnya serta selalu berusaha
pelayanan kesehatan maupun pendidikan, memanfaatkan lingkungan alamnya secara
dan ada yang dengan terpaksa pindah ke maksimal. Mereka memiliki pengetahuan
lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah, lokal, memungkinkan mereka mengolah
serta tidak sedikit lebih memilih pindah dan mengelola lahan, menjaga mata air,
ke wilayah yang lebih tinggi di perbukitan dan melestarikan hutan selaras dengan
Atar Lebar. Jadi, dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip kelestarian hutan. Upaya dan
kebijakan pemerintah telah menyebabkan perilaku masyarakat terhadap pemanfaatan
hilangnya akses dari masyarakat setempat lahan hutan maupun pemeliharaannya
atas pelayanan publik dari pemerintah. memiliki kaitan erat dengan budaya masing-
Pada dasarnya pemerintah sudah masing kelompok sosial.
melakukan penyesuaian kebijakan dalam Pengetahuan lokal masyarakat di Desa
mengelola kawasan hutan konservasi Atar Lebar dapat dilihat, misalnya, dari
TNBBS, tetapi belum mampu mengadopsi fakta bahwa masyarakat telah membagi
kepentingan masyarakat karena pemerintah pengelolaan lahannya ke dalam berbagai
memang bukan hanya mengurusi dan bentuk tata-guna lahan, seperti pekarangan,
menangani masalah lokal semata, melainkan hutan-kebun, dan sawah. Dalam pengelolaan
juga masalah regional dan global. Oleh sumberdaya alam, masyarakat Desa Atar
karena itu, terlihat bahwa umumnya strategi Lebar terbagi menjadi dua golongan
utama yang dikedepankan oleh negara dalam yakni konservasionis dan ekspansionis.
menyelesaikan kasus pemanfaatan lahan Masyarakat lokal Atar lebar termasuk ke
hutan kebun di kawasan hutan konservasi dalam golongan konservasionis. Pola tanam
TNBBS adalah dengan memindahkan yang dikembangkan adalah pola campuran
masyarakat Atar Lebar dari kawasan hutan antara tanaman kayu (cempaka, laban, dan
tanpa mempertimbangkan kepentingan jati) dengan tanaman perkebunan (kopi,
masyarakat. Temuan di lapangan lada, dan coklat), serta sedikit tanaman buah-
menunjukkan bahwa masyarakat besar buahan, mereka sering menyebutnya sebagai
kemungkinan akan selalu bersikukuh dengan hutan-kebun. Praktik ini menunjukkan

219
Kawistara, Vol. 1, No. 3, Desember 2011: 213-224

bahwa masyarakat lokal memiliki kepekaan Kondisi ini mempunyai implikasi memaksa
yang cukup tinggi mengenai karakteristik masyarakat mau tak mau menjadi petani.
wilayah Atar Lebar, dengan konsep Kebanyakan petani di daerah ini termasuk
pemanfaatan hutan jangka panjang. Hal ini petani tradisional yang subsisten.
didorong oleh rasa memiliki terhadap hutan Sebagai masyarakat yang tinggal di
oleh masyarakat lokal sehingga mereka tidak lereng-lereng perbukitan yang terisolir,
berkeinginan untuk merusak hutan dan masyarakat di wilayah Atar Lebar sangat
ekosistemnya. potensial mengalami kemiskinan. Temuan di
Selanjutnya golongan masyarakat lapangan menunjukkan bahwa kemiskinan
Atar Lebar lainnya dalam hal pemanfaatan yang dialami di daerah Atar Lebar dapat
hutan adalah golongan ekspansif. Mereka dikategorikan sebagai kemiskinan terpadu
merupakan masyarakat pendatang. dengan lima dimensi yaitu: kemiskinan
Golongan ini menggunakan konsep sendiri, kelemahan fisik, keterisolasian,
pemanfaatan hutan jangka pendek. Bagi kerentanan, dan ketidakberdayaan.
mereka hutan merupakan kapital, sebagai Keterpaduan ini menjadi salah satu
modal utama mereka untuk bertahan penyebab endemisitas kemiskinan yang
hidup (survival) dan memenuhi kebutuhan sangat potensial terjadi di kalangan warga
ekonomi mereka, sehingga mereka harus masyarakat Atar Lebar dari tahun ke tahun,
mendapatkan keuntungan dan manfaat yang atau bahkan selama empat dekade terakhir
sebesar-besarnya dari pengelolaan lahan sejak tahun 1970-an.
hutan. Tata guna lahan mereka terbagi ke Kemiskinan yang dialami oleh
dalam 1 (satu) model berupa kebun dengan masyarakat Atar Lebar merupakan gejala
pola tanam yang dikembangkan bersifat yang sangat endemik, yang diperparah
monokultur yaitu tanaman perkebunan oleh gejala yang sangat struktural. Artinya,
semata (kopi, lada, dan kakao). Pemilihan tanpa adanya tekanan oleh negara terhadap
model ini dikarenakan tanaman perkebunan eksistensi masyarakat tersebut, warga
dianggap bisa memberikan manfaat dan masyarakat di sana sudah dapat dipastikan
keuntungan yang besar dalam waktu yang akan mengalami kemiskinan endemik. Aspek
relatif singkat. fisik dari lingkungan kehidupan masyarakat
Masyarakat lokal di Lampung sejak Atar Lebar di puncak-puncak dan lereng-
dahulu secara umum dapat dikatakan lereng perbukitan dengan dataran yang
memiliki tradisi berladang dan berkebun bergelombang dan berbukit-bukit sudah
di pinggir hutan. Dikarenakan tinggal di menandakan keterisoliran masyarakat, yang
sekitar hutan, sebagian besar kebutuhan tidak memungkinkan bagi mereka untuk
hidupnya diperoleh dari sumber daya alam menikmati kehidupan yang kaya secara
hutan. Penanaman tanaman komoditas yang material. Jika mereka bisa merasa kaya, hal
mereka butuhkan juga masih tradisional, itu karena mereka mempunyai pengetahuan
sehingga wajar apabila hasil panen yang lokal yang memungkinkan mereka dapat
mereka peroleh cenderung hanya cukup menikmati kehidupan dengan prinsip
untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. subsistensi. Dalam konteks semacam itu,
Ketergantungan masyarakat Atar Lebar masyarakat Atar Lebar mampu hidup cukup
sebagai masyarakat agraris pada keberadaan dengan kondisi material seadanya. Namun,
lahan pertanian dan hutan terlihat dari kondisi kemiskinan akan segera muncul bila
mayoritas mata pencaharian penduduk mereka sudah terbentur pada kebutuhan
di sana yang menggantungkan hidupnya pokok yang tidaklah mungkin dipenuhi
di sektor pertanian. Sektor ini menjadi kecuali dengan uang, terutama beras, dan
sandaran hidup masyarakat karena kondisi pakaian.
geografis daerah ini adalah pegunungan Dalam hal ini, masyarakat Atar Lebar
dan berada di tepi kawasan hutan terpencil. tidak mungkin menjalani kehidupan

220
Deddy Winarwan -- Kebijakan Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural dan Perlawanan Masyarakat

subsisten murni karena pada dasarnya mereka Perlawanan Masyarakat Desa Tepian
sudah sangat tergantung pada pasokan Hutan
beras dari wilayah lain di Kecamatan Suoh. Proses-proses pemiskinan masyarakat
Tanpa itu, mereka mengalami kemiskinan muncul akibat kebijakan pemerintah yang
fisik dan material. Dalam kondisi seperti disriminatif, melalui berbagai kebijakan yang
itu, Pemerintah Pusat malah melakukan berorientasi pada high modernism, yang pada
penekanan struktural dengan mengusir akhirnya memicu timbulnya perlawanan
mereka dari wilayah pemukiman yang sudah sosial masyarakat. Persoalan mendasar yang
lama mereka bangun dengan susah payah. membuat masyarakat merasa tidak senang
Dalam pandangan pemerintah, pemukiman terhadap kebijakan pemerintah adalah
masyarakat Atar Lebar adalah pemukiman adanya kesan sikap diskriminatif yang
liar karena berada dalam kawasan hutan diberikan kepada masyarakat. Pada satu sisi,
konservasi TNBBS. Dengan pandangan itu, selama satu dekade sebelumnya Pemerintah
maka pemerintah terus melakukan tindakan Pusat memberikan izin HPH kepada PT
pengusiran masyarakat Atar Lebar dari Tanjung Jati untuk melakukan penebangan
lokasi tersebut sejak tahun 1980-an hingga di kawasan hutan konservasi, tetapi setelah
sekarang. Tindakan pengusiran tersebut izin HPH tersebut habis, Pemerintah Pusat
seringkali dilakukan dengan cara represif, justru menetapkan kawasan tersebut tidak
seperti perobohan pemukiman penduduk, diperbolehkan di dalamnya ada kehidupan
penghancuran kebun kecil garapan petani, manusia, termasuk masyarakat setempat.
dan perusakan semua tanaman yang telah Kesan diskriminatif dari sikap Pemerintah
dipelihara oleh masyarakat selama bertahun- Pusat tersebut sangat terasa dan inilah cikal
tahun. Hal ini memperburuk kondisi bakal terjadinya perlawanan sosial dari
kemiskinan endemik yang sudah potensial masyarakat setempat terhadap segala jenis
dialami oleh masyarakat Atar Lebar secara kebijakan pengusiran penduduk lokal dari
periodik terutama di musim penghujan. wilayah Atar Lebar sesudahnya.
Masalahnya adalah tekanan struktural dari Ketidakpuasan yang dirasakan terhadap
pemerintah telah membawa dampak yang kebijakan diskriminatif tersebut bukan
jauh lebih parah bagi masyarakat. Pada satu persoalan pribadi warga, melainkan sudah
sisi, pemerintah sebagai pemegang otoritas berubah menjadi ketidakpuasan kolektif
dan penguasa sumber daya hutan melalui warga masyarakat di wilayah Atar Lebar
kebijakannya belum mampu mengadopsi terhadap Pemerintah Pusat dan pengusaha
kepentingan masyarakat lokal, sementara HPH. Dikarenakan bersifat kolektif,
pada sisi lain, terus melakukan tindakan maka ada kecenderungan hampir setiap
pengusiran atas masyarakat lokal selama tiga ketidakpuasan sosial yang ditunjukkan oleh
dekade terakhir sejak tahun 1980-an. penduduk Atar Lebar terhadap Pemerintah
Kemiskinan yang dialami masyarakat Pusat merupakan representasi struktural
adalah konstruksi sosial yang merupakan dari persepsi kolektif masyarakat setempat.
fenomena multidimensi. Kemiskinan Hanya saja, persoalannya muncul karena
tersebut diciptakan oleh sistem sosial melalui Pemerintah Pusat merupakan musuh yang
proses-proses sosial dan memerangkap jauh dan sifatnya struktural. Dalam hal ini,
kelompok sosial masyarakat setempat yang masyarakat tidak mampu melawan secara
tak berdaya. Dalam konteks masyarakat fisik, melainkan berhadapan dengan para
pinggir hutan, negara sering hadir sebagai aparat pemerintah yang hanya menjadi
aktor dengan kepentingan politik dominan simbol-simbol eksistensi negara yang
dan membuat komunitas setempat tidak dominan di daerah. Untuk itu, perlawanan
mempunyai akses atas sumberdaya yang sosial yang berkembang lebih banyak
memadai, dan pada gilirannya menimbulkan berupa perlawanan yang sifatnya sembunyi-
kemiskinan struktural. sembunyi.

221
Kawistara, Vol. 1, No. 3, Desember 2011: 213-224

Dalam kenyataannya selama ini, dalam menentukan cara yang dipergunakan


masyarakat Atar Lebar memang terlihat ini bergantung pada intensitas pemaksaan
sangat lemah karena tidak memiliki model impelementasi kebijakan kehutanan oleh
kelembagaan yang menopang dasar- negara. Bilamana intensitas pemaksaannya
dasar eksistensi mereka sebagai sebuah rendah, penduduk akan menggunakan
masyarakat. Mereka dianggap oleh negara strategi perlawanan yang ‘lembut bersahabat’,
sebagai hadir dan tinggal di wilayah yang dan jika intensitas pemaksaannya tinggi,
terlarang, yaitu kawasan hutan konservasi, mereka menyikapinya dengan cara-cara
sehingga eksistensi mereka selalu yang keras pula.
terancam sewaktu-waktu bila pemerintah Bila dilihat sebenarnya model kebijakan
menghendaki. Namun, selemah-lemahnya pengelolaan sumber daya hutan di lokasi
masyarakat Atar Lebar, mereka selama ini penelitian ini sangat dipengaruhi dominasi
juga telah menunjukkan bahwa mereka negara. Dalam hal ini model kebijakan
adalah kolektiva yang mempunyai hak dan yang mengemuka adalah kebijakan yang
kepentingan untuk bereksistensi. Mereka berorientasi pada kepentingan negara (state-
juga merasa bahwa mereka hidup dan centered forest management policy), bukan
berhak mendapatkan penghidupan di lahan- berbasis-masyarakat (society-based policy).
lahan yang telah mereka tinggali selama Dengan pendekatan ini, pemerintah pusat
beberapa dekade sebelumnya, yaitu sebelum memegang monopoli hak kelola terpusat
pengusaha HPH merusak hutan-hutan di atas kawasan hutan konservasi, sehingga
kawasan tersebut. Karena itu, wajar jika pemerintah daerah tidak mempunyai peran
dengan segala keterbatasan yang dimiliki, signifikan dalam penyelesaian masalah
masyarakat Atar Lebar selalu menunjukkan konflik antara masyarakat di sekitar hutan
kekuatannya melalui perlawanan sosial dan pemerintah pusat. Dikarenakan
terhadap pemerintah. hutan ditetapkan sebagai kawasan hutan
Untuk memahami perlawanan konservasi, maka tidak ada pilihan lain bagi
masyarakat, dapat digunakan konsep yang masyarakat di pinggir dan di dalam hutan,
dikemukakan oleh Scott (1993). Perlawanan kecuali mereka tidak boleh masuk ke dalam
petani dan masyarakat terhadap klaim hutan wilayah hutan itu dan memanfaatkan sumber
milik negara dilakukan melalui perjuangan daya apa pun di dalamnya sebagaimana telah
sehari-hari merupakan satu-satunya pilihan dilakukan sebelumnya dengan pengetahuan
yang ada. Gaya perlawanan sehari-hari ini lokal yang mereka miliki. Kalau sampai
dilakukan petani secara diam-diam dan terbentuk komunitas sekecil apa pun di
sedikit demi sedikit untuk mendesak tanah wilayah hutan konservasi tersebut, negara
perkebunan dan tanah-tanah negara lainnya. tak segan-segan membubarkan komunitas
Bagi kaum tani yang terpencar di seluruh itu, dan mengusir penduduknya ke daerah
daerah perdesaan dan menghadapi rintangan yang lain di luar kawasan hutan konservasi.
yang lebih berat dari tindakan kolektif yang Dampak dari kebijakan pengelolaan hutan
teratur, tampak bahwa bentuk per­lawanan yang represif tersebut bahwa masyarakat
sehari-hari sangat penting. cenderung mengalami deprivasi relatif,
Dalam praktiknya selama ini, kegiatan yang mengarah kepada munculnya kondisi-
perlawanan petani di sekitar hutan terhadap kondisi kemiskinan, baik endemik dari
kebijakan negara dalam pengelolaan daerah di mana mereka tinggal maupun
sumber daya hutan diterapkan dengan struktural akibat non-afirmatifnya kebijakan
cara-cara bervariasi. Secara umum, ada negara.
dua pola perlawanan petani sekitar hutan Dalam periode waktu tertentu,
yakni perlawanan terbuka dan perlawanan kondisi-kondisi kemiskinan endemik
tertutup, mulai dari sangat keras hingga maupun struktural ini akan menimbulkan
cara ‘lembut bersahabat’. Pilihan penduduk perasaan keterabaian penghidupan oleh

222
Deddy Winarwan -- Kebijakan Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural dan Perlawanan Masyarakat

negara dan dapat mendorong semangat dengan mengedepankan pemberdayaan


untuk melakukan perlawanan sosial, (empowerment) masyarakat sekitar hutan,
baik secara diam-diam maupun terbuka. peningkatan partisipasi mereka dalam
Dalam kondisi itu, apabila tetap tidak ada pengelolaan hutan, pembentukan institusi
kebijakan keberpihakan (affirmative policy) lokal berbasis adat/komunal yang akan
dari pemerintah pusat maupun daerah, mengatur pengelolaan hutan di wilayahnya
cenderung akan terjadi perlawanan sosial sendiri, serta penerapan otonomi hutan pada
(social resistance) dalam wujud gerakan sosial level desa. Alternatif-alternatif kebijakan
yang terbuka. Di sini diasumsikan bahwa yang menghargai pilihan-pilihan dan
bila terjadi perlawanan sosial, maka negara kemampuan-kemampuan dari masyarakat
cenderung akan mengambil kebijakan lokal harus diperhatikan karena mereka
represif dengan berbagai konsekuensi muncul untuk mengurangi biaya yang harus
kekerasan struktural atas masyarakat lokal. ditanggung oleh negara dalam pengaturan
Kalau sikap semacam itu dipertahankan sumber daya hutan. Selain itu alternatif-
dalam waktu lama, maka konflik, kemiskinan alternatif tersebut juga memberikan insentif
struktural, dan perlawanan sosial yang bagi perekonomian masyarakat miskin
ditunjukkan oleh masyarakat kepada negara di sekitar hutan serta dapat mewujudkan
cenderung akan berlarut-larut dalam waktu harmonisasi antara manusia dengan
sangat lama, dari kurun waktu bertahun- alam sekitarnya. Solusi dari persoalan
tahun atau bahkan beberapa dekade. tersebut antara lain: perlu diutamakan
pemberdayaan (empowerment) masyarakat
NEGARA miskin di sekitar hutan melalui pemberian
1. Pemerintah pusat dengan hak kelola akses ke sumber daya demi melangsungkan
hutan konservasi (high modernism-based kehidupan yang bermutu, peningkatan
policies)
2. Pembubaran desa dan pengusiran
partisipasi mereka dalam pengelolaan
masyarakat lokal hutan, pembentukan institusi lokal berbasis
Pendekatan
adat/komunal yang akan mengatur
Represif Kebijakan Non-afirmatif Berlarut- pengelolaan hutan di wilayahnya sendiri,
larut
serta penerapan otonomi hutan pada level
MASYARAKAT PERLAWANAN desa. Dengan mengedepankan alternatif-
LOKAL SOSIAL
1. Subsistensi 1. Perlawanan diam-
alternatif kebijakan yang menghargai
ekonomi diam pilihan-pilihan dan kemampuan-
2. Pemanfaatan hasil 2. Perlawanan kemampuan dari masyarakat lokal akan
hutan terbuka mengurangi biaya yang harus ditanggung
3. Pengetahuan lokal oleh negara dalam pengaturan sumber daya
Keterabaian Penghidupan hutan karena alternatif-alternatif tersebut
Deprivasi Kekerasan
relatif struktural memberikan insentif bagi perekonomian
KEMISKINAN masyarakat miskin di sekitar hutan serta
1. Kemiskinan endemik dapat mewujudkan harmonisasi antara
2. Kemiskinan struktural manusia dengan alam sekitarnya sehingga
pada akhirnya dapat melindungi kelestarian
Hubungan Negara dan Masyarakat dalam
Pengelolaan Hutan, Kemiskinan Struktural, ekosistem hutan.
dan Perlawanan Masyarakat
SIMPULAN
Untuk memecahkan persoalan tersebut Kemiskinan yang dialami oleh
diperlukan penerapan kebijakan deliberatif masyarakat Atar Lebar merupakan gejala
melalui manajemen hutan partisipatif yang yang sangat endemik, yang diperparah
melibatkan pengguna lokal (masyarakat) dan oleh gejala yang sangat struktural. Dalam
pejabat pemerintah dalam pengelolaannya, kondisi seperti itu, Pemerintah Pusat

223
Kawistara, Vol. 1, No. 3, Desember 2011: 213-224

malah melakukan penekanan struktural Barry, John, 1999, Environment and Social
dengan mengusir mereka dari wilayah Theory, New York: Routledge.
pemukiman yang sudah lama mereka huni. Balai Besar TNBBS, 2008, Statistik BBTNBBS
Hal ini memperburuk kondisi kemiskinan Tahun 2007, Kota Agung.
masyarakat karena tekanan struktural dari
pemerintah telah membawa dampak yang Chomitz, Kenneth M., et.al., 2007, At
jauh lebih parah bagi masyarakat. Pada satu Loggerheads ? Agricultural Expansion,
sisi, pemerintah sebagai pemegang otoritas Poverty Reduction, and Environment in
dan penguasa sumber daya hutan melalui the Tropical Forests, Washington DC:
kebijakannya belum mampu mengadopsi The World Bank.
kepentingan masyarakat lokal, sementara Dove, Michael R., 1985, Swidden Agriculture
pada sisi lain, terus melakukan tindakan in Indonesia, New York: Mouton
pengusiran atas masyarakat lokal selama tiga Publishers.
dekade terakhir sejak tahun 1980-an. Kondisi Ellen, Roy, 2002, Pengetahuan tentang Hutan,
tesebut pada akhirnya memicu timbulnya Transformasi Hutan : Ketidakpastian
perlawanan masyarakat terhadap negara. Politik, Sejarah Ekologi, dan Renegosiasi
Perlawanan yang dilakukan masyarakat terhadap Alam di Seram Tengah,
Atar Lebar disebabkan oleh proses-proses Dalam Tania Murray Li (ed), Proses
politik, ekonomi dan sosial yang melucuti Transformasi Daerah Pedalaman di
akses mereka terhadap lahan sebagai Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor.
modal utama petani, dan perlucutan itu
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang Lounela, Anu, 2009, Contesting Forest
belum mampu mengadopsi kepentingan and Power: Dispute, Violence and
masyarakat lokal. Perlawanan sosial menjadi Negotiations in Central Java, Helsinki:
makin keras terutama ketika masyarakat Helsinki University Print.
tahu bahwa respon pemerintah selalu negatif, Peluso, Nancy Lee,1992, Rich Forest, Poor
dengan tidak memberikan toleransi terhadap People: Resource Control and Resistance
kehadiran mereka di kawasan hutan in Java, Los Angeles: University of
konservasi TNBBS. Untuk itu, perlu digagas California Press.
model pengelolaan hutan pro-masyarakat Pelzer, Karl J., diterjemahkan oleh J. Rumbo,
melalui pemberdayaan (empowerment) 1985, Toean Keboen dan Petani, Jakarta:
masyarakat miskin di sekitar hutan Penerbit Sinar Harapan.
dengan mengadopsi pengetahuan lokal.
Scott, James C., 1993, Perlawanan Kaum Tani.
Dengan model tersebut, diharapkan dapat
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
memberikan insentif bagi perekonomian
masyarakat marjinal yang miskin secara _____, 1998, Seiing Like a Stat, London:Yale
struktural di sekitar hutan serta mendukung University Press.
pelestarian ekosistem hutan. Wollenberg, Eva, et.al., 2004, Why are Forest
Areas Relevant to Reducing Poverty
DAFTAR PUSTAKA in Indonesia, CIFOR, Governance
Angelsen, Arild, and D. Kaimowitz, 2001, Brief No. 4 (i): 1.
Agricultural Technologies and Tropical
Winarwan, Deddy, 2011, Kebijakan Pengelolaan
Deforestation, Bogor: CAB-CIFOR
Hutan, Kemiskinan Struktural dan
Publishing.
Perlawanan Masyarakat Desa Hutan di
Awang, San Afri, 2006, Sosiologi Pengetahuan Provinsi Lampung, Disertasi; Sekolah
Deforestasi : Konstruksi Sosial dan Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Perlawanan, Yogyakarta: Debut
Press.

224

Anda mungkin juga menyukai