Berbicara tentang kelahiran dan perkembangan filsafat, pada awal
kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan (ilmu) pengetahuan yang muncul pada masa peradaban Kuno (masa Yunani). Pada tahun 2000 SM, bangsa Babylon yang hidup di lembah Sungai Nil (Mesir) dan Sungai Efrat telah mengenal alat pengukur berat, tabel bilangan berpangkat, tabel perkalian menggunakan sepuluh jari. Piramida yang merupakan salah satu keajaiban dunia itu, ternyata pembuatannya menerapkan geometri dan matematika, menunjukkan cara berpikirnya yang sudah tinggi. Selain itu, mereka pun sudah dapat mengadakan kegiatan pengamatan benda-benda langit, baik bintang, bulan, maupun matahari sehingga dapat meramalkan gerhana bulan ataupun gerhana matahari. Ternyata ilmu yang mereka pakai dewasa ini disebut astronomi. Di India dan China, saat itu telah ditemukan cara pembuatan kertas dan kompas (sebagai petunjuk arah). 1. PRA YUNANI KUNO Waktu : Abad 15 – 7 SM Tokoh – tokoh : filsafat dibagi dalam lima periode, yaitu: 1) Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M) 2) Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M) 3) Zaman Pencerahan (1500 M – 1700 M) 4) Zaman Modern (1700 M – 2000 M) 5) Zaman Pasca Modern (2000 M – ... M) A. Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M) Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite menjadi lebih rasional. Pola pikir mite adalah pola pikir yang mengandalkan mitos-mitos untuk menjelaskan fenomena alam seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap kejadian alam biasa, tapi dewa bumi sedang menggoyangkan kepalanya. Namun setelah filsafat ditemukan, fenomena tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa melainkan fenomena alam yang terjadi secara kausalitas. Dan hal ini terus dikembangkan oleh manusia melalui filsafat sehingga alam dijadikan obyek penelitian dan pengkajian sampai dalam bentuk yang paling mutakhir, seperti yang kita kenal sekarang. a) Filsafat Pra Socrates Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada zaman ini orang memiliki kebebasan untuk berpendapat atau mengungkapkan ide- idenya. Pada masa itu, Yunani dipandang sebagai gudang ilmu dan filsafat, karena bangsa Yunani sudah tidak lagi mempercayai mitos-mitos. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja) melainkan menumbuhkan sikap yang senang menyelidiki atau kritis. Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani berada pada barisan terdepan dalam ilmu pengetahuan. Filsafat zaman Yunani kuno mencakup zaman Pra Socrates dan zaman keemasan filsafat. Tokoh-tokoh filosof pada masa itu adalah Thales, Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras, dan Heraklitos. Mereka dikenal dengan filosof alam. Sedangkan masa keemasan filsafat dimeriahkan oleh tokoh-tokoh seperti, Socrates, Plato dan Aristoteles. Pada masa inilah filsafat Yunani menikmati masa keemasannya. Filsafat pra-socrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu ("arche"). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas? Thales 9 mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas, Empedokles: api-udara-tanah- air. Herakleitos mengajar bahwa segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih kesimpulan yang benar. Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang substansial. 1. Aliran Miletos/Madzhab Milesian Aliran ini disebut Aliran Miletos karena tokoh-tokohnya merupakan warga asli Miletos, di Asia Kecil, yang merupakan sebuah kota niaga yang maju. Berikut beberapa tokoh yang termasuk kedalam Aliran Miletos atau dikenal pula dengan istilah Madzhab Milesian: 1) Thales Thales hidup sekitar 624-546 SM. Ia adalah seorang ahli ilmu termasuk ahli ilmu Astronomi. Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini adalah air. Segala-galanya berasal dari air. Bumi sendiri merupakan bahan yang sekaligus keluar dari air dan kemudian terapung-apung diatasnya. Pandangan yang demikian itu membawa kepada penyesuaian-penyesuain lain yang lebih mendasar yaitu bahwa sesungguhnya segalanya ini pada hakikatnya adalah satu. Bagi Thales, air adalah sebab utama dari segala yang ada dan menjadi akhir dari segala-galanya. Ajaran Thales yang lain adalah bahwa tiap benda memiliki jiwa. Itulah sebabnya tiap benda dapat berubah, dapat bergerak atau dapat hilang kodratnya masing- masing. Ajaran Thales tentang jiwa bukan hanya meliputi benda-benda hidup tetapi meliputi benda-benda mati pula. 2) Anaximander Anaximander adalah murid Thales yang setia. Ia hidup sekitar 610-546 SM. Ia berpendapat bahwa hakikat dari segala seuatu yang satu itu bukan air, tapi yang satu itu adalah yang tidak terbatas dan tidak terhingga, tak berubah dan meliputi segala-galanya yang disebut “Aperion”. Aperion bukanlah materi seperti yang dikemukakan oleh Thales. Anaximander juga berpendapat bahwa dunia ini hanyalah salah satu bagian dari banyak dunia lainnya. 3) Anaximenes Anaximenes hidup sekitar 560-520 SM. Ia berpendapat bahwa hakikat segala sesuatu yang satu itu adalah udara. Jiwa adalah udara; api adalah udara yang encer; jika dipadatkan pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi akan menjadi tanah, dan akhirnya 10 menjadi batu. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk seperti meja bundar. 2. Aliran Pythagoras Pythagoras lahir di Samos sekitar 580-500 SM. Ia berpendapat bahwa semesta ini tak lain adalah bilangan. Unsur bilangan merupakan prinsip unsur dari segala- galanya. Dengan kata lain, bilangan genap dan ganjil sama dengan terbatas dan tak terbatas. 1) Xenophanes Xenophanes merupakan pengikut Aliran Pythagoras yang lahir di Kolophon, Asia Kecil, sekitar tahun 545 SM. Dalam filsafatnya ia menegaskan bahwa Tuhan bersifat kekal, tidak mempunyai permulaan dan Tuhan itu Esa bagi seluruhnya. Ke-Esaan Tuhan bagi semua merupakan sesuatu hal yang logis. Hal itu karena kenyataan menunjukkan apabila semua orang memberikan konsep ketuhanan sesuai dengan masing-masing orang, maka hasilnya akan bertentangan dan kabur. Bahkan “kuda menggambarkan Tuhan menurut konsep kuda, sapi demikian juga” kata Xenophanes. Jelas kiranya ide tentang Tuhan menurut Xenophanes adalah Esa dan bersifat universal. 2) Heraklitus (Herakleitos) Heraklitus hidup antara tahun 560-470 SM di Italia Selatan sekawan dengan Pythagoras dan Xenophanes. Ia berpendapat bahwa asal segalanya adalah api dan api adalah lambang dari perubahan. Api yang selalu bergerak dan berubah menunjukkan bahwa tidak ada yang tetap dan tidak ada yang tenang. 3. Aliran Elea 1) Parmenides Lahir sekitar tahun 540-475 di Italia Selatan. Ajarannya adalah kenyataan bukanlah gerak dan perubahan melainkan keseluruhan yang bersatu. Dalam pandangan Pamenides ada dua jenis pengetahuan yang disuguhkan yaitu pengetahuan inderawi dan pengetahuan rasional. Apabila dua jenis pengetahuan ini bertentangan satu sama lain maka ia memilih rasio. Dari pemikirannya itu membuka cabang ilmu baru dalam dunia filsafat yaitu penemuannya tentang metafisika sebagai cabang filsafat yang membahas tentang yang ada. 2) Zeno Lahir di Elea sekitar 490 SM. Ajarannya yang penting adalah pemikirannya tentang dialektika. Dialektika adalah satu cabang filsafat yang mempelajari argumentasi. 3) Melissos Lahir di Samos tanpa diketahui secara tepat tanggal kelahirannya. Ia berpendapat bahwa “yang ada” itu tidak berhingga, menurut waktu maupun ruang. 4. Aliran Pluralis 1) Empedokles Lahir di Akragas Sisislia awal abad ke-5 SM. ia menulis buah pikirannya dalam bentuk puisi. Ia mengajarkan bahwa realitas tersusun dari empat anasir yaitu api, udara, tanah, dan air. 2) Anaxagoras 11 Lahir di Ionia di Italia Selatan. Ia berpendapat bahwa realitas seluruhnya bukan satu tetapi banyak. Yang banyak itu tidak dijadikan, tidak berubah, dan tidak berada dalam satu ruang yang kosong. Anaxagoras menyebut yang banyak itu dengan spermata (benih). 5. Aliran Atomis Pelopor atomisme ada dua yaitu Leukippos dan Demokritos. Ajaran aliran filsafat ini ikut berusaha memecahkan masalah yang pernah diajukan oleh aliran Elea. Aliran ini mengajukan konsep mereka dengan menyatakan bahwa realitas seluruhnya bukan satu melainkan terdiri dari banyak unsur. Dalam hal ini berbeda dengan aliran pluralisme maka aliran atomisme berpendapat bahwa yang banyak itu adalah “atom” (a = tidak, tomos = terbagi). 6. Aliran Sofis Sofisme berasal dari kata Yunani “sophos” yang berarti cerdik atau pandai. Tokoh- tokoh kaum sofis adalah Protagoras, Grogias, Hippias, Prodikos, dan Kritias. Kesimpulannya, filsafat Pra Socrates adalah filsafat yang dilahirkan karena kemenangan akal asas atas dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama yang memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu. b) Zaman Keemasan Filsafat: Socrates, Plato, Aristoteles Puncak filsafat Yunani dicapai pada Socrates, Plato dan Aristoteles. Filsafat dalam periode ini ditandai oleh ajarannya yang "membumi" dibandingkan ajaran-ajaran filosof sebelumnya. Seperti dikatakan Cicero (sastrawan Roma) bahwa Socrates telah memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi. Maksudnya, filosof pra- Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam semesta sedangkan Socrates mengarahkan obyek penelitiannya pada manusia diatas bumi. Hal ini juga diikuti oleh para sofis. Seperti telah disebutkan didepan, sofis (sophistes) mengalami kemerosotan makna. Shopistes digunakan untuk menyebut guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peran penting dalam masyarakat. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para sofis merupakan pemilik warung yang menjual barang ruhani. c) Tokoh-tokoh Zaman Keemasan Filsafat 1. Socrates (470-400 S.M) Socrates guru Plato, mengajar bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting untuk tindakan kita. Sokrates sendiri tidak menulis apa-apa. Pikiran-pikirannya hanya dapat diketahui secara tidak langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup banyak pemikir Yunani lain, terutama melalui karya plato. Sebagaimana para sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada penolakan Socrates terhadap relatifisme (pandangan yang berpendapat bahwa kebenaran tergantung pada manusia) yang pada umumnya dianut para sofis. Menurut Socrates tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga Athena dan lain bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Pendirinya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang- kadang disebut intelektualisme etis. 12 Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan memperkenalkan definisi-definisi umum. Akibat pandangannya ini Socrates dihukum mati. 2. Plato (428-348 S.M) Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran yang dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Plato memilih yang begitu. Pertama, sifat karyanya Socratic (Socrates berperan sentral) dan diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi mengadakan tanya jawab dg teman-temannya di Athena. Dengan demikian, karya Plato dapat dipandang sebagai monumen bagi sang guru yang dikaguminya. Kedua, berkaitan dengan anggapan Plato mengenai filsafat. Menurutnya, filsafat pada intinya tidak lain daripada dialog dan filsafat seolah-olah drama hidup yang tidak pernah selesai tetapi harus dimulai kembali. Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang ide, jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu inderawi yang selalu berubah dan dunia ide yang tidak pernah berubah. Ide merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya pikiran tergantung pada ide-ide tersebut. Ide-ide berhubungan dengan dunia melalui tiga cara; Ide hadir didalam benda, ide-ide berpartisipasi dalam konkret dan ide merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada gilirannya juga memberikan dua pengenalan. pertama pengenalan tentang ide; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat) dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dg panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratic yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia ide tidak pernah berubah dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jiwa itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan ide. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dg badan, jiwa sudah mengalami pra-eksistensi dimana ia memandang ide-ide. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap ide-ide yang telah dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagad raya juga memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasa terbesarnya adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama"Akademia"yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran yang paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di pintu masuk akademia terdapat tulisan:"yang 13 belum mempelajari matematika janganlah masuk disini". 3. Aristoteles ((384-322 S.M) Ia adalah Pendidik Iskandar Agung yang juga adalah murid Plato. tetapi dalam banyak hal ia tidak setuju dengan Plato. Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak dalam suatu "surga" diatas dunia ini, melainkan di dalam benda-benda sendiri. Setiap benda terdiri dari dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu materi ("hyle") dan bentuk ("morfe"). Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dengan ide-ide dari Plato. Tetapi pada Aristoteles ide-ide ini tidak dapat dipikirkan lagi lepas dari materi. Materi tanpa bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk "bertindak" di dalam materi. Bentuk-bentuk memberi kenyataan kepada materi dan sekaligus merupakan tujuan dari materi. Teori ini dikenal dengan sebutan Hylemorfisme. Filsafat Aristoteles sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pokok-pokok pikirannya antara lain bahwa ia berpendapat seseorang tidak dapat mengetahui suatu obyek jika ia tidak dapat mengatakan pengetahuan itu pada orang lain. Aristoteles berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir secara ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, logika diuraikan secara sistematis. Tidak dapat dibantah bahwa logika Aristoteles memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual manusia; tidaklah berlebihan bila Immanuel Kant mengatakan bahwa sejak Aristoteles, logika tidak maju selangkahpun. Mengenai pengetahuan, Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat dihasilkan melalui jalan induksi dan jalan deduksi, induksi mengandalkan panca indera yang "lemah", sedangkan deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu dalam logikanya Aristoteles sangat banyak memberi tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan sempurna menuju pengetahuan baru. Salah satu cara Aristoteles mempraktekkan deduksi adalah Syllogismos (silogisme). B. Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M) Zaman ini sering dianggap sebagai zaman di mana filsafat begitu erat, bahkan berada di bawah naungan agama. Zaman ini, dibagi kedalam empat periode, yaitu Zaman Patristik, Zaman Awal Skolastik, Zama Keemasan Skolastik, dan Zaman Akhir Abad Pertengahan. 1. Zaman Patristik Istilah patristik berasal dari kata Latin patres yang berarti Bapak dalam lingkungan kehidupan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama Kristen. Dalam masyarakat luas, terdapat pula pemikiran filosof yang disebut sebagai kebudayaan kafir. Jadi, ketika itu terdapat dua pendirian yang berlainan, yaitu yang berdasarkan agama Kristen dan berdasarkan Filsafat Yunani. Pandangan pemikir agama pun terbagi tiga dalam menganggapi filsafat ini. Pertama, pandangan bahwa setelah ada wahyu Ilahi yang terwujud dalam Yesus Kristus, seharusnya tidak ada lagi pemikiran filosofis. Dengan demikian, pemikiran filosofis tidak diakui. Kedua, pandangan yang 14 berusaha menengahinya dengan menyintesiskan kedua pemikiran tersebut. Ketifa, pandangan yang justru menyatakan bahwa filsafat Yunani merupakan langkah awal menuju agama (praeparatio evangelica). Jadi harus diterima dan dikembangkan. Beberapa nama perlu ditampilkan dalam uraian ini, yaitu Yustinus Martyr, Clemens (150 – 215 M), dan Origenes (185-254), Martyr adalah pemikir yang sejak semula telah mempelajari berbagai sistem filsafat, dan ketika masuk agam Kristen, ia masih menyebut dirinya filosof. Ia menulis dua buku tentang pembelaan hak agama orang Kristen. Clemens dan Origenes berasal dari Alexandria, kota pusat intelektual pada akhir Zaman Kuno; merancang suatu teologi yang tersusun secara ilmiah berdasarkan filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Stoisisme. Zaman keemasan Pratistik, meliputi Yunani ataupun Latin yang muncul pada masa yang kurang lebih sama. Di Yunani, Zaman keemasan terbangun setelah Kaisar Constantinus Agung mengeluarkan “Edik Milano” yang melindungi warganya dalam dan untuk menganut agama Kristen. Sebelumnya, gereja Kristen mengalami penindasan dibawah penguasa Romawi yang menjajahnya. Tiga Bapak Gereja yang penting untuk disebut mewakili kehidupan pemikiran masa ini, adalah Gegorius dari Nazianza (330-390), Basilius (330-379), dan adiknya Gregorius dari Nyssa (335- 394). Mereka membangun sintesis dari agama Kristen dan kebudayaan Helenitas. Di antara ketiga orang tersebut yang paling menonjol adalah Gregorius dari Nyssa. Pada dasarnya, mereka menggunakan neo-platonisme, namun mereka menolah disebut neoplatonisme yang merendahkan materi. Pada abad ke-8, Zaman Keemasan Patristik Yunani berakhir, dengan Johannes Damascenus sebagai raja yang menulis suatu karya berjudul “Sumber Pengetahuan”. Karyanya tersebut secara sistematis menggambarkan seluruh sejarah filsafat pada masa Patristik Yunani, sebanyak tiga jilid. Sejak abad ke-8, orang Arab (Islam) merebut Siria, Mesir, Afrika Utara, dan bagian selatan Spanyol. Alexandria jatuh dan sekolah-sekolahnya ditutup. Melalui filosof Kristen, orang Arab berkenalan dengan filsafat Yunani, antara lain menerjamahkannya kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, dikemudian hari Baghdad dan Cordova pun menjadi pusat filsafat. Pada abad ke-4, zaman keemasan Paristik Latin terjadi. Ma,a nesar dari jajaran Bapak Gereka Barat adalah Agustinus (354-430) yang dinilai menjadi pemikir terbesar untuk seluruh Zaman Patristik. Adapun kekuatan dan kelemahan pemikiran Agustinus terletak pada pemikirannya sebagai integrasi dan teologi Kristen dan pemikiran filsafatinya. Tulisannya merupakan penghayatan rohani pribadinya. Ia sendiri tidak sepahan dengan pendapa yang mengatakan bahwa filsafat itu otonom, lepas dari iman kristiani. Menurutnya, filsafat hanya dapat dipahami sebagai “filsafat kristiani” atau “kebijaksanaan kristiani”. Dalam filsafat, ia tergolong pengikut neoplatonisme, bahkan platonisme juga. Pemikiran lain yang mempengaruhinya adalah stoisisme. Terdapat beberapa hal penting untuk dipahami dari pemikiran Agustinus, yaitu: 15 1) Iluminasi atau penerangan. Rasio insani hanya dapat abadi jika mendapat penerangan dari rasio Ilahi. Allah adalah guru yang tinggal dalam batin kita dan menerangi roh manusia. 2) Dunia jasmani yang terus-menerus berkembang, tetapi bergantung kepada Allah. Mula-mula Allah menciptakan materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu, tetapi mengandung benih (rationes seminales) berupa prinsip bagi perkembangan jasmani. Prinsip perkembangannya berbeda dengan evolusi Darwin karena tidak mengandung mutasi jenis. Menurutnya, di dalam benih segala hal telah ada, seperti sesuadah telor akan lahir ayam. Suatu masalah tidak akan mencapai jalan buntu apabila berdasarkan Alkitab. 3) Manusia, jiwanya terkurung tubuh. Menurut Agustinus – sebagaimana dipengaruhi platonisme, tetapi tidak mengakui dualisme ekstrim Plato – tubuh bukan sumber kejahatan; sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak bebas. 2. Zaman Awal Skolastik Zaman ini ditandai dengan migrasi penduduk, yaitu perpindahan bangsa Hun dari Asia ke Eropa, sehingga bangsa Jerman berpindah melintasi perbatasan kekaisaran Romawi yang secara politik mengalami kemerosotan. Akibat situasi yang ricuh, tidak banyak pemikiran filsafati yang patut dikemukakan pada masa ini. Namun, ada beberapa tokoh dan situasi penting yang harus diperhatikan dalam memahami filsafat masa ini. Pertama, ahli pikir Boethius (480-524 M), dalam usianya yang ke-44 tahun, ia dikenai hukuman mati dengan tuduhan berkomplot. Ia dianggap sebagai dilosof akhir Rimawi dan filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah menerjemahkan logika Aristoteles ke dalam bahasa Latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles. Boethius adalah guru logika Abad Pertengahan dan mengarang beberapa traktat teologi yang dipelajari sepanjang Abad Pertengahan. Kedua, Kaisar Karela Agung yang memerintah pada awal abad ke-9 dan berhasil mencapai stabilitas politik yang besar. Hal ini menyebabkan perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat. Lembaga pendidikan yang dibangunnya terdiri dari tiga jenis, yaitu pendidikan yang digabungkan dengan biara, pendidikan yang ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang dibangun raja atau kerabat kerajaan. Meskipun demikian, seluruh pemikiran Abad Pertengahan berada dalam naungan teologi. Seperti dikatakan Thomas Aquinas pada abaf ke-13, ilmu pengetahuan adalah pembantu teologi. Pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran Agustinus. Ketiga, terdapat beberapa nama penting lain, seperti Johannes Scotus Eriugena, Anselmus, dan Abelardus. Eriugena (810-877) bekerja di sekolah lingkungan istana Karel Agung. Ia berjasa dalam menerjemahkan karya Pseudo-Dionysios ke dalam bahasa Latin sehingga menjadi referensi bagi dunia pemikiran abad-abad selanjutnya. Berdasarkan filsafat neoplatonisme, ia membangun sintesis teologis. Akan tetapi, karena agak sulit dicerna, pemikirannya tidak dilanjutkan orang. 16 Anselmus (1033-1109) memimpin biara di Normandi, Perancisdan Uskup Agung di Canterbury, Inggris. Ia meluruskan perkataan Agustinus dengan mengatakan, “Saya percaya supaya saya mengerti” (credo ut intelligam). Ia terkenal terutama katena argumentasinya, bahwa Allah itu benar-benar ada. Ada tiga langkah pembuktian filsafatinya. Pertama, Allah itu Mahabesar sehingga tidak terpikirkan sesuatu yang lebih besar (id quo nihil malus cogitari potest). Kedua, hal yang terbesar tentulah berada dalam kenyataan, karena apa yang hanya ada dalam pikiran tidak mungkin lebih besar. Ketiga, Allah tidak hanya berada dalam pemikiran, tetapi juga ada dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh-sungguh ada. Abelardus (1079-1142) berjasa dalam bidang logika dan etika. Ia telah memberikan sumbangan terhadap penyelesaian masalah yang ramai dibicarakan dalam kalangan skolastik, ialah masalah “universalia”. Universalia menyangkut konsep-konsep tersebut. Dalam hal ini, terdapat dua pendirian, yaitu realisme, atau sering disebut ultra0realisme, dengan tokohnya Guilielmus yang membicarakan masalah “kemanusiaan”. Selanjutnya, nominalisme, dengan tokohnya Roscelinus. Ia berpendapat bahwa selain individu-individu, tidak ada sesuatu yang nyata. Konsep- konsep umum, menurut nominalisme, hanya bunyi (flatus vocis). Keempat, adalah cara mengajar yang terdiri dari dua jenis, yaitu cara kuliah (lectio) yang diberikan seorang mahaguru, dan cara diskusi yang dipimpin seorang mahaguru. Suatu topik dibahas secara sistematis dengan menampung semua argumen pro dan kontra (disputation). Dalam pelaksanaannya, baik kuliah maupun diskusi dibuatkan buku pegangan (sententiae), yang artinya pendapat-pendapat. Dari sentiae kemudian dibuat buku pengangan lain yang disebut Summa yang artinya ikhtisar. 3. Zaman Keemasan Skolastik Zaman keemasan Skolastik terjadi pada abad ke-13. Sama dengan Abad Pertengahan, pada Zaman Keemasan Skolastik ini, filsafat dipelajari dalam hubungannya dengan teologi. Namun, hal ini tidak berarti wacana filsafat hilang. Filsafat tetap dipelajari meskipun tidak secara terbuka dan mandiri. Pada abad ini dibangun sintesis filosofis penting dan berkaitan dengan tiga hal, yaitu (1) didirikannya universitas-universitas pada tahun 1200, (2) beberapa ordo membiara yang baru dibenetuk dan (3) ditemukan dan digunakannya sejumlah karya filsafat yang sebelumnya tidak dikenal. 1) Universitas, sekolah-sekolah di Paris secara bersama-sama membangun universitas yang meliputi keseluruhan guru dan mahasiswa (magistrorum et scolarium). Sejak abad ke-9, di seluruh Eropa Barat didirikan sekolah, setelah Akademia ditutup pada abad ke-2. Di Paris, sekolah-sekolah itu merupakan yang terbanyak. Sekolah-sekolah ini merupakan universitas pertama di dunia yang mula- mula bekerjasama antarsekolah di Paris. Di sekolah tersebut terdapat hak-hak khusus dari pihak gereja yang menjadikan universitas berkembang pesat. Hal ini ditiru oleh daerah lain seperti Oxford, Bologna, dan Cambridge di Inggris serta banya kota lainnya. Pada 17 abad pertengahan umumnya universitas terdiri dari empat fakutlas, yaitu kedokteran, hukum, sastra (facultas atrium), dan teologi. 2) Ordo-ordo membiara yang baru, merupakan faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan hidup intelektual. Dua ordo yang terkenal adalah Ordo fransiskan yang didirikan Fransiskus pada tahun 1209, dan Ordo Dominikan yang didirikan Dominikus pada tahun 1215. Diberbagai kota, para eksponen dominikan mendirikan rumah studi (studium generale) yang digabungkan dalam universitas setempat. 3) Penemuan karya filsafat Yunani, terutama karya Aristoteles sebagai filosof bidang logika. Namun mereka kemudian sadar bahwa pemikiran Aristoteles itu sangat luas. Ajaran Aristoteles masuk ke dunia Barat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung ajaran ini masuk melalui Arab dengan tokoh- tokohnya Ibn Sina (980-1037), Ibn Rushd (1126-1198), serta beberapa filosof Yahudi. Sedangakan secara langsung, ajaran ini masuk melalui Sisilia. Beberapa nama yang patut ditampilkan sebagai pengembang suasana intelektual ialah Bonaventura. Ia memberi komentar atas “Senntetiae” sebanyak empat jilid hasil pemberian kuliahnya antara 1250 dan 1253; Siger dari fakultas Sastra, Albertus Agung, Thomas Aquinas dan J.D. Scotus. 4. Masa Akhir Abad Pertengahan Pada akhir abad XIV terjadi sikap kritis atas berbagai usaha pemikiran yang menyintesiskan pemikiran filsafati dan teologi yang semakin menyimpang dari pendapat Aristoteles. Dua tokoh pada abad ke-14 yang berjasa dalam mempersiapkan ilmu pengetahuan alam modern, ialah Johannes Buridanus (1298- 1359) di Paris dan Thomas Bradwardine (1300-1349) di Oxford. Dalam filsafat, perkembangan tampil dalam bentuk “jalan modern” (via moderna) yang dipertentangkan dengan “jalan kuno” (via antiqua). “Jalan Kuno” adalah mazhab-mazhab skolatstik tradisional, terutama thomisme dan scotisme. Juga neoplatonisme, aristotelisme moderat, dan albertisme. Namun, pada jalan lama tidak ditemkan pemikir-pemikir besar sehingga lebih penting untuk membicarakan jalan baru. “Jalan Baru” didasari pemikiran Gulielmus (1285-1349) dari Inggris yang menjadi anggota ordo fransiskan. Pendapat-pendapatnya sering bertentangan dengan pemikiran gereja, terutama Paus di Vatikan. Terjadilah pertengkaran yang menyebabkan ia lebih memperhatikan masalah-masalah logika, meskipun masih menulis komentar atas “Sententiae”. Pikiran-pikiran Gulielmus lebih terkenal dengan nama Ockham, nama kota kelahirannya. Pemikirannya cenderung pada empirisme. Ia menolah individuasi, tetapi lebih cenderung pada yang bersifat individual. Bentuk pengenalan yang paling sempurna adalah yang berbentuk indrawi, lebih langsung. Oleh karena itu pengenalan indrawi harus dianggan intuitif, dibedakan dengan pengenalan abstrak. Pengenalan intelektual yang abstrak mempunyai konsep-konsep umum sebagai objeknya. 18 Dalam metafisika, Ockham menggunakna dua prinsip yang berpengaruh pada pemikiran filsafat pada waktu itu. Pertama, “Ockham’s razor”, bahwa keberadaan tidak dapat dilipatgandakan, apabila tidak perlu. Artinya, suatu realitas metafisika tidak dapat diterima jika dasarnya tidak kuat. Kedua, apa yang dapat dibedakan, dapat dipisahkan pula, paling tidak Allah-lah yang dapat memisahkan-nya. Berdasarkan dua prinsip tersebut, ia membersihkan metafisika dari perdebatan steril yang merajalela dalam mazhab Skolastik. Melalui jalan modern ini, Ockman dinilai berhasil karena banyak orang sudah bosan dengan perselisihan yang tidak memberi manfaat nyata. Dalam mengenal Allah, Ockham bersikap lebih kritis terhadap pengenalan manusia akan Allah. Menurutnya, dengan rasio saja, manusia tidak mungkin mengenal Allah. Pengenalan hanya dapat terjadi melalui iman atau kepercayaan. Kekuasaan Allah adalah absolut. Susunan moral yang dibuat manusia tidak bersifat absolut dan sangat bergantung pada kehendak Allah. Filsafat abad pertengahan diawali Boethius, dan diakiri oleh Nicolaus Cusanus (1401-1464). Nicolaus Cusanus membedakan tiga macam pengenalan, ialah pancaindra, rasio, dan intuisi. Pengenalan indrawi kurang sempurna. Rasio memberntu konsep berdasarkan pengenalan indrai dan aktivitasnya dikuasai prinsip nonkontradiksi (tidak mungkin sesuatu ada dan sekaligus tidak ada). Diakui bahwa kita tidak mengetahui apa-apa (docta ignoratia). Dengan intuisi, manusia dapta mencapai segala sesuatu yang tidak terhingga. Allah merupakan objek intuisi manusia. Dalam diri Allah seluruh hal yang berlawanan mencapai kesatuan (coincidentia oppositorium). C. Zaman Pencerahan (1500M – 1700M) Pengetahuan yang luas menjadikan Nicolaus bukan saja sebagai eksponen Abad Pertengahan, melainkan juga pecinta eksperimen yang membawanya kepada pemikiran ilmu masa modern. Meskipun demikian, perlu diperhatikan suatu masa yang relatif singkat yang membatasi Abad Pertengahan dan Abad Modern yaitu Abad Pencerahan, enlightment, atau Aufklaerung. Meskipun singkat, sekitar satu sampai dua abad saja, namun apa yang terjadi dalam masa itu penting untuk direnungkan. Maksudnya, para pemikir sekular yang berada dalam lingkungan gereja merasa “sumpek” dengan kehidupan berpikir abad pertengahan, dimana ilmu pengetahuan dan filsafat menjadi budak agama. Hal ini beraikbat kebebasan berpikir terhambat oleh payung agama. Menentang pendapat ilmuwan yang pendapatnya telah diterima kaum agama, sering diartikan menentang agama. Zaman Pencerahan, Aufklaerung, merupakan masa peralihan dari Abad Pertengahan ke Abad Modern. Perlu ditegaskan bahwa pemikiran Abad Pertengahan didasari oleh payung agama, sedangkan Abad Modern oleh payung ilmu pengetahuan. Selain “membesarkan diri” dari kungkungan agama, pemikiran modern sebenarnya telah melepaskan diri dari filsafat. Hal ini disebabkan argumentasi filsafat semata-mata mengandalkan logika, sedangkan pengetahuan menekankan pada perlunya eksperimentasi. 19 Meskipun demikian, hubungan antara Pencerahan dan Modern sulit dipisahkan, karena Pencerahan secara substansial berusaha melepaskan ilmu pengetahuan dari kungkungan agama (kaum gereja). Substansi duniawi, sekuler, atau disebut pula ilmu pengetahuan umum, sebagai ciri garapan Abad Modern. Dengan demikian, tokoh-tokoh yang mengawali Modernisme dapat dianggap tokoh Abad Pencerahan. Misalnya Michel de Montaigne (1533-1592). Kemudian Descrates, Leibnitz, dan Wolf di Eropa Daratan, serta Locke, Hume dan Berkeley di Inggris. Dikarenakan kedudukannya yang terjepit antara Abad Pertengahan dan Abad Modern, maka Abad Pencerahan tidak dibahas lebih mendalam. Meskipun demikian, pemikiran Abad Pencerahan perlu dicantumkan karena dipandang penting bagi kelahiran Abad Modern yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Abad Pencerahan merupakan “bidan” Abad Modern. D. Zaman Modern Zaman Pertengahan berakhir pada saat yang tidak helas karena batas-batas pemikiran filsafatnya terlalu subtil. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa masa Renaisance-lah yang menjadi batasnya, yaitu batas pemisah antara Abad Pertengahan dengan Abad Modern. Masa Renaisans artinya kelahiran kembali. Maksudnya adalah melahirkan kembali kebudayaan klasik, yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi. Masa Renaisans merupakan akhir dari Zaman Pertengahan. Beberapa ahli sejarah filsafat menempatkan nama-nama sastrawan dan seniman pada barisan depan pelopor Zaman Modern. Mereka adalah para penulis, Petrarca (1304-1374) dan Boccacio (1313-1375). Sementara untuk seniman lainnya, tercatat pelukis, pematung, dan artitek Michelangelo (1475-1565). Dalam bidang ilmu pengetahuan, nama-nama yang patut dikemukakan adalah Leonardo da Vinci (1452-1519), Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johanner Kepler (1571-1519), Galilei (1564- 1643). Sementara pelatak dasar filosofis dalam ilmu pengetahuan adalah Francis Bacon (1561-1623). Francis Bacon melahirkan buah pikiran yang menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan. Adapun pendiri (founding father) filsafat modern adalah Michel de Montaigne (1533-1592). Ia bukan matematikawan atau ilmuwan, melainkan moralis. Pertanyaan yang mendasar, apakah manusia akan mendapat kebenaran jika benar- benar menemukannya, atau mampukah manusia berbuat adil jika sudah menemukannya? Ia mewarisi skeptisme pendahulunya dan meragukan indra ataupun akal budi. Sebaliknya, ia menekankan ide alam yang melekat dalam diri manusia sebagai karakter, sebagaimana pikiran pemikir-pemikir kuno. Oleh karena itu, pikiran-pikiran intelektual skolastik tidak berarti baginya. Sedangkan tujuan pendidikan dan filsafat secara umum baginya adalah untuk menerangi dan mengilhami hakikat diri yang bersifat spontan. Wahyu Ilahi, selain dapat diterima, juga dianggap dapat menjembatani Tuhan dan manusia. Sikap moralis yang dimiliki Montaigne sangat banyak mempengaruhi Jean-Jacques Rousseau. Dalam ilmu pengetahuan, pendapat Montaigne tersimpul dalam perumusan, bahwa ide manusia 20 berbeda dari suatu tempat lainnya, juga menurut zamannya. Istilah modern itu sendiri tidak jelas apa maksudnya. Istilah tersebut sering menampilkan sifat arogansi, atau sekadar menolak buah pikiran yang telah lahir sebelumnya dari Abad Pertengahan; bahkan secara berlebihan daat juga disebut sebagai suatu pemberontakan. Sama dengan kaum pascamodern yang memberontak terhadap pemikiran modern yang terlalu menghargai rasio. Mengenai siapa “founding father” Zaman Modern ini, para ahli berpendapat lain. Mereka menyebut beberapa nama, seperti Rene Descartes, pemikir Perancis dengan rasionalismenya; John Locke, pemikir Inggris dengan empirisme. Selanjutnya, Immanuel Kant dengan kritisismenya melihat ketidaksempurnaan, baik pada Descrates maupun John Locke. Dikatakannya bahwa Descrates hanya dengan sebelah mata dalam melihat kenyataan, yaitu dengan mata rasio. Sementara Locke dinilai dalam melihat kenyataan hanya dengan setengah mata, ialah mata pengalaman. Kant mengatakan, “Pemahaman tanpa konsep adalah buta, sedangkan tanggapan tanpa penglihatan adalah hampa”. Ia berpendapat bahwa dasar pengetahuan adalah pengamatan dan pemikiran. Ilmu pengetahuan haruslah bersifat sintetis, artinya berdasarkan pengamatan yang nyata; dan aprioris, yaitu berdasarkan akal. Oleh karena itu, ada ahli yang berpendapat bahwa sebelum Kant adalah filsafat lama, dan sesudah Kant adalah filsafat baru. Memahami filsafat modern yang berlangsung sampai kontemporer atau pascamodernisme tidaklah sederhana, karena tidak mudah dalam membuat penggolongan. Para filosof modern tampak lebih individualistis dengan menampilkan individualitasnya masing-masing. Hal ini menyulitkan bagi mereka yang baru mengenal dan mempelajarinya. Oleh karena iru, untuk mempermudah dalam mengenal dan mempelajarinya, filsafat modern dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu (1) rasionalisme, empirisme, dan kritisisme; (2) dialetika idealisme dan dialektika materialisme; (3) fenomenologi dan eksistensialisme. Penjelasan singkat mengenai pengelompokan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. 1) Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme Rasionalisme. Perlu disebutkan beberapa nama penting dalam aliran ini, antara lain Descrates, Wolf dan Leibnitz. Pada prinsipnya, pemikir-pemikir rasional menuntut kenyataan sejati yang dilandasi pemikiran. Dari pemikiran akan lahir konsep, bahwa apa yang diketahui ilmu pengetahuan jelas landasannya. Landasan ini tidak akan berubah. Hal itu dapat terjadi jika dasar pemikiran atau pengetahuan itu bersifat apriori (sebelum pengalaman). Empirisme. Beberapa tokoh dalam aliran ini, antara lain John Locke, Berkeley, dan Hume. Kebalikan dari kaum rasionalis, pemikir empiris berpendapat bahwa dasar pengetahuan itu adalah sensasi yang berasal dari rangsangan-rangsangan yang berdasar pada pengalaman. Adapun alasannya adalah bahwa 21 sekarang atau disini tidak selalu sama dengan besok atau disitu. Lebih penting dari semua itu, bahwa ilmu pengetahuan harus berkembang, karena perkembangan tidak dapat ditolak. Bukan apriori yang dituntut oleh ilmu pengetahuan, melainkan aposteriori (setelah pengalaman). Kritiisme. Menurut Kant, ilmu pengetahuan harus memiliki kepastian sehingga rasionalisme adalah benar. Ia juga menuntut bahwa imu pengetahuan harus maju dan berkembang didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang. Oleh karena itu, ia menganggap benar pendapat kaum empiris. Ia mengajukan sintetis aprioris sebagai syarat untuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berdasarkan dua hal, yaitu bahwan yang didapat dari luar, hal itu sendiri atau disebut das Ding an sich, dan pengolahan sintesis dari diri sendiri atau das Ding fuer mich. 2) Dialetika Idealisme dan Dialetika Merialisme Dialetika ideal atau, idealisme dialektis merupakan hasil pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang sangat berorientasi pada ilmu sejarah, ilmu alam, dan ilmu hukum. Ia dianggap sebagai murid Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854) yang lebih muda darinya. Tulisannya dipublikasikan setelah Schelling termashur sebagai ahli filsafat. Semulanya pendiriannya sama, namun semakin lama pendiriannya jelas berbeda dari Schelling, bahkan jauh lebi populer di kemudian hari. Terdapat beberapa hal yang penting dari pandangan Hegel. Pertama, dalil yang menyatakan bahwa segenap realitas bersifat rasional dan yang rasional bersifat nyata. Ia sangat mementingkan rasio, tetapi bukan hanya rasio pada perseorangan, melainkan rasio pada subjek absolut. Ia berprinsip bahwa realitas seluruhnya harus disetarakan dengan suatu subjek. Realitas adalah roh yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan pernyataan tersebut, ia membantah pendapat filsafat kepercayaan dan sastra Jerman yang disebut “Romantika” yang mengutamakan perasaan. Kedua, hal terpenting lain dari seluruh pemikiran Hegel, yaitu metode dialeti, atau biasa disebut dialetika. Dialetika adalah usaha mendamaikan, mengompromikan dua atau lebih pandangan yang berpendapat bahwa pertentangan adalah bapak segala hal, meskipun ia juga menghargai Fichte yang membedakan antara “aku” dan “bukan aku”. Ada tiga fase dalam dialetika. Fase pertama, tesis sebagai pendapat awal menampilkan lawannya, yaitu antitesis sebagai fase kedua. 22 Kemudian timullah fase ketiga yang mendamaikan kedua fase itu, yaitu “aufgehoben”, artinya bermacam-macam dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi, inilah yang disebut sintesis, sebagai fase ketiga itu, dalam sintesis terkandung tesis dan antitesis. Keduanya diangkat pada satu taraf yang baru. Jadi tesus dan antitesis tetap ada, hanya lebih sempurna. Contoh, anak menjadi sintesis dari ibu dan bapak; demokrasi konstitusional menjadi sintesis dari diktator dan anarki, dan “menjadi” merupakan sintesis dari “ada” dan “tiada”. Dalam membangun istem filsafatnya, Hegel membagi filsafat menjadi tiga bagian, yaitu: a) Logika, bagian filsafat yang memandang roh dalam dirinya sendiri; b) Filsafat alam, memandang roh yang sudah ada/diasingkan di luar dirinya, dan c) Filsafat roh, menggambarkan bagaimana roh bisa kembali pada dirinya. 3) Fenomenologi dan Eksistensialisme Terdapat ahli yang berpendapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan suatu mazhab filsafat. Para ahli tertentu bahkan menganggap fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan dan memaknakan sesuatu daripada sebagai suatu aliran filsafat. Filsafat fenomenologi lahir dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1936), berdasarkan pemikiran Brentano, seorang filosof dan matematikus, mengenai intensionalitas atau pengarahan. Husserl mengemukakan adanya fondasi absolut, suatu fundamentum inconcussum yang murni ilmu pengetahuan. Ia menemukannya dalam subjektivitas transendental (Sugiharto, 1996). Eksistensialisme terutama merupakan hasil pemikiran Soren Kierkegaard. Ia dikenal banyak orang sebagai penentang materialisme ataupun idealisme. Keterangan ini, meskipun tidak salah, juga tidak sepenuhnya benar. Ia memiliki ciri “pribadi” bahwa manusia mengerti, berkehendak, dan berkarsa bebas, serta memiliki paham kesusilaan dan berupaya membangun kebudayaannya sendiri. Secara etimologis eksistensialisme berarti berdiri atau berada di (ke) luar. Eks berarti ke (di) luar, dan (s)istens berarti menempatkan atau berdiri. Oleh karena itu, hana manusialah yang dpat bereksistensi, sedangkan binatang atau organisasi tidak. Apabila benda dan binatang “berada diluar” maka manusia “mengada disini” atau “mengada disitu”, 23 Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal berpangkal pada eksistensinya. Artinya bahwa eksistensialisme merupakan cara manusia berada, atau lebih tepatnya mengada, di dunia ini. Jadi, hal yang bereksistensi itu hanyalah manusia. Adanya benda danadanya manusia jelas berbeda. E. Pascamodernisme Pembicaraan mengenai fenomenologi dan eksistesialisme menandai masuknya babak baru yang disebut Pascamodernisme. Tokoh-tokoh kedua aliran itulah yang membawa pemikiran ke arah pascamodern dengan meninggalkan cara berpikir modernisme, atau dapat disebut sebagai Abad Ilmiah. Istilah “pascamodernisme” muncul dalam konteks yang luas, dari wacana akademik sampai susunan kata yang singkat dalam sebuah iklan. Maknanya berbeda dalam koneks yang bermacam-macam, seperti “floating signifier” Levi-Strauss; tidak banyak mengekspresikan suatu nilai dan tetap membuka ruang bagi ekspresi yang luas. Kapasitas “pascamodern” yang demikian luas menyangkut ruang lingkup perubahan kultural. Secara etimologis postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post dalam Webste’s Dictionary Library adalah prefik, diartikan dengan “later or after”. Bila kita menyatukannya menjadi post modern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tidak terjawab di zaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri. Sedangkan secara terminologi menurut tokoh dari post modern, Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: pertama, post modernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji – janjinya. Juga pstmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas–prioritas modern seperta karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral,peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Postmodern pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian modernitas. Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern” . Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Pada sore hari di bulan juli 1972, bangunan yang mana melambangkan kemodernisasian di 24 ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan menandakan kelahiran posrmodern. Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Nafas utama dari posmodern adalah penolakan atas narasi – narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi – narasi kecil, lokal, tersebar dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan menampakkan dirinya. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan sosiologi. Postmodern akhiryna menjadi kritik kebudayaan atas modernita. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern sekarang dikutuk dan apa yang dulu dianggap rendah sekarang justru dihargai. 3. Kesimpulan Dari pembahasan atas tujuan penulisan makalah pengertian dan sejarah perkembangan filsafat, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Filsafat adalah suatu wacana, perbincangan, atau argumentasi yang radikal, bersifat refleksi sampai ke konsekuensi terakhir, mengenai segala hal yang dilakukan secara sistematis, dengan maksud menemuka hakikatnya. 2) Sejarah perkembangan pemikiran filsafat dapat dikelompokan kedalam beberapa lima periode yaitu: a. Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M) b. Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M) c. Zaman Pencerahan (1500 M – 1700 M) d. Zaman Modern (1700 M – 2000 M) e. Zaman Pasca Modern (2000 M – ... M)