Anda di halaman 1dari 18

FILSAFAT ILMU

PERKEMBANGAN FILSAFAT DARI MASA KE MASA

Berbicara tentang kelahiran dan perkembangan filsafat, pada awal


kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan (ilmu) pengetahuan
yang muncul pada masa peradaban Kuno (masa Yunani). Pada tahun 2000 SM,
bangsa Babylon yang hidup di lembah Sungai Nil (Mesir) dan Sungai Efrat telah
mengenal alat pengukur berat, tabel bilangan berpangkat, tabel perkalian
menggunakan sepuluh jari.
Piramida yang merupakan salah satu keajaiban dunia itu, ternyata
pembuatannya menerapkan geometri dan matematika, menunjukkan cara
berpikirnya yang sudah tinggi. Selain itu, mereka pun sudah dapat mengadakan
kegiatan pengamatan benda-benda langit, baik bintang, bulan, maupun matahari
sehingga dapat meramalkan gerhana bulan ataupun gerhana matahari. Ternyata
ilmu yang mereka pakai dewasa ini disebut astronomi. Di India dan China, saat itu
telah ditemukan cara pembuatan kertas dan kompas (sebagai petunjuk arah).
1. PRA YUNANI KUNO
Waktu : Abad 15 – 7 SM
Tokoh – tokoh :
filsafat dibagi dalam lima periode, yaitu:
1) Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M)
2) Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M)
3) Zaman Pencerahan (1500 M – 1700 M)
4) Zaman Modern (1700 M – 2000 M)
5) Zaman Pasca Modern (2000 M – ... M)
A. Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M)
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah
peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia
dari mite-mite menjadi lebih rasional. Pola pikir mite adalah pola pikir yang
mengandalkan mitos-mitos untuk menjelaskan fenomena alam seperti gempa bumi
dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap kejadian alam biasa, tapi dewa bumi
sedang menggoyangkan kepalanya. Namun setelah filsafat ditemukan, fenomena
tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa melainkan fenomena alam yang
terjadi secara kausalitas. Dan hal ini terus dikembangkan oleh manusia melalui
filsafat sehingga alam dijadikan obyek penelitian dan pengkajian sampai dalam
bentuk yang paling mutakhir, seperti yang kita kenal sekarang.
a) Filsafat Pra Socrates
Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada
zaman ini orang memiliki kebebasan untuk berpendapat atau mengungkapkan ide-
idenya. Pada masa itu, Yunani dipandang sebagai gudang ilmu dan filsafat, karena
bangsa Yunani sudah tidak lagi mempercayai mitos-mitos. Bangsa Yunani juga tidak
dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap
menerima begitu saja) melainkan menumbuhkan sikap yang senang menyelidiki
atau kritis. Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani berada pada barisan
terdepan dalam ilmu pengetahuan.
Filsafat zaman Yunani kuno mencakup zaman Pra Socrates dan zaman keemasan
filsafat. Tokoh-tokoh filosof pada masa itu adalah Thales, Anaximandros,
Anaximenes, Pythagoras, dan Heraklitos. Mereka dikenal dengan filosof alam.
Sedangkan masa keemasan filsafat dimeriahkan oleh tokoh-tokoh seperti, Socrates,
Plato dan Aristoteles. Pada masa inilah filsafat Yunani menikmati masa
keemasannya.
Filsafat pra-socrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu
("arche"). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya
ada satu azas? Thales
9
mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-
air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu
berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak
berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul
dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu?
Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk
merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang
atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil
mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang
benar.
Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan
diri dari belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai
agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang
substansial.
1. Aliran Miletos/Madzhab Milesian
Aliran ini disebut Aliran Miletos karena tokoh-tokohnya merupakan warga asli
Miletos, di Asia Kecil, yang merupakan sebuah kota niaga yang maju. Berikut
beberapa tokoh yang termasuk kedalam Aliran Miletos atau dikenal pula dengan
istilah Madzhab Milesian:
1) Thales
Thales hidup sekitar 624-546 SM. Ia adalah seorang ahli ilmu termasuk ahli ilmu
Astronomi. Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini adalah air. Segala-galanya
berasal dari air. Bumi sendiri merupakan bahan yang sekaligus keluar dari air dan
kemudian terapung-apung diatasnya.
Pandangan yang demikian itu membawa kepada penyesuaian-penyesuain lain yang
lebih mendasar yaitu bahwa sesungguhnya segalanya ini pada hakikatnya adalah
satu. Bagi Thales, air adalah sebab utama dari segala yang ada dan menjadi akhir
dari segala-galanya.
Ajaran Thales yang lain adalah bahwa tiap benda memiliki jiwa. Itulah sebabnya
tiap benda dapat berubah, dapat bergerak atau dapat hilang kodratnya masing-
masing. Ajaran Thales tentang jiwa bukan hanya meliputi benda-benda hidup
tetapi meliputi benda-benda mati pula.
2) Anaximander
Anaximander adalah murid Thales yang setia. Ia hidup sekitar 610-546 SM. Ia
berpendapat bahwa hakikat dari segala seuatu yang satu itu bukan air, tapi yang
satu itu adalah yang tidak terbatas dan tidak terhingga, tak berubah dan meliputi
segala-galanya yang disebut “Aperion”. Aperion bukanlah materi seperti yang
dikemukakan oleh Thales. Anaximander juga berpendapat bahwa dunia ini
hanyalah salah satu bagian dari banyak dunia lainnya.
3) Anaximenes
Anaximenes hidup sekitar 560-520 SM. Ia berpendapat bahwa hakikat segala
sesuatu yang satu itu adalah udara. Jiwa adalah udara; api adalah udara yang
encer; jika dipadatkan pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan
lagi akan menjadi tanah, dan akhirnya
10
menjadi batu. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar.
2. Aliran Pythagoras
Pythagoras lahir di Samos sekitar 580-500 SM. Ia berpendapat bahwa semesta ini
tak lain adalah bilangan. Unsur bilangan merupakan prinsip unsur dari segala-
galanya. Dengan kata lain, bilangan genap dan ganjil sama dengan terbatas dan tak
terbatas.
1) Xenophanes
Xenophanes merupakan pengikut Aliran Pythagoras yang lahir di Kolophon, Asia
Kecil, sekitar tahun 545 SM. Dalam filsafatnya ia menegaskan bahwa Tuhan bersifat
kekal, tidak mempunyai permulaan dan Tuhan itu Esa bagi seluruhnya. Ke-Esaan
Tuhan bagi semua merupakan sesuatu hal yang logis. Hal itu karena kenyataan
menunjukkan apabila semua orang memberikan konsep ketuhanan sesuai dengan
masing-masing orang, maka hasilnya akan bertentangan dan kabur. Bahkan “kuda
menggambarkan Tuhan menurut konsep kuda, sapi demikian juga” kata
Xenophanes. Jelas kiranya ide tentang Tuhan menurut Xenophanes adalah Esa dan
bersifat universal.
2) Heraklitus (Herakleitos)
Heraklitus hidup antara tahun 560-470 SM di Italia Selatan sekawan dengan
Pythagoras dan Xenophanes. Ia berpendapat bahwa asal segalanya adalah api dan
api adalah lambang dari perubahan. Api yang selalu bergerak dan berubah
menunjukkan bahwa tidak ada yang tetap dan tidak ada yang tenang.
3. Aliran Elea
1) Parmenides
Lahir sekitar tahun 540-475 di Italia Selatan. Ajarannya adalah kenyataan bukanlah
gerak dan perubahan melainkan keseluruhan yang bersatu. Dalam pandangan
Pamenides ada dua jenis pengetahuan yang disuguhkan yaitu pengetahuan
inderawi dan pengetahuan rasional. Apabila dua jenis pengetahuan ini
bertentangan satu sama lain maka ia memilih rasio. Dari pemikirannya itu
membuka cabang ilmu baru dalam dunia filsafat yaitu penemuannya tentang
metafisika sebagai cabang filsafat yang membahas tentang yang ada.
2) Zeno
Lahir di Elea sekitar 490 SM. Ajarannya yang penting adalah pemikirannya tentang
dialektika. Dialektika adalah satu cabang filsafat yang mempelajari argumentasi.
3) Melissos
Lahir di Samos tanpa diketahui secara tepat tanggal kelahirannya. Ia berpendapat
bahwa “yang ada” itu tidak berhingga, menurut waktu maupun ruang.
4. Aliran Pluralis
1) Empedokles
Lahir di Akragas Sisislia awal abad ke-5 SM. ia menulis buah pikirannya dalam
bentuk puisi. Ia mengajarkan bahwa realitas tersusun dari empat anasir yaitu api,
udara, tanah, dan air.
2) Anaxagoras
11
Lahir di Ionia di Italia Selatan. Ia berpendapat bahwa realitas seluruhnya bukan
satu tetapi banyak. Yang banyak itu tidak dijadikan, tidak berubah, dan tidak
berada dalam satu ruang yang kosong. Anaxagoras menyebut yang banyak itu
dengan spermata (benih).
5. Aliran Atomis
Pelopor atomisme ada dua yaitu Leukippos dan Demokritos. Ajaran aliran filsafat
ini ikut berusaha memecahkan masalah yang pernah diajukan oleh aliran Elea.
Aliran ini mengajukan konsep mereka dengan menyatakan bahwa realitas
seluruhnya bukan satu melainkan terdiri dari banyak unsur. Dalam hal ini berbeda
dengan aliran pluralisme maka aliran atomisme berpendapat bahwa yang banyak
itu adalah “atom” (a = tidak, tomos = terbagi).
6. Aliran Sofis
Sofisme berasal dari kata Yunani “sophos” yang berarti cerdik atau pandai. Tokoh-
tokoh kaum sofis adalah Protagoras, Grogias, Hippias, Prodikos, dan Kritias.
Kesimpulannya, filsafat Pra Socrates adalah filsafat yang dilahirkan karena
kemenangan akal asas atas dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama yang
memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu.
b) Zaman Keemasan Filsafat: Socrates, Plato, Aristoteles
Puncak filsafat Yunani dicapai pada Socrates, Plato dan Aristoteles. Filsafat dalam
periode ini ditandai oleh ajarannya yang "membumi" dibandingkan ajaran-ajaran
filosof sebelumnya. Seperti dikatakan Cicero (sastrawan Roma) bahwa Socrates
telah memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi. Maksudnya, filosof pra-
Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam semesta sedangkan Socrates
mengarahkan obyek penelitiannya pada manusia diatas bumi. Hal ini juga diikuti
oleh para sofis. Seperti telah disebutkan didepan, sofis (sophistes) mengalami
kemerosotan makna. Shopistes digunakan untuk menyebut guru-guru yang
berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peran penting dalam masyarakat.
Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para sofis merupakan pemilik
warung yang menjual barang ruhani.
c) Tokoh-tokoh Zaman Keemasan Filsafat
1. Socrates (470-400 S.M)
Socrates guru Plato, mengajar bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting
untuk tindakan kita. Sokrates sendiri tidak menulis apa-apa. Pikiran-pikirannya
hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup
banyak pemikir Yunani lain, terutama melalui karya plato. Sebagaimana para sofis,
Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan
kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada penolakan Socrates terhadap
relatifisme (pandangan yang berpendapat bahwa kebenaran tergantung pada
manusia) yang pada umumnya dianut para sofis. Menurut Socrates tidak benar
bahwa yang baik itu baik bagi warga Athena dan lain bagi warga negara Sparta.
Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia dan harus dijunjung
tinggi oleh semua orang. Pendirinya yang terkenal adalah pandangannya yang
menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang-
kadang disebut intelektualisme etis.
12
Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua
manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan
memperkenalkan definisi-definisi umum. Akibat pandangannya ini Socrates
dihukum mati.
2. Plato (428-348 S.M)
Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran
yang dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa
Plato memilih yang begitu. Pertama, sifat karyanya Socratic (Socrates berperan
sentral) dan diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi mengadakan tanya
jawab dg teman-temannya di Athena. Dengan demikian, karya Plato dapat
dipandang sebagai monumen bagi sang guru yang dikaguminya. Kedua, berkaitan
dengan anggapan Plato mengenai filsafat. Menurutnya, filsafat pada intinya tidak
lain daripada dialog dan filsafat seolah-olah drama hidup yang tidak pernah selesai
tetapi harus dimulai kembali. Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang ide,
jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu
inderawi yang selalu berubah dan dunia ide yang tidak pernah berubah. Ide
merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru
sebaliknya pikiran tergantung pada ide-ide tersebut. Ide-ide berhubungan dengan
dunia melalui tiga cara; Ide hadir didalam benda, ide-ide berpartisipasi dalam
konkret dan ide merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda konkret.
Pembagian dunia ini pada gilirannya juga memberikan dua pengenalan. pertama
pengenalan tentang ide; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang
dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat teguh,
jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis.
Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat) dan bersifat
tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dg panca indera. Dengan
dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratic
yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya
Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan
dunia ide tidak pernah berubah dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat bahwa
jiwa itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan ide. Lebih lanjut
dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dg
badan, jiwa sudah mengalami pra-eksistensi dimana ia memandang ide-ide.
Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada
dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap ide-ide yang telah
dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa
disebut penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagad raya juga
memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Plato juga
membuat uraian tentang negara. Tetapi jasa terbesarnya adalah usahanya
membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama"Akademia"yang
paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran
yang paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di pintu masuk
akademia terdapat tulisan:"yang
13
belum mempelajari matematika janganlah masuk disini".
3. Aristoteles ((384-322 S.M)
Ia adalah Pendidik Iskandar Agung yang juga adalah murid Plato. tetapi dalam
banyak hal ia tidak setuju dengan Plato. Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak
dalam suatu "surga" diatas dunia ini, melainkan di dalam benda-benda sendiri.
Setiap benda terdiri dari dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi ("hyle") dan
bentuk ("morfe"). Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dengan ide-ide dari Plato.
Tetapi pada Aristoteles ide-ide ini tidak dapat dipikirkan lagi lepas dari materi.
Materi tanpa bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk "bertindak" di dalam materi.
Bentuk-bentuk memberi kenyataan kepada materi dan sekaligus merupakan tujuan
dari materi. Teori ini dikenal dengan sebutan Hylemorfisme.
Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu
pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika,
politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pokok-pokok pikirannya antara lain
bahwa ia berpendapat seseorang tidak dapat mengetahui suatu obyek jika ia tidak
dapat mengatakan pengetahuan itu pada orang lain.
Aristoteles berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri,
tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir secara ilmiah.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, logika diuraikan secara sistematis. Tidak
dapat dibantah bahwa logika Aristoteles memainkan peranan penting dalam
sejarah intelektual manusia; tidaklah berlebihan bila Immanuel Kant mengatakan
bahwa sejak Aristoteles, logika tidak maju selangkahpun. Mengenai pengetahuan,
Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat dihasilkan melalui jalan induksi
dan jalan deduksi, induksi mengandalkan panca indera yang "lemah", sedangkan
deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu dalam logikanya Aristoteles
sangat banyak memberi tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan
sempurna menuju pengetahuan baru. Salah satu cara Aristoteles mempraktekkan
deduksi adalah Syllogismos (silogisme).
B. Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M)
Zaman ini sering dianggap sebagai zaman di mana filsafat begitu erat, bahkan
berada di bawah naungan agama. Zaman ini, dibagi kedalam empat periode, yaitu
Zaman Patristik, Zaman Awal Skolastik, Zama Keemasan Skolastik, dan Zaman
Akhir Abad Pertengahan.
1. Zaman Patristik
Istilah patristik berasal dari kata Latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan
kehidupan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan
menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama Kristen.
Dalam masyarakat luas, terdapat pula pemikiran filosof yang disebut sebagai
kebudayaan kafir. Jadi, ketika itu terdapat dua pendirian yang berlainan, yaitu
yang berdasarkan agama Kristen dan berdasarkan Filsafat Yunani. Pandangan
pemikir agama pun terbagi tiga dalam menganggapi filsafat ini. Pertama,
pandangan bahwa setelah ada wahyu Ilahi yang terwujud dalam Yesus Kristus,
seharusnya tidak ada lagi pemikiran filosofis. Dengan demikian, pemikiran filosofis
tidak diakui. Kedua, pandangan yang
14
berusaha menengahinya dengan menyintesiskan kedua pemikiran tersebut. Ketifa,
pandangan yang justru menyatakan bahwa filsafat Yunani merupakan langkah awal
menuju agama (praeparatio evangelica). Jadi harus diterima dan dikembangkan.
Beberapa nama perlu ditampilkan dalam uraian ini, yaitu Yustinus Martyr, Clemens
(150 – 215 M), dan Origenes (185-254), Martyr adalah pemikir yang sejak semula
telah mempelajari berbagai sistem filsafat, dan ketika masuk agam Kristen, ia
masih menyebut dirinya filosof. Ia menulis dua buku tentang pembelaan hak agama
orang Kristen. Clemens dan Origenes berasal dari Alexandria, kota pusat
intelektual pada akhir Zaman Kuno; merancang suatu teologi yang tersusun secara
ilmiah berdasarkan filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Stoisisme.
Zaman keemasan Pratistik, meliputi Yunani ataupun Latin yang muncul pada masa
yang kurang lebih sama. Di Yunani, Zaman keemasan terbangun setelah Kaisar
Constantinus Agung mengeluarkan “Edik Milano” yang melindungi warganya dalam
dan untuk menganut agama Kristen. Sebelumnya, gereja Kristen mengalami
penindasan dibawah penguasa Romawi yang menjajahnya. Tiga Bapak Gereja yang
penting untuk disebut mewakili kehidupan pemikiran masa ini, adalah Gegorius
dari Nazianza (330-390), Basilius (330-379), dan adiknya Gregorius dari Nyssa (335-
394). Mereka membangun sintesis dari agama Kristen dan kebudayaan Helenitas. Di
antara ketiga orang tersebut yang paling menonjol adalah Gregorius dari Nyssa.
Pada dasarnya, mereka menggunakan neo-platonisme, namun mereka menolah
disebut neoplatonisme yang merendahkan materi. Pada abad ke-8, Zaman
Keemasan Patristik Yunani berakhir, dengan Johannes Damascenus sebagai raja
yang menulis suatu karya berjudul “Sumber Pengetahuan”. Karyanya tersebut
secara sistematis menggambarkan seluruh sejarah filsafat pada masa Patristik
Yunani, sebanyak tiga jilid.
Sejak abad ke-8, orang Arab (Islam) merebut Siria, Mesir, Afrika Utara, dan bagian
selatan Spanyol. Alexandria jatuh dan sekolah-sekolahnya ditutup. Melalui filosof
Kristen, orang Arab berkenalan dengan filsafat Yunani, antara lain
menerjamahkannya kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, dikemudian hari
Baghdad dan Cordova pun menjadi pusat filsafat.
Pada abad ke-4, zaman keemasan Paristik Latin terjadi. Ma,a nesar dari jajaran
Bapak Gereka Barat adalah Agustinus (354-430) yang dinilai menjadi pemikir
terbesar untuk seluruh Zaman Patristik. Adapun kekuatan dan kelemahan
pemikiran Agustinus terletak pada pemikirannya sebagai integrasi dan teologi
Kristen dan pemikiran filsafatinya. Tulisannya merupakan penghayatan rohani
pribadinya. Ia sendiri tidak sepahan dengan pendapa yang mengatakan bahwa
filsafat itu otonom, lepas dari iman kristiani. Menurutnya, filsafat hanya dapat
dipahami sebagai “filsafat kristiani” atau “kebijaksanaan kristiani”. Dalam filsafat,
ia tergolong pengikut neoplatonisme, bahkan platonisme juga. Pemikiran lain yang
mempengaruhinya adalah stoisisme.
Terdapat beberapa hal penting untuk dipahami dari pemikiran Agustinus, yaitu:
15
1) Iluminasi atau penerangan. Rasio insani hanya dapat abadi jika mendapat
penerangan dari rasio Ilahi. Allah adalah guru yang tinggal dalam batin kita dan
menerangi roh manusia.
2) Dunia jasmani yang terus-menerus berkembang, tetapi bergantung kepada Allah.
Mula-mula Allah menciptakan materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu,
tetapi mengandung benih (rationes seminales) berupa prinsip bagi perkembangan
jasmani. Prinsip perkembangannya berbeda dengan evolusi Darwin karena tidak
mengandung mutasi jenis. Menurutnya, di dalam benih segala hal telah ada,
seperti sesuadah telor akan lahir ayam. Suatu masalah tidak akan mencapai jalan
buntu apabila berdasarkan Alkitab.
3) Manusia, jiwanya terkurung tubuh. Menurut Agustinus – sebagaimana
dipengaruhi platonisme, tetapi tidak mengakui dualisme ekstrim Plato – tubuh
bukan sumber kejahatan; sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari
kehendak bebas.
2. Zaman Awal Skolastik
Zaman ini ditandai dengan migrasi penduduk, yaitu perpindahan bangsa Hun dari
Asia ke Eropa, sehingga bangsa Jerman berpindah melintasi perbatasan kekaisaran
Romawi yang secara politik mengalami kemerosotan. Akibat situasi yang ricuh,
tidak banyak pemikiran filsafati yang patut dikemukakan pada masa ini. Namun,
ada beberapa tokoh dan situasi penting yang harus diperhatikan dalam memahami
filsafat masa ini.
Pertama, ahli pikir Boethius (480-524 M), dalam usianya yang ke-44 tahun, ia
dikenai hukuman mati dengan tuduhan berkomplot. Ia dianggap sebagai dilosof
akhir Rimawi dan filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah menerjemahkan logika
Aristoteles ke dalam bahasa Latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles.
Boethius adalah guru logika Abad Pertengahan dan mengarang beberapa traktat
teologi yang dipelajari sepanjang Abad Pertengahan.
Kedua, Kaisar Karela Agung yang memerintah pada awal abad ke-9 dan berhasil
mencapai stabilitas politik yang besar. Hal ini menyebabkan perkembangan
pemikiran kultural berjalan pesat. Lembaga pendidikan yang dibangunnya terdiri
dari tiga jenis, yaitu pendidikan yang digabungkan dengan biara, pendidikan yang
ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang dibangun raja atau kerabat kerajaan.
Meskipun demikian, seluruh pemikiran Abad Pertengahan berada dalam naungan
teologi. Seperti dikatakan Thomas Aquinas pada abaf ke-13, ilmu pengetahuan
adalah pembantu teologi. Pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran
Agustinus.
Ketiga, terdapat beberapa nama penting lain, seperti Johannes Scotus Eriugena,
Anselmus, dan Abelardus.
Eriugena (810-877) bekerja di sekolah lingkungan istana Karel Agung. Ia berjasa
dalam menerjemahkan karya Pseudo-Dionysios ke dalam bahasa Latin sehingga
menjadi referensi bagi dunia pemikiran abad-abad selanjutnya. Berdasarkan
filsafat neoplatonisme, ia membangun sintesis teologis. Akan tetapi, karena agak
sulit dicerna, pemikirannya tidak dilanjutkan orang.
16
Anselmus (1033-1109) memimpin biara di Normandi, Perancisdan Uskup Agung di
Canterbury, Inggris. Ia meluruskan perkataan Agustinus dengan mengatakan, “Saya
percaya supaya saya mengerti” (credo ut intelligam). Ia terkenal terutama katena
argumentasinya, bahwa Allah itu benar-benar ada. Ada tiga langkah pembuktian
filsafatinya. Pertama, Allah itu Mahabesar sehingga tidak terpikirkan sesuatu yang
lebih besar (id quo nihil malus cogitari potest). Kedua, hal yang terbesar tentulah
berada dalam kenyataan, karena apa yang hanya ada dalam pikiran tidak mungkin
lebih besar. Ketiga, Allah tidak hanya berada dalam pemikiran, tetapi juga ada
dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh-sungguh ada.
Abelardus (1079-1142) berjasa dalam bidang logika dan etika. Ia telah memberikan
sumbangan terhadap penyelesaian masalah yang ramai dibicarakan dalam kalangan
skolastik, ialah masalah “universalia”. Universalia menyangkut konsep-konsep
tersebut. Dalam hal ini, terdapat dua pendirian, yaitu realisme, atau sering
disebut ultra0realisme, dengan tokohnya Guilielmus yang membicarakan masalah
“kemanusiaan”. Selanjutnya, nominalisme, dengan tokohnya Roscelinus. Ia
berpendapat bahwa selain individu-individu, tidak ada sesuatu yang nyata. Konsep-
konsep umum, menurut nominalisme, hanya bunyi (flatus vocis).
Keempat, adalah cara mengajar yang terdiri dari dua jenis, yaitu cara kuliah
(lectio) yang diberikan seorang mahaguru, dan cara diskusi yang dipimpin seorang
mahaguru. Suatu topik dibahas secara sistematis dengan menampung semua
argumen pro dan kontra (disputation). Dalam pelaksanaannya, baik kuliah maupun
diskusi dibuatkan buku pegangan (sententiae), yang artinya pendapat-pendapat.
Dari sentiae kemudian dibuat buku pengangan lain yang disebut Summa yang
artinya ikhtisar.
3. Zaman Keemasan Skolastik
Zaman keemasan Skolastik terjadi pada abad ke-13. Sama dengan Abad
Pertengahan, pada Zaman Keemasan Skolastik ini, filsafat dipelajari dalam
hubungannya dengan teologi. Namun, hal ini tidak berarti wacana filsafat hilang.
Filsafat tetap dipelajari meskipun tidak secara terbuka dan mandiri. Pada abad ini
dibangun sintesis filosofis penting dan berkaitan dengan tiga hal, yaitu (1)
didirikannya universitas-universitas pada tahun 1200, (2) beberapa ordo membiara
yang baru dibenetuk dan (3) ditemukan dan digunakannya sejumlah karya filsafat
yang sebelumnya tidak dikenal.
1) Universitas, sekolah-sekolah di Paris secara bersama-sama membangun
universitas yang meliputi keseluruhan guru dan mahasiswa (magistrorum et
scolarium). Sejak abad ke-9, di seluruh Eropa Barat didirikan sekolah, setelah
Akademia ditutup pada abad ke-2. Di Paris, sekolah-sekolah itu merupakan yang
terbanyak. Sekolah-sekolah ini merupakan universitas pertama di dunia yang mula-
mula bekerjasama antarsekolah di Paris. Di sekolah tersebut terdapat hak-hak
khusus dari pihak gereja yang menjadikan universitas berkembang pesat. Hal ini
ditiru oleh daerah lain seperti Oxford, Bologna, dan Cambridge di Inggris serta
banya kota lainnya. Pada
17
abad pertengahan umumnya universitas terdiri dari empat fakutlas, yaitu
kedokteran, hukum, sastra (facultas atrium), dan teologi.
2) Ordo-ordo membiara yang baru, merupakan faktor kedua yang mempengaruhi
perkembangan hidup intelektual. Dua ordo yang terkenal adalah Ordo fransiskan
yang didirikan Fransiskus pada tahun 1209, dan Ordo Dominikan yang didirikan
Dominikus pada tahun 1215. Diberbagai kota, para eksponen dominikan mendirikan
rumah studi (studium generale) yang digabungkan dalam universitas setempat.
3) Penemuan karya filsafat Yunani, terutama karya Aristoteles sebagai filosof
bidang logika. Namun mereka kemudian sadar bahwa pemikiran Aristoteles itu
sangat luas. Ajaran Aristoteles masuk ke dunia Barat baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara tidak langsung ajaran ini masuk melalui Arab dengan tokoh-
tokohnya Ibn Sina (980-1037), Ibn Rushd (1126-1198), serta beberapa filosof
Yahudi. Sedangakan secara langsung, ajaran ini masuk melalui Sisilia.
Beberapa nama yang patut ditampilkan sebagai pengembang suasana intelektual
ialah Bonaventura. Ia memberi komentar atas “Senntetiae” sebanyak empat jilid
hasil pemberian kuliahnya antara 1250 dan 1253; Siger dari fakultas Sastra,
Albertus Agung, Thomas Aquinas dan J.D. Scotus.
4. Masa Akhir Abad Pertengahan
Pada akhir abad XIV terjadi sikap kritis atas berbagai usaha pemikiran yang
menyintesiskan pemikiran filsafati dan teologi yang semakin menyimpang dari
pendapat Aristoteles. Dua tokoh pada abad ke-14 yang berjasa dalam
mempersiapkan ilmu pengetahuan alam modern, ialah Johannes Buridanus (1298-
1359) di Paris dan Thomas Bradwardine (1300-1349) di Oxford. Dalam filsafat,
perkembangan tampil dalam bentuk “jalan modern” (via moderna) yang
dipertentangkan dengan “jalan kuno” (via antiqua).
“Jalan Kuno” adalah mazhab-mazhab skolatstik tradisional, terutama thomisme
dan scotisme. Juga neoplatonisme, aristotelisme moderat, dan albertisme. Namun,
pada jalan lama tidak ditemkan pemikir-pemikir besar sehingga lebih penting
untuk membicarakan jalan baru.
“Jalan Baru” didasari pemikiran Gulielmus (1285-1349) dari Inggris yang menjadi
anggota ordo fransiskan. Pendapat-pendapatnya sering bertentangan dengan
pemikiran gereja, terutama Paus di Vatikan. Terjadilah pertengkaran yang
menyebabkan ia lebih memperhatikan masalah-masalah logika, meskipun masih
menulis komentar atas “Sententiae”.
Pikiran-pikiran Gulielmus lebih terkenal dengan nama Ockham, nama kota
kelahirannya. Pemikirannya cenderung pada empirisme. Ia menolah individuasi,
tetapi lebih cenderung pada yang bersifat individual. Bentuk pengenalan yang
paling sempurna adalah yang berbentuk indrawi, lebih langsung. Oleh karena itu
pengenalan indrawi harus dianggan intuitif, dibedakan dengan pengenalan abstrak.
Pengenalan intelektual yang abstrak mempunyai konsep-konsep umum sebagai
objeknya.
18
Dalam metafisika, Ockham menggunakna dua prinsip yang berpengaruh pada
pemikiran filsafat pada waktu itu. Pertama, “Ockham’s razor”, bahwa keberadaan
tidak dapat dilipatgandakan, apabila tidak perlu. Artinya, suatu realitas metafisika
tidak dapat diterima jika dasarnya tidak kuat. Kedua, apa yang dapat dibedakan,
dapat dipisahkan pula, paling tidak Allah-lah yang dapat memisahkan-nya.
Berdasarkan dua prinsip tersebut, ia membersihkan metafisika dari perdebatan
steril yang merajalela dalam mazhab Skolastik. Melalui jalan modern ini, Ockman
dinilai berhasil karena banyak orang sudah bosan dengan perselisihan yang tidak
memberi manfaat nyata.
Dalam mengenal Allah, Ockham bersikap lebih kritis terhadap pengenalan manusia
akan Allah. Menurutnya, dengan rasio saja, manusia tidak mungkin mengenal Allah.
Pengenalan hanya dapat terjadi melalui iman atau kepercayaan. Kekuasaan Allah
adalah absolut. Susunan moral yang dibuat manusia tidak bersifat absolut dan
sangat bergantung pada kehendak Allah.
Filsafat abad pertengahan diawali Boethius, dan diakiri oleh Nicolaus Cusanus
(1401-1464). Nicolaus Cusanus membedakan tiga macam pengenalan, ialah
pancaindra, rasio, dan intuisi. Pengenalan indrawi kurang sempurna. Rasio
memberntu konsep berdasarkan pengenalan indrai dan aktivitasnya dikuasai prinsip
nonkontradiksi (tidak mungkin sesuatu ada dan sekaligus tidak ada). Diakui bahwa
kita tidak mengetahui apa-apa (docta ignoratia). Dengan intuisi, manusia dapta
mencapai segala sesuatu yang tidak terhingga. Allah merupakan objek intuisi
manusia. Dalam diri Allah seluruh hal yang berlawanan mencapai kesatuan
(coincidentia oppositorium).
C. Zaman Pencerahan (1500M – 1700M)
Pengetahuan yang luas menjadikan Nicolaus bukan saja sebagai eksponen Abad
Pertengahan, melainkan juga pecinta eksperimen yang membawanya kepada
pemikiran ilmu masa modern. Meskipun demikian, perlu diperhatikan suatu masa
yang relatif singkat yang membatasi Abad Pertengahan dan Abad Modern yaitu
Abad Pencerahan, enlightment, atau Aufklaerung. Meskipun singkat, sekitar satu
sampai dua abad saja, namun apa yang terjadi dalam masa itu penting untuk
direnungkan. Maksudnya, para pemikir sekular yang berada dalam lingkungan
gereja merasa “sumpek” dengan kehidupan berpikir abad pertengahan, dimana
ilmu pengetahuan dan filsafat menjadi budak agama. Hal ini beraikbat kebebasan
berpikir terhambat oleh payung agama. Menentang pendapat ilmuwan yang
pendapatnya telah diterima kaum agama, sering diartikan menentang agama.
Zaman Pencerahan, Aufklaerung, merupakan masa peralihan dari Abad
Pertengahan ke Abad Modern. Perlu ditegaskan bahwa pemikiran Abad
Pertengahan didasari oleh payung agama, sedangkan Abad Modern oleh payung
ilmu pengetahuan. Selain “membesarkan diri” dari kungkungan agama, pemikiran
modern sebenarnya telah melepaskan diri dari filsafat. Hal ini disebabkan
argumentasi filsafat semata-mata mengandalkan logika, sedangkan pengetahuan
menekankan pada perlunya eksperimentasi.
19
Meskipun demikian, hubungan antara Pencerahan dan Modern sulit dipisahkan,
karena Pencerahan secara substansial berusaha melepaskan ilmu pengetahuan dari
kungkungan agama (kaum gereja). Substansi duniawi, sekuler, atau disebut pula
ilmu pengetahuan umum, sebagai ciri garapan Abad Modern.
Dengan demikian, tokoh-tokoh yang mengawali Modernisme dapat dianggap tokoh
Abad Pencerahan. Misalnya Michel de Montaigne (1533-1592). Kemudian Descrates,
Leibnitz, dan Wolf di Eropa Daratan, serta Locke, Hume dan Berkeley di Inggris.
Dikarenakan kedudukannya yang terjepit antara Abad Pertengahan dan Abad
Modern, maka Abad Pencerahan tidak dibahas lebih mendalam. Meskipun
demikian, pemikiran Abad Pencerahan perlu dicantumkan karena dipandang
penting bagi kelahiran Abad Modern yang sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Abad Pencerahan merupakan “bidan” Abad Modern.
D. Zaman Modern
Zaman Pertengahan berakhir pada saat yang tidak helas karena batas-batas
pemikiran filsafatnya terlalu subtil. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa
masa Renaisance-lah yang menjadi batasnya, yaitu batas pemisah antara Abad
Pertengahan dengan Abad Modern. Masa Renaisans artinya kelahiran kembali.
Maksudnya adalah melahirkan kembali kebudayaan klasik, yaitu kebudayaan Yunani
dan Romawi. Masa Renaisans merupakan akhir dari Zaman Pertengahan. Beberapa
ahli sejarah filsafat menempatkan nama-nama sastrawan dan seniman pada barisan
depan pelopor Zaman Modern. Mereka adalah para penulis, Petrarca (1304-1374)
dan Boccacio (1313-1375). Sementara untuk seniman lainnya, tercatat pelukis,
pematung, dan artitek Michelangelo (1475-1565). Dalam bidang ilmu pengetahuan,
nama-nama yang patut dikemukakan adalah Leonardo da Vinci (1452-1519),
Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johanner Kepler (1571-1519), Galilei (1564-
1643). Sementara pelatak dasar filosofis dalam ilmu pengetahuan adalah Francis
Bacon (1561-1623). Francis Bacon melahirkan buah pikiran yang menggantikan
teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan.
Adapun pendiri (founding father) filsafat modern adalah Michel de Montaigne
(1533-1592). Ia bukan matematikawan atau ilmuwan, melainkan moralis.
Pertanyaan yang mendasar, apakah manusia akan mendapat kebenaran jika benar-
benar menemukannya, atau mampukah manusia berbuat adil jika sudah
menemukannya? Ia mewarisi skeptisme pendahulunya dan meragukan indra
ataupun akal budi. Sebaliknya, ia menekankan ide alam yang melekat dalam diri
manusia sebagai karakter, sebagaimana pikiran pemikir-pemikir kuno. Oleh karena
itu, pikiran-pikiran intelektual skolastik tidak berarti baginya. Sedangkan tujuan
pendidikan dan filsafat secara umum baginya adalah untuk menerangi dan
mengilhami hakikat diri yang bersifat spontan. Wahyu Ilahi, selain dapat diterima,
juga dianggap dapat menjembatani Tuhan dan manusia. Sikap moralis yang dimiliki
Montaigne sangat banyak mempengaruhi Jean-Jacques Rousseau. Dalam ilmu
pengetahuan, pendapat Montaigne tersimpul dalam perumusan, bahwa ide manusia
20
berbeda dari suatu tempat lainnya, juga menurut zamannya.
Istilah modern itu sendiri tidak jelas apa maksudnya. Istilah tersebut sering
menampilkan sifat arogansi, atau sekadar menolak buah pikiran yang telah lahir
sebelumnya dari Abad Pertengahan; bahkan secara berlebihan daat juga disebut
sebagai suatu pemberontakan. Sama dengan kaum pascamodern yang
memberontak terhadap pemikiran modern yang terlalu menghargai rasio.
Mengenai siapa “founding father” Zaman Modern ini, para ahli berpendapat lain.
Mereka menyebut beberapa nama, seperti Rene Descartes, pemikir Perancis
dengan rasionalismenya; John Locke, pemikir Inggris dengan empirisme.
Selanjutnya, Immanuel Kant dengan kritisismenya melihat ketidaksempurnaan,
baik pada Descrates maupun John Locke. Dikatakannya bahwa Descrates hanya
dengan sebelah mata dalam melihat kenyataan, yaitu dengan mata rasio.
Sementara Locke dinilai dalam melihat kenyataan hanya dengan setengah mata,
ialah mata pengalaman.
Kant mengatakan, “Pemahaman tanpa konsep adalah buta, sedangkan tanggapan
tanpa penglihatan adalah hampa”. Ia berpendapat bahwa dasar pengetahuan
adalah pengamatan dan pemikiran. Ilmu pengetahuan haruslah bersifat sintetis,
artinya berdasarkan pengamatan yang nyata; dan aprioris, yaitu berdasarkan akal.
Oleh karena itu, ada ahli yang berpendapat bahwa sebelum Kant adalah filsafat
lama, dan sesudah Kant adalah filsafat baru.
Memahami filsafat modern yang berlangsung sampai kontemporer atau
pascamodernisme tidaklah sederhana, karena tidak mudah dalam membuat
penggolongan. Para filosof modern tampak lebih individualistis dengan
menampilkan individualitasnya masing-masing. Hal ini menyulitkan bagi mereka
yang baru mengenal dan mempelajarinya. Oleh karena iru, untuk mempermudah
dalam mengenal dan mempelajarinya, filsafat modern dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu (1) rasionalisme, empirisme, dan kritisisme; (2) dialetika
idealisme dan dialektika materialisme; (3) fenomenologi dan eksistensialisme.
Penjelasan singkat mengenai pengelompokan tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut.
1) Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme
Rasionalisme. Perlu disebutkan beberapa nama penting dalam aliran ini, antara
lain Descrates, Wolf dan Leibnitz. Pada prinsipnya, pemikir-pemikir rasional
menuntut kenyataan sejati yang dilandasi pemikiran. Dari pemikiran akan lahir
konsep, bahwa apa yang diketahui ilmu pengetahuan jelas landasannya. Landasan
ini tidak akan berubah. Hal itu dapat terjadi jika dasar pemikiran atau
pengetahuan itu bersifat apriori (sebelum pengalaman).
Empirisme. Beberapa tokoh dalam aliran ini, antara lain John Locke, Berkeley, dan
Hume. Kebalikan dari kaum rasionalis, pemikir empiris berpendapat bahwa dasar
pengetahuan itu adalah sensasi yang berasal dari rangsangan-rangsangan yang
berdasar pada pengalaman. Adapun alasannya adalah bahwa
21
sekarang atau disini tidak selalu sama dengan besok atau disitu. Lebih penting dari
semua itu, bahwa ilmu pengetahuan harus berkembang, karena perkembangan
tidak dapat ditolak. Bukan apriori yang dituntut oleh ilmu pengetahuan, melainkan
aposteriori (setelah pengalaman).
Kritiisme. Menurut Kant, ilmu pengetahuan harus memiliki kepastian sehingga
rasionalisme adalah benar. Ia juga menuntut bahwa imu pengetahuan harus maju
dan berkembang didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang. Oleh
karena itu, ia menganggap benar pendapat kaum empiris. Ia mengajukan sintetis
aprioris sebagai syarat untuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berdasarkan
dua hal, yaitu bahwan yang didapat dari luar, hal itu sendiri atau disebut das Ding
an sich, dan pengolahan sintesis dari diri sendiri atau das Ding fuer mich.
2) Dialetika Idealisme dan Dialetika Merialisme
Dialetika ideal atau, idealisme dialektis merupakan hasil pemikiran Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831) yang sangat berorientasi pada ilmu sejarah, ilmu alam,
dan ilmu hukum. Ia dianggap sebagai murid Friedrich Wilhelm Joseph Schelling
(1775-1854) yang lebih muda darinya. Tulisannya dipublikasikan setelah Schelling
termashur sebagai ahli filsafat. Semulanya pendiriannya sama, namun semakin
lama pendiriannya jelas berbeda dari Schelling, bahkan jauh lebi populer di
kemudian hari.
Terdapat beberapa hal yang penting dari pandangan Hegel. Pertama, dalil yang
menyatakan bahwa segenap realitas bersifat rasional dan yang rasional bersifat
nyata. Ia sangat mementingkan rasio, tetapi bukan hanya rasio pada perseorangan,
melainkan rasio pada subjek absolut. Ia berprinsip bahwa realitas seluruhnya harus
disetarakan dengan suatu subjek. Realitas adalah roh yang lambat laun menjadi
sadar akan dirinya. Dengan pernyataan tersebut, ia membantah pendapat filsafat
kepercayaan dan sastra Jerman yang disebut “Romantika” yang mengutamakan
perasaan.
Kedua, hal terpenting lain dari seluruh pemikiran Hegel, yaitu metode dialeti, atau
biasa disebut dialetika. Dialetika adalah usaha mendamaikan, mengompromikan
dua atau lebih pandangan yang berpendapat bahwa pertentangan adalah bapak
segala hal, meskipun ia juga menghargai Fichte yang membedakan antara “aku”
dan “bukan aku”.
Ada tiga fase dalam dialetika. Fase pertama, tesis sebagai pendapat awal
menampilkan lawannya, yaitu antitesis sebagai fase kedua.
22
Kemudian timullah fase ketiga yang mendamaikan kedua fase itu, yaitu
“aufgehoben”, artinya bermacam-macam dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi,
inilah yang disebut sintesis, sebagai fase ketiga itu, dalam sintesis terkandung tesis
dan antitesis. Keduanya diangkat pada satu taraf yang baru. Jadi tesus dan
antitesis tetap ada, hanya lebih sempurna. Contoh, anak menjadi sintesis dari ibu
dan bapak; demokrasi konstitusional menjadi sintesis dari diktator dan anarki, dan
“menjadi” merupakan sintesis dari “ada” dan “tiada”.
Dalam membangun istem filsafatnya, Hegel membagi filsafat menjadi tiga bagian,
yaitu:
a) Logika, bagian filsafat yang memandang roh dalam dirinya sendiri;
b) Filsafat alam, memandang roh yang sudah ada/diasingkan di luar dirinya, dan
c) Filsafat roh, menggambarkan bagaimana roh bisa kembali pada dirinya.
3) Fenomenologi dan Eksistensialisme
Terdapat ahli yang berpendapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir,
bukan suatu mazhab filsafat. Para ahli tertentu bahkan menganggap fenomenologi
sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan dan
memaknakan sesuatu daripada sebagai suatu aliran filsafat.
Filsafat fenomenologi lahir dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1936),
berdasarkan pemikiran Brentano, seorang filosof dan matematikus, mengenai
intensionalitas atau pengarahan. Husserl mengemukakan adanya fondasi absolut,
suatu fundamentum inconcussum yang murni ilmu pengetahuan. Ia menemukannya
dalam subjektivitas transendental (Sugiharto, 1996).
Eksistensialisme terutama merupakan hasil pemikiran Soren Kierkegaard. Ia dikenal
banyak orang sebagai penentang materialisme ataupun idealisme. Keterangan ini,
meskipun tidak salah, juga tidak sepenuhnya benar. Ia memiliki ciri “pribadi”
bahwa manusia mengerti, berkehendak, dan berkarsa bebas, serta memiliki paham
kesusilaan dan berupaya membangun kebudayaannya sendiri.
Secara etimologis eksistensialisme berarti berdiri atau berada di (ke) luar. Eks
berarti ke (di) luar, dan (s)istens berarti menempatkan atau berdiri. Oleh karena
itu, hana manusialah yang dpat bereksistensi, sedangkan binatang atau organisasi
tidak. Apabila benda dan binatang “berada diluar” maka manusia “mengada disini”
atau “mengada disitu”,
23
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal berpangkal pada
eksistensinya. Artinya bahwa eksistensialisme merupakan cara manusia berada,
atau lebih tepatnya mengada, di dunia ini. Jadi, hal yang bereksistensi itu
hanyalah manusia. Adanya benda danadanya manusia jelas berbeda.
E. Pascamodernisme
Pembicaraan mengenai fenomenologi dan eksistesialisme menandai masuknya
babak baru yang disebut Pascamodernisme. Tokoh-tokoh kedua aliran itulah yang
membawa pemikiran ke arah pascamodern dengan meninggalkan cara berpikir
modernisme, atau dapat disebut sebagai Abad Ilmiah.
Istilah “pascamodernisme” muncul dalam konteks yang luas, dari wacana akademik
sampai susunan kata yang singkat dalam sebuah iklan. Maknanya berbeda dalam
koneks yang bermacam-macam, seperti “floating signifier” Levi-Strauss; tidak
banyak mengekspresikan suatu nilai dan tetap membuka ruang bagi ekspresi yang
luas. Kapasitas “pascamodern” yang demikian luas menyangkut ruang lingkup
perubahan kultural.
Secara etimologis postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern.
Kata post dalam Webste’s Dictionary Library adalah prefik, diartikan dengan “later
or after”. Bila kita menyatukannya menjadi post modern maka akan berarti
sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab
pertanyaan – pertanyaan yang tidak terjawab di zaman modern yang muncul
karena adanya modernitas itu sendiri.
Sedangkan secara terminologi menurut tokoh dari post modern, Pauline Rosenau
(1992) mendefinisikan postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan
antara lain: pertama, post modernisme merupakan kritik atas masyarakat modern
dan kegagalannya memenuhi janji – janjinya. Juga pstmodern cenderung
mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Yaitu pada
akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi,
kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka
meragukan prioritas–prioritas modern seperta karier, jabatan, tanggung jawab
personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme,
penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral,peraturan impersonal dan
rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya
dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya.
Postmodern pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya
postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata postmodern
itu sendiri muncul sebagai bagian modernitas. Benih posmo pada awalnya tumbuh
di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya “The Language of
Postmodern” . Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk
mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya.
Pada sore hari di bulan juli 1972, bangunan yang mana melambangkan
kemodernisasian di
24
ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan
menandakan kelahiran posrmodern.
Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern tidak
dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan sebuah
konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan
sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam
melanjutkan proyek pencerahan. Nafas utama dari posmodern adalah penolakan
atas narasi – narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan
gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi – narasi kecil,
lokal, tersebar dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan menampakkan
dirinya.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita
adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama
lain. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran
digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran
disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.
Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang
kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan sosiologi.
Postmodern akhiryna menjadi kritik kebudayaan atas modernita. Apa yang
dibanggakan oleh pikiran modern sekarang dikutuk dan apa yang dulu dianggap
rendah sekarang justru dihargai.
3. Kesimpulan
Dari pembahasan atas tujuan penulisan makalah pengertian dan sejarah
perkembangan filsafat, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1) Filsafat adalah suatu wacana, perbincangan, atau argumentasi yang radikal,
bersifat refleksi sampai ke konsekuensi terakhir, mengenai segala hal yang
dilakukan secara sistematis, dengan maksud menemuka hakikatnya.
2) Sejarah perkembangan pemikiran filsafat dapat dikelompokan kedalam
beberapa lima periode yaitu:
a. Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M)
b. Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M)
c. Zaman Pencerahan (1500 M – 1700 M)
d. Zaman Modern (1700 M – 2000 M)
e. Zaman Pasca Modern (2000 M – ... M)

Anda mungkin juga menyukai