Anda di halaman 1dari 11

BAB I

KONSEP TOERI

1.1 Pengertian
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculusis dan micobacterium bovis( Ngastiyah. 2005).
Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mikrobakterium
tuberkulosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainya (Maryunani anik. 2010).
1.2 Etiologi
Tuberkulosis anak merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini menyebar dari satu orang ke orang lain melalui
percikan dahak (droplet nuclei) yang dibatukkan.( Ngastiyah. 2005) Faktor resiko TBC
pada anak :
1. Resiko infeksi TBC pada anak
Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC aktif, daerah
endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta lingkungan yang tidak
sehat. Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya transmisi
kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau
kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan karena
kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat
batuk. Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika
ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam konsentrasi yang
rendah pada sektret endobrokial anak. ( Ngastiyah. 2005)
2. Resiko penyakit TBC pada anak
Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi
sakit TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna
(imatur). Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap seiring
pertambahan usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan menjadi
sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%,
pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko
lebih tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi . Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan
imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan silikosis. Status sosial
ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran,
dan pendidikan yang rendah. ( Ngastiyah. 2005)
Berdasarkan tipe infeksi, Tuberkulosis pada anak dibagi menjadi 3 macam yaitu:
a. Infeksi primer.
TBC paru primer (infeksi pertama dengan bakteri TBC). Pada anak yang
usianya lebih dewasa, biasanya tidak menimbulkan tanda atau gejala, dan hasil
foto rontgen dada tidak terlihat adanya tanda infeksi. Sangat jarang terjadi
pembengkakan kelenjar limfe dan kemungkinan sedikit batuk. Infeksi primer ini
biasanya sembuh dengan sendirinya karena anak telah membentuk kekebalan
tubuh selama periode waktu 6 hingga 10 minggu. Namun pada beberapa kasus,
jika tidak ditangani dengan benar, infeksi ini dapat berkembang menjadi
penyakit dan menyebar ke seluruh paru-paru (disebut TBC progresif).
( Maryunani anik. 2010)
b. Infeksi progresif (TB progresif)
Infeksi primer yang berkembang menjadi penyakit dan menyebar ke seluruh
paru-paru, atau ke organ tubuh lainnya. Hal ini ditandai dengan demam,
kehilangan berat badan, kelelahan, kehilangan selera makan, kesulitan bernafas,
dan batuk. ( Maryunani anik. 2010)
c. Infeksi reaktivasi (TB reaktivasi)
Dalam hal ini infeksi primer sudah teratasi, namun bakteri TBC masih dalam
keadaan tidur atau hibernasi. Ketika kondisi memungkinkan (misalnya
kekebalan tubuh menurun), bakteri menjadi aktif. TBC pada anak yang lebih tua
dan orang dewasa mungkin saja termasuk tipe ini. Gejala yang paling jelas
adalah demam terus-menerus, diiringi dengan keringat pada malam hari.
Kelelahan dan kehilangan berat badan juga mungkin terjadi. Jika penyakit
bertambah parah dan terbentuk lubang-lubang pada paru-paru, penderita TBC
akan mengalami batuk dan mungkin terdapat darah pada produksi air liur atau
dahak. ( Maryunani anik. 2010).

1.3 Patofisiologi
Penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas :
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus
dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar
hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua
lobus, 70% terletak subpelura. Fokus primer dapat mengalami penyembuhan
sempurna, kalsifikasi atau penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC2.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister
atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
( Maryunani anik. 2010)
2. TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV
atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan
paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
1.4 WOC

1.5 Manifestasi Klinis


Gejala umum:
1. Batuk terus menerus lebih dari 4 minggu atau lebih dengan atau tanpa sputum
2. Badan lemah
3. Gejala flu
4. Demam derajat rendah
5. Nyeri dada
Gejala yang sering jumpai:
1. Dahak bercampur darah
2. Batuk darah
3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada
4. Badan lemah, nafsu makan menurun

1.6 Pemeriksaan Penunjang


1 Uji Tuberkulin merupakan uji paling penting untuk menentukan apakah anak sudah
terinfeksi tuberkel basilus atau tidak. Prosedur yang dianjurkan adalah Uji Mantoux,
yang menggunakan derifat protein murni (PPD, Purified protein derifatif). Dosis
standar adalah 5 unit tuberkulin dalam 0,1 ml larutan, di injeksi secara intradermal
2. Pemeriksaan Radiologis (rongten paru)
3. Uji BCG
Di Indonesia BCG diberikan secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin. Bila
ada anak yang mendapat BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam
waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan berarti perlu dicurigai adanya
tuberkulosis. Pada anak dengan tuberkulosis BCG akan menimbulkan reaksi lokal
yang lebih cepat dan besar oleh karena itu, reaksi BCG dapat dijadikan alat
diagnostik. Petunjuk WHO Untuk Diagnosis Tuberkulosis Anak
4. Dicurigai tuberculosis
a. Anak sakit dengan riwayat kontak penderita tuberkulosis dengan diagnosis pasti
(BTA positif)
b. Anak dengan :
1) Keadaan klinik tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
2) Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan
pengobatan antibiotik untuk penyakit pernapasan
3) Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
Mungkin tuberculosis
o Uji tuberkulin positif (10 mm/lebih)
o Foto Rontgen paru sugestif tuberculosis
o Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberculosis
o Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberculosis pada pemeriksaan langsung atau biakan. Identifikasi
Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan.
1.7 Penatalaksanaan Medis
1. Rifampisin, dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari, diberikan satu kali sehari per oral,
diminum dalam keadaan lambung kosong, diberikan selama 6-9 bulan
2. INH (isoniazid), bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang aktif
ekstraseluler dan basil didalam makrofag. Dosis INH 10-20/kgBB/hari per oral,
lama pemberian 18-24 bulan
3. Pirazinamid, bekerja bakterisidal terhadap basil intraseluler, dosis 30-35
mg/kgBB/hari per oral, 2 kali sehari selama 4-6 bulan.
4. Etambutol, dosis 20 mg/kgBB/hari dalam keadaan lambung kosong, 1 kali sehari
selama 1 tahun.
5. Kortikosteroid, diberikan bersama-sama dengan obat antituberkulosis yang masih
sensitif, diberikan dalam bentuk kortison dengan dosis 10-15 mg/kgBB/hari.
Kortikosteroid di berikan sebagai antiflogistik dan ajuvan pada tuberkulosis milier,
meningitis serosa tuberkulosa, pleuritis tuberkulosa, penyebaran bronkogen,
atelektasis, tuberkulosis berat atau keadaan umum yang buruk( Maryunani anik.
2010).
BAB II

2.1 Pengkajian
1. Identitas Data Umum (selain identitas klien, juga identitas orangtua; asal kota dan
daerah, jumlah keluarga)
2. Keluhan Utama (penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit)
3. Riwayat kehamilan dan kelahiran
4. Riwayat penyakit terdahulu
5. Riwayat Penyakit Sekarang (Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat
benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub
mandibula)
6. Riwayat Keluarga (adakah yang menderita TB atau Penyakit Infeksi lainnya,
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama)
7. Pola fungsi kesehatan.
a. Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.
b. Pola nutrisi – metabolik. Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB turun, turgor
kulit jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit menelan,
turgor kulit jelek.
c. Pola aktifitas-latihan Sesak nafas, fatique, tachicardia, aktifitas berat timbul
sesak nafas (nafas pendek).
d. Pola tidur dan istirahat : sulit tidur, berkeringat pada malam hari.
e. Pola kognitif perseptual. Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri
tulang umum, takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga tidak mampu
f. Pola persepsi diri. Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
g. Pola peran hubungan Anak menjadi ketergantungan terhadap orang lain
(ibu/ayah)/tidak mandiri.
8. Pemeriksaan fisik
a. Demam: sub fibril, fibril (40-41°C)
b. Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang/
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen
(menghasilkan sputum).
c. Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang sampai setengah
paru.
d. Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke
pleura.
e. Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri
otot dan kering diwaktu malam hari.
f. Pada tahap dini sulit diketahui. Ronchi basah, kasar dan nyaring.
Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi
memberi suara limforik. Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan
fibrosis. Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memberikan suara
pekak). 
2.2 Diagnosa keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum
2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan
2.3 Perencanaan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan jalan nafas kembali efektif dalam
waktu 3×24 jam. Dengan kriteria hasil   :Sekret berkurang sampai dengan hilang,
pernafasan dalam batas normal 40-60x/menit
Intervensi:
o Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, kedalaman dan penggunaan
otot aksesori.
R  : untuk mengetahui tingkat sakit dan tindakan apa yang harus dilakukan
o Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum, adanya hemoptisis.
R : untuk mengetahui perkembangan kesehatan pasien
o Berikan pasien posisi semi atau fowler,
R: semi fowler memudahkan pasien untuk bernafas
o Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
R : untuk mencegah penyebaran infeksi
o Berikan terapi oksigen
R  : pemberian oksigen dapat memudahkan pasien untuk bernafas
2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak demam dalam waktu
3×24 jam.
Dengan kriteria hasil  : tidak terjadi penyebaran infeksi
Intervensi:
o Mengidentifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti
anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan. Memberitahukan
kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan terapi
pencegahan.
R : Pengetahuan dan terapi dapat meminimalkan kerentanan terjadinya
penyebaran
o Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk
R : Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
o Gunakan masker setiap melakukan tindakan
R : Masker dapat mengurangi resiko penyebaran infeksi
o Monitor temperature
R : untuk mengetahui adanya indikasi terjadinya infeksi. Febris merupakan
indikasi terjadinya infeksi.
o Kolaborasi Pemberian terapi untuk anak
R : Kerja sama akan mempercepat proses penyembuhan
o Monitor sputum BTA. Klien dengan 3 kali pemeriksaan BTA negatif, terapi
diteruskan sampai batas waktu yang ditentukan.
R : Pemantauan untuk terapi yang akan dilaksanakan selanjutnya
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan
Tujuan : setelah dilakukan tndakan keperawatn 3x24 jam nutrisi pasien adekuat.
Kriteria hasil : Keluarga klien dapat menjelaskan penyebab gangguan nutrisi yang
dialami klien, pemulihan kebutuhan nutrisi, susunan menu dan pengolahan makanan
sehat seimbang. Dengan bantuan perawat, keluarga klien dapat mendemonstrasikan
pemberian diet (per sonde/per oral) sesuai program diet.
Intervensi:
o Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan
intake cairan yang adekuat.
R: agar pemenuhan nutrisi terpenuhi sehingga penyembuhan bisa lebih cepat
o Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga untuk
melakukannya sendiri.
R : Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien, mempertegas peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi klien.
o Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
R : Roborans, meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi defisit
yang menyertai keadaan malnutrisi.
o Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas dan tebal lipatan kulit setiap
pagi.
R : Menilai perkembangan masalah klien.
o Memberi makan lewat parenteral ( D 5% )
R : Mengganti zat-zat makanan secara cepat melalui parenteral.

2.4 Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan
obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai
atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi
dan analisa masalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Carolin, Elizabeth J, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta, 2002.


Doenges, Marilyn E, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian pasien, : alih bahasa, I Made Kariasa : editor,
Monika Ester, Edis
Smeltzer, Suzanne C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth : alih bahasa, Agung Waluyo: editor Monica Ester, Edisi 8, EGC :
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai